Tampilkan postingan dengan label mahasiswa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mahasiswa. Tampilkan semua postingan

Selasa, 23 September 2014

Melawan Intoleransi lewat Literasi Media

Ruangan kecil tanpa AC itu bukan masjid atau pura, namun kita harus melepas sepatu sebelum memasukinya. Menurut ingatan dan daya ukurku yang payah, ruangan itu berukuran sekitar 4x7 meter. Bagi "pemakan buku", tempat itu adalah salah satu potongan "surga" ilmu pengetahuan di kota Jogja jika dimanfaatkan dengan baik. Apalagi tidak perlu membayar sepeserpun untuk meminjamnya. Otak para pecinta buku akan dimanjakan dengan ribuan koleksi buku di sana. Aku sendiri merasa tak puas jika hanya sekali dua kali menelusuri deretan judul-judul buku yang tertera di sana dan bingung mau membaca yang mana dulu. Sebagian besar adalah buku cetakan lama yang sudah langka dan penting. Kadang ada satu dua orang yang mampir ke perpustakaan ini untuk mencari referensi ataupun sekedar membaca di tempat. Aku dan Alesia biasanya mesti berbagi meja dengan pengunjung perpustakaan, dengan tempat duduk di sekeliling meja menghadap atau membelakangi kaca depan yang dulu pernah dirusak massa intoleran saat diskusi bersama Irsyad Mandji dulu dilaksanakan. Dari kaca itu, kita bisa memandang pendopo LKiS, tempat diskusi yang biasanya dianggap "meresahkan" kelompok tertentu sehingga harus dijaga dengan ketat dengan intel dan kepolisian. 


Sebagian Rak Buku di Perpustakaan LKiS

Aku dan Alesia mendapat jatah magang Yayasan LKiS Yogyakarta selama 3 minggu. Saat itu, kami berdua belum begitu yakin kegiatan apa yang akan kami lakukan di LKiS. Pihak LKiS sendiri mengatakan bahwa yayasan sedang tidak memiliki kegiatan lagi sampai September. Kami berdua harus memikirkan apa yang harus kami lakukan selama 3 minggu di sini.

Aku meminati dunia jurnalistik, media, kebebasan beragama, politik dan HAM. Sebagai mahasiswa S1 Political Science untuk major dan Psychology di Haverford College US, Alesia meminati di politik, psikologi, kebebasan agama, dan HAM. Kami harus mencari sesuatu yang sama sesuai dengan minat kami berdua agar dapat bekerjasama dengan baik selama magang. 

“Ceritakan soal literasi media di Amerika.” tanyaku pada Alesia memulai pembicaraan di hari pertama magang kita.

Well, aku pikir kita di Amerika tidak menyebutnya secara khusus. Mungkin memang disebut literasi media di beberapa tempat, aku hanya akan mengatakan sesuai dengan pengalamanku. Dari SD kita sudah diajari untuk menulis, membaca, mengapresiasi dan mengkritik karya teman kita di kelas. Dimulai dari hal sederhana. Misalnya puisi, kemudian prosa, sampai di SMA, kita mulai mengkritisi jurnal ilmiah dan teori-teori lainnya. Tulisan-tulisan terbaik di sekolah hasil dari kelas bahasa itu kemudian diterbitkan dalam sebuah buku. Jadi setiap anak berlomba-lomba untuk membuat karya terbaiknya," Ia berhenti sejenak untuk mengikat rambut panjang hitam khas Meksikonya, "Saat aku berusia 13 tahun, sudah ada puisi karyaku hasil dari latihan menulis di sekolah yang diterbitkan bersama dengan banyak puisi lain yang sudah melewati seleksi ketat dan diseleksi.” lanjutnya dalam bahasa Inggris beraksen Amerika dengan ritme Spanyol yang cepat. 

Dari obrolan selanjutnya, kami merasa bahwa mengadakan lokakarya literasi media yang berbasis anti intoleransi sepertinya menarik. Mengingat bahwa di Indonesia, agama bukanlah ranah privat sampai-sampai kita harus mencantumkannya dalam kartu identitas. Alesia sempat tidak percaya bahwa di Indonesia, agama yang dianut warga negara juga sempat diwajibkan untuk tertulis di KTP, ia baru percaya setelah aku memperlihatkan KTP ku. Ia tetap beranggapan bahwa seharusnya negara tidak perlu tahu keyakinan paling privat warganya. Aku mengatakan bahwa kekerasan atas nama agama di Indonesia menempati urutan kedua terbanyak setelah konflik agraria. Kami berdua membaca berbagai artikel di internet dan menonton video kekerasan atas nama agama di Youtube. Fakta-fakta soal apa yang terjadi pada minoritas beragama di Indonesia membuatnya merinding. Ia membayangkan jika ia tinggal di Indonesia, pasti ia juga akan mengalami kesulitan-kesulitan beribadah dengan adanya larangan pendirian gereja. Aku menceritakan soal Pendeta Bennhard Maukar dari Kristen Pantekosta Rancaekek yang dipenjara 3 bulan karena dianggap punya gereja yang tak berizin. Sedangkan, mengurus perizinan gereja di wilayah mayoritas Islam itu susahnya minta ampun. Sebagai pengikut Kristen Pantekosta, Alesia jadi sedih mendengarnya. Ia jadi lebih merinding ketika aku menceritakan soal jemaat Ahmadiyah Lombok dan pengikut Syiah Sampang yang terusir dari kampung halamannya. Belum lagi yang terbunuh dan diintimidasi karena dianggap kafir.

Alesia Lujan-Hernandez adalah partner magang dan risetku di program ini. Dia bersama dengan 5 mahasiswa lain dari Amerika mengikuti program Summer School dari VIA (Volunteer in Asia) dan Haverford College Program,  6 mahasiswa dari Indonesia juga terpilih untuk mengikuti program ini bersama mereka untuk kelas pelatihan riset, magang dan kolaborasi riset selama 2 bulan di Yogyakarta. Kami ber-12 terbagi menjadi 6 grup magang yang masing-masing grupnya terdiri dari 2 orang. Di Program ini, ada 2 mahasiswa dari Haverford College, 4 mahasiswa dari Bryn Mawr College, 3 mahasiswa UGM, 2 mahasiswa Universitas Paramadina, dan 1 Mahasiswa dari UNIPA (Universitas Negeri Papua) di Papua Barat. 

Mas Hairul Salim, direktur Eksekutif Yayasan LKiS berkata pada kami berdua, “Di lantai atas ada ruang kosong yang bisa dipakai. Silakan kalau ingin membuat diskusi dan semacamnya. LKiS tidak punya kegiatan secara khusus sampai bulan September.”

Kami merasa tertantang mendengarnya. Bukankah menyenangkan jika bisa membuat sebuah kegiatan suka-suka kita dengan fasilitas lengkap?

Awalnya kami berpikir untuk membuat diskusi kecil seputar intoleransi dan literasi media. Tapi kami khawatir bahwa sebenarnya diskusi yang kami adakan hanya untuk orang-orang yang sudah setuju dengan isu anti intoleransi beragama. Kami tidak ingin menggelar sebuah diskusi yang hanya bicara dan didengar oleh umatnya sendiri. Kami ingin sesuatu yang saat didiskusikan menjadikan tema tersebut menjadi hal baru bagi peserta diskusi.

Aku dan Alesia memutuskan untuk membuat program Literasi Media ke Siswa SMA dengan dibantu pers mahasiswa dari kampus-kampus di Jogja sebagai mentor. Namun, sebelum itu, kami harus merumuskan, literasi media macam apa? Apa fokus utama kami? Bagaimana cara kami untuk dapat memperoleh daftar sekolah yang harus kami kunjungi? Aku dan Alesia tidak memiliki jaringan sekolah di Jogja. Selain itu, bagaimana dengan materi, sekolah dan pelatihan literasi dapat diwujudkan dalam waktu 3 minggu sedangkan waktu liburan sekolah karena libur nasional bulan Ramadhan untuk siswa mengejar di belakang kami?

Yang pertama kami lakukan adalah membuat linikala dan list to do, apa saja hal yang harus kami lakukan dalam minggu pertama, minggu kedua, dan minggu terakhir. Jadwal yang kami buat membuat kami sendiri kerepotan hingga kami harus berangkat sangat pagi ke LKiS untuk magang dan baru pulang saat sore hari. Sambil bercanda, di tengah kelelahan kami mempersiapkan segalanya, Alesia berkata, "Banu, we took this internship too seriously." Aku terkekeh, kami berdua memang selalu pulang paling akhir dan berlagak sok sibuk diantara teman-teman yang magang di LSM lainnya. Apalagi ketika Izzy Roads, direktur VIA Program mengirimi kami inbox lewat Facebook yang isinya meminta materi literasi media kami untuk teman-temannya di Burma yang mengakibatkan kematian hanya karena beredarnya berita palsu yang disebarkan lewat facebook tentang Mandalay. Padahal saat itu, materi kami belum sepenuhnya siap dan isinya hanya relevan untuk Indonesia.

Rencana kami, minggu pertama adalah membuat materi literasi media, menghubungi pers mahasiswa mana saja yang bisa diajak kerjasama, mencari SMA, Training of Trainer (ToT) dengan para pers mahasiswa dan sebagainya.

Beruntunglah, Mas Salim mengajak aku dan Alesia untuk datang ke seminar yang pesertanya ternyata guru agama dari SMA se Yogyakarta yang diadakan oleh Kementerian agama. Usai seminar itu,  aku mengumumkan akan mengadakan pelatihan literasi media yang berbasis anti intoleransi. 4 guru agama  dari SMA yang berbeda menghubungi kami untuk mengikut sertakan sekolahnya dalam lokakarya literasi media. Lucunya, sebagian besar dari mereka tidak tahu literasi media itu artinya apa. Saat itu aku juga kesulitan untuk menjelaskan dengan kalimat yang singkat lokakarya yang akan kami adakan karena materinya juga belum siap. Sedangkan Alesia tidak bisa bahasa Indonesia sehingga menghambat dirinya dalam menjelaskan secara detail kepada guru SMA yang bertanya langsung padanya. 

Untunglah, para guru tersebut tak butuh penjelasan yang terlalu rinci saat itu juga. Mereka mendaftarkan sekolahnya dalam lokakarya ini karena mereka senang apapun yang membuat para muridnya maju. Aku jadi terharu karena menemui PNS yang mau bekerja dengan maksimal demi siswanya. Selama ini aku sering memandang sebelah mata para PNS yang bekerja asal-asalan dengan gaji tetap beserta berbagai keuntungan pensiuan dan gadai SK di bank. 

Aku dan Alesia mencoret list to do mencari sekolah. Kami sudah berhasil mendapatkan SMA 1 Piri, SMK 2 PI Ambarukmo, SMAN 1 Kalasan, dan SMAN 2 Wates sebagai daftar sekolah yang akan kami beri materi lokakarya literasi media. Kami menuliskan daftar SMA tersebut untuk dikunjungi sebelum lokakarya berlangsung di minggu kedua to do list karena kami perlu memastikan ada fasilitas yang kami perlukan beserta berbagai berbagai kesepakatan lainnya.

Selanjutnya kami menghubungi pers mahasiswa. Mas Wisnu Prasetyo, seorang teman yang jadi alumni Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Balairung UGM memberikan koneksi untuk dapat berhubungan dengan pengurus yang sekarang. Seorang teman dari twitter memberikan kontak Pers Mahasiswa Ekspresi UNY yang beberapa waktu lalu tabloidnya sempat dibredel rektor. Lewat koneksi LKiS, kami mendapatkan kontak ke LPM Arena UIN Yogyakarta. Setelah kontak berlangsung lewat SMS, dan sempat berkunjung, yang dipastikan bisa mengikuti ToT adalah LPM Balairung dan LPM Arena. LPM Ekspresi sedang sibuk menyiapkan materi majalah dan beberapa anggotanya masih KKN. Kami mengerti dengan kesibukan mereka.

Di jadwal kami, sudah tertera akhir pekan minggu pertama kami adalah ToT untuk teman-teman LPM. Kami menekankan bahwa di sini kami tidak ingin menjadi guru, tapi mau belajar bersama. Tentu saja sangat kikuk mengajar literasi media di depan mahasiswa yang sehari-hari sudah bergelut seputar media. Sehingga mungkin saja akan ada banyak koreksi dan itu adalah hal baik. 

Rasanya hari berjalan terlalu cepat. Sampai hari kamis minggu pertama, kami belum selesai menyelesaikan materi presentasi. Kami juga menyiapkan jadwal dan isu-isu yang akan dibahas di lokakarya. Untuk menyusun itu semua, kami harus begadang sampai akhir pekan.

Aku membuat materi seputar 9 elemen jurnalisme dari buku karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Sedangkan Alesia membuat materi yang diambil dari buku Verification Handbook karya banyak jurnalis dari media internasional yang bisa diunduh di sini. Sedangkan presentasi yang dibuat oleh Alesia bisa diunduh di sini.

Pada hari Training of Trainer, sekitar 15 orang dari 2 Pers Mahasiswa Balairung UGM dan Arena UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta datang. Karena agak nervous berbicara soal media di depan awak media juga, kami berkali-kali meminta saran maupun koreksi teman-teman LPM jika ada yang keliru dari presentasi yang kami sampaikan.

Alesia mengawali workshop Literasi Media dengan Identity walk games dengan menggunakan bahasa Inggris. Aku menerjemahkan apa yang dia katakan dan apa yang peserta sampaikan padanya. Materi Identity walk yang tujuannya untuk mempraktekkan bagaimana bias media bekerja. Materi Identity walk ini bisa diunduh di sini.

Mas Hairul Salim membantu kami mengisi materi terakhir, praktik verifikasi pemberitaan di media lewat fasilitas google image.

Intellectual Social Responsibility (ISR), bukan Volunteering
Saat mempersiapkan teman-teman pers mahasiswa untuk menjadi trainer, aku menjelaskan kepada mereka bahwa menjadi trainer dalam literasi media ini bukanlah kegiatan volunteering biasa seperti kebanyakan gerakan lain. Apalagi, saat ini ada banyak orang melakukan kegiatan volunteering dengan setengah hati. Maksudnya, kebanyakan kegiatan volunteering saat ini dijalankan dengan tidak konsisten. Karena pelaksanaannya hanya didasarkan sesuai dengan waktu yang seadanya dengan kemauan yang naik turun sesuai dengan kepentingan dan kesempatan ala kadarnya. Jika ada waktu dan sesuai mood, maka sebuah program akan dijalankan. Jika tidak ada mood dan waktu, maka tanpa beban apapun sebuah program akan ditinggalkan.

Bayangkan apabila atmosfer volunteering ala kadarnya ini benar-benar diterapkan oleh banyak orang, konsistensi gerakan akan terhambat. Menurutku, tanggung jawab terhadap gerakan bukan didasarkan pada rasa senang semata ataupun iseng-iseng berhadiah. Gerakan adalah sebuah tanggung jawab sosial yang harus dimiliki oleh orang-orang yang sudah memiliki kesadaran dari dirinya sendiri untuk menggerakkan. Orang tersebut sudah memiliki bekal dalam hal intellectual sehingga gerakan adalah konsekuensi logis perjalanan intelektual dan spiritualnya. Aku menamakan gerakan ini sebagai Intellectual Social Responsibility (IRS). Orang hanya perlu mengaktualkan kesadaran dirinya sendiri kemudian melakukan gerakan untuk menularkan tren kesadaran tersebut kepada orang lain. Orang yang belum merasa memiliki tanggung jawab sosial tidak perlu ikut andil dalam gerakan karena justru akan menghambat pergerakan itu sendiri.

Awalnya, gerakan literasi media ini menggandeng LLPM dari kampus di Yogya karena aku dan Alesia berharap bahwa setelah aku kembali ke Jakarta dan Alesia kembali ke Amerika, akan tetap ada mahasiswa-mahasiswa yang memberikan pelatihan literasi media yang berbasis kebebasan dan kerukunan beragama di SMA se-Yogya. Sayang sekali, mahasiswa UGM sedang sibuk-sibuknya KKN (Kuliah Kerja Nyata) sehingga tidak dapat menjadi trainer literasi media untuk SMA.

Yang membantu kami adalah 2 orang anggota pers mahasiswa dari LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Arena UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mereka bernama Lugas dan Faksi. Lugas adalah Pemimpin Redaksi LPM Arena. Dia lelaki tinggi berwajah manis dengan rambut panjang bergelombang yang tampak pendiam dan cerdas. Selera musiknya juga bagus, ia memberikan rekomendasi musik beraliran Postrock dari youtube yang menjadi musik favorit Alesia menjelang tidur. Sampai hari terakhir di Jogja, Alesia masih tidur sambil menyetel Youtube channel rekomendasi Lugas. How Cute! Faksi adalah anggota LPM Arena yang asalnya dari Madura, Faksi juga manis kok, rambutnya pendek dan sering mengatakan hal-hal lucu di luar dugaan. Sekalipun dia tidak bisa bahasa Inggris dengan lancar, dia selalu berusaha mengajak Alesia bicara dan menceritakan hal-hal yang dianggapnya lucu. Alesia sering bertanya padaku diam-diam, "Dia tadi nyeritain apa sih sebenarnya? Apakah itu benar-benar lucu?" Kami juga sering memainkan namanya dengan ejaan 'Fuck See' alih-alih Faksi sambil bercanda. Saat aku bertanya pada Faksi soal nasib pengikut Syiah Sampang yang terusir dari desanya, Faksi buru-buru membantah keterlibatan dirinya dengan kelompok intoleran di sana. Aku dan Alesia senang bahwa akhirnya kami dibantu oleh 2 orang yang memiliki kepedulian yang sama di bidang kebebasam beragama dan anti intoleransi.

Lokakarya di 4 SMA
Kami melakukan banyak revisi soal materi yang harus diberikan pada siswa SMA. Materi itu berbeda dengan materi ToT. Kami tidak lagi menggunakan presentasi Verification Handbook karena keterbatan waktu yang disediakan sekolah. Kami juga masih menggunakan Identity Walk Games di awal lokakarya.

Lugas dan Faksi belum bergabung menjadi mentor di SMA pertama yang kami kunjungi.

Sekolah pertama yang kami kunjungi adalah SMA 1 Piri. Dikutip sepenuhnya dari laman resmi  SMA PIRI 1, berdirinya SMA PIRI 1 Yogyakarta tidak dapat lepas dari keberadaan Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) Yogyakarta, yang lahir dari Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) aliran Lahore yang diprakarsai oleh H. Minhadjurrahman Djojosugito. Yang kemudian beliau disebut sebagai Peletak dasar Yayasan PIRI. Sekitar 25an siswa anggota OSIS mengikuti lokakarya kami.

Aku dan Alesia juga belum menjadi pengajar yang baik saat itu. Ada banyak evaluasi dalam hal metode dan materi yang kami lakukan setelahnya. Misalnya, bagaimana caranya menghadapi siswa menolak berbicara di kelas? Bagaimana caranya menghidupkan interaksi di kelas? Bagaimana caranya supaya Alesia yang tidak bisa bahasa Indonesia tetap dapat berkomunikasi aktif dengan siswa dan memahami celotehan siswa di kelas? Bagaimana supaya suasana yang kami bangun tidak terlalu formal? Bu Anis, guru Agama yang mengundang kami ke sana menceritakan tentang beberapa siswa dengan latar belakang yang beragam dan menarik. Kami jadi mengerti mengapa respon siswa terhadap kehadiran kami masih sangat malu-malu.

Karena sulitnya menyesuaikan jadwal sekolah yang mulai liburan kenaikan kelas sekaligus libur bulan Ramadhan, aku dan Alesia akhirnya mengajar literasi media secara terpisah. Aku ditemani Lugas ke SMK PI Ambarukmo, sedangkan Alesia dan Faksi ke SMAN 1 Kalasan yang lokasinya dekat dengan Candi Prambanan. 

Di SMK PI Ambarukmo, pada awal pertemuan, peserta lokakarya literasi media yang mengikuti kelas kami ada sekitar 25 orang termasuk dengan mahasiswa keguruan yang sedang KKN di SMK tersebut. Namun, setelah istirahat shalat Jumat, peserta lokakarya berkurang drastis hingga hanya tersisa 15 orang. Aku dan Lugas tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk menyikapi hilangnya beberapa peserta lokakarya selain melanjutkan materi selanjutnya. Di akhir lokakarya, kami mengobrol dengan Pak Sa’dun guru Agama SMK PI Ambarukmo yang mengundang kami datang. Kami terkesan dengan pandangan-pandangannya soal kerukunan umat beragama yang dia tanamkan pada siswanya selama ini. Dia selalu berharap dengan literasi media berbasis anti intoleransi ini, siswa-siswanya tidak hanya memperoleh materi yang itu-itu saja ala pelajaran SMK, tapi juga bisa mendapatkan wawasan lain yang membuat siswa hidup rukun antar umat beragama.

Di SMAN 1 Kalasan, Alesia dibantu oleh guru bahasa Inggris untuk menerjemahkan apa yang ingin dia ajarkan karena Faksi merasa kesulitan untuk menerjemahkan bahasa Inggris Alesia yang pengucapannya sangat cepat. Pak Samijo, Guru Agama Katolik di sekolah itu menjelaskan pada Alesia dan Faksi, peserta lokakarya yang mereka ajar adalah siswa Kristen dan Katolik yang tidak mengikuti pesantren kilat Ramadhan di sekolah. Sehingga ada siswa muslim di kelas saat itu.

Lokasi lokakarya terakhir kami adalah SMAN 2 Wates. Kali ini kami berlima, aku, Alesia, Lugas, Faksi dan ditemani oleh Mas Hairul Salim. Wates masuk dalam kabupaten Kulon Progo DIY, lokasinya sangat jauh dari pusat kota. Kami datang terlambat karena sempat salah jalan. Anggota OSIS dan mahasiswa magang yang KKN di sana tampak lebih antusias mengikuti kegiatan ini dibanding sekolah-sekolah sebelumnya. SMA ini dulunya adalah SMA standar internasional yang biasa menerima pertukaran pelajar dari luar negeri. Ketika sekolah standar internasional dihapuskan, SMA ini tetap menjadi sekolah favorit lulusan SMP. Baik mahasiswa keguruan dan siswa berinteraksi dengan aktif di kelas. 

Foto Bersama Usai Lokakarya di SMA 2 Wates
Lugas membantu kami mengedit dan menerjemahkan diagram soal posting atau tidak posting di Facebook sebagai salah satu materi dalam literasi media di kelas. Edisi bahasa Inggrisnya bisa dilihat di sini, sedangkan edisi bahasa Indonesianya bisa dilihat di sini.

Awalnya, kami ingin kembali ke 4 sekolah itu untuk melakukan riset etnografi dengan metode partisipasi observasi, kuesioner dan wawancara soal pemahaman literasi media dan dampaknya terhadap interaksi antar umat beragama. Namun, semua sekolah terlanjur libur Ramadhan sehingga aku dan Alesia terpaksa mencari cara lainnya untuk mendapatkan research participant. Memang, saat kami berkunjung ke 4 SMA itu, status kami masih magang di Yayasan LKiS. Penelitiannya belum dimulai. Sehingga lokakarya dan penelitian tidak dapat dijalankan secara bersamaan saat itu juga.

Target kami dalam literasi media adalah membuat siswa dapat berpikir kritis dalam menerima informasi apapun. Dengan pemahaman yang baik mengenai media, siswa akan bersikap skeptis dan mencari alternatif informasi sehingga tidak mudah terprovokasi oleh pemberitaan media yang tidak berimbang apalagi dalam kaitannya dengan pemberitaan soal keagamaan di media massa. Mereka diharapkan dapat membuat berita sendiri dengan prinsip-prinsip sederhana dalam jurnalistik.

Karena belum berhasil membentuk komunitas literasi media di Yogya, dari awal kami ingin membagikan materi literasi media yang sudah direvisi sebelumnya. Materi ini sifatnya copyleft, siapapun boleh menggunakannya secara bebas, mengunduh maupun memodifikasinya sesuai dengan kepentingan masing-masing pengajar. Bahkan tidak menyertakan nama pembuatnya tidak apa-apa, tapi aku menyarankan sebaiknya mencantumkan nama pembuat materinya agar kesalahan dalam materi bisa menjadi tanggung jawab kami.

Beritahu juga jika ada komentar maupun saran agar materi literasi media ini lebih efektif untuk diajarkan terutama kepada siswa SMA atau komunitas lainnya. Berikut tautan materi presentasi literasi medianya berbasis kerukunan beragama. Dropboxnya harus di download ya supaya videonya bisa dimainkan Jika ingin membuat lokakarya serupa, kami juga membagikan instrumen praktek literasi media yang masih sangat perlu direvisi. Untuk sesi ini, pengajar literasi media memilih 2 berita dengan topik sama tapi dengan framing pemberitaan yang berbeda dan membedahnya secara kritis. Selain itu, kami juga menyertakan contoh proposal permohonan ijin pengajaran literasi media untuk diberikan ke sekolah, silakan download di sini.

Membuat lokakarya literasi media dalam waktu singkat itu tidak mudah, tapi itu juga bukan sesuatu yang mustahil dilakukan.

Teman-teman juga bisa berdiskusi lebih lanjut soal literasi media dan kaitannya dengan gerakan anti intoleransi beragama denganku via email syaharbanu.ayu@gmail.com. 

Selasa, 01 Oktober 2013

Guru : Antara Si Pengemban Tugas Kenabian dan Si Pendikte

Socrates pernah berkata pada murid-muridnya, "Aku tidak dapat membuat semua orang mengetahui segalanya, aku hanya dapat membuat mereka berfikir."

Selama aku hidup, selalu ada sosok guru yang membuatku belajar bagaimana caranya mempelajari sesuatu dan menemukan alasan kenapa aku harus mempelajari hal tersebut. Kadang juga, dengan sangat menyebalkan, aku akan bertemu dengan seorang guru yang hanya membutuhkan kehadiran kita sehingga dengan malas, aku akan memaksa diriku untuk tergopoh-gopoh masuk ke kelasnya dan menahan kantuk sisa begadang semalam.

Bagiku, seorang guru yang baik bukanlah yang dapat menjawab semua pertanyaan muridnya dan meminta kita menghafal berderet penuh mantra asing yang tidak kita ketahui kenapa itu begitu penting.

Guru, di dalam pikiran ideal ku adalah seseorang yang bisa membuat kita memiliki kesadaran untuk lebih banyak belajar dan berfikir. 

Guru itu memiliki tugas seperti para nabi, yaitu seseorang yang memberikan petunjuk dan menyampaikan. Guru mengajarkan bagaimana cara berfikir untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita. Sehingga kita tidak perlu bertanya ttg pertanyaan partikuler dan remeh-temeh ke guru kita. Tidak mungkin kita menghabisakan waktu seorang Guru dengan pertanyaan, "Apakah jika bertamu, sebaiknya sendal kita sisihkan ke sebelah kanan atau kiri pintu supaya lebih afdol??" Tentu saja, pertanyaan remeh temeh itu, seharusnya membuat jengkel seseorang yang memiliki pengetahuan mendalam namun dengan terpaksa harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan sepele. 

Kebanyakan guru, hanya menyuruh manusia yang dihadapannya untuk belajar tanpa membuat para insan pembelajar memiliki kesadaran kenapa kita butuh mempelajari hal tersebut. Sebagian guru lainnya, membebani manusia didikannya tentang mantra-mantra asing yang harus dihafal tanpa memberikan celah bagi kita untuk menganalisa mengapa mantra tersebut penting dan relevan untuk kehidupan kita.

Pak Munif benar, guru harus bisa memperlakukan kita seperti manusia. Bukan seperti mesin yang harus patuh terhadap manual book  yang ada di dalam kardus sebuah mesin. Atau, dalam arti lain, manusia itu bukan mesin yang bisa diperlakukan hanya dengan tahap tertentu. Tidak bisa, hanya dengan memencet tombol on, bisa langsung on.

Aku tahu seharusnya semangat belajar ku tidak redup hanya karena barangkali aku kurang cocok dengan caranya mengajar, Semangat seharusnya adalah sebuah elemen terpisah dari kesiapaan . Iya, seharusnya begitu. Tapi akhirnya aku tunduk pada emosi ku. Aku tidak dapat mengingat apapun yang Ia ucapkan. Padahal itu bukanlah sebuah mantra yang teramat sulit. Itu mantra biasa saja. Seharusnya tinggal merapal mantra itu di ujian, tanpa peduli seberapa ampuhnya mantra itu, aku bisa lulus. Aku hanya tidak menemukan alasan, kenapa aku membutuhkan deretan teks ini. Jika aku membutuhkan, mengapa aku tidak tehu mengapa mantra yang satu ini, mengapa bukan mantra yang lain? Jika aku tidak membutuhkan, mengapa aku bisa memilih untuk terkurung di sini bersama seseorang yang menyebalkan dan mengklaim diri sebagai guruku padahal aku tidak pernah belajar apapun darinya? Aku tidak pernah memilihnya. Aku terpaksa bersama nya karena sistem yang ada mengaturku sedemikian rupa. 

Bagaimana jika mantra itu ternyata -di luar pengetahuan ku- benar-benar sakti? Padahal aku terlanjur merapal mantra itu dengan malas-malasan tanpa menyertai jiwa ku di dalamnya? Bagaimana jika mantra itu tanpa aku sadari justru berbalik mengenai kepalaku sendiri? Memantrai semua yang ada di otakku dan semua hal yang tersimpan di dalamnya sehingga semua hal jadi begitu memuakkan seperti perasaan ku atas mantra yang tidak tahu kenapa harus aku hafal.

Akhirnya aku harus berdamai dengan argumen yang ada di kepalaku. Guru meminta aku untuk jadi mesin yang memberikan jawaban kapanpun dia mau dan ada di ruangannya kapanpun. Sekalipun aku harus berada di sana adalah sebuah aturan yang diluar kuasaku -bukan pilihanku-. Barangkali di ruang itu aku harus belajar memahami bagaimana menjaga perasaan seorang pintar yang berharap di dengar. Atau barangkali ini merupakan sebuah siasat dari kepala guru untuk membuatku tahu arti pengendalian diri agar serta merta tidak merusak apapun yang tidak aku sukai. 

Apapun itu, kelak aku juga akan tahu maknanya. Atau, aku mesti berusaha keras agar aku tidak menganggap "penjara" ini sia-sia.

Rabu, 18 September 2013

Tipe-Tipe Mahasiswa Berdasarkan Aktivitasnya

Kalau kamu menganggap semua mahasiswa itu sama saja. Anggapan kamu salah besar! Mahasiswa itu berbeda-beda jenisnya. Nih dikasih tau, jenisnya apa aja.

Tipe Kupu-Kupu
Mahasiswa ini selalu hadir di kelas. Jarang nitip absen. Tapi begitu dia keluar kelas, dia langsung menghilang. Aktivitasnya ya kuliah-pulang-kuliah-pulang. Nggak heran kalau dia nggak banyak dikenal sama junior, senior ataupun yang beda jurusan. Dia langsung ngilang bagai ninja begitu kelas bubar. Bisa jadi dia buru-buru pulang karena mesti ngurusin kucing-kucingnya di rumah atau emang nurut sama pesan mama yang nyuruh langsung pulang tiap habis kuliah. Eh, Tapi bisa juga sih karena dia harus langsung kerja begitu kelar jam kuliah.

Tipe Kunang Kunang
Mahasiswa jenis ini menguasai tempat-tempat nongkrong di kampus atau Mall. Biasanya waktu yang dihabiskan buat nongkrong itu lebih banyak dari waktu kuliah ataupun waktu ngerjain tugasnya. Aktivitasnya ya Kuliah-Nangkring-Kuliah-Nangkring. Biasanya mahasiswa kunang-kunang sering merasa jadi mahasiswa paling gaul dan eksis di kampus. Trus tipe ini juga gampang dapet pacar. Karena banyak dikenal orang dan punya daerah kekuasaan pos di titik-titik tertentu.

Tipe Aktivis Mahasiswa
Kegiatannya seputar organisasi. Dia bisa aja ada di kampus sampai tengah malam buat ngurusin organisasi atau sekedar ngobrol yang topiknya nggak jauh-jauh dari hal yang berbau politik. Kadang pas moment-moment tertentu mereka juga demo. Biasanya, mereka juga kritis dan nggak takut buat ngasih kritik ke manapun, ke siapapun. Mereka lah yang menguasai jabatan di organisasi kampus. Biasanya mahasiswa kayak gini lulusnya lama dan kalau kuliah pagi sering dateng telat. Soalnya mereka sering begadang buat rapat-rapat.

Tipe Aktivis Lomba dan Kontes
Jangan heran kalau tiba-tiba orang yang biasanya ngak pernah nyapa ngajak chat di Facebook dan ngasih link, “vote aku ya, Klik like page dulu, trus buka foto blablabla”. Atau dia tiba-tiba upload foto di sosmed dan bilang, “Mohon doanya, dukung saya jadi Putri blablabla”. Aktifitas nya, ya googling tentang lomba dan kontes apa aja yang bisa diikutin. Dari mulai kontes nulis, fotografi, bikin video, sampai ikutan ajang putri-putrian.

Tipe Banci Konferensi
Jangan heran kalau hari ini dia ada di kelas, tapi besoknya tau-tau dia ada di luar negeri atau luar kota. Misalnya nih, hari ini dia ada di Norwegia buat jadi pembicara di seminar tingkat dunia yang membicarakan tentang punahnya naga Norwegia akibat pemanasan global. Trus sebulan kemudian, dia ada di Yunani buat jadi peserta konferensi pemuda peduli Socrates. Tipe ini sangat menginspirasi generasi muda karena dia jadi kayak leader muda yang sering jadi delegasi Indonesia. O iya, bisa jadi dia juga menjelma jadi sosok populer karena sering bikin orang envy liat dia jalan-jalan ke luar negeri mulu. Aktivitas dia adalah ikutan call for paper, bolak-balik kedutaan negara tujuan buat bikin visa, browsing info konferensi internasional, cek harga tiket pesawat dan bikin proposal sponsorship buat perusahaan-perusahaan potensial yang mau biayain dia ke luar negeri.

Tipe Seleb
Kalau kuliah di Jakarta, kita akan terbiasa liat artis yang biasa kita liat di TV nongol di kampus kita jadi mahasiswa. Tipe kayak gini, sekalipun dia sering mangkir kelas dan jarang dateng ke kampus karena mesti syuting, show, manggung, dll, dia tetep aja punya temen deket yang bisa diandalin buat nanya-nanya kalau pas ada tugas atau ujian. Selalu ada di dunia ini, orang-orang yang seneng punya temen dari kalangan artis. Makanya, kalau kamu udah ngerasa jadi orang baik, cakep, tajir, tapi tetep nggak punya temen, jadi artis aja gih. "Terus, Kalau udah jadi artis tapi tetep nggak punya temen gimana?" Kamu nggak perlu bikin Video di youtube dan bilang, "Buat temen-temen SD gue.., Buat temen-temen kampung gue... Buat...blablabla..." Please, nggak usah gitu ya. Selama masih ada SNSD, hidup akan terasa begitu indah, berwarna, dan semua orang bahagia.

Apalagi kalau Seleb nya kayak gini
(Sumber gambar : wewantkpop.com)
Tipe Diskusi dan Pendebat
Dia ini sering dateng ke acara-acara diskusi apa aja. Dia bisa nguasain banyak topik. Mulai filsafat, politik, agama, seni dan barangkali topik yang nggak kamu pikirkan sebelumnya. Tipe orang kayak gini sering keliatan menonjol di forum-forum karena terbiasa ngomong dan menguasai wacana. Kalau kamu tipe orang yang nggak suka diskusi atau debat, mending jauh-jauh deh. Bisa panjang urusan soalnya. Tipe diskusi dan pendebat ini seringkali bisa muncul sepaket sama tipe aktivis mahasiswa.

Tipe Mahasiswa Misterius
Dia tampak seperti mahasiswa biasa yang dateng ke kampus. Tapi, kita semua nggak tau pas dia ke kampus aktifitasnya apaan. Barangkali dia adalah seorang agen intelegen yang lagi undercover dan sedang menjalankan sebuah konspirasi. Atau barangkali dia adalah seorang hacker hebat, bisa juga dia ini sebenarnya bukan manusia, melainkan alien yang menyamar sebagai mahasiswa Ya namanya aja misterius. Siapa sih yang tau dia ngapain aja. Barangkali Vicky ex Zaskia gotik tu masuk tipe ini karena sampai sekarang, kita sungguh tidak mengetahui mahasiswa macam apa dia. Ada yang tau pas jaman dia masih mahasiswa dia jurusan apa, kuliah dimana, ikut kelas apa aja? Ngakunya sih kuliah di luar negeri gitu soalnya.

Begitulah tipe-tipe mahasiswa. Kamu tipe mahasiswa kayak apa? Ada tipe yang belum disebutin? Share donk.

Kamis, 29 November 2012

Kontroversi Euthanasia dalam Etika Islam*


Menurut istilah kedokteran Euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan atau mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kemaatiannya. Salah satu jalan untuk melakukan tindakan medis Euthanasia adalah lewat jalur suntikan. Sedangkan Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa yunani “eu” yang berarti baik, dan thanatos yang berarti kematian. Dalam bahasa arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau tasyir al-maut.

Beberapa pendapat mengatakan bahwa Euthanasia adalah solusi terbaik yang dapat diberikan pada pasien untuk meringankan beban dari penyakit yang tidak dapat di sembuhkan oleh dokter atau digunakan pada pasien yang tidak memiliki harapan hidup lagi. Namun hal ini menjadi kontroversi tersendiri karena ada yang menyebut juga bahwa Euthanasia termasuk pembunuhan berencana yang ilegal.

Kontroversi mengenai Euthanasia ini tidak hanya terjadi di negara teokrasi yang mempertimbangkan dalil-dalil dari kitab suci, namun juga menjadi polemik di negara-negara yang sekuler dan negara non agama yang mempertimbangkan sisi humanisme dan etika sosial pada umumnya. Sehingga tiap negara memiliki aturan tersendiri mengenai Euthanasia. Negara yang melegalkan Euthanasia adalah Belanda, Swiss, Belgia, dan beberapa negara bagian Amerika seperti Oregon. Beberapa negara seperti Jepang dan Korea bahkan tidak menerapkan hukum tersebut secara tegas. Indonesia, Sebagian besar negara bagian Amerika, China, Inggris, dan India adalah negara yang melarang tindakan Euthanasia dan dengan tegas menganggapnya ilegal secara undang-undang.

Contoh kasus kontroversi tentang Euthanasia yang baru saja terjadi adalah kasus Tony Nicklinson. Ia adalah seorang warga negara Inggris yang pada bulan September lalu berbicara pada media mengenai hak nya untuk mati lewat jalur Euthanasia. Sebenarnya Tony tidak dalam keadaan tidak berdaya. Hanya saja, stroke yang menyerangnya 6 tahun lalu telah melumpuhkannya. Sekarang Ia hanya dapat mengontrol matanya dan dengan kesadaran diri dan tidak dapat memaksimalkan fungsi otaknya untuk dapat memberikan perintah pada anggota badannya yang lain untuk bergerak. Ia dapat berkomunikasi dengan Istrinya, Jane Nicklinson lewat sebuah papan yang berisi kata-kata, kemudian Tony akan mengoreksi deretan kata-kata tersebut lewat lirikan mata. Lewat cara itulah, Tony mengemukakan hak nya untuk mati dengan cara yang dipilihnya sendiri karena dokter telah megatakan bahwa tidak ada lagi harapan baginya untuk sembuh. Sehingga Euthanasia dianggap sebagai solusi dari semua penderitaan fisik yang di derita olehnya. Namun hukum pemerintahan yang berlaku di sana belum melegalkan Euthanasia.

Dalam kasus Tony Nicklinson diatas, sekalipun Inggris adalah negara barat sekuler, permintaan Euthanasia tidak serta merta diberikan begitu saja. Ada pertimbangan-pertimbangan lain di sisi hukum, kemanusiaan, kesehatan dan beberapa orang yang mengikuti perkembangan kasus tersebut juga mempertimbangkan sisi agama. Sampai sekarang, Tony masih memperjuangkan keyakinannya bahwa Euthanasia adalah jalan terbaik yang dapat Ia tempuh untuk mengurangi beban rasa sakit yang Ia rasakan dan beban bagi keluarga yang telah susah payah merawatnya saat sakit.

Di dalam negara yang tidak sekuler seperti Iran dan beberapa negara Arab seperti Arab saudi, mesir dan sekitarnya, Euthanasia hukumnya haram karena dianggap sebagai tindakan pembunuhan. Ada sebuah penelitian yang ditulis dalam sebuah jurnal kesehatan oleh dua orang peneliti bernama  Kiarash Aramesh and Heydar Shadi dari Medical Ethics and History of Medicine Research Center, Medical Sciences dan diterbitkan oleh University of Tehran, Iran. Mereka mengatakan bahwa Euthanasia tidak dapat dibenarkan secara hukum dan agama karena berarti sama dengan pembunuhan.

Pertimbangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertimbangan dari sisi Al Quran sebagai sumber dari segala hukum Islam, Fatwa Ulama, dan Kode Etik Islam dalam dunia kesehatan.

Dalam surat Al Isra ayat 33 Allah berfirman “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.”

Surat al Maidah ayat 32, “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain , atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.”

Ayat-ayat tentang larangan pembunuhan ini menjadi dasar hukum awal mengapa Euthanasia dilarang dan hukumnya haram.

Sedangkan dari sisi Fatwa, ulama besar Ahlussunsah (beberapa orang menyebutnya wahabi) dari Saudi Arabia Shaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Sheikh Bin Baz mengatakan bahwa menghilangkan nyawa seseorang sebelum dia benar-benar mati tidak dapat dibenarkan dalam keadaan apapun. Tidak ada yang berhak mengambil sebuah nyawa manusia selain Allah.

Syekh Yusuf Al Qordowi, Ulama Mesir menyatakan bahwa Euthanasia tidak dapat dibenarkan. Namun menghentikan pengobatan medis karena tidak ada lagi harapan untuk hidup dapat dibenarkan. Sedangkan Dr, Muzammi Siddiqi dari Amerika Utara mengatakan bahwa apabila pasien sudah sangat parah dan tidak ada harapan hidup lagi, alangkah tidak bijak apabila seorang dokter memberikan tindakan Euthanasia. Tapi biarlah pasien tersebut meninggal secara alami.

Dari sisi Fatwa hukum mazhab Syiah, Ayatullah Ali Khamenei dan Ayatullah Nuri Hamedani memfatwakan bahwa Euthanasia dengan alasan apapun adalah haram dan tidak dapat dibenarkan.

Euthanasia di sisi kedokteran sudah diperbincangkan dunia sejak dahulu kala dan menjadi kontroversi dimana-mana karena berkaitan dengan masalah etika, hukum sosial dan pandangan agama. Misalnya dalam Deklarasi Lisabon Kuwait tahun 1981, Euthanasia secara kemanusiaan tidak dapat di benarkan. Dokter tidak mudah melakukannya karena di satu sisi para dokter di tuntut untuk meringankan beban pasien. Selain itu, kode etik kedokteran juga melarang seorang dokter untuk menghilangkan nyawa pasien.

Dari semua pertimbangan diatas, Euthanasia secara etika hukumnya haram atau tidak sesuai dengan etika Islam. Apabila pasien sudah sangat parah tanpa harapan hidup, menghabiskan biaya dan tenaga keluarga, maka mungkin jalur yang di tempuh sebagai solusi adalah menghentikan tindakan medis dan membiarkan pasien meninggal secara alami. Bukan di percepat kematiannya. Namun terlebih dahulu, dokter harus memaksimalkan tindakan pengobatan terlebih dahulu dan lewat kesepakatan dengan keluarga pasien. Hal ini ditempuh agar tidak ada yang merasa dirugikan dengan keputusan yang diambil. 

)* Di presentasikan dalam Mata Kuliah Etika Islam tanggal 29 November 2012.
Dosen : Aan Rukmana

Sabtu, 23 Juni 2012

Kegalauan Pacar


Isi Diary Cewek 


Kemarin pacar pinjem HP buat SMSan. Kebetulan ada SMS masuk dari temen cowok dengan kata pembukaan "Say..." Dia ngembaliin HP tanpa ngomong apa-apa. 


Hari ini seperti biasa pacar jemput kuliah. Sepanjang perjalanan dia cuma diem aja. Padahal biasanya dia nanya udah makan apa belum. Begitu sampai rumah, aku nawarin mampir, dia malah nolak sambil senyum terpaksa gitu tanpa alasan apapun. Di SMS nggak jawab, di telpon juga kayak males-malesan gitu jawabnya.


Aku merasa bersalah banget. Aku pengen jelasin kalau yang SMS "Say..." itu temen yang emang suka banget panggil say ke semua orang. Dia boleh tanya teman-teman aku. Aku tu sayang banget sama dia. Aku nggak mau kita jadi putus gara-gara kesalahpahaman yang nggak dibicarain baik-baik. 


Barusan aku tanya adik nya kenapa pacar jadi diem gitu, adiknya bilang pacar ku seharian di kamar lg online. Keluar cuma buat jemput aku kuliah. Nggak biasanya dia online seharian gitu kecuali kalau tugas kuliah banyak. Apa jangan-jangan, dia nya yang selingkuh via YM dan Skype sama cewek lain dan sekarang lagi cari-cari alasan untuk mutusin aku? Misalnya dengan alasan aku gaptek karna nggak punya YM dan skype di saat semua temannya pakai itu. Kan punya kayak gitu tergantung kebutuhan. Jangan-jangan dia bakal nuduh balik kalau aku yang selingkuh?? Diary, aku mesti gimana?


Status YM Cowok
Shit! Sakit gigi 2 hari nggak sembuh2. 

Jumat, 15 Juni 2012

Republik Ironis

"Barang siapa yang tidak merasa prihatin atas suatu kejahatan maka dia tidak akan mempunyai kehendak untuk berbuat baik." -Imam Musa Al Kadzim


Aku, Dari lahir sampai umur 22 tahun ini memang tinggal di Indonesia. Sudah makan makanan yang sama dengan berjuta penduduk lain. Sudah sekolah di sekolah negeri dari SD-SMA. Sudah bertemu sama pekerja berpenghasilan Rp 10.000 sehari sampai pengusaha berpenghasilan 5 Milyar sebulan. Sudah ngobrol langsung sama pemerintah terkecil tingkat RT sampai ikutan kuliah umumnya Presiden. Sudah berkunjung ke pulau lain dan punya teman-teman dari kota lain. Sudah pernah masuk organisasi anti pemerintah dan sudah pernah juga kerja di parlemen pemerintah. Sudah pernah ke pelosok desa yang belum ada listrik sampai ke Ibukota yang serba modern.


Sayangnya...


Semua itu tidak menjamin bahwa aku pasti tahu bagaimana caranya hidup bahagia di Republik ini. Sampai sekarang, Aku belum bisa membuat manual book atau tutorial bagaimana cara tinggal di Negara ini dengan baik dan benar. Kalau ada yang tahu caranya bahagia di Republik ini, Ia bertanggung jawab juga untuk memberitahu para bayi yang baru lahir cara-cara bertahan hidup di kerasnya kehidupan Negeri Jutaan pulau ini. 


Di Negeri ini, semua aturan bisa saja di amandemen kapan saja tergantung selera yang mengurus. Semua masalah bisa diselesaikan dengan jalan "damai" ala polisi, jalan "tanpa masalah" ala kantor pegadaian. Kadang masalah juga bisa selesai dengan "aksi damai" ala aktivis LSM, atau minimal, masalah bisa diselesaikan dengan tidur sambil mendengar lagu dangdut bejudul "perdamaian" bagi orang miskin.


Disini, tidak ada jaminan bahwa segala sesuatu bisa dijamin. Kemerdekaan dan kebebasan yang konon dijamin dan tertuang di undang-undang bisa saja terlanggar dengan kepentingan-kepentingan yang kita tidak tahu untuk siapa karena gurita konspirasi dan intrik politik. Disini, adalah lahan dimana kita tidak perlu pusing mau memberi bantuan kepada siapa karena ada banyak sekali orang terlantar, tapi kita hanya bingung mau menyalurkan lewat mana karena banyaknya orang yang tidak dapat dipercaya mengelola harta orang banyak.


Sekedar menyadari realitas, di negeri macam apa kita tinggal...
Orang-orang pintar akan berkata bahwa "Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan." Tapi saat mulai menyalakan lilin, orang banyak siap meniupnya kapan saja. Nyalakan lagi, ditiup lagi. Apakah ini pesimisme atau realistis? Bedanya sangat tipis kawan. Ada perjuangan karena memang memperjuangkan klaim kebenaran, ada perjuangan karena memperjuangkan egoisme masing-masing. Bedanya juga sangat tipis kawan. Mungkin benar kata pejalan suluk, dibutuhkan kejernihan jiwa dan hati yang bersih untuk mengetahui kebenaran.


Untuk itu, Seminar berfikir positif digelar dimana-mana. katanya, "Mulai kebaikan dari diri sendiri." Benar kawan, itu tidak salah. Bagus sekali ide itu. Tapi kenapa hanya isu-isu yang keren saja yang dilakukan? Misal himbauan untuk mengikuti program Earth Hour mematikan listrik 1 jam untuk hidup lebih baik. Ingatkan kita negara berkembang yang bahkan di Sumatera Utara ada 210 desa yang belum beraliran listrik. Itu baru di 1 daerah. Belum di berjuta daerah lain di bumi pertiwi. Realistiskah program internasional Earth Hour itu? Bukankah kita jauh lebih berhemat dari negara manapun yang mengikuti program itu? Kenapa justru para mahasiswa sebagai kaum intelektual yang menjadi relawan gerakan itu? Apakah pernah berfikir, proyeknya siapa yang sedang diperjuangkan?


Himbauan lainnya, "1 Man 1 Tree" yang posternya terpasang pejabat bertampang klimis menanam pohon dan orang di kota ramai-ramai tanam 1 pohon, jutaan pohon di desa yang tidak terpublikasikan digunduli. Ada bayak sengketa lahan yang korbannya adalah masyarakat adat suatu negeri yang buta terhadap hukum-hukum dan dipaksa melawan mesin baja milik perusahaan besar dan pemerintahnya siap menyediakan "pasukan pengaman bermental baja", melindungi yang bayar. 


Banyak orang terusir dari daerahnya tapi tidak masuk media nasional yang lebih sibuk mengurusi berita milik kelas atas seperti batalnya konser artis luar negeri nan kaya raya yang menjual tiket mahal atau jatuhnya pesawat mahal berisi orang-orang kaya yang beritanya terus menerus mengguyur layar kaca. Yang diperjuangkan siapa? Yang sedang dibicarakan kepentingannya siapa? Yang sedang ditutupi berita macam apa sehingga masyarakat yang rata-rata berpemikiran polos dan merasa tidak berkepentingan dengan berita itu mengganti siaran layar kacanya dengan drama berintrik rumit yang berkisar antara cinta yang remeh temeh  karena itu adalah satu-satunya hiburan disana. Bahagiakah generasi muda yang hidup dengan drama seperti itu sehingga Ia kelak tahu bagaimana caranya hidup di masa depan?


Seiring dengan itu, Mental cari aman mengalir dimana-mana. Jarang ada yang benar-benar mau menampakkan sikapnya. Benar kawan, kita ini sudah dewasa, sudah dapat menentukan jalannya sendiri. Namun belum tentu yang dewasa itulah yang berpikir dengan akal sehat. Akal sehat di Negeri ini begitu mahal sampai politisi, ustad, akademisi yang seharusnya berkata dengan kata-kata yang pintar gagal menjadi ikon berfikir dengan akal sehat. 


Kini, yang mengkritisi lawannya bukan yang dikritisi karena yang dikritisi sudah mengkader orang-orang dari kaum si pengkritisi sendiri sebagai tameng. Jadi ingat kata Abraham Lincoln, "Kebenaran adalah korban pertama dari peperangan."


Jadi jalani saja hidup ini dengan landasan yang berpijak pada yang benar. Yang tidak relatif. Kata Max Scheler yang orang Jerman itu, semakin relatif sesuatu, maka semakin rendah nilai sesuatu itu. Kita tidak akan pernah menemui kebenaran kecuali ketika kita mulai mempercayai kebenaran itu. Adakah? Pasti ada. Di Republik ini kebenaran dan kebaikan begitu langka, tapi tidak mungkin kalau tidak ada. Kita hanya perlu menjadi pantas untuk mendapatkannya. Bagiku, disinilah letak "Mulai dari diri Sendiri" itu dimulai. Bukan lewat aktivisme instan para pemilik proyek kegiatan. 


 "Air mengalir sampai jauh..." Kata Gesang sang Maestro keroncong. Mengajak kita bernyanyi sebagai makanan jiwa kita yang lelah menjalani hidup dalam lantunan musiknya. Mengingatkan bahwa kadang kita harus ikut hanyut dalam perjalanannya bersama yang lainnya agar bisa merasa bahwa kita sama dan sejalan. Kadang kita harus naik perahu untuk melawan arus karena ada jalan yang lebih baik lagi selain ikut arus itu. Kita tak bisa, selamanya hanyut, tak bisa selamanya melawan arus. Hidup harus harmoni, hidup harus terus berada di jalan kebaikan...

Senin, 09 April 2012

Max Scheler : Wanita, Fenomonologi dan Cinta


Kehidupan Max Scheler

Max Scheler lahir di Munchen Jerman selatan pada tanggal 22 Agustus 1874. Ibunya Yahudi dan ayahnya protestan. Kecintaannya pada ilmu pengetahuan membuat Scheler kecil yang berusia 15 tahun rela kehilangan harta warisan dari seorang paman Yahudi yang kaya untuk menuntut ilmu di Gereja Katolik.

Kehidupan dan pemikiran Max Scheler tidak dapat dipisahkan dari perjalanan hidupnya yang berliku mengenai karir, wanita dan pergulatan intelektualnya. Walau ia kurang banyak dikenal. Pemikirannya menjadi inspirasi bagi pemikir lain seperti Nicolai Harimann, Dietrich von Hildebrand dan Hans reiner. Ia pernah berkata bahwa “Untuk mengembangkan segala filsafat yang ada dalam diriku, aku seharusnya memerlukan setidaknya 7 wanita”. Kehidupannya yang sering berkaitan dengan wanita membuat para intelektual membuat periodisasi hidupnya dengan kehidupan percintaannya dengan wanita.

Saat belajar ilmu kedokteran di Muenchen, Ia pindah ke Berlin dan Jena untuk belajar filsafat dan sosiologi hingga pada akhirnya di tahun 1893 Ia terpesona dengan Amelie von Dewitz yang Delapan tahun lebih tua darinya dan telah bersuami. Scheler akhirnya berhasil menikah dengan Amelie pada tahun 1989 setelah Amelie bercerai dari suaminya. Setelah itu ia menjadi dosen di Jena dan bertemu dengan Edmund Husserl yang merupakan bapak fenomenologis dan menginspirasinya untuk menemukan metode fenomenologiisnya sendiri. Pernikahan pertama Scheler dan pertemuannya dengan Husserl menandakan periode pertama dalam filsafatnya dimulai.

Namun, karena skandal perselingkuhannya dengan seorang istri penerbit, Ia meninggalkan Jena dan menjadi asisten dosen di Universitas Muenchen berkat bantuan Husserl. Penyebab kepindahan lainnya adalah Amelie yang menceritakan keburukan suaminya kemana-mana sebagai sarana balas dendam karena Scheler telah selingkuh. Mereka bercerai secara resmi pada tahun 1912 walaupun sebenarnya mereka telah berpisah dari tahun 1908. Sebelum resmi bercerai, Scheler pun sudah jatuh cinta lagi dengan Marit Furtwangler yang merupakan adik dirigen terkenal. Sayangnya, pada tahun 1910 Scheler berhenti dari universitas Muenchen dan tidak berhak memberikan kuliah. Selanjutnya, Ia hanya memberikan kuliah di cafe dan restoran untuk para mahasiswa yang mngagumi pemikiran Scheler.

Periode kedua dalam Hidupnya dimulai saat Ia akhirnya menikah dengan Marit Furtwangler dan mulai tinggal di Berlin. Ia hanya hidup dari uang muka yang diterima dari penerbit atas penulisan bukunya. Dalam periode ini, Ia berhasil menulis 3 buku tentang sentimen yang berjudul Das Ressentimen im Aufbau der Moralen, edisi pertama dari Wesen und Formen der Sympathie (Hakikat dan bentuk-bentuk Simpati) dan terutama karya nya yang terkenal Der Formalismus in der Ethik die Matrealie Wer Ethik dalam bidang etika.

Kehidupannya yang jauh dari gereja membuatnya merasa bahwa moment perang dunia 1 pecah di tahun  1914 adalah saat yang tepat untuk kembali pada kehidupan rohani yang telah lama ditinggalkannya. Ia mulai memberikan ceramah dan pengabdiannya membuat ia mendapatkan kesempatan baru setelah Perang Dunia 1 berakhir. Setelah Walikota Koln, Konrad Adenauer membuka lagi universitas Koln, Scheler diangkat menjadi profesor di Institut Ilmu-Ilmu sosial dan mengajar etika serta teologi Keuskupan Agung Koln.

Ia berhasil membuat Karya a.l Die Wissensformen und die Gelllschaft (Bentuk-bentuk Pengetahuan dan Masyarakat), Die Formen des Wissens und der Bildung (Bentuk-bentuk Pengetahuna dan Masyarakat), Von Ewigen im Menschen (Tentang Abadi dalam Manusia). 2 karya terakhir tersebut merupakan karya filosofis nya.

Pergolakan hidupnya dengan wanita kembali dimulai saat Ia mulai mencintai Maria Scheu walau tetap mencintai Marit dengan pernikahan yang bahagia. Ini disebut periodisasi ketiga dalam hidupnya. Ia terpaksa meninggalkan Marit saat Maria mengancam akan meninggalkannya. Tidak hanya berpisah dari Marit ditahun 1924, tapi Ia juga berpisah dari gereja tahun 1922. Dari pengalamannya itulah, Ia mengungkapkan hal fenomenal “Wanita sempurna harus mengkombinasikan 4 sosok: Ibu, kekasih, biarawati dan pelacur”.

Ia meningggalkan Koln dan pindah ke Frankfrut dan arus pemikirannya berubah menjadi pantheisme. Ia berfikir bahwa ada dualisme antara roh yang mengerti tetapi tidak berdaya dan dorongan ingstingtual buta yang menentukan kelakuan kita. Ia meninggal pada 19 Mei 1928 karena serangan jantung dan dmakamkan di Koln dalam sebuah upacara Katolik


2.       Pemikiran Max Scheler

Seperti yang disebutkan diatas, pemikiran fenomonologis Scheler banyak terpengaruh oleh gurunya Edmund Husserl. Menurut Husserl, filsafat jangan bertolak dari segala macam teori, prinsip pengandaian, keyakinan dan sebagainya. Melainkan harus memperhatikan apa yang nyata-nyata memperlihatkan diri dalam pemikiran kita. Yang memperlihatkan diri adalah fenomen. Sang filosof senantiasa was-was jangan sampai fenomen yang muncul menampakkan diri didistorsi oleh pikiran, kepercayaan, prasangka dan prinsip-prinsipnya. Ia harus menghindari generalisasi dan kesimpulan yang terlalu cepat. Yang perlu adalah mengumpulkan semua kekhasan dan keunikan fenomen yang dihadapi.

Dengan itu, Scheler belajar untuk menghindari berfikir reduktif yang dengan gampang mengembalian kenyataan yang satu pada kenyataan yang lain. Metode ini juga disebut “Dogma” dalam filsafat bahwa intuisi harus sama dengan pengetahuan indrawi. Namun, intuisi tidak diartikan menurut konsep apriori kita.

Scheler tidak murni mengikuti Husserl karena Ia mengembangkan metode Fenomonologisnya sendiri. Beginya, pendekatan fenomonologis adalah memperhatikan semua aneka sudut dan warna pada segala macam kenyataan. Metode Schelen adalah enbelen yang bisa berarti penghayatan segar terhadap pengalaman. Kebenaran bukanlah hasil pikiran atau pertimbangan, melainkan harus dicari dengan membuka diri. Atas dasar keterbukaan terhadap kenyataan yang menyatakan diri itu lalu sang filosof berefleksi dan mencoba untuk memahami lebih dalam.

Etika filsafat Scheler adalah tentang manusia, persona, agama dan Tuhan yang berakar dalam sebuah pengalaman dasar, pengalaman akan nilai. Buku tentang Etika nya adalah Der Formalismus in der Ethik die Matrealie Wer Ethik (Formalisme dalam Etika dan Etika Nilai Material. Percobaan baru Pendasaran Personalisme Etis) pada tahun 1913. Ia adalah lawan pemikiran dari Kant dan Nietzhe.

Kant Berfikir bahwa moralitas seseorang bersifat Formalisme. Karena bergantung pada situasi dan kondisi , tidak Mutlak. Sebuah perbuatan baru bernilai Moral kalau tindakan itu adalah berbentuk murni karena merupakan kewajiban. Scheler membantah hal tersebut karena menurutnya apa yang Kant pikirkan tersebut bukanlah hakikat moralitas yang sebenarnya. Sebuah tindakan berbilai secara moral karena merupakan kewajiban. Melainkan merupakan kewajiban karena bernilai secara moral. Nilai mendahului kewajiban. Inti moralitas bukanlah kesediaan untuk memenuhi kewajiban, melainkan kesediaan untuk merealisasikan apa yang bernilai. Sehingga untuk dapat mengusahakan nilai-nilai moral, manusia tidak perlu diperintahkan karena manusia dengan sendirinya tertarik oleh apa yang bernilai. Nilai menjadi pusat moralitas.

Nilai itu sendiri adalah kualitas atau sifat yang membuat apa yang bersifat bernilai jadi berniai. Nilai tidak sama dengan yang bernilai. Apa yang bernilai menjadi wahana Nilai. Apa yang bernilai menjadi pembawa atau wahana nilai. Apa yang bernilai adalah kenyataan dalam hhidup kita. Karena tindakan dan perbuatan itu bisa saja tidak ada.

Nilai merupakan tindakan apriori. Keberadaannya tidak bergantung pada apakah perbuatannya ada atau tidak. Nilai kejujuran tidak bergantung dari adanya orang jujur. Nilai itu sendiri mendahului segala pengalaman walau suatu tindakan tersebut bernilai. Scheler menyebut etikanya sebagai Etika Nilai Material. Jujur, vital, enak, adil, indah, kudus dan semua nilai yang kita langsung tau “apanya”. Sedangkan kalau kewajiban akan jadi tidak dimenegerti karena kita tidak tahu apa yang wajib kita lakukan. Kant tidak melihat bahwa Nilai mendahului segala pengalaman dan tidak tergantung dari sebuah konteks dan bernilai apriori serta mutlak.

Pandangan Scheler juga berseberangan dengan Nietzhe yang berpandangan relativisme pada etika. Nietzhe berfikir bahwa nilai tidak diciptakan, melainkan ditemukan.  Nilai memiliki objektivitas yang sama dengan hukum logika. Manusia bisa saja buta nilai atau tidak menyadari sebuah nilai, tetapi nilai itu tetap “ada”.

Scheler menilai bahwa nilai itu tidak dapat dipikirkan, tetapi hanya dapat dirasakan. Itu merupakan pendapat Scheler yang benar-benar baru. Filsafat barat jarang membicarakan tentang rasa. Karena biasanya akan kalah antara pengetahuan rohani dengan pengalaman indrawi. Merasa bukan merupakan hasil dari pengalaman Indrawi, tapi merupakan suatu yang khas dimiliki manusia. Dengan itu Scheler membuat sumber pengetahuan yang baru berupa apriori emosional. Objek Indrawi ditangkap, konsep dipikirkan tetapi nilai dirasakan. Ia menilai bahwa perasaan sebagai keadaan subyektif kita sendiri.

Max Scheler juga mengembangkan nilainya tentang persona dan cinta. Dengan persona manusia berbeda dengan binatang karena binatang buta akan nilai. Manusia yang juga merupakan makhluk ingstingtual akan menyadari betul arti dari nilai dan mengetahui juga apa yang pantas diusahakan mana yang tidak. Ia tidak mengambil sikap tentang dorongan-dorongan buta dan semakin terbuka oleh nilai-nilai rohani. Roh membebaskan manusia dari penentuan dunia karena Ia menghubungkan dengan alam ideal kebenaran dan nilai-nilai. Di belakang penghayatan nilai mesti ada persona yang memungkinkan tatanan alam tentang nilai itum yang di tingkat kerohaniawan menjamin kesatuan dunia dan membuat mungkin bahwa persona-persona saliang memahami. Yaitu Allah.

Persona tidak dapat identik dengan sesuatu karena persona dapat diketahui dari luar. Tetapi kita dapat masuk ke dalam hati persona itu membuka diri dalam cinta. Itulah sebabnya hanya orang yang mencintai yang dapat mengerti orang lain karena hanya dalam cinta masing-masing saling membuka. Hanya orang-orang yang betul-betul mencintai kita seperti Ibu, kekasih, atau sahabat yang betul-betul mengenali kita. Karena cinta membuka mata hati.

Bagi orang yang mencintai, alam nilai akan membuaka diri dan nilai menjadi tajam. Cinta menyatukan tindakan manusia dengan nilai-nilai. Scheler memahami bahwa persona sebagai makhluk yang berhasrat dan mampu untuk mencintai. Hasrat terdalam manusia adalah masuk kedalam keselarasan dengan cinta persona asali. Yaitu Allah. Ia menolak menyatakan bahwa cinta kasih adalah sublimasi nafsu. Cinta bukan mau merebut melainjan mau memberikan. Cinta adalah gerakan naik dari nilai-nilai rendah ke nilai-nilai tinggi yang semakin menyatakan diri.

Sentimen membuat kita buta terhadap tataran nilai yang sebenarnya. Ia menganalisis bahwa sentimen sebagai peracunan dari jiwa. Apapun yang keluar dari hati orang yang bersentimen menjadi bengkok dan negatif serta penilaiannya akan terkena distorsi. Sentimen juga mengancam keutuhan batin seseorang. Manusia menjadi baik apabila Ia memilih nilai yang tinggi. Namun kita seringkali memilih nilai yang rendah. Jika kita bertindak bertentangan dengan hakikat kita sendiri, kita akan berdosa.

Pemulihan sikap terjadi pada penyesalan. Penyesalan adalah kekuatan yang dapat membebaskan kita dari penentuan oleh masa lampau. Ia adalah rasa sakit atas kejahatan yang kita lakukan. Tanpa penyesalan kita telah membuat diri kita menjadi jahat. Penyesalan merupakan kekuatan alam moralitas yang paling revolusioner.

Scheler berpendapat bahwa nilai itu mendahului sebuah kebenaran. Sifat-sifat yang mencerminkan keindahan dan kebenaran adalah sesuatu yang positiif, bukan akibat dari pengalaman melainkan mendahului pengalaman. Orang yang tidak melihatnya disebut Buta nilai. Begitupun dengan anti-nilai yang menunjukkan diri sebagai negatif. Nilai yang muncul dalam kehidupan manusa tanpa melalui pengalaman itu disebut apriori.

Ada 4 gugus nilai yang menjadi perhatian Scheler
  1. Nilai yang menyangkut tentang Badani atau fisik yang menghasilkan rasa nikmat dan sakit
  2. Nilai yang menyangkut tentang kehidupan dan keutuhannya dan tidak berkaitan dengan indrawi dan dirasakan juga oleh manusia dan hewan. Contohnya adalah takut dan berani
  3. Nilai yang menyangkut tentang nilai-nilai Ruhani, orang rela mengorbankan nilai-nilai dimensi kehidupan. Sedangkan Nilai Rohani ada 3 Macam, Nilai estetis, Nilai benar dan tidak benar dan nilai pengetahuan murni
  4. Nilai tertinggi adalah nilai yang tinggi dan yang profan. Sikap yang menjawab nilai-nilai kudus adalah “kepercayaan” dan “tidak mau percaya”. Nilai-nilai lanjutan “yang kudus” adalah benda-benda suci dan bentuk-bentuk ibadat yang terdapat yang terdapat dalam liturgi (Kult) dan sakramen-sakramen.


Sedangkan tinggi rendahnya nilai memiliki 5 kriteria, yaitu :
  1. Makin lama nilai bertahan, makin tinggi kedudukannya
  2. Makin tinggi nilai makin tidak dapat dibagi dan tidak perlu dibagi atau tidak habis dibagi kalau disampaikan pada orang lain
  3. Nilai makin tinggi Ia mendasari nilai-nilai lain dan sendiri tidak berdasarkan nilai makin tinggi kedudukannya.
  4. Makin dalam kepuasan yang dihasilkan oleh sebuah nilai makin tinggi kedudukanya
  5. Makin relatif sebuah nilai makin rendah kedudukannya, Makin mutlak makin tinggi nilainya.

Sedangkan sosok nilai persona telah menghasilkan lima sosok, yaitu Orang Kudus, jeni, pahlawan, tokoh pemikir dan seniman.

Selain itu Scheler juga menghayati dasar pembentukan komunitas yang khas. Scheler membedakan sosok komunitas murni  seperti komunitas keselamatan, komunitas hukum, komunitas budaya dan komunitas hidup yang terbentuk berkat nilai yang kudus dan rohani. Yang kedua adalah komunitas tidak murni, yaitu gugus nilai yang dibentuk demi komunitas kepentingan dan komunitas sasaran.

Manusia mencapai hakikatnya apabila Ia mentransendensi dirinya sendiri. Transendensi itu adalah sifat khas manusia dalam mencapai tujuannya dalam membuka diri kepada Tuhan. Dalam keterbukaan manusia itulah ia menghayati bahwa Tuhan juga akan membuka diri terhadap manusia. Bila manusia beriman, maka secara hakiki Ia harus beribadat dengan agamanya.

Dalam alam semesta, ada 2 kekuatan yang berlawanan, roh dan energi, pikiran dan naluri, keteraturan dan dinamika buta, cita-cita dan alam. Melalui rohnya manusia terbuka pada alam kebenaran dan nilai-nilai. Tetapi apa yang dilakukan manusia tidak ditentukan oleh kesadaran rohani melainkan oleh nalurinya. Hanya dengan seakan-akan memanfaatkan kekuatan naluri dari dalam manusia dapat membawa nilai-nilai kerohanian ke dalam realitas. Roh dan dorongan ingstingtual merupakan dua sifat Yang Ilahi. Dalam perjuangan manusia untuk memenangkan cita-cita roh terhadap dorongan insting, yang Ilahi bergulat mencari perpaduan dua kekuatan itu yang harmonis.

Kritik terhadap Scheler disini adalah, Ia tidak menyebutkan bahwa sebenarnya cinta juga dapat menutupi apa yang sebenarnya terjadi. Bila seseorang sedang menaruh kebencian pada orang lain, maka tidak ada yang terlihat selain keburukan. Sebaliknya, jika seseorang menaruh rasa cinta ke seseorang, maka seseorang tersebut tidak dapat melihathal lain selain keindahan sehingga baik cinta maupun benci memiliki persamaan. Yaitu tidak dapat melihat sesuatu itu sebagaimana adanya,

Daftar Pustaka :

Magnis-Suseno,Franz. 2000, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius
http://plato.stanford.edu/entries/scheler/ Diakses tanggal 5 Maret 2012 Pukul 15.05
http://www.phenomenologyonline.com/scholars/scheler-max/ Diakses tanggal 15 Maret 2012 Pukul 15.10

Jumat, 06 April 2012

If Indonesian students Learning Parsian... T_T


My Friends Ask me, "How about your Parsian?" (He give me a link to study parsian Online about a month ago). I cant give him a good answer because i m learning...nothing.

N then I m affraid if he gimme a test about it. I m still dont know everyhing about parsian. T___T . I m really crazy lazy students... I m sorry, i need a lot of thing to study n do everything all the day. i forget to learning Parsian even i bookmark this link. Ok... lets learning again....

Actually, I m Learning Germany n japanese in the high school. N now, everypeople know My english poor, my arabic nothing, zero parsian, japanese weak, and fool germany. How stupid i m. i know that i m full miracle n also full of blessing  if i still alive in this era. Thx God...
(Just saying mode on)

Here the link to Study Parsian. If u wanna to study parsian, u can click a first link bellow Kitab Awal in the right side link to listening First session of Parsian. Enjoy, lets Learning together...
http://persian-language.org/learning-list.html


Jumat, 30 Maret 2012

Percaya Berdasarkan Otoritas?

Siang itu di kantin Paramadina, Aku ngobrol dengan salah satu sahabatku. Kita berbincang tentang kebenaran dan aku mengeluarkan bebapa statement khas dengan apa yang aku yakini. Pembicaraan mulai tidak enak ketika aku membicarakan hal-hal yang hanya dipahami oleh orang yang pemikirannya seideologi dengan ku. Teman ku berkata dia Muak dengan apa yang aku katakan karena seolah aku memaparkan apa yang aku yakini dengan kesombongan. Aku tidak merasa seperti itu. Aku hanya sedang curhat tentang apa yang aku rasakan pada spirit mazhab yang aku yakini, tapi ternyata curhatku tidak pada tempatnya.

Dia berkata bahwa saat dia mendengar dari gurunya tentang pemikiran-pemikiran apa yang aku yakini, maka Ia akan melihat keindahan. Tapi kalau aku ang bercerita, Ia malah muak.

Aku mencoba berfikir ulang, apa yang sebenarnya terjadi.

Kemungkinan, aku sebenarnya hanya butuh teman se ideologis untuk menambah spirit keagamaan ku. Sehingga apa yang menjadi pembicaraan biasa bagi kalanganku jadi tanpak sebuah klaim kosong tentang sebuah kebenaran.Secara tidak langsung, aku menempatkan sahabatku tidak pada tenpatnya karena ideologi kita berbeda tentang hal sentral yang aku yakini. Kerinduan untuk berbagi spirit perjuangan dengan kawan seideologi dan mengupgrade pengetahuan meledak-ledak di dalam dadaku, tapi aku tidak tahu mau berbagi ke siapa karena rata-rata, kawan seideologiku memiliki orientasi berbeda dengan yang aku minati. Dan... sayangnya, ada beberapa yang menganggapku terlalu pintar sehingga pembicaraan jadi tidak berkembang karena mereka hanya pada tahap mengiyakan apa yang aku katakan tanpa feedback atau koreksi. Bukan seperti itu yang aku inginkan dalam diskusi. Semoga aku tidak berlebihan mengutarakan ini.

Misalnya, dalam topik perjuangan. Aku berkata pada sahabatku bahwa semangat perlawanan melawan tirani tercermin dalam syiah, mengikuti jejak imam Husain sehingga kebanyakan orang Syiah memiliki jiwa revolusioner dan tidak takut mati. Teman ku langsung menolak itu karna dia berfikir itu tidak hanya dimiliki syiah dan dia dengan keras berkata bahwa dia ingin mengakhiri pembicaraan ttg itu. Dia bilang itu bukan sesuatu yang original dalam syiah dan aku tidak berhak berkata bahwa gerakan melawan tirani adalah milik syiah. Aku sama sekali tidak bermaksud begitu, Sahabat ku yang Sunni cukup tersinggnng dengan itu. Aku minta maaf juga sih,,,

Aku merasa, Topik pembicaraan ku umum dibicarakan oleh banyak orang. Antoine bara dan mahatma gandhi sendiri yang bukan muslim mengakui bahwa tanpa perjuangan dan darah imam Husain, umat ini tidak akan dapat memiliki role model Martyr yang sejati. Dan aku sedang berbicara tentang itu.

Dengan sangat menyesal, aku merasa telah gagal menjadi pembawa pesan. Aku gagal menjadi pengharum bagi Ahlul bayt seperti apa yang diminta Imam Ja'far, Tapi aku rasa, apa yang aku bawa bukan konten yang salah, hanya saja disampaikan dengan cara yang tidak tepat dan media yang tidak tepat.

Aku berfikir ulang bagaimana proses sahabatku dalam menerima informasi selama ini.

Dalam dunia pemikiran, ada orang-orang yang menerima informasi berdasarkan hasil dari rasionalitasnya. Ada yang menerima informasi karena percaya pada otoritas si penyampai pesan. Ada juga yang menerima informasi begitu saja tanpa tersaring dan terasionalisasikan.

Sahabatku adalah type rasional sekaligus penerima informasi berdasarkan otoritas kebenaran dari penyempai. Sederhananya, dia harus tahu bahwa penyampai informasi adalah orang yang benar-benar pintar secara keilmuan dan ia memiliki kepercayaan tinggi terhadap orang itu sehingga penerimaan informasi yang masuk ke dalam pikirannya dapat diterima kedalam rasio nya.

Ada 2 orang yang sering dia sebut mempengaruhi pemikirannya, Guru A dan guru B. Guru A adalah seorang ahli dalam ilmu filsafat dan dapat menyampaikan dengan baik sehingga alam rasioya dapat memproses informasi dengan baik sehingga apa yang ia hasilkan dalam rasionya adalah sesuatu yang indah. Guru B pengaruhnya juga sagat besar, Karena selain memliki otoritas kebenaran karna kecerdasannya diakui oleh berbagai pihak, ia juga dekat dengan sahabatku secara emosional sehingga informasi yang diolah oleh rasio sahabatku jadi sesuatu yang luar biasa hasilnya. Informasi tersampai dengan baik dan menjadi sebuah pemikiran yang merubah mindset lamanya karena secara rasional sahabatku dapat mencerna itu.

Sedangkan Aku, adalah seseorang yang kadang dianggapnya bodoh dan konyol secara intelektual. Secara terang-terangan dia pernah berkata bahwa Ia tidak menyukai cara komunikasiku. Jadi aku tidak memiliki otoritas untuk membuat informasi itu diolah dengan baik oleh rasio nya.

Kenapa aku  semakin yakin bahwa Ia mengolah informasi berdasarkan otoritas kepercayaan thdp penyampai informasi?

Saat diskusi di sebuah tempat, dengan Guru B sebagai pematerinya. Ia salah menyebut seorang tokoh sentral syiah pada jabatan tertentu. Aku bilang pada sahabatku bahwa Guru B melakukan kesalahan penyebutan. Apa yang Ia bilang? "Cuma nama lah, nggak substansi". Bukannya mengakui bahwa itu sebuah kesalahan, Ia malah "membela" Guru B dengan menganggap kesalahan itu amat sepele. Orang ynng murni menggunakan rasionya akan menerima kebenaran dari suatu hal tanpa memandang siapa yang bicara,

Kasus lainnya, saat aku berbicara tentang taqlid dalam fiqih pada Imam, Ia berkata bahwa jangan jadi follower yang konyol. Bagaimanapun seseorang tidak boleh taqlid pada sesuatu. Dalam dokrin syiah, hal itu adalah kebenaran. Tapi karena fia salah mengerti ttg apa yang guru B ajarkan untuk mencari "The truth" dengan jangan begitu saja mengamini apa yang dikatakan orang tanpa analisa, akhirnya Ia men generalisasi hal itu dan "Mengajariku" bagaimana menjadi seorang intelektual yang benar tanpa taqlid. Akhirnya pada suatu kesempatan dimana Guru B hadir, aku membutuhkan afirmasi dari Guru B selaku pemegang otoritas Rasio sahabatku karena aku juga tidak mau disebut tidak memahami apa yang aku anut. Guru B memberikan afirmasi lebih dari yang aku inginkan. Ia mengatakan banyak hal yang sering dibantah oleh sahatku. Dapat di duga sahabatku menerima pernyataan Guru B. Sayangnya, aku tidak tahu apakah sahabatku ini ingat bahwa aku pernah mengatakan hal yang hampir sama dengan Guru B. Sampai sekarang aku tidak memastikan sehingga mungkin apa yang Ia terima dari guru B adalah sebuah Informasi beru, Bukan sebuah afirmasi.

Tentu saja, Aku sendiri mempercayai sesuatu berdasarkan otoritas juga. Aku mempercayai bahwa Al Quran benar karena Pembawanya Adalah Manusia Sempurna. Aku mempercayai Ahlulbayt karena mereka adalah orang suci dn disucikan (Al Ahzab 33). Aku mempercayai para ulama ku karena secara rasio dan keilmuan, mereka memiliki otoritas intelektual yang luar biasa. Tapi aku tidak serta merta percaya pada ucapan guru yang tinggal di sekitar ku. Ustad JR, Ustad AA, Ustad, MA, dan aku tidak serta merta setuju dengan semua yang Rahbar atau presiden Iran katakan karena mereka tidak maksum. Tapi karna aku cinta pada Rahbar dan Presiden Iran, siapaun yang menyerang mereka dengan celotehan-celotehan sinis dan menganggap sepele keilmuannya, aku akan membela mereka. Karena Cinta.

Sahabatku, mencintai Guru B sebagai guru yang dekat dengannya secara psikologis dan emosional. Maka Ia akan membela dan melindungi nya hatta Ia sedang dikoreksi tentang sesuatu. Sahabatku seharusnya memahami bahwa apa yang aku bela selama ini bukan suatu hal yang fanatik. Tapi berdasarkan pada cinta ku pada seoarang yang mendedikasikan hidupnya di jalan kebenaran. Begitupun mungkin sahabatku berfikir ttg pembelaannya thdp Guru B. Ia pikir aku fanatik dan aku tidak suka disebut begitu,

Murtadha Muttahari pernah berkata, "Fanatisme anti agama dan fanatisme dalam beragama itu sangat berbahaya, Namun Fanatisme anti agama lebih berbahaya daripada fanatisme dalam sebuah agama".

Dan aku, yang mengidolakan Syahid Muttahari dalam keilmuan nya tidak mau masuk dalam lingkaran yang Ia sebut berbahaya, Aku ingin masuk dalam lingkaran aman.

Otokritik terhadap diriku ini adalah jalan bahwa aku harus bergerak menyempurna. Tentu saja, stamina intelektualku harus lebih ditingkatkan lagi serta cara ku berkomunikasi terutama dengan sahabatku. Karena terkadang apa yang aku sampaikan pada subtansinya sama dengan apa yang guru b sampaikan, namun Guru B lebih diterima. Berarti aku harus mengoreksi diri ku sehingga kelak aku memiliki otoritas sederhana dalam keilmuan,

Karena aku, mencintai Kebenaran, dan aku mencintai Ilmu.