Minggu, 30 Desember 2012

Kepada Segaris Masa


Aku sedang menulis, bisakah kau pergi sejenak dari pikiranku agar sebentar-sebentar aku tidak perlu berhenti mengetik hanya karena sesak nafas mengingatmu?

Aku sedang menulis, bukan tentang kamu. Tapi terlanjur bernuansa kamu karena sejak kehadiranmu, segala sesuatu seolah jadi kamu. Begitu adanya.

Aku sedang menulis. Aku agak tidak suka kau juga suka menulis. Karena berarti akan ada 2 penulis dalam 1 cerita. Sedihnya, setiap cerita pasti berakhir, kita hampir berada di titik itu.

Aku sedang menulis, bukan tentang ideologi berbeda yang sering kita pertentangkan lalu aku menang. Tapi ttg ide mu yang hangat menyelinap di kepalaku.

Aku sedang menulis, Bukan dengan gaya maupun ide mu, tapi saat kau membaca itu, Kau tetap akan berkata, "Ini buat aku kan? Seperti biasanya?"

Aku sedang menulis, tentang dirimu atau bukan, tolonglah.. Jangan peduli lagi.

Aku sedang menulis, tentang bunga-bunga dalam pikiranku. Namun, Kau menyelinap diam-diam dan bilang, "Aku masih bunga di mimpimu kan?". Sial, diamlah!

Aku sedang menulis, Kau tanya tentang apa, aku bilang tentang sesuatu yang manis. Kau terkekeh berkata, "Aku yang tabur gula-gula di jemarimu sore tadi"

Aku sedang menulis, mungkin kau disana melakukan hal yg sama. Aku tidak tahu pasti. Aku hanya mencoba menguji sekuat apa getar rasa kita.

Aku sedang menulis, Aku minta padamu, "Ceritakan sesuatu", Kau tak menjawab. Diammu mengartikan segalanya. Dari sanalah cerita bermula.


Aku sedang menulis, tentang masa lalu yang berduri. Aku pikir, kita harus berhenti saling menyakiti lagi. Kita tidak sedang bermain peran sebagai masa lalu kan?

Aku sedang menulis. Kau bertanya, "Dimana namaku, kenapa tidak ada?" Aku jawab, "Ada di Museum, teronggok menyedihkan, lapuk dan berdebu."

Aku sedang menulis. Kau tersenyum karena kau tahu bahwa aku tidak hanya menulis, tapi aku juga sedang memikirkanmu. Sekaligus!

Aku sedang menulis, tumpukan rindu padamu menggunung setinggi harapan ku atas pesan-pesan yang belum sempat dijawab, atas segala yang belum selesai dan atas kesepakatan yang tercederai. Akhirnya, Selamat malam, masa lalu...

Jakarta, di Penghujung Tahun, 30 Desember 2012.

Sabtu, 22 Desember 2012

Sang Pemahat Kata...


Aku telah mencintai kata-kata selama bertahun-tahun. Aku menyaksikan para pembuat kata memahat berjuta kata di palung jiwa terdalam dan di bukit-bukit pemikiran.  Dengan itu aku tidak dapat melupakan mereka. Nama mereka menjelma bagai anggur klasik yang makin disimpan lama makin lezat memabukkan.

Aku putuskan untuk mengembara dalam pena yang menjadikan kata-kata sebagai senjata untuk berperang dengan pekatnya awan pemikiran,  menjadikannya dermaga harapan para pencari kearifan sambil menghembus kabut berisi doa-doa ke altar sang Raja. Memejamkan mata sambil berharap semoga denting tajam kata-kata yang terpancar kelak dapat berubah menjadi gemerlap bintang, pemandu para nelayan di belantara samudra.

Aku menyadari kehadiran mu di tengah derai kata, dalam ruang persegi yang menggaungkan kata-katamu lebih keras lagi, sampai aku tak kuasa untuk menghindari suaranya.  Kau hadir sebagai percik api yang dihasilkan pedang pemahat mantra yang beradu dengan bebatuan. Ada jejak mu di sana.

Sejak itu aku mencintaimu...

Kau membuat kata-kata dan ide berdansa -menggeliat- bagai api yang merubah sesuatu yang lembab dan hampir sekarat hidup membara lagi di pikiranku. Lalu aku jadikan kata-kata mu sebagai selimut hangat yang tanpanya aku menggigil kedinginan karena rindu. Rindu yang kau ramu sedemikian pintar hingga menjadikan bebukitan “aku-ku” luluh lantak tak berdaya dalam kungkung kabut yang kita sebut itu sebagai kasih sayangmu.

Kau, dengan mudah menjelma jadi merah di setangkai mawar yang menjadikan ia indah di altar para bidadari. Atau kau kadang jadi merah di ujung pedang para ksatria berkepala tegak yang kembali pulang setelah perang yang melelahkan jiwa. Kau adalah dirimu yang membuat semesta “aku-ku” patuh mencintamu dikala kesadaran akan hadirnya cinta ini  berhasil menawan kata-kata dan mengubahnya lebih dari sekedar kilatan mata.

Ketika kau torehkan lekuk garis tawa di relief wajahmu, aku mencintaimu lebih dalam bahkan sebelum kelahiran kata-kata dari muara yang sama dengan derai tawamu. Karena itu, aku memilih untuk berbahagia dengan rasa ini.


Selamat hari pertemuan,
Jakarta, 22 Desember 2012

Berhari Ibu


Di Hari Ibu ini, Ibuku -untuk kesekian kalinya- harus menjalani operasi lagi. Operasi sebelumnya sempat membuat Ibu dalam keadaan koma selama 2 hari di ruang ICU. Untunglah Ibu sekuat harapan nya dalam menjalani berbagai kesulitan. Selama hampir 3 bulan ibu di RS, aku sering mendengarnya menangis, bermanja, merintih kesakitan. Rintihan sakitmu melukai ku juga. Cinta, tanpa komando siapapun, membuat penderitaan kekasih jadi penderitaan kita juga. 

Aku ingat, dulu Ibu selalu bilang bahwa aku harus belajar pakai Higheels. Ibu bilang juga, seorang perempuan itu harus cantik! Harus bisa dandan dan merawat diri, harus bisa tampil feminin. Karena wanita mesti jadi penyejuk mata buat suami kelak. Ibu terus mengulang-ngulang nasehat itu sepanjang waktu dari aku umur belasan sampai duapuluhan karena Aku tidak pernah mau belajar memakai higheels. Aku terus menerus berjalan cepat tanpa kelembutan atau berlari-lari dengan sepatu sport. Hal sederhana yang sangat diperhatikan Ibu dan mengubah hidupku selanjutnya.  Sekarang, aku sudah bisa pakai higheels bu. Tapi, Aku jadi sedih mengingat, Kaki Ibu yang dioperasi berkali-kali itu belum bisa pakai sepatu apapun dalam waktu yang lama. :( 


Ibu juga prihatin kalau aku berjerawat. Ibu selalu sibuk memberikan tips-tips jitu pencegah jerawat yang tidak secara telaten aku ikuti. Mulai dari maskeran teratur sampai makan sayuran. Saran yang cukup sederhana dari seorang Ibu. Urusan perawatan fisik saja sulit sekali melaksanakannya. Padahal itu untuk kebaikanku sendiri, kenapa begitu berat? Apalagi untuk urusan moral, agama, hal-hal baik, belum semua aku laksanakan. Dan beberapa amanah, belum baik aku laksanakan. Maaf ya bu...

Aku mencintai mu bu. Nanti, aku akan berusaha mencari seseorang yang mencintaiku sekaligus mencintaimu supaya cinta ini paripurna. Separipurna cintamu padaku yang belum sempat aku balas.

Selamat Hari Ibu ya bu...
Dari Anak Keempat mu yang cerewet dan tidak pernah secantik dirimu

Syahar Banu

Rabu, 19 Desember 2012

Teman Baru yang Tidak Benar-Benar Baru Membawa Pengetahuan Baru


Beberapa hari yang lalu di tengah derasnya hujan dan dinginnya ruangan ber AC, aku berdiskusi dengan seorang mahasiswa Agama yang berkuliah di luar negeri. Sebenarnya aku belum pernah bertemu dengannya maupun berkomunikasi langsung sebelumnya dengan orang itu. Tapi kita saling mengetahui nama masing-masing begitu bertemu muka. Mungkin karena kita sudah berteman di Facebook sejak lama walau tanpa komunikasi apapun.

Saat itu ia sedang mengurus beberapa administrasi sehingga perlu pulang sebentar ke tanah air. Sedangkan aku ada di tempat itu karena sebuah pekerjaan yang harus aku kejar sampai tempat itu sambil berjumpa dengan seorang teman akrab. Topik kita saat itu macam-macam. Dari mulai politik, teman yang sama-sama kita kenal, filsafat, kebudayaan dan akhirnya kita membahas tentang sufisme.

Saat itu dia bertanya padaku, "Menurutmu, mungkin nggak orang kaya -dengan mobil dan hartanya berlimpah- serta punya istri banyak itu bisa jadi seorang sufi?"

Aku berfikir sebentar. Dilihat dari jenis pertanyaan dan caranya bertanya, jawabannya pasti mungkin. Karena aku pikir Ia akan berbicara ttg hal yang sering salah dimengerti oleh orang banyak dan Ia ingin memberitahuku argumentasinya. Walau sebenarnya tidak yakin dengan argumentasi dalam kepalaku sendiri tentang apa yang memungkinkan seorang bergelimang harta jadi sufi, lebih baik aku memberikan Ia kesempatan untuk menjelaskan. Saat itu aku menjawab dengan singkat dan nada yang menggantung, "Mungkin saja..."

"Iya, betul! Sangat mungkin orang tersebut jadi Sufi. Karena pada hakikatnya, saat Ia tidak memiliki keterikatan dengan hal-hal fana yang Ia punya, maka Ia bisa jadi seorang yang menempuh jalan sufi. Sufi kan tidak selalu memakai baju compang camping dan miskin."

Merasa berterimakasih atas pengetahuan baru itu, aku bercerita gantian padanya -cerita yang aku dapatkan juga dari orang lain-, "Ada kisah tentang seorang sufi yang suka mengenakan pakaian bagus dan mahal. Saat orang mempertanyakan hal tersebut padanya karena orang mengetahui bahwa Ia seorang penempuh jalan ruhani, Sufi yang berpakaian bagus itu menjawab 'aku memakai pakaian bagus dan mahal supaya orang-orang tidak akan pernah mengasihaniku'."

Pelajar itu diam sejenak dan berkata, "Cerita itu sangat dalam dan bermakna."

Aku senang mendengar cara Ia menghargai ceritaku. Aku menebak bahwa  Ia pernah mendengar cerita aslinya berserta tokoh dalam cerita yang sebenarnya bukan seorang sufi anonim. Hanya saja, kebiasaan burukku timbul. Aku sering lupa dengan nama-nama tokoh sehingga cerita itu terpaksa anonim.

Saat itu, hujan belum reda, pembicaraan kita belum benar-benar usai, tapi Taksi dan pekerjaan ku sudah menanti. Kita berpisah dengan salam dan lambaian tangan yang sangat singkat. Terimakasih teman baru yang sebenarnya sudah kenal lama :)