Jumat, 24 Mei 2019

Tidak Cukup

Waktu masih remaja aku punya banyak kriteria-kriteria ideal untuk seorang pasangan. Untunglah, di setiap jenjang usia, aku selalu menaruh ruang-ruang ketidak idealan dan tak bertumpu pada fisik. Bisa dibilang, aku tahu bahwa penampakan fisik tertentu memang menarik, tapi bukan berarti itu harus dimiliki oleh pasanganku.

Waktu umurku di bawah 25 tahun, aku mengidamkan sosok pintar dan religius sebagai pasangan. Sikapku sangat terbuka terhadap berbagai keinginan yang mengarah pada serius. Buatku, saat seseorang pintar, maka ia akan membuat wawasanku makin kaya. Jika seseorang religius, maka ia mustahil memperlakukan aku dengan buruk. Kaya, ganteng, dan dari mana mereka berasal bukan jadi pertimbangan untukku. Karena itulah, aku punya pacar super kere yang penampilannya kusut sekali tapi super pintar.

Makin dewasa, aku menyadari bahwa semakin pintar seseorang, maka makin mudah untuknya memanipulasi seseorang. Aku beberapa kali mengalaminya. Pengalaman bertemu dengan orang religius juga membuatku merasa bahwa konservatisme seseorang bisa membuatnya melakukan pembenaran-pembenaran dengan ayat dan hadist sekalipun apa yang ia lakukan itu jahat. Baik dia Syiah maupun Sunni, ia bisa saja jadi Khawarij yang pakai kesalehannya untuk kepentingannya sendiri. Orang beragama juga cenderung patriarkis.

Pengalaman dengan seorang patriarkis membentukku jadi seorang feminis. Aku mengganti kriteria 'religius' dengan 'tidak patriarkis'. Aku juga mengganti kriteria 'pintar' dengan punya skill tertentu yang mendalam sehingga dia tampak keren. Aku keliru dalam melakukan proses filter soal ini. Sehingga, aku pernah juga terjebak dengan lelaki yang secara konsep tidak patriarkis, tapi ternyata dia abusive. Aku kadang berpikir, bagaimana mungkin orang yang paham konsep mendalam soal itu mengkhianati dirinya sendiri dengan melakukan timdak abusive?

Aku mengalami proses healing yang panjang. Rasa skeptis selalu timbul setiap kali menjalin hubungan. Aku mengendorkan kriteriaku lagi dan bilang pada diri sendiri bahwa sikap tidak patriarki bukan berarti dia paham definisinya. Melainkan dia sudah melakukan hal itu sebagai keseharian sekalipun ia tak memahami teorinya. Bisa jadi ia bahkan orang yang tidak paham apa itu patriarki dan feminisme. Ia bisa saja cerdas, cerdas emosional, musik, dan lainnya. Sehingga dia tampak menarik bagiku.

Namun, sekarang aku mencoba untuk melakukan redefinisi tentang makna kriteria. Kenapa situasi yang berjalan jadi sangat sulit dilalui? Mengapa identitas dan aktivitas keseharianku sulit diterima orang lain? Kenapa aku harus memotong-motong diriku sendiri agar dicintai dan dipertahankan? Kenapa kondisi apa adanya tak pernah memuaskan seseorang sehingga aku mesti kehilangan sebagian diriku hanya agar tak sendirian.

Aku memilih hidup, tapi nasib hidup selalu menyeretku ke medan peperangan yang tak bisa aku menangkan.

Senin, 06 Mei 2019

Belum Berakhir

Aku pikir, jalan hidupku akan berhenti tahun lalu. Di saat harapan jadi abu dan kepala begitu tunduk lesu. Aku tak punya cita-cita saat itu. Bangunan rencana yang pernah aku bangun rasanya ambruk menimpa seluruh tubuhku hingga sulit sekali bangun lagi. Tangan-tangan yang membantuku bangun dari reruntuhan itu rasanya tak cukup untuk membuatku bangkit lagi.

Sekarang, kondisinya mungkin lebih baik. Jauh lebih baik.

Ada kalanya, satu dua hari, aku merasa sesak tak karuan saat mengingat seindah apa bangunan rencana masa laluku. Bahkan, mengingat puingnya saja sudah bisa mengalirkan deras dari bola mataku yang lelah. Keadaan memang lebih baik, tapi tidak selalu baik-baik saja. Aku masih sering berusaha setengah mati untuk mengacuhkan bisikan-bisikan ngawur yang ada di dalam kepalaku. Kadang aku berhasil mengabaikan bisikan itu sembari beraktivitas. Tak jarang, bisikan itu akan melumpuhkanku.

Namun kali ini, aku tak menyerah.

Aku tahu, melawan adalah hal yang sangat sulit. Aku bisa kelelahan luar biasa sekalipun tampaknya aku tak melakukan apapun. Tapi itulah konsekuensi dari kehidupan. Kita membayar nafas dengan usaha-usaha untuk menopang si tubuh hidup ini. Tubuh ini butuh makan, olahraga, pakaian, kasih sayang, tempat tinggal, dan uang. Maka, sesulit apapun yang mesti dilalui, ini hanyalah buah-buah konsekuensi yang aku pilih. Tak semua konsekuensi manis. Aku harap, yang rasanya pahir nanti jadi obat supaya bisa membangun harap dan rencana lagi dari awal. Pelan-pelan... Sampai suatu hari aku akan berdiri sendiri dan tersenyum pada bangunan runtuh yang aku jadikan monumen bersejarah di hidupku. Aku akan berkata padanya bahwa dia sudah memaafkan, mari kita cari jalan pulang menuju kebahagiaan masing-masing.

Langkahku sekarang tak seringan yang aku tulis di atas. Lebih baik bukan berarti benar-benar baik-baik saja. Jalan hidup menyodorkanku pada pilihan sulit berupa hal yang mungkin akan jadi bulan-bulanan orang nantinya. Jadi begini, saat orang mulai mengapresiasi kebangkitanku kembali, aku harus siap menerima lontaran batu yang akan datang padaku jika mereka tahu kondisinya. Jadi, aku sendiri heran dengan hidup yang mesti aku tempuh. Bisakah kita menempuh jalan normal-normal saja tanpa kontroversi dan direstui segala makhluk di bumi?

Aku lelah dengan label-label. Namun aku dikutuk untuk hidup di sana selamanya. Sepertinya aku hanya hidup dari toples satu ke toples lain yang tutupnya sudah disegel rapat dan dinamai dengan nama tertentu. Sehingga orang yang melihatku akan langsung membaca dengan label nama apa aku terlihat di sana?

Ngomong-ngomong, ada sebuah ironi. Di sini, saat aku berjuang keras menumpuk batu bata harap dengan tujuan menjadikannya sebagai tempat aman, aku tak sengaja menghancurkan dinding harap yang lain. Aku pasti sangat berdosa sehingga apa yang aku lakukan selalu saja tak baik. Memang, kita tak bisa menyenangkan orang lain. Tapi, bukankah namanya tak tahu diri jika kita justru tak melakukan balas jasa terhadap tangan-tangan yang mengangkatku? Aku yakin, sekalipun dada mereka dipenuhi cinta untukku, aku akan selalu punya sesuatu yang tidak aku sengaja bisa menyakitinya. Aku adalah tanaman berduri yang sulit berkompromi dengan situasi sehingga aku tak akan terlihat cantik dan baik-baik saja dengan konsekuensi hidup yang aku pilih.

Seperti inilah kondisiku sekarang.

Bagaimana denganmu? Apa sudah baik-baik saja?