Hanya karena menyambut lawan politik yang menemuinya di hari ulang tahun, dia kini dapat sebutan Negarawan.
Di masa lalu juga ada negarawan yang berani melakukan pembuktian terbalik kalau dia tak bersalah. Ia membacakan pledoi 'Indonesia Menggugat' yang masih bisa kita baca sampai sekarang. Beristri banyak, mengangkat diri sendiri sebagai presiden seumur hidup, menggagas 'Djawa adalah Koentji' dan menyingkirkan teman-teman seperjuangannya adalah hal lain di penghujung masanya. Kita masih mengenangnya dengan baik lewat buku, jalan, bandara, dan sebagainya.
Di masa kini, ada seseorang yang ingin menjadi presiden. Ia tampak melek hukum dengan mengajukan gugatan kekalahannya ke MK agar dapat melakukan pemilu ulang. Ia dengan mudah meyakinkan dirinya sendiri dan semua orang bahwa ia layak menjadi presiden. Anehnya, sebagai orang yang tahu fungsi pengadilan, ia tak pernah tampak di pengadilan HAM untuk menuntut dilakukannya pembuktian terbalik bahwa ia tak bersalah dan siap bertanggung jawab atas kegaduhan yang terjadi bertahun-tahun sebelumnya. Bisa saja, sebagai calon presiden, ia menjanjikan bahwa jika ia terpilih, maka negara ini menjadi anggota ICC (International Criminal Court) di Den Haag. Supaya kelak, para penjahat HAM bisa diadili. Sekalipun jika itu hanya sekedar janji kampanye rasa kecap, ia akan sangat dihargai. Bukan malah sibuk teriak-teriak anti asing sekalipun kerajaan bisnis keluarga dan koleganya berjabat erat dengan asing. Meminta pendukungnya untuk mendukung presiden terpilih, menghormat ketika bertemu presiden terpilih, dan kesepakatan lain yang ditawarkan sesudahnya adalah hal lain. Kita akan tetap mengenangnya sebagai orang yang memerintahkan ratusan nyawa hilang di kampung janda, beberapa aktivis '98 disiksa dan sebagiannya hilang.
Yang hilang belum kembali. Yang terbunuh masih ditangisi. Yang berdiri di depan Istana di hari Kamis belum ditemui. Lalu kita mau sebut dia Negarawan RI?
Ingatkan lagi, untuk apa kita memilih Jokowi?
Untuk apa?
BalasHapus