Tampilkan postingan dengan label curhat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label curhat. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Agustus 2021

Surat dari Manusia yang Tidak Lulus "Quality Control"

Dear Ais dan Fathimah...

Hai, aku kirim surat lewat blog agar kalau dibaca orang lain, mungkin ada yang merasa relevan dengan ini sehingga membuat mereka tidak sendirian. Pandemi lebih mudah membuat orang kesepian terutama di masa isolasi. 

Aku tahu bahwa Ais tidak kenal Fathimah dan sebaliknya. Aku tidak pernah membicarakan Fathimah di depan Ais dan sebaliknya. Kalian adalah dua lingkaran pertemanan yang berbeda. Kita tidak selalu bertukar kabar dan bahkan tidak semua pesan bisa langsung terbalas. Tapi kita punya tempat aman di hati masing-masing. Rasanya aku perlu masuk ke tempat aman itu sekarang. Di hati kalian yang menyisakan sedikit tempat untukku. Anggap saja seperti teman baik yang mengetuk pintu rumah sambil menangis dan numpang rebahan.

Aku ingin mengawali cerita dari kakak keduaku. Kakakku menjual coklat batang reject yang tidak lulus quality control. Sebagian karena kemasannya yang rusak. Ia menjualnya dengan harga yang lebih murah dari pasaran. Produknya cukup laris. Rasa coklatnya sama saja dengan yang ada di supermarket. Dari barang reject, dia memperoleh profit yang bisa menafkahi keluarganya. 

Aku sering beli coklat itu dan menikmatinya bukan karena harganya yang lebih murah, bukan karena bantu bisnis kakakku. Tapi karena alasan yang ironis: aku mirip dengan coklat itu.

Sejak kecil aku dibesarkan dalam lingkungan yang bilang, "mbaknya cantik, kok adeknya jelek?" Lalu aku berhenti untuk berusaha jadi cantik. Aku berusaha jadi lebih pintar.

Karena gagal jadi juara kelas dan guru matematika bilang, "aku tidak sepintar kelihatannya," maka aku berhenti untuk berusaha pintar. Aku berusaha untuk bahagia dengan level average yang aku punya.

Ketika mencoba bahagia, ternyata aku tidak begitu bagus dalam mengelolanya. Neurotransmitter dan dopamine ku ternyata payah memproduksi kebahagiaan, maka aku  mencoba untuk jadi lebih baik di hal lainnya. 

Aku berusaha untuk jadi orang yang kompeten di dunia kerja. Lagi-lagi aku sering gagal dan tidak ada seorang pun yang bilang bahwa aku harus memaafkan diri sendiri saat berbuat salah. Aku gagal membuat telingaku mendengar bahwa memaafkan diri sendiri juga bagian penting dari penyesalan . Aku terkubur di dalamnya dan dibuat sesak nafas. Aku begitu takut melakukan sesuatu karena terlalu sering meragukan diri sendiri.

Aku berusaha jadi anak, istri, tante, kakak, dan adik yang baik untuk keluarga. Tapi aku tidak pernah cukup baik untuk mereka. Ada hari-hari di mana mereka sedih dan frustasi dengan interaksi yang ada.

Aku terbentuk dari sekian banyak kegagalan-kegagalan. Tak lolos quality control. Aku tahu bahwa manusia bukan benda mati seperti coklat atau barang pabrikan lain. Tapi setiap manusia mestinya punya sesuatu yang bisa ia banggakan. Aku bertanya-tanya apa yang bisa aku banggakan? 31 tahun hidup, aku masih tidak bisa menjawab hal apa yang dapat mendefinisikan: Siapa Syahar Banu?

Ekskstensial krisis di usia ini katanya wajar. Tapi ini tampaknya unbearable. Aku mempertanyakan alasanku hidup dan tidak bisa menjawabnya sekalipun punya pekerjaan, keluarga, dan segalanya baik-baik saja. Ada anjing besar jelek yang menelanku mentah-mentah masuk ke perutnya yang dalam dan gelap. Aku mulai menangis tanpa alasan yang jelas. Aku gagal mengidentifikasi kenapa aku jadi lebih bitter dan rapuh.

Setelah gagal cantik, gagal pintar, gagal bahagia, gagal sebagai istri-anak-kakak-adik-tante, dan gagal mencintai-mengerti diri sendiri, aku mulai marah dengan inkompetensiku sendiri. Jika kakakku bisa mendapatkan profit dari coklat reject, bagaimana caranya aku mendapatkan profit dari kondisiku yang "reject" ini?. 

Oh iya, ini hari yang indah untuk menjalani hidup dengan bitter. Bukan hari terbaikku, bukan yang terburuk. Katanya kita semua setidaknya perlu memvalidasi perasaan kita. Aku tidak tahu perasaan gagal sebelah mana yang perlu aku validasi.

Aku hanya terpaksa menjalaninya karena satu alasan: Rumah sakit terlalu penuh untuk menangani kasus tak penting sepertiku.

PS: Ini tanggal 1 Agustus. Aku tidak jadi mendaftar sebuah beasiswa yang sudah aku tunggu setahun pendaftarannya karena alasan yang tidak ingin aku tulis di sini. Sudahlah...

Rabu, 07 Juli 2021

Dear Ais...

Halo Ais,

Makasih sudah menulis surat yang menyenangkan untuk kado ulang tahunku. Hatiku hangat membacanya.

Ais, Almarhum Mbah Kakung (kakekku dari pihak ibu) katanya dulu juga punya sawah yang lumayan luas. Tapi, setelah masa penjajahan Jepang, Belanda, dan peristiwa 1965 yang juga berkobar di daerah Boyolali, ia mulai punya pikiran untuk menjual sawah untuk biaya sekolah beberapa anak lelakinya yang daftar PNS Departemen Agama, ABRI, dan sekolah agama. Simbah saat itu berprofesi sebagai kyai yang sangat dibutuhkan orang-orang kampung untuk memimpin segala acara sehingga anak-anak lelakinya didukung penuh untuk jadi priyayi kampung seperti dirinya. 

Adik simbah Kakung yang rumahnya di Delanggu Klaten sampai sekarang masih jadi juragan beras yang punya kuli, buruh tani, toko beras, dan bahkan alat-alat pertanian yang komplit. Halaman rumahnya juga sangat luas karena dipakai sebagai tempat jemur gabah. Walau kakak adik dari turunan kyai, adik mbah Kakung lebih milih jadi juragan beras daripada kyai. 

Almarhum Mbah Pati (sebutanku untuk keluarga kakek nenek dari pihak bapak) juga petani. Saat mbah Pati sudah mulai tua, mereka membagikan jatah sawah untuk anak-anaknya. Keluarga Mbah Pati di daerah Batangan, Jawa Tengah punya sawah yang lebih luas daripada sawah milik Mbah Kakung. 

Sayangnya, bapakku tidak tertarik jadi petani. Begitu dapat jatah sawah dari orangtuanya, bukannya menggarap sawah, bapakku malah langsung menjual sawah itu ke saudaranya sebagai bekal untuk sekolah ke pesantren. Bapakku sejak kecil tidak bisa membayangkan bahwa ia adalah seorang petani. Ia lebih suka jadi anak sekolahan, seperti Si Doel. Jadi, bapakku tumbuh sebagai pemberontak kecil dibanding kakak dan adiknya. Ia satu-satunya yang mengenyam pendidikan formal sampai SMA dan memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Di Jakarta inilah bapakku diperkenalkan oleh teman sepengajiannya dengan ibuku. Aku masih mencoba untuk mencari tahu kenapa bapakku tidak kuliah kalau dia memang senang dengan dunia sekolahan. Aku menduga bahwa ia jadi ikut pengajian tertentu yang membuatnya lebih suka berjihad daripada mengenyam pendidikan formal.

Ibuku anak perempuan bontot nomer 6, pendidikannya tidak terlalu diperhatikan oleh mbah Kakung. Bahkan pas belum lulus SMA, ibuku dipaksa nikah dengan sepupu jauh yang belum terlalu dikenalnya. Pernikahan dini itu melahirkan kakak pertamaku. Pernikahan ibuku berakhir dengan perceraiaan sesaat setelah kakak pertamaku lahir. Dia seperti feminist icon di masanya. Ibuku melakukan perlawanan di saat pemerintah dan orang sekitarnya melakukan represi kepada perempuan berhijab, ibuku berani bercerai di usia 21 tahun setelah menjalani toxic marriage, padahal tahun 70an, perceraian masih sangat tabu di kampung. Derita ibuku tidak berhenti di situ. Pada usia 24 tahun, mendadak ia jadi satu-satunya tahanan politik Tanjung Priok dan mengalami depresi berat. 

Saat depresi berat dengan status janda anak satu inilah, akhirnya keluarga merasa bahwa depresinya bisa sembuh kalau ibu menikah. Anehnya, "resep pernikahan untuk menyembuhkan depresi" ini berasal dari dokter penyakit jiwa yang merawat ibuku. Ibuku lagi-lagi menjalani pernikahan yang diatur oleh keluarga. Bapakku pernah cerita bahwa bapak hanya memilih ibu sebagai istrinya lewat foto yang disodorkan oleh seorang ustad. Bagi bapak, sekalipun status ibu adalah janda anak satu dan bapak masih bujangan dengan usia yang lebih muda, ibu adalah perempuan tercantik di antara semua perempuan yang terlihat di foto. 


Patriarkisme agama "bermain" di sini. Di saat bapak diberi pilihan soal wajah calon istri, para perempuan tidak diberi pilihan sama sekali karena hak akad ada di pihak keluarga perempuan. Ibuku kaget ketika pertama kali ketemu bapak dan diperkenalkan dengan lelaki yang disebut sebagai calon suami. Sambil bercanda, ibuku tidak menduga suaminya sejelek bapak, haha! Pertemuan kedua mereka adalah di hari pernikahan mereka. Keduanya tidak saling mengenal, pernikahan dengan metode ta'aruf Islami itu juga bukan pernikahan yang bahagia. Bapak dan ibu jarang sekali akur sampai tua sekalipun bisa punya 6 anak. Aku menyebut mereka Tom and Jerry, mungkin mereka merasa bahwa kehidupan runah tangga mereka tidak akan komplit tanpa perdebatan. Sepertinya mereka memang diciptakan berjodoh dengan cara seperti itu. Kalau bukan jodoh, mestinya mereka cerai seperti pernikahan pertama ibuku kan? Aku sih cukup sering minta mereka pisah. Tapi lama-lama aku merasa kalau itu bukan urusanku. Aku membiarkan mereka seperti Tom and Jerry dan bahkan mulai bisa menertawakan hal-hal kecil yang mereka perdebatkan. Saat aku berdamai dengan kondisi yang ada, aku jadi merasa bahwa itu situasi biasa yang tidak perlu dibikin stres. 

Membaca surat dan menonton vlogmu, aku jadi bertanya-tanya juga soal nasib. Apa yang terjadi jika kakek dan bapakku tidak jual sawahnya? Apakah aku bisa pulang kampung dan berkebun sepertimu juga? Saudara bapakku di Pati sana masih banyak yang jadi petani. Sekalipun tidak berpendidikan formal, mereka jauh lebih kaya dari bapakku. Aku pernah menanyakan pertanyaan itu ke bapak, bapak bilang kalau bapak jadi petani, aku tidak mungkin ada karena bapak tidak akan bisa menikah dengan ibu. Aku ada di dunia ini karena keputusan-keputusan nekat bapak ditambah campur tangan keluarga ibu.

Terus terang aku tidak tahu bagaimana bapak dan ibu menjalani pilihan-pilihan hidupnya. Setelah aku menikah, aku merasa bahwa berdebat dengan pasangan itu sesuatu yang tidak nyaman. Aku dan Ben lebih banyak tertawa. Bahkan aku yang dulu sering mimpi buruk pun bisa mimpi sambil ketawa. Aku dan Ben tidak pernah saling marah lebih dari sehari. Kami akan membahas masalah kami, berlomba untuk minta maaf, dan berpelukan. Kami memilih untuk membicarakan masalah kami daripada menghindari atau justru memperdebatkannya. Aku memilih untuk punya kehidupan pernikahan yang berbeda dengan orangtuaku dan ternyata berhasil. Jadi, selama kita masih punya pilihan-pilihan lebih baik dari yang orangtua kita jalani, aku kira hidup kita akan baik-baik saja. 

Jika di kampung sana banyak yang mendorongmu untuk jadi PNS, tentu kamu punya pilihan-pilihan untuk menjalani hidupmu sendiri. Jadi Liziqi Bugis pun keren. 

Saat ini situasi di Jabodetabek kacau sekali. Semua orang sibuk dan sakit. Jika temanku tidak sakit, pasti dia sedang sibuk urus anggota keluarganya yang sakit. Kami berharap situasi chaos itu tidak dituntut oleh bos yang tidak peduli dengan situasi yang ada, yaitu bos yang merongrong stafnya untuk produktif di saat situasinya parah sekali.

Sekalipun aku dan Ben sehat, tapi banyak teman-teman kita yang positif covid. Bahkan Kak Ari istri Andreas Harsono juga sakit. Kita sempat ngobrol di google meet untuk saling tanya kabarnya. Mereka seperti orangtua angkatku di Jakarta, jadi aku ikut sedih kalau salah satu anggota keluarga mereka sakit. 

Aku dan Ben tidak punya jaring jaminan sosial yang mempuni untuk back up kami jika salah satu atau kami berdua kena covid. Kemana harus isolasi mandiri? Berapa biayanya? Tabungan kami terbatas sekali dan alokasinya untuk kebutuhan perumahan yang sedang kami upayakan. Sistem kesehatan sudah kolaps, yang bisa kita lakukan hanya hati-hati, vaksin, protokol kesehatan, dan tetap bahagia. 

Semoga situasi pandemi di sana tidak separah di sini. 

Aku berharap juga, standar hidup ideal orang di sekitarmu tidak membuat kamu merasa harus melakukan penyesuaian-penyesuaian prinsip yang tidak membahagiakanku. 

Hiduplah dengan lebih percaya diri dan berani.


Selamat ulang tahun Ais!

Depok 7 Juli 2021

Banu.

Rabu, 29 Januari 2020

Sebuah Cerita tentang Si Sedih

Aku terbangun lagi pada pukul 3 pagi oleh pikiran-pikiran aneh tentang hal yang sudah aku lupakan sesaat setelah membuka mata. Jika hal itu penting sekali, kenapa aku harus lupa? Jika itu bukan persoalan penting, kenapa aku harus sampai terjaga?

Aku menghubungi Ben, melaporkan padanya bahwa aku terbangun. Ia selalu memperhatikan jam berapa aku mengirim pesan padanya sehingga ia bisa mengatakan sesuatu yang menguatkan. Biasanya, ia akan bangun pada pukul lima pagi -jauh lebih dulu dari aku- dan berusaha meneleponku. 
Sayangnya, pagi itu ia telat bangun. Aku bangun pada pukul lima saat alarm berdering dan dengan sigap mengeluarkan sayuran dari kulkas untuk aku masak. Aku mengizinkan hatiku sedih, tapi setidaknya, aku ingin tubuhku sehat. Sayuran terbaik adalah yang dimasak dari dapur sendiri sehingga kesegaran dan kebersihannya terjamin. Maka inilah yang aku lakukan. Bangun pukul lima pagi demi memasak bekal untuk diri sendiri dan pasangan.

Di telepon, Ben bilang bahwa begitu selesai mandi, ia akan bergegas menuju kostku. Aku tak memintanya, tapi ia berjanji akan mengantarku ke kantor hari ini. Ia tahu suasana hatiku sedang tak bagus, maka ia ingin memastikan bahwa aku tak merasa sendirian. Lagipula, hari itu ia masuk siang sehingga punya banyak waktu mengantarku. Ia mengatakan berkali-kali bahwa mengantarku tidak merepotkan sama sekali.

Menurutku, mengantarkan aku ke kantor sangat merepotkan. Karena ia harus bangun lebih pagi, mandi lebih cepat, dan rumahnya bahkan ada di luar provinsi Jakarta! (baca: Sawangan, Depok). Jarak rumahnya (Ehm, sebenarnya dia selalu menyebut rumahnya sebagai "rumah kita berdua" sekalipun ia membelinya jauh sebelum bertemu denganku) ke kostanku kira-kira 27km dengan motor. Jarak rumahnya (rumah kita! :D) ke kantorku kira-kira 34km. Sedangkan dari kantorku menuju kantornya sekitar 13km. 

Kalau bukan cinta, aku tak tahu lagi dengan apa menamakannya.

Selain ingin lebih sehat, pagi ini aku masak untuk menenangkan pikiran. Dulu masak selalu jadi sarana untuk healing. Namun, setelah aku mengkomersialisasikan masakanku untuk dijual, masak jadi rutinitas yang melelahkan. Bahkan, mengolah makanan yang sama berkali-kali tak membuat masakanku makin hari makin enak. Ada kalanya masakanku sangat enak dan mendapat pujian banyak orang. Ada kalanya aku salah takar dan salah langkah sehingga ada kekurangan di sana-sini. Jika ingat soal lelah dan apa yang aku hadapi saat itu, yang tersisa hanya trauma. Aku juga heran kenapa terlalu mudah menyebut sesuatu dengan trauma. Ben yang membuang semua sisa makanan dan bahan-bahan warung yang tersisa di kulkas setelah dua bulan tak berani aku sentuh sama sekali. Aku bilang padanya bahwa aku trauma, Ben menanggapinya dengan santai. Toh ada banyak pelajaran dan kita tidak rugi.

Ia datang saat aku selesai membungkus bekal untuk kita berdua. Nasi Merah, Ayam Bumbu Bali, dan Tumis Kangkung. Sepertinya ia senang melihatku tampak baik-baik saja. Sambil mengucapkan terima kasih, ia membawa bekal makan kami baik-baik sambil menandai tempatnya agar tak tertukar. Aku memang memasukkan lauk lain ke dalam bekalku, lauk yang Ben tidak ingin memakannya: Oseng Paru dan Sambel Goreng Kentang Ati ayam. Ibu kost yang memberiku lauk itu ke semua anak kost semalam. Ben tak akan mau memakan lauk di dalam bekalku karena ia memang sangat menjaga kesehatan dengan tidak makan jerohan dan segala yang berkolestrol tinggi. Termasuk kulit ayam! Kadang ia melarangku makan makanan tertentu agar aku selalu sehat. Tapi kadang ia bilang aku harus bisa mengatur pola makanku sendiri. 

Saat berpisah dengannya di depan kantorku, aku mengucapkan banyak terima kasih padanya. Ia melepas helm full facenya untuk memperlihatkan senyum dan mengatakan bahwa aku terlihat sangat cantik. Itu pujian cantiknya yang ketiga sepagi ini. 

Aku melangkahkan kaki ke kantor dan segera menuju mesin absensi untuk menyerahkan sidik jari ibu jariku di sana. Aku lega bahwa aku punya banyak waktu bersantai hari ini sebelum jam kerja dimulai. Setidaknya untuk menyiapkan mental setelah aku menggunakan izin sakitku di awal minggu untuk menenangkan diri dari relaps yang tak jelas triggernya.

Beberapa waktu berlalu, Ben bilang, ia sudah sampai. Aku tidak mengecek berapa lama perjalanannya. Ia mengeluhkan soal macet tapi bersyukur bahwa ia bisa sampai dengan selamat. Lelaki itu memang punya kebiasaan baik dengan selalu mengucap rasa syukur setelah ia secara tak sengaja melontarkan kalimat keluhan. 

Misalnya, pernah suatu hark aku mengeluh makanan di sebuah warung yang tidak enak. Aku mengatakan apa adanya bahwa makanan itu tidak enak. Tapi ia langsung mengingatkan bahwa setidaknya kita sekarang tahu rasa makanan itu karena kita sudah dimampukan Tuhan untuk membelinya, lagipula kita tidak sakit saat makan makanannya sehingga kita makin punya banyak alasan untuk tetap bersyukur. Jika aku tak menghabiskan makanan karena memang tidak enak, ia akan menawarkan makanan lain yang rasanya lebih enak agar membuatku merasa lebih baik. Ia bukan orang yang memaksa orang lain untuk menghabiskan makanan, ia tipe yang meminta seseorang berhenti makan jika sudah kenyang. Maka, jika aku belum kenyang karena tidak sanggup menghabiskan makanan yang mengerikan, ia akan menyarankan aku untuk makan kudapan yang aku suka agar lebih kenyang. Aku biasanya akan memperlihatkan mimik yang tampak mencibir dia yang terlalu positif dalam memandang sesuatu yang menurutku sulit untuk dibela. Kadang ia setuju bahwa makanan itu tidak enak, tapi tetap saja sebaiknya kita tidak terus menerus mengeluhkannya. Hingga suatu hari dia bilang, "sayang, mungkin pas masak ini, kokinya udah lelah. Kamu kan pernah merasakan bahwa masak itu melelahkan. Gaji dia mungkin juga kecil, kebutuhannya banyak. Maafkan kokinya ya. Nanti kita cari makanan lain buat kamu biar kenyang."

Cara Ben tepat untuk membuatku berhenti mengeluh. Aku mudah menangis saat membayangkan bahwa ada seseorang yang sudah lelah bekerja hanya dibayar dengan upah minim. Aku memang tak bisa memverifikasi informasi seputar besarnya gaji si koki di resto/warung makan yang kami kunjungi. Aku tak tahu apakah ia dibayar layak atau tidak. Tapi membayangkannya saja sudah cukup membuatku diam. Ben benar, masih ada banyak hal yang patut disyukuri.

Aku mengingat baik-baik adegan itu. Menanamkan lekat-lekat di ingatan. Aku mengingat pujiannya hari ini padaku. Aku belum melakukan hal buruh hari ini. Hari ini masih terlalu pagi untuk dirusak dengan hal-hal yang tidak baik.

Di kantornya, Ben bilang bahwa bekal makan yang aku buat juga sangat enak. Aku tersenyum senang karena bisa berguna untuknya setelah ia berbaik hati mengantarku ke kantor.

Hari ini pekerjaanku juga tidak sulit. Rekeningku sangat aman, makananku  bergizi. Tapi sepertinya otakku masih gagal memproduksi endorfin, sekeras apapun aku mencobanya.

Aku bersyukur, tapi kenapa kesedihan ini tak pergi? Aku lebih beruntung dari banyak orang di dunia, tapi kenapa aku masih ingin terus-terusan menangis? Aku punya banyak waktu untuk istirahat, tapi kenapa aku selalu lelah? 

Aku merasa tidak punya masalah apapun, tapi kenapa aku merasa bahwa akan lebih baik aku tidak ada di dunia ini? Jika aku merasa jadi sel sperma pemenang di dalam ovum ibuku, tapi kenapa si pemenang ini punya mental yang sangat lemah? 

Aku membayangkan jika tiba-tiba saja aku tak muncul lagi selamanya di kantor ini lagi? Dengan mudah, aku akan mulai tergantikan dengan seseorang yang lebih muda dan lebih kompeten daripada aku, rekan kerja akan bergaul dengan sesamanya seperti biasa, mirip situasi kantor sebelum kedatanganku di sini. Ditambah, aku sudah mundur di banyak lingkaran pergaulan sehingga kehadiranku tak pelan-pelan tidak signifikan lagi di manapun.

Ben adalah lelaki yang sangat baik, ganteng, pekerja keras, lucu, dan bertalenta, akan ada banyak perempuan yang mau dengannya. Mentalnya juga sangat kuat, dia akan baik-baik saja.

Sungguh aku kecil. Tak signifikan, dan mudah tergantikan. 

Aku pikir, jika seseorang memang harus merasakan sedih, setidaknya ia harus punya alasan mengapa perlu bersedih dan menangis. 

Sayangnya, dalam situasi sekarang, aku tak menemukan sebabnya.

Halo Dokter, apakah sudah waktunya kita bertemu lagi?

Halo Banu, apakah kamu siap menjalani terapi dan medikasi panjang lagi?

Minggu, 22 Desember 2019

Bagaimana Mungkin

Pukul 2 pagi, wajahmu melintas di pikiran. Ini sangat aneh. Pikiran itu timbul di saat aku ingin merawat baik-baik yang sudah ada. Aku berusaha keras merapal kembali rasa syukur dan memegang erat segala sesuatu yang sudah ada di genggaman.

Kenangan memaksaku untuk melintasi hari-hari yang kita lewati dengan canggung. Pagi hari tanpa ucapan selamat pagi, tengah hari tanpa ajakan makan siang, dan kepulangan tanpa salam perpisahan.

Terlalu lelah untuk menghindarinya. Tapi harus.

Aku membayangkan kita berdua bisa menjelaskan kenapa interaksi kita jadi terlalu canggung satu sama lain. Aku tidak ingin gelisah sendirian dan ingin menemukan jawabannya. Sementara aku menjalani peranku di realita, aku akan melipat baik-baik gambarmu di pikiranku dan mendaras doa-doa baik untukmu. Itu semua aku lakukan demi membelokkan pikiranku yang sering mempertanyakan, "kenapa baru sekarang?" 

Aku perlu lebih keras pada diri sendiri bahwa ini adalah skenario terbaik yang bisa aku jalani.

Begitulah, pada akhirnya aku harus bilang pada diri sendiri, "Pikiran tentangmu sangat sia-sia dan aku ingin segera mengakhirinya."

Kamis, 25 Juli 2019

Aku pada Post Hijab

Hi, apa kabar?

Sebagai seorang aktivis yang sempat memperjuangkan untuk kebolehan pakai jilbab di publik dan surat legal (Ijazah misal), keputusanku untuk melepas jilbab cukup jadi sorotan. Apalagi latar belakang agamaku yang... Gitu deh. Turunan Syiah.



Terimakasih jika kamu adalah salah satu orang yang menganggap bahwa keputusan ini adalah pilihan pribadi yang harus dihargai. Karena aku mendapat pesan-pesan kekecewaan dari orang sekitar maupun orang lain soal keputusanku. Sebagai orang yang kurang bisa bersikap bodo amat, komentar buruk agak mempengaruhi psikologiku. Jadi, misal kamu mau menasehatiku soal pemahamanmu tentang sesuatu, pastikan bahwa orang yang kamu tuju memang memintamu untuk menasehatinya. Kalau tidak, kamu cuma jadi bising di dalam kepalanya dan memberatkan hatinya.

Setelah hidup tanpa jilbab, aku baru sadar bahwa ternyata aku tidak merawat tubuhku dengan baik. Aku tidak sadar bahwa paha dan perutku membesar sedemikian rupanya dan gagal aku antisipasi sebelumnya. Lemak menumpuk di beberapa bagian tubuh itu tidak sehat betapapun ada banyak kampanye soal body positivity. Saat ini aku punya keinginan untuk sehat sehingga melihat perut dan paha yang membesar ini membuatku merasa agak malu dengan diri sendiri. Dulu, bagian tubuh itu selalu tertutup rapat dengan kain longgar. Sehingga tidak jadi perhatianku. Aku tidak tahu bahwa mulai ada selulit di sana.

Bahkan, aku jarang pakai hand body lotion karena kulitku akan terasa lembab (padahal berkeringat!)   di bawah kain. Post hijab, di saat aku ingin pakai baju yang agak ketat atau terbuka, aku jadi sadar bahwa ukuran tubuh maupun penampakan kulitku jauh dari cantik yang ada di media. Bukan soal mengejar cantik standar media, karena jika iya, maka tak akan ada habisnya. Maksudku, standar sehat saja. Sayang sekali kulitku ini tampak agak kasar. Butuh berbulan-bulan dan berbotol-botol hand body untuk membuatnya halus dan lembab kembali.

Aku menyesali kealpaanku mengurus diri sendiri. Lagipula, dulu-dulu, setelah mandi, tanpa sisiran, tanpa mengeringkan rambut, dan tanpa hand body, aku akan langsung pakai baju dan jilbab, lalu siap pergi begitu saja. Karena dulu aku merasa, toh bagian tubuh itu tidak kelihatan. Padahal merawat tubuh itu adalah bentuk syukur kita pada Tuhan yang memberikan kita tubuh sehat sehingga mestinya aku tak mengabaikannya. Kalau kamu baca tulisan ini dan melakukan hal yang sama, maka tolonglah, lemak di mana-mana itu bisa jadi sarang penyakit dan tak pakai pelembab kulit itu bisa bikin masalah lain di kulit kita.

Setelah lepas jilbab, aku bisa olahraga di luar ruangan dengan baju yang lebih nyaman dan hemat ruang di tas. Bukan baju berat dan panas. Jika traveling, ransel kecilku bisa memuat baju untuk beberapa hari, sedangkan sebelumnya, aku harus membawa baju 5 potong untuk sekali pakai. Baju dalam+bra, kemeja luar, jilbab, celana, dan celana dalam. Maksudku, aku pikir selama ini aku yang tak becus packing. Ternyata aku memang harus membawa sebanyak itu untuk beberapa hari bepergian ke luar kota. Sekarang bawaanku agak ringan karena tak harus bawa baju serba panjang dan berlapis-lapis untuk bepergian.

Sebagai orang beragama, aku memahami bahwa mennjalankan kewajiban agama yang kita anut memang bikin kita mesti menjalani konsekuensi-konsekuensi atas tafsir kebenaran yang kita pilih. Misalnya, saat aku masih mengimani bahwa jilbab itu wajib, aku merasa tak keberatan berenang dengan baju 5 potong dengan standar syariah yang aku anut. Saat aku sudah memahami bahwa tafsir atas aurat dan jilbab dari ulama Islam sangat beragam, aku jadi lebih leluasa untuk pakai baju berenang yang aku anggap lebih nyaman dan praktis. Tentu saja, saat masih berjilbab, aku bisa pakai baju lima lapis tanpa komplain. Tapi, aku yang sekarang membayangkan aku di masa dulu, wah... ribet juga ya. Pantas saja cucianku banyak sekali. Keimanan kita pada sesuatu memang membuat hal-hal yang menurut orang lain sulit, tapi menurut kita biasa saja. Misal, bagi non niqab, makan dengan niqab itu ribet. Padahal bagi Niqabis, biasa saja tuh. Hal seperti itu hanya soal kebiasaan dan keyakinan kita terhadap kebenaran yang kita pilih.



Kalau kata Qurays Shihab, Allah bertanya pada kita, biar jadi 10, berapa harus ditambah berapa? Jawabannya beragam, tapi semuanya menunjukkan angka 10. Begitulah dunia yang dipenuhi berbagai keyakinan dan iman menafsirkannya. 

Menjadi seorang non hijabi membuatku sadar bahwa saat ini aku adalah minoritas. Betapa beratnya jadi perempuan di masa sekarang. Di mana orang-orang akan bilang bahwa perempuan ini lebih cantik berjilbab atau sebaliknya. Seolah kehadiran kita di tengah masyarakat adalah demi memenuhi standar kesalehan orang dan menyebut itu sebagai "lebih cantik". Artis yang berhijrah dipuji setinggi langit saat mengubah penampilan, sebaliknya, artis yang lepas jilbab dicaci maki seolah ia akan membuat dirinya dan seluruh keluarganya masuk neraka. Orang beragama banyak yang tak sadar bahwa komentarnya toxic. Mungkin itulah akibat dari mabuk agama atau justru waham agama. Semua yang tak sama dengannya dianggap sesat.

Coba saja baca komentar instagram Nia Ramadhani, begitu banyaknya orang yang pakai avatar berjilbab yang mencela cara berpakaiannya. Jika memang jadi berjilbab itu lebih baik, mengapa orang-orang melontarkan komentar buruk atas nama "sekedar mengingatkan?". Apakah ia sudah punya kapasitas untuk menjadi guru untuk orang lain? Lihat saja komentar terhadapp Salmafina, luar biasa jahatnya atas nama "sekedar mengingatkan". Aku saja belum tentu kuat jika ada di posisinya.

Komentar toxic seperti ini dulu sering aku dengar dari orang yang jilbabnya lebih lebar dari aku. Ia bilang cara berjilbabku kurang syar'i. Aku tak bisa membayangkan bahwa gelombang populisme Islam di Indonesia bukan untuk memberikan keadilan pada mereka yang tertindas, melainkan mencetak polisi-polisi moral yang mendorong sesamanya agar berpakaian sama seperti dia. Bagiku, mengoreksi cara berpakaian orang itu sangat tidak berkelas dan tidak membuat kamu jadi dihormati.

Rezim polisi moral berjubah agama membuat kita yang sedang ragu dengan manfaat keberagamaan kita jadi makin ingin memisahkan diri dari mereka. Akibatnya, ekspektasi orang yang memberikan saran pada kita itu akan semakin jauh. Lagipula, untuk apa sih memberikan ekspektasi kepada orang lain? Ekspektasi orang tua pada anak sendiri saja sering berbuah depresi pada anak, apalagi kalau ekspektasi terhadap stranger agar keberagamaannya sama.

Kalau misal, kamu kecewa dengan pemaknaan keagamaan orang, cek diri sendiri. Apakah kamu menaruh ekspektasi pada tempatnya atau tidak? Aku merasa, yang membuat aku meragukan dan ogah mengikuti standar berpakaian adalah kritikan terhadap cara berpakaianku yang dituntut lebih lebar, lebih tertutup, dan lebih gelap. Aku bertanya pada Tuhan, apakah hanya manusia berpenampilan seperti itu yang ia inginkan? Kalau begitu, betapa sempitnya surga yang ia ciptakan nantinya sehingga hanya orang yang berpakaian seragam seperti itu yang layak bersamaNya.

Tentu saja, pemikiran kamu tak harus sama sepertiku. Intinya, rayakan keberagamaanmu sendiri tanpa menuntut semua orang harus sama. Semua orang punya perjalanan spiritual yang ia resapi sendiri-sendiri. Mari kita hargai.

Senin, 27 November 2017

Lelaki Pusat Dunia

Pada mulanya, lelaki itu menyapamu lebih dulu dengan panggilan yang senetral mungkin. Ia tahu bahwa beberapa perempuan tak suka ketergesaan. Ia adalah sosok lelaki manis yang akan sering menyapamu di sela kesibukannya dan memastikan bahwa kamu baik-baik saja.

Ia akan menggiring arah pembicaraan ke topik-topik yang kau senangi, sekaligus memastikan bahwa topik itu sangat dikuasainya. Musik salah satunya. Kau selalu suka musik. Ia sendiri adalah seorang musisi. Kalian akan bertukar pengetahuan dan kau pun akhirnya mengakui bahwa selera musiknya bagus. Pengetahuannya di bidang lain pun tak kalah mendalam. Lelaki itu tahu betul bahwa kau akan mengakui kecerdasannya karena ia telah berkali-kali menggunakan trik yang sama pada beberapa perempuan dan selalu berhasil.

Tokoh kita ini paham bahwa perempuan memang selalu menyukai segala sesuatu yang terdengar bagus.



Awalnya, ia akan menunjukkan beberapa karyanya. Kau akan mengapresiasi karyanya dengan komentar positif. Kau menyadari bahwa bakatnya adalah bagian dari hasrat terdalammu yang tak pernah bisa kau gapai sebelumnya.

Kau mulai menyadari bahwa ia berbakat, lembut, cerdas, dan berwajah manis. Rasa-rasanya, ia melengkapi semua yang kau butuhkan dari lelaki. Bersamanya seperti mengencani empat orang sekaligus; dokter, aktivis, penulis, dan musisi. Dunia rasanya tak adil jika menghadirkan semua hal baik dalam satu sosok. Dia adalah lelaki melankolis dan paling bisa mengontrol emosinya.

Namun ia sepertimu juga yang masa lalunya tak sempurna. Duka-duka masa lalunya barangkali seperih yang kau miliki. Lagipula, beberapa masa lalu memang harus dikubur dalam-dalam. Kau juga akan mengabaikan risiko-risiko jika bersamanya karena kau sendiri sudah terbiasa menyelam ke dalam air keruh kehidupan. Kau juga tahu bahwa dirimu harus menghargai setiap manusia yang berusaha menjadi dirinya yang baru, otentik, dan lebih baik. Dalam proses itu, ada banyak hal yang perlu dilewati. Di sini, kau pun berusaha agar dapat menjadi seorang pendamping yang kuat menghadapi suka duka perubahan itu.

Waktu berjalan lebih cepat dari yang direncanakan. Debar jantung saat pertemuan adalah bumbu yang diracik sedemikian rupa hingga jadi terasa melenakan. Rindu adalah sebentuk rasa haus memaksa kalian untuk meminum ramuan bernama perjumpaan.

“Saya merasa, diri saya menggebu-gebu sekali dalam mencintaimu,” kata si lelaki.

Kau mengamini hal itu.

Kalian merasakan hal yang sama. Rasanya seperti remaja yang mencicip cinta untuk pertama kalinya. 

Rasa rindu yang tumbuh jadi bunga-bunga adalah dekorasi dalam perjamuan asmara kalian. Kau menyadari bahwa hadirnya satu orang dalam lantai dansa di hatimu jadi begitu penting. Setidaknya, kau bukan lagi jadi gadis yang berdansa sendirian dengan gaun bercorak kabut duka. Lelaki itu fasih memilihkan musik apa yang tepat untuk mengiringi dansa kalian.

Sayangnya, hidup ini tak hanya soal menari di antara dekorasi bunga-bunga diiringi music klasik kesukaan kalian. Hidup adalah menghadapi kenyataan bahwa di taman terindah pun, selalu ada hama dan belukar di dalamnya.

Ia selalu jadi orang yang memilih lagu dansa kalian karena ia yakin bahwa selera musiknya lebih baik dari siapapun. Tak hanya itu. Ia juga akan mengatur waktu perjamuan kalian.

Ada satu dua pesta dansa yang tak ada kau di dalamnya. Itu bukan sebuah pesta dansa yang serius. Kau akan mengamininya bahwa lantai dansa yang ia bangun tak semegah milik kalian. Namun kau juga mempertanyakan, jika kalian sudah bahagia di lantai dansa ini, mengapa ia perlu menggelar pesta dansanya sendiri?

Tentu saja, kau akan menghibur diri bahwa ini sudah risiko yang mestinya sudah diantisipasi jauh-jauh hari. Namun kau tidak bisa mengabaikan rasa sesak yang timbul di dada setiap kali mengingatnya. Bayangan bahwa lelaki kesayangan yang garis tawanya selalu kau rindukan itu ternyata mengajak orang lain untuk berdansa telah membuatmu hampir gila.

Kau memakan dengan baik janji gulali lengkap dengan hidangannya pada makan malam penebus dosa yang ia gelar. Kau akan menelan apa saja yang ia sajikan sambil meminta dadamu yang masih sesak untuk memberi ruang untuk maaf dan sabar.

Dalam cemas yang mencekam, kau mempertanyakan kemana rasa rindu menggebu miliknya yang dulu selalu minta dituntaskan. Duka membuatmu lupa caranya menari lagi. Kau menyimpan melodi yang ia ciptakan dan menghirup wangi bunga-bunga yang tersimpan di dalamnya. Kau merasa bahwa memaksakan diri untuk tetap menari dalam kesendirian dengan gaun duka seperti ini adalah sebentuk kegilaan yang selama ini perlu kau hindari.

Kau tahu bahwa ia menggelar pesta-pesta dansa yang tak bisa kau datangi. Jikapun hadir, mustahil ia menggenggam jemarimu yang ringkih dan mengumumkan pada semua yang datang bahwa kau adalah perempuan yang selama ini berdansa dengannya. Bahkan, di saat kau melambaikan tangan padanya di tengah kerumunan, ia sibuk bergelak tawa bersama orang lain seolah tak melihatmu.

“Saya tidak terbiasa seperti itu,” katanya suatu hari saat aku melontarkan kecemasanmu di antara kerumunan. “Saya tidak ingin mengumumkan cinta. Saya ingin mencintaimu dalam sunyi.”

Tentu saja kata-kata itu sangat indah. Dengan segenap tekad, kau mengamini hal itu. Untuk apa punya cinta yang gaduh? Cinta seharusnya sepi dan menenangkan, bukan?

Kau berusaha duduk tenang di rumah dekapan yang kalian bangun dengan susah payah. Memang ada tambalan pada atap dan temboknya, tapi kau percaya bahwa tinggal di sini lebih aman daripada menghadapi badai sendirian di luar sana.

Namun ada masa-masa di mana kau terpaksa menghadapi badai sendirian. Tokoh kita memang bukan orang yang bisa setiap saat menggenggam tanganmu saat kau tercekat ketakutan. Badai ini membuatmu sadar bahwa ternyata benih sabar yang kau tanam begitu ringkih hingga membuatmu kalut.

Aku akan balas dendam pada lelaki itu, tekadmu dalam hati. Ratusan surat terkirim tanpa balasan. 

Bayangan soal pesta dansa yang ia gelar tanpamu menerormu sepanjang malam. Hantu-hantu penghisap kebahagiaan terus menerus mendatangi rumah dekapan kalian tanpa permisi dan kau dipaksa menghadapinya sendirian.

Segalanya membuatmu gila. Kau mulai mengamuk di pesta-pesta dansa dan di pasar-pasar. Kau berteriak mencarinya dan melakukan apapun untuk membuat lelaki itu menghangatkan rumah dekapan kalian lagi.

“Saya mencintaimu. Sangat mencintaimu,” katanya sambil memelukmu. Mata lelahnya memintamu untuk tenang.

“Saya merasa sangat bersalah. Seharusnya tidak ada pesta dansa yang saya gelar tanpa kehadiranmu,” ujarnya lagi.

Ia menuntunmu masuk lagi ke dalam rumah dekapan kalian. Ia pun mulai rajin menyirami lagi bunga-bunga di lantai dansa kalian.

Tangan hangatnya meraih tubuhmu. Kalian mulai berdansa seperti biasa sambil membicarakan hal-hal yang pernah membuat kalian membara. Ada pijar di matamu yang berhasil ia nyalakan lagi.

Kau memandanginya dengan tatapan bertanya.

Sumber gambar: Pinterest
“Kita tak tahu akan berdansa sampai kapan. Yang jelas, saya ingin kamu bahagia karena saya bahagia bersamamu,” ucapnya lirih.

Kali ini, bukannya meramu ucapannya jadi gula-gula di dalam ramuanmu, kau justru memahat dan kata-katanya tepat di pusat duniamu. 

Waktu yang akan menjawab. Kelak, kata-kata itu akan jadi prasasti bersejarah, ataukah hanya sekedar onggokan batu nisan.

Rabu, 01 Maret 2017

Makan Baksomu!

Malam ini aku membentak seseorang hanya karena ia terus mengoceh tanpa henti soal tulisan sementara badannya bertambah hangat karena demam dan ada sepiring bakso yang semakin dingin karena dipaksa menunggu jamahannya sejak sepuluh menit yang lalu.

Membaca tanpa tanda baca melelahkan, bukan?

Itulah dirinya. Saat ia membahas tulisan seseorang di media dan membandingkan dengan segala kemungkinan yang berhubungan dengan tulisannya sendiri. Ia akan mengulang kalimat yang sama delapan kali banyaknya serta pertanyaan yang itu-itu saja. 

Tidakkah ia merasa lapar? Tidakkah ia ingin mencicipi gilingan daging yang aku masak khusus untuknya sementara ia terus menunda diri untuk sekedar makan?

Terisikah lambungnya setelah memakan barisan huruf di layar bercahaya itu padahal tubuhnya bertambah kurus dengan pipi yang semakin tirus?

Sesaat setelah aku membentaknya, ia meraih piring dan makan dengan tenang seperti anak penurut yang takut pada ibunya.

Aku menyesali pilihanku menggunakan nada tinggi untuknya. Tapi ia tampak tak mengeluh. Untuk ke sekian kalinya, beberapa menit setelah ia menuntaskan makan malamnya, ia mengulang pertanyaan yang sama lagi.

Kali ini pertanyaan personal, bukan lagi soal tulisan.

"Kok bisa ya kamu mau sama saya?" tanyanya dengan mata berbinar penuh kebahagiaan.

Huh!

Kau memang dokter yang sembrono dalam hal kesehatan dan seorang maniak redundant, sayang...

Kamis, 16 Februari 2017

Aku Mau Menunggu, Asal...

Aku mau menunggu, asal orangnya kamu.

Pukul 9.48 malam. Stasiun sudah agak sepi. Awalnya aku pikir barangkali para pekerja memang hanya berjejalan pada pukul 5 sampai 8 malam. 

Aku keliru. Ternyata orang-orang masih berjejalan di dalam kereta. Kamu hanya satu dari ribuan pengguna kereta lainnya.

Tadinya aku tak berencana di sini lama-lama. Lagipula, apa sih enaknya membawa beban ransel lima kilogram sambil berdiri sendirian di peron?

Apalagi, ada tiga macam tulisan yang antri untuk diselesaikan dengan total 5 judul. Satu soal pekerjaan, satu soal janji, dan satunya lagi soal masa depan. Dan di menit ini aku malah menulis blog.

Belum lagi soal pakaian kotor yang berteriak minta dicuci sejak minggu lalu.

Bukan, aku belum mencuci bukan karena malas. Aku harus mengunci pintu kamar rapat-rapat dan mematikan semua lampu untuk bekerja di tempat lain selama 2 hari.

Rasanya awal minggu memang baru kemarin. Awal minggu yang membuat kita berdua perlu mengeluarkan pakaian kotor dari ransel sisa bepergian akhir pekan lalu. Kamu menitipkan beberapa helai bajumu untuk kucuci hanya karena aku senang melakukannya, kamu sendiri tak pernah meminta hal tersebut.

Aku mulai merasa bahwa hari terlampau cepat berderap, melibas hari libur berisi kerja tanpa pertemuan kita. Hari yang membuat jari kita lebih sibuk menyentuh deret huruf di laptop daripada menggamitkan jemari kita satu sama lain. Apalagi sejak kamu memilih untuk mengurangi rasa lelah di perjalanan yang terlampau jauh dengan konsekuensi bahwa kita tak akan sesering biasanya untuk bertemu.

"Saya sudah selesai menulis sih..." ujarmu mengabarkan pada pukul 4 sore tadi di layar gawaiku.`

Tentu saja itu kabar baik. Kamu memanfaatkan waktu dengan apik di tengah kesibukanmu memeriksa gigi pasien dan seabrek kegiatan sosialmu. Kamu memang tidak akan meneleponku lewat panggilan video sesering dulu hanya dengan alasan, "rindu melihat wajahmu." 

Tapi segalanya akan tampak cukup dan baik-baik saja bagiku karena toh kita harus memberikan waktu kepada diri kita sendiri agar lebih berdedikasi terhadap apa yang disebut sebagai kewajiban orang dewasa seputar karir, dengan lingkaran sosial yang berbeda satu sama lainnya.

Sampai sepuluh detik lalu, aku pikir ini adalah hari ketiga dalam minggu ini. 

Rasanya hari-hari terasa sangat panjang untuk menunggu akhir pekan. Pada akhirnya untuk kesekian kalinya, aku keliru menghitung hari sekalipun ada kalender di layar gawaiku. Padahal, ada akhir pekan yang aku tunggu kedatangannya.

Seperti yang kau janjikan lewat pesan empat jam lalu, akhir pekan ini kita akan berjumpa. Aku pikir itu artinya tiga hari lagi. Ternyata bukan tiga hari. Melainkan hanya dua hari.

Lagi-lagi, 46 detik telepon darimu pada 40 menit yang lalu membuat hitunganku buyar.

"Ya sudah. Tunggu saya disitu," katamu sambil mengakhiri pembicaraan. Aku terlambat mengiyakan saat kamu sudah mengakhiri sambungan telepon. 

Toh pada akhirnya, lewat keyakinan dan kesepakatan tak langsung, aku dan kamu sama-sama tahu bahwa kita akan saling menunggu.

Ada sensasi aneh yang terjadi di pikiranku. Seolah drama dalam kepala tentang kekasih yang hendak berjumpa tepat di tempat kali pertama pertemuan kita terputar dengan rekaman slow motion. Tempat ini memang jadi saksi di mana mataku pertama kali menemukan sosokmu.

Aku tak pernah mengatakan bahwa aku benci menunggu. Aku hanya tak suka jika seseorang tidak melakukan apa yang dia ucapkan. Menunggu selalu membuatku berpikir bahwa akan ada satu dua pekerjaan yang bisa aku lakukan. Hanya saja, kali ini aku menulis beberapa cuitan di lini kala Twitter, menulis blog, sembari bersandar di penyangga tubuh yang tak layak disebut kursi demi menunggumu di peron.

Sekarang pukul 10.12 malam. Peron semakin sepi. Tubuh kurus jangkungmu dengan kulit gelap khas Timur itu tak juga muncul.

Tenang saja. Kataku pada diri sendiri. Dia pasti segera datang.

Karena aku mau menunggu, asal orangnya kamu...

Waktu sudah menunjukkan pukul 10. 34 malam.

Akhirnya, aku melihat punggungmu yang berusaha keluar dari salah satu gerbong kereta. Tepat di seberangku. Dengan jaket hoody, ransel yang sudah kepalang lusuh, dan beberapa buku di tangan. Hangat senyummu perlahan menenangkan hatiku yang seringkali tiba-tiba membeku. 

Mestinya juga kamu tidak perlu melontarkan pertanyaan, "kenapa wajahmu tanpa ekspresi seperti itu?" tiap kali hatiku mulai menggigil sepi dimakan ketakutan.

Kita berpandangan dari jauh. Lalu tersenyum. Astaga, melihatmu dari jarak 10 depa ini membuatku benar-benar semakin merindukanmu!

Saat jarak kita tinggal satu kelingking, aku ingin mengatakan padamu rasa terima kasihku karena telah benar-benar datang. Terima kasih telah menyempatkan bertemu walau hanya 10 menit bersama. Terima kasih atas senyum yang kamu tampakkan saat pertama kali pandangan mata kita bertemu.

Alih-alih mengatakan itu, aku menggunakan kesempatan pertemuan singkat kita untuk merajuk tentang tema yang sama. Persoalan yang berkali-kali telah kita bahas. Hal yang akan membuatmu memberikan jawaban yang sama karena pertanyaanku pun belum berubah.

Seperti biasa, kamu menyambut rajukanku dengan senyuman geli. Ada kerut halus nan indah yang bermuara dari bibir yang sampai ke matamu dan selalu membuatku malu. Saking malunya, aku akan membalikkan badan maupun menghindari pandanganku dari matamu sementara tanganmu masih erat memeluk jemariku.

Yang jelas, dengan berakhirnya waktu menunggu, kini aku jadi tahu waktu yang tepat untuk mengakhiri tulisan ini.

Sabtu, 16 Mei 2015

Musimnya Bisnis Muslim Musliman

Saat masih riset di Yayasan LKiS​, sempat diajak Mas Hairus Salim​ ke forum yang dihadiri guru-guru agama SMA se-Jogja. Salah satu materi yang disampaikan Mas Salim di depan guru-guru itu adalah munculnya kost khusus Muslim dan Muslimah di Jogja dalam 10 tahun terakhir ini. Dulu, kost macam itu tak ada, Muslim dan Non Muslim bisa berbaur dalam kost yang sama.

Selain munculnya kost muslim, ada pula kost yang menolak mahasiswa dari Indonesia Timur. Berkat sikap eksklusif orang Islam dan Jawa, Non Muslim dan Orang Timur sulit mencari kostan.

Fenomena itu ada juga di Solo, dan aku yakin ada di banyak kota lainnya. Kost khusus Muslim dan Muslimah bermunculan dengan berbagai aturan yang sangat ketat soal lelaki dan perempuan, jam malam, dan sebagainya.

Buat apa?
Jika yang dimaksud Muslim dan Muslimah adalah yang berKTP Islam, maka agama ini benar-benar hanya berupa hal sepele macam label. Untuk apa membuat peraturan soal kost muslim seperti ini jika ternyata kost tersebut kotor, kecurian dari orang dalam, pelayanannya payah, dan pemilik kostannya tidak ramah? Wajah Islam macam apa yang ingin ditampilkan oleh pemilik kostan?

Bayangkan jika di sebuah kota mulai bermunculan Kost khusus Islam, Kost khusus Katolik, Kost Khusus Kristen, Kost khusus Budha, Kost khusus Hindu, dsb. Kapan umat beragama bisa berdampingan dalam satu rumah nantinya? Tanpa berhubungan baik dengan yang beda pandangan agama, susah untuk berprasangka baik kepada hal yang berbeda. Intoleran jadinya.

Hitung saja dirimu sendiri, berapa teman beda agama yang kamu kenal? Berapa yang bisa benar-benar akrab?

Jika konon agama yang dianut adalah agama sempurna, dan umatnya jadi mayoritas, kenapa mentalnya begitu insecure? Gampang amat merasa terganggu sama umat agama lain. Kalau emang sempurna dan jumlahnya banyak, mestinya lebih tangguh, bisa jadi pelindung yang lemah, bisa membuktikan bahwa agamanya adalah agama yang membawa kabar gembira.

Kalau mau bawa nama Islam, mestinya diwujudkan dengan keberpihakan kepada orang miskin, penolong mereka yang tak punya rumah, penghormatan kepada perempuan, perlindungan kepada Non Muslim, dan hormati Hak Asasi Manusia yang telah ada di Piagam Madinah jaman Rasul. Mau sampai kapan sih agama ini dijadikan alat kekuasaan, ngurusi privasi orang, nyerewetin persoalan kelamin, dan hal printilan yang mestinya jadi urusannya individu sama Tuhannya?

Ini yang dibahas baru soal kost berlabel khusus Muslim. Masih ada lagi komoditas bisnis lain yang jualan agama sebagai daya tarik. Bank, Hotel, Perumahan, Bimbel, Fitnes, Laundry, dsb. Seolah mengemban label Islam itu gampang. Justru karena mengklaim jadi agama sempurna, maka beban yang ditanggung umat Islam jadi lebih berat. Malu kalau bawa nama Islam tapi bikin sistem yang merugikan orang lain.

Hypatia -filsuf perempuan yang akhirnya dibakar oleh orang-orang Kristen Alexandria- berkata pada  para pejabat yang sedang ingin mengkristenkan semua penduduk, "Jika agama baru ini (Kristen, atau yang saat ini dikenal dengan Katolik) memang sebuah kebenaran, apakah perang agama ini adalah bukti bahwa agama ini akan menjadi lebih baik dari Agama sebelumnya (Yahudi dan Penyembah Dewa Yunani)?"

Mestinya bisa belajar dari agama sebelumnya. Tapi ya gitu, sibuk urusi masalah printilan yang sebenernya otomatis bisa harmonis kalau sistem yang dibangunnya bener.

Kita sudahi saja sesi curcol dini hari ini.

Sekian.

Selasa, 11 Maret 2014

Kenapa Belakangan ini Aku Tidak Produktif Nulis?

Sebenarnya aku punya target dalam menulis. Secara profesional maupun sekedar di blog. Beberapa orang menagih tulisanku di blog. Terharu sekali ketika salah satu follower blog mengirimkan email yang isinya bertanya kenapa alu jadi jarang sekali menulis.

Itu terjadi karena beberapa faktor. Anggaplah ini sebagai sebuah pembelaan diri. Faktor-faktor itu adalah :

1. Laptopku mulai ngambek.
Usianya sudah 3 tahun. Baterainya sudah mati. Pun wifinya. Parahnya lagi, setiap kali tersenggol atau berubah posisi, layar laptop blank atau kursornya macet. Pernah di servis dan habisnya banyak. Setelah garansi servis habis, laptopnya ngadat lagi. Hal itu bikin aku...

2. Malas
Tentu saja, saat sedang asik nulis tiba-tiba laptop mati. Lalu aku kesal dan ide ku seketika meleleh semua. Aku harus menyambungkan internet lagi. Kadang tidak selalu lancar. Modem mesti di uninstal dulu dan instal lagi untuk bisa berselancar lagi. Biasanya juga mati lagi setelahnya. Bikin malas luar biasa. Bahkan untuk sekedar buka laptop pun aku benar-benar malas. Itu mengakibatkan...

3. Kehilangan Kepercayaan Diri Menulis
Menulis itu mesti biasa. Apa saja bisa dijadikan tulisan postingan di blog. Semudah kita tulis status Facrbook atau ngetwit. Cukup dipanjangin dikit biar tjakep. Tapi aku sekarang kehilangan kepercayaan diri. Logika menulisku dan kemampuan berargumentasiku melemah. Daya risetku ditentukan sekali oleh kinerja internet dan laptopku. Aku jadi miskin data dan perspektif. Apalagi aku sekarang menghabiskan banyak waktu di twitter yang isinya penulis-penulis bagus. Aku jadi minder, siapalah aku ini :((

4. Blogger, Gmail dan kawan-kawannya
Blog ku awalnya terkunci. Bisa menulis tapi gagal diterbitkan. Lalu setelah dibuka, temanku yang servis blog ku bilang layoutnya harus diganti. Layout ku yang dulu sangat indah dan manis. Bikinan mantanku. Dan terpaksanya ganti layout. Setelahnya, aku tidak bisa kirim email entah kenapa. Aku merasa didiskriminasi google dan aku juga jadi merasa gaptek. Karena orang lain tidak pernah mengalami apa yang terjadi di akun ku sehingga mereka pikir aku yang salah. Aku malah ditanya macam-macam hal teknis yang tidak aku tahu.

5. Bosan Kuliah
Kuliahku semester ini sangat menjenuhkan. Aku ingin skip semester ini tapi aku pikir itu percuma karena toh nanti harus ikut mata kuliah itu lagi. Rasanya aku tidak dapat apa-apa di kelas. Bahkan aku tidak bergairah untuk baca buku. Rasanya hari-hari kuliah hanyalah mengejar absensi dan restu dosen belaka. Benar-benar menyebalkan.Bosan kuliah ini sangat memengaruhi mood ku. Karena itu akan membawaku pada poin nomer 2.

6. Menahan diri untuk tidak curhat
Setiap kali aku ingin menulis blog, aku menyimpan hasrat di dalam dada untuk curhat. Karena kondisi ku sedang tidak stabil dan aku rasa tidak tepat jika menampakkannya di muka publik. Ah sial  ini curhat juga. Tapi apa boleh buat.

7. Suka Tidur
Karena tidur adalah solusi dari lelahnya pikiran. Aku juga heran, setiap kali pulang kuliah rasanya lelah sekali padahal otakku tidak sedang diajak berlari kencang. Mungkin karena memang jenuh kuliah sehingga aku mencari pelarian dengan tidur. Tidur mengurangi waktu baca ku juga. Dan aku merasa sangat bodoh. Tapi aku lelah dan tak tahan untuk tidak tidur. Kecuali kalau terpaksa ada kegiatan di luar. Tapi aku akan lelah juga setelahnya. Dan tidur lagi...

8. Ignoring
Kalau sedang melewatkan sesuatu yang seharusnya aku perjuangkan, aku pura-pura seolah tidak butuh. Biasanya aku tulis semuanya tapi kini tidak. Lalu aku tersiksa dirajam rindu. Ah... Sudahlah...

9. Nulis lewat android nggak enak
Iya, layarnya kurang gede. Touchscreen nya bikin typo mulu. Huft banget!

Itu aja deh. Udah kebanyakan alasan. Hihihi...

Love you Lov!!

Ps : Lihat mukaku... Ekspresi pusing tiap hari. Hiks...

Selasa, 14 Januari 2014

Ketika Memunggungi Mimpi

Ia meminum  kopinya yang kedua sambil berbicara tentang perjalanannya berkelana dari satu daerah ke daerah lainnya yang tampak menyenangkan. Ia menunjukkan hasil tangkapan kameranya untuk melengkapi deskripsi tentang kota yang ia kunjungi dan memperagakan beberapa mimik wajah serta dialeg warga setempat yang menarik perhatiannya.

Aku mendengarkan sampai akhirnya ia bertanya apa yang bisa aku ceritakan.

Tidak banyak hal yang bisa aku ceritakan padanya selain tentang buku terakhir yang aku baca beserta tulisan-tulisan yang dipublikasikan atau tulisanku yang terbenam di dalam draft blog ku. Aku merekomendasikan beberapa buku dan artikel yang menurutku cukup penting untuk dibaca. Sebelum ia menganggap aku memaksanya membaca, aku buru-buru menambahkan, "Jika sempat saja."

Ia menyondongkan tubuhnya dan menatapku, "Kawan, bermimpilah sampai ke langit. Sampai bintang-bintang. Agar kalaupun kau jatuh, jatuhnya pun ke bulan."

Aku berpikir, lebih tinggi mana, bintang atau bulan? Bagaimana jika bintang letaknya lebih rendah dari bulan. Siapa tahu? Aku tiba-tiba menyesal karena tidak mempelajari astronomi dengan baik.

"Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi kita. Semesta akan berhimpun untuk membuat mimpi-mimpi kita terwujud."

Aku memandangnya dan mencoba memastikan bahwa aku tidak sedang berada di salah satu adegan dalam film Laskar Pelangi atau Negeri 5 Menara. Aku sudah siap kalau ada kalimat "man jadda wa jadda" dalam dialog ini. Tampaknya tidak ada. Kemudian aku menggeleng, "Aku tak ingin seperti itu kawan."

"Bayangkanlah, bayangkan... Jika kakimu menjejak Amerika kelak. Keliling Eropa. Melintasi Timur Tengah. Menjelajahi seluruh Afrika. Bagaimana perasaanmu jika bisa menaklukan itu semua? Bermimpilah sebanyak-banyaknya. Mumpung bermimpi gratis, janganlah tanggung-tanggung bermimpi."

Aku kini yakin sedang mendengar kawan-kawan Ikal dalam Laskar Pelangi sedang berbicara.

Ia menggeser duduknya, tersenyum dan menekuk kedua lengannya di dadanya. Tampak kedinginan. Tapi bersemangat.

"Begini, jika aku punya kehidupan yang harus aku pilih, aku ingin menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran. Dengan mata yang waspada."

Hening sejenak. Aku melanjutkan, "Bagiku, hanya orang tertidur yang bermimpi. Aku ingin hidup dengan utuh. Merasakan dengan sadar setiap langkah kaki. Merasakan nafasku dengan penuh penerimaan, rasa syukur dan kewaspadaan. Aku pikir, itu semua tidak dapat dilakukan sambil tertidur supaya mencipta mimpi."

"Bagaimana mungkin hidup tanpa mimpi? Hidup itu perlu proyeksi kawan."

"Aku masih punya harapan dan doa." Kataku cepat. Lalu aku menambahkan, "Rasanya memang hanya itu yang aku punya. Aku sedang mencoba mengasah, atau barangkali aku masih pada tahap perlu mengisi amunisi. Suatu hari jika aku siap, aku akan memasuki lagaku. Bukankah hidup ini antara pertarungan dan perjuangan? Saat ini aku hanya ingin mengurus apa yang harus aku urus, membaca dan menulis sebanyak-banyaknya. Jika mungkin, aku ingin abadi lewat tulisanku. Bukan lewat potretku yang ada dimana-mana. Jika ini disebut proyeksi, inilah proyeksi ku. Tapi, aku tidak ingin disebut sedang bermimpi."

"Kau tidak ingin berkeliling dunia sepertiku? Berbicara di depan orang banyak dalam sebuah konferensi?"

"Aku ingin tulisanku saja yang berkeliling dunia. Atau setidaknya, ideku. Suatu hati nanti. Entah kapan."

Ia mengerutkan dahi dan memicingkan mata. Itu ekspresi khasnya saat meragukan ucapan orang lain.

"Jadi kabar yang aku dengar benar, kalau kau akhirnya tidak jadi mendaftar beasiswa ke Amerika itu?"

"Tidak. Eh, maksudku, iya. Aku memang tidak mendaftar." Kataku, sambil tersenyum dan menggeleng.

"Kenapa?"

"Nanti saja. Suatu hari. Kalau ingin. Kalau sudah menuntaskan banyak bacaan dan tulisan untuk dibagi. Otakku belum mampu berjalan terlalu jauh apalagi berbicara di depan orang banyak tentang sedikit hal yang aku ketahui. Dan aku pikir, setiap orang punya jalannya masing-masing dalam memenuhi konsekuensi logis pengetahuannya. Oh iya, silakan bermimpi jika ingin. Aku juga akan menghargai kok."

Rintik hujan mulai ramah untuk dilintasi. Ia menghabiskan kopinya dan merapatkan jaketnya. Aku lupa membawa jaket.

Ia membereskan kamera, sertifikat, paspor yang tadinya ia tunjukkan padaku sebagai perangkat bercerita. Setelah itu, aku dan dia pamit. Kita menyadari perdebatan di masa lalu tentang hidup dan masa depan masih berlanjut. Namun, diatas segalanya, kita masih berjanji untuk saling mendukung satu sama lain. 

Aku perhatikan, ia tidak mencatat judul artikel yang aku rekomendasikan. Aku paham, ia memang tidak berminat membacanya. Aku ingat, dulu ia selalu mencatat detail segala sesuatu dan bahkan mencatat hal penting dalam diskusi kita seperti layaknya sebuah notulensi rapat. Kata dia, "Aku pelupa, jadi, setidaknya aku bisa memikirkan diskusi ini saat di rumah nanti."

Aku memandang langit yang pekat sambil berpikir tentang semua pembicaraan tadi. Kehujanan sedikit bukanlah penderitaan yang berarti. Karena berkat Sapardi, hujan jadi sesuatu yang romantis. Pertemuan tadi juga membuatku jadi agak melankolis. Seperti sebuah penegasan, -ternyata ada hal lain yang tidak kita sepakati lagi-.

Jika hujan memang datang setiap hari begini, semoga mereka yang terlanjur memarkir mimpinya di langit, bintang-bintang dan bulan akan tetap baik-baik saja. Semoga kamu, dan dengan segalanya, juga baik-baik saja. Sampai bertemu di persimpangan, jika memang ada persimpangan diantara kita kelak.


Mampang Prapatan, 14 Januari 2014

Jumat, 13 Desember 2013

Aku dan Berhala-berhala

Lewat ini, aku sedang mencoba untuk mengumpulkan potongan-potongan ingatan tentang berhala yang pernah aku candui. Aku juga agak lupa kapan aku akhirnya memutuskan untuk tidak adiktif pada apapun. 

Seingatku begitu aku memutuskan untuk tidak lagi adiktif pada sesuatu ketika aku memutuskan untuk tidak lagi mengkonsumsi kopi. 

Aku tidak perlu mendaraskan daftar manfaat atau bahayanya mengkonsumsi kopi. Bukan karena faktor kesehatan yang membuat aku berhenti ngopi. Aku hanya menyadari bahwa aku mulai mencandu kopi dan hal itu merenggut kebebasanku untuk beraktifitas. Aku merasa perlu sakit kepala karena kepalaku jadi mengirimkan signal aneh untuk segera dijinakkan kalau tidak ngopi. Aku juga sering mendadak bodoh karena belum ngopi. Kadang juga, rasanya hari menjadi begitu lesu kalau aku melewatkan ritual ngopi. Aku pikir kopi yang aku sematkan dengan penuh kemanjaan sebagai bagian dari hidupku sudah begitu kurang ajar mengontrolku. 

Sebagai orang yang percaya betul adanya kehendak bebas dalam diri manusia, aku mencoba tidak menyalahkan siapapun. Ngopi atau tidak itu cuma soal pilihan dan selera. Walau bapak, ibu maupun kakak ku yang memperkenalkan aku dengan enaknya aktivitas ngopi secara tidak langsung juga ikut bertanggung jawab. Kopi hitam kental dan panas ataupun kopi instan dengan campuran macam-macam menjadi sebuah surga kecil yang mesti dinikmati dengan mata terpejam agar nikmatnya merasuk sampai ke batang otak terkecil.

Akhirnya, aku memutuskan untuk bercerai dari kopi. Kesayangan yang menjadi penyemangat hidupku. Aku menyuruh otakku untuk mengabaikan wangi yang menguar darinya. Aku jadi menghindari kopi sama sekali, baik fisik maupun aromanya. Sekalinya aku ngopi atau mencium bau kopi, aku tidak bisa tidur seharian dan itu sangat menyiksaku. Aku benar-benar memusuhinya. Aku juga bersyukur memiliki banyak kesempatan untuk tidak bertemu dengannya lagi. 

Aku jadi sangat menikmati saat aku menolak kesempatan menyesap kopi ini atau kopi itu yang konon enak sekali. Aku merasa telah lulus. Lepas dari satu berhala. Bisa saja suatu hari aku ngopi lagi. Tapi itu artinya aku berdamai dengan berhala itu lagi yang mungkin akan membujukku untuk menghamba lagi. Tapi paradigma ku sudah memunculkan penolakan-penolakan terhadap segala sesuatu yang bersifat adiktif. Aku hanya tidak suka dengan sesuatu yang adiktif karena itu membahayakan hak dasar kebutuhan eksistensial ku. Kebebasan. 

Lalu aku berkenalan dengan berhala baru bernama sosial media. Saat itu twitter belum populer. Rasanya cemas jika aku tidak mengecek apa yang terjadi dengan facebookku. Fecebook adalah media dimana aku sering memperlihatkan diri ku yang pantas dilihat orang. Itu seperti sebuah catwalk pemikiran dan aku merasa perlu juga untuk menunggu dari para kritikus mode maupun komentator. Aku rasa, aku punya masalah dengan konsep eksistensialisme dalam diriku sendiri. Sampai akhirnya pada suatu hari, persoalan pribadi yang timbul dari sana membuatku untuk memutuskan jalur hubunganku dengan facebook. Menutup akun jadi solusinya.

Ternyata itu bukan solusi. Aku membuka lagi dan kembali menemui persoalan eksistensialisme dalam diriku. Aku mulai menganalisa diri sendiri dengan pisau analisa seadanya karena aku belum punya banyak pilihan untuk menggunakan pisau yang mana. Setelah aku membedahnya, aku merasa perlu membuat skala prioritas tentang penting atau tidaknya sesuatu untuk dibagi. Aku tidak perlu punya kewajiban untuk menambah pertemanan lagi. Ternyata menjadi orang yang aktif di dunia maya itu tidak enak dan tidak merubah secara signifikan cara pandangku. Malah aku yang merasa mengalami penurunan kualitas diri. Aku mulai jarang mengunjungi akun facebook lain. Bahkan membalas komentar-komentar yang ada. Mau bagaimana lagi> aku sudah terlanjur ada di facebook. Aku merasa bahwa solusi kali ini adalah bukan dengan anti facebook. Hanya perlu mengurangi aktivitas produksi status maupun komen. Aku juga merasa baik-baik saja kalau sampai berminggu-minggu tidak membuka facebook. Ternyata, aku bebas dari satu berhala lagi. 

Lalu aku berkenalan dengan smartphone yang membuatku senang sekali chatting. Berhala baru telah datang ke hidupku. Aku bisa tidur pagi dan mencari pembenaran bahwa tidur pagi untuk chatting itu sah-sah saja. Sampai akhirnya aku harus mengucapkan selamat tinggal untuk smartphone yang pasrah dibuat berkarat oleh air laut. Bisa dibilang, ini terpisahkan karena keadaan. Aku jadi tidak mencandu lagi. Satu berhala telah dimusnahkan beserta dengan data-data percakapan bersama mantan kekasih. Aku menyikapi tenggelamnya Optimus prime L7 dengan perasaan biasa saja. Dengan tidak mengumumkan ke orang banyak di saat terjadinya hal itu. Oh iya, aku pernah kehilangan handphone sebelumnya yang membuatku bersedih. Kali ini tidak. Ternyata aku mampu untuk tidak terikat lagi oleh hal fana bernama smartphone. Aku juga tidak ngoyo untuk mencari penggantinya. Aku cukup adem ayem dengan hp biasa saja yang kecanggihannya hanya lampu senter. Aku tidak perlu merasa terasing juga ketika orang membutuhkan pin BB, ataupun whatsapp. Hidupku masih normal. Biasa saja. 

Aku masih menyukai banyak hal sambil berjanji untuk menyukainya dengan biasa saja. Seperti film bagus, buku-buku, sepatu wedges, baju-baju, make up berkualitas dan makanan enak. Aku pernah mencandu sop iga depan kostan, pempek samping kostan, dan sate padang samping kostan, Sekarang sudah sembuh dari mencandu itu. 

Aku menghargai mereka yang masih memberhalakan rokok, kopi, games, tokoh dan yang lainnya. Hidup orang tidaklah harus sama dengan idealisme kita. Orang melalui prosesnya masing-masing. Aku hanya perlu tersenyum pada teman yang berkata tidak dapat berpikir jernih jika tidak merokok. Ia sebut itu kenikmatan, aku sebut itu perbudakan. Sekali lagi, soal sudut pandang dan kesadaran.

Salah satu mantan kekasih (ini artinya aku punya lebih dari satu ya) pernah berkata, "Mencintai itu bagiku cari berhala. Aku kadang perlu sesuatu untuk disanjung-sanjung atau dipelihara. Kamu sekarang ini, jadi berhalaku."

Ketika kita berpisah, aku menyikapinya dengan penuh pemakluman. Aku maupun dia punya cara yang tidak sempurna dan tidak indah-indah banget dalam mencintai. Bagiku cara mencintai juga unsur penting dalam sebuah hubungan. Dia sadar bahwa selama ini aku membenci kebiasaannya merokok dan ngopi gila-gilaan tanpa makan apapun. Dia sadar bahwa aku juga membenci gaya hidup begadang habis-habisan atau tidur terlalu lama sampai akhirnya seharian tidak melakukan apa-apa. Dia tahu aku kecewa dengan banyak hal dan tapi aku memilih bertahan setiap kali ada hal yang membuatku ingin lari.

Aku mengajaknya untuk mendengar sebuah lagu dari Soko yang liriknya, "I'm not in love, i'm not in love, with you. But it;s okay to stay with you. I'm not in love..." Aku hanya ingin berkata bahwa aku tidak akan meninggalkan dia cuma karena aku ingin membuat nyaman diriku sendiri. Dia bisa jadi berhala juga di hidupku seperti dia yang menjadikan aku berhala di hidupnya. Tapi dia juga bukan kopi, facebook, sate padang depan kostan, Sop iga depan kostan, chatting dan apapun di dunia ini yang sempat aku candui. Dia manusia. Bukan seonggok daging-tulang-darah yang bisa disimpan dan diperlakukan semau kita. Aku tidak perlu mengusir orang yang memilih berlindung di dalam kubah yang sama denganku kecuali atas keputusannya sendiri. Dia bebas memilih tinggal atau pergi. Aku hanya perlu menyiapkan hati jika suatu hari ada yang pamit. 

Sekalipun dia pernah berkata, "Aku nggak pernah meninggalkan siapapun. Siapapun. Apalagi kamu." Dan kemudian hari di saat kita mesti berpisah dia berkata, "Aku minta maaf, kalau kita bersama keadaannya akan buruk bagi kamu maupun aku. Aku nggak layak buat kamu." Aku menganggap semua ini adalah sebuah titik di semesta yang tidak mempengaruhi jalannya galaksi bima sakti atau orbit siapapun. Itu adalah hal kecil. Sebagai sesuatu yang selama ini ia anggap berhala, aku harus maklum. 

Aku tidak akan mempertahankan atau memaksa orang untuk tinggal. Tidak. Aku juga menghargai diriku sendiri. untuk tidak meminta siapapun agar bertahan atau masuk. Barangkali hujan diluar sudah reda dan ia perlu melanjutkan hidupnya di luar sana setelah merasa cukup hangat berada di dalam rumah yang ada aku di dalamnya. Aku belajar untuk mencintai secara wajar siapapun yang singgah. Benar-benar ingin mencintai secara wajar. Termasuk memaklumi setiap manfaat praktis yang ia dapatkan dari hubungan ini. 

Mencintai juga artinya membebaskan. Termasuk membebaskan seseorang untuk keluar dari hidup kita, Lagipula, hukum kekekalan cinta meniscayakan bahwa cinta itu tidak akan musnah, ia hanya berpindah dari satu hati ke hati yang lainnya. Itu berlaku bagi pecinta dan yang dicintai. Prinsip niscaya juga mengatakan bahwa sesuatu yang ada permulaannya pasti juga pasti ada akhirnya. Kecuali Tuhan. 

Jika sesuatu yang aku cintai mulai jadi berhala, aku akan meniru jejak Ibrahim : membakar para berhala. 

Pada akhirnya, Voltaire pernah berkata, kebebasan itu adalah sebuah hal yang sulit. Terutama bagi orang bodoh yang memuja rantai penjeratnya sendiri.

Aku hanya tidak ingin jadi orang bodoh. Setidaknya di mata Voltaire.

Hujan di Mampang, 13 Desember 2013

Selasa, 12 November 2013

Melintasi Ketakutan

Dulu aku begitu kagum dengan kata-kata yang dipilih JK Rowling di dalam buku Harry Potter, ketika Lupin berkata pada Harry, "Ketakutan terbesarmu adalah ketakutan itu sendiri, Harry." Novel Harry Potter sudah tamat sejak aku SMA. Sudah berhasil membaca semua serinya juga berulang kali. Tapi sampai sekarang aku masih memikirkan kalimat itu, di kepalaku. 

Memikirkannya, membuatku merasa bahwa barangkali Dementor sedang berada di dekatku dan menyerap kebahagiaan yang seharusnya bisa aku pilih. Memikirkan ketakutan-ketakutan, serta merta membuat jantungku berdegub keras. Tiba-tiba aku akan terlempar ke bawah kubah kecemasan. Hatiku mencelos turun ke perut dan jantungku rasanya membesar.

Lalu aku berfikir, betapa anehnya ketika aku justru membiarkan diri disiksa oleh hal-hal yang belum terjadi. Atau hal-hal yang sudah terlanjur terjadi. Ketakutan itu mengkristal dalam celah-celah harapan, menjadikan cahaya yang harusnya terang dilingkupi setitik 'ketiadaan cahaya'. 

Bagaimana mungkin ada perasaan takut kehilangan sesuatu yang bahkan belum -atau justru- tak pernah kita miliki? Bagaimana mungkin ketakutan itu datang kepada sebuah masa dimana kita bahkan belum melangkah di dalamnya? 

Kehidupan, kebenaran dan cinta adalah bagian dari semesta, bagian dari manusia yang hingga kini masih terus dipertanyakan. Jika ada jawabnya, kita masih saja tidak selesai memahaminya. Yang aku tahu, pemahaman itu bergradasi. Aku mesti berdarah-darah dan berurai airmata sambil terseok-seok menggapai gradasi terpekat dari puncaknya.

Orang-orang sering berkata bahwa harapan wujudnya bagai tiang gantungan. Ada algojo yang sudah menunggu kita untuk di eksekusi. 

Lalu sejarah bercerita, tentang orang yang memilih mati untuk hidup, tentang orang yang hidup untuk memilih kematiannya sendiri dan tentang orang yang hidup diatas kematian orang lain. Jika aku harus memilih, aku ingin mati untuk hidup. Walau itu tidak akan serta merta menjadikan aku martir. Iya, memang tidak banyak yang sudah aku perjuangkan. Tidak banyak yang aku perbuat selama ini. Lalu bagaimana mungkin aku bisa mati untuk kehidupan itu sendiri. 

Aku perlu menghela nafas, sembari mengeja kehidupan yang memang rumit, kerumitan itu yang menjadikan ia begitu cantik. Begitu misterius sekaligus berbahaya.

Aku tidak pernah selesai untuk bertanya pada diri sendiri, seberapa besar ketakutanku untuk hidup atau seberapa besar ketakutan untuk mati. 

Bukankah ancaman menuju kematian sudah terlalu sering? Tapi aku tidak juga menyingkir ke wilayah aman. Wilayah yang aku pijak adalah wilayah yang aku cintai. Bukankah indah jika akhirnya memilih kematian di wilayah yang kita bela setengah mati. Kita torehkan jiwa raga kita untuk hal yang kita anggap pantas diperjuangkan.

Jika aku sempat berpikir tentang ketakutan, tentu saja, aku juga masih punya waktu untuk keberanian. Aku masih punya tempat untuk berjuang, setidaknya untuk hal-hal kecil yang aku yakini sebagai kebenaran. Aku akan melanjutkan hidupku, yang berisi separuh ketakutan, separuhnya lagi keberanian. Kemudian menghimpunnya sebagai kekuatan.

Yang paling utama, aku ingin membunuh cemas. Tepat di pangkalnya ketika ia datang. Terutama jika ia berbentuk ketakutan akan hilangnya hal-hal yang tidak pernah kita miliki, terhadap yang belum pernah terjadi. Terhadap apapun, yang menjadikan aku takut untuk mati.

--
Jakarta, Menjelang 10 Muharram

Jumat, 11 Oktober 2013

Buat Rasyid Hamid : Maaf untuk 30 Agustus yang Terlewatkan

Kesalahan terbesar kali ini berbentuk: "Aku tidak ingat bahwa aku lupa."
Dear, Rasyid...

Disadari, bahwa kehidupan meniscayakan kita berhadapan dengan berbagai hal yang membuat kita kuat, hal itu bernama masalah. Ia datang seperti anyaman yang terbentang dan menghalangi pandangan mata. Membuat kita abai, bahwa di depan kita masih ada banyak hal yang bisa dilihat dengan senyuman. 

Lucunya, kita sering menunggu orang lain menyobek anyaman itu dan seolah menampar pipi kita, berteriak dengan klise, "Bangun donk! Jalan masih panjang. Ini bukan apa-apa, Belum apa-apa." 

Untunglah, masalah itu -selalu saja- tidak sebesar rasa syukur kita (kalimat sederhana ini keluar setelah refleksi panjang tentunya :P). Bukankah selama ini, kita tidak pernah sendirian saat mesti berhadapan dengan masalah? Ada sahabat yang membantu kita bangkit atau ada kekuatan tersembunyi yang membuat kita mau nggak mau harus terus bertahan. Kalau kata mantan ku sih (You-know-who) "Hidup, terus berjalan, orang jualan bubur masih jualan bubur, orang jualan nasi goreng masih jualan nasi goreng. Masalah toh akan tetap datang. Jangan terpengaruh jadi lemah... Gitu".

Cid, serius deh, aku sering merasa bahwa salah satu hadiah terbaik yang Tuhan berikan adalah kamu, laki-laki baik-baik yang jadi sahabatku tanpa alasan-alasan pragmatis yang menjemukan. Bagiku, kamu masih Laki-laki paling tulus, paling besar maafnya dan paling available dalam hidupku. Kan kamu udah jadi semacam bagian dari keluarga ku, Jadi, aku tidak perlu lagi memilah-milah, mana yang kepentingan keluarga mana yang kepentingan kita. Sama saja. Sadar apa nggak kalau kamu memang seperti itu. Tanya Nila deh kalau kamu nggak percaya tentang kebaikan mu sendiri.

Cid, Kita seringkali berbagi tentang kecemasan-kecemasan yang menggumpal dipikiran kita. Tugas kuliah lah, krisis moneter lah, temen-temen pragmatis lah, keluarga, dan lain-lain. Aku senang waktu kamu betah duduk berjam-jam menyimak kecemasanku, menungguku dandan lama sebelum kita pergi atau bersabar dengan kebiasaanku yang tidak bisa mengunyah makanan dengan cepat sampai-sampai kamu harus menunggu lebih lama supaya aku bisa menyelesaikan makanku.

Saat aku bercerita, aku suka memperhatikan ekspresimu yang datar, seperti laki-laki semestinya. Kedataranmu yang menampakkan kekuatan itu punya sesuatu yang membuat aku merasa harus tegar (apa sih ini bahasanya -__-). Aku sering dengar kamu mengucapkan hal klise, "Sabar ya yu... blablabla." Walau klise, aku tahu bahwa kalimat itu lahir dari rahim ketulusanmu. Bukan berarti aku menuduhmu punya rahim lho ya. Tentu saja, ini konotasi. 

Cid, tentang hal kemarin yang kamu bahas, Aku jadi merasa orang paling tidak tahu diri sedunia. Oke, uhmm.... Jadi, aku akui bahwa aku melakukan kebodohan. Aku abai tentang satu hari yang tidak akan kembali lagi, kecuali jika kita melalui tahun depan lagi. Moment ulang tahunmu. Aku benar-benar... Kelewatan.

Bagaimana bisa, aku yang sudah expert dalam hal lupa bisa mengingat detail keperihan dan hidupku yang penuh drama. Tapi aku lupa hal penting tentang kamu, padahal kamu adalah salah satu tokoh penting protagonis di drama itu.

...Ulang tahunmu 30 Agustus. Jujur saja, aku harus membuka profil Facebook mu untuk memanggil ingatan itu lagi. Terlalu terlambat untuk ingat kan? Aku janji ke diri sendiri, tidak akan pernah lupa lagi.

Aku bahkan lupa apakah tahun lalu aku ingat ulang tahunmu atau tidak. Sejujurnya, lupa kali ini tanpa alasan yang jelas. Aku harus berpikir keras tentang apa yang sepantasnya aku ucapkan sebagai alibi atas kelupaanku. Aku mau bilang, kali ini, aku lupa saja. Lupa, sekali lagi, tanpa alasan yang jelas.

Cid....
Aku tahu aku telah melakukan kesalahan fatal. Hampir 5 tahun kita bersahabat, aku malah tidak menghitung, berapa kali aku melupakan ulang tahunmu. Aku mengingat namamu tiap hari, terutama tiap kali aku lapar, butuh teman makan, sedih, bosan, kesepian, cemas, terlalu gembira, tidak tahu harus mengisi waktu dengan apa, mengabarkan sesuatu, punya ide yang konyol, semua update terkini rasanya selalu aku bagi denganmu. Makanya, rasa bersalahku menggunung.  

Aku pernah bilang kan, makan bersamamu adalah ritual yang membuat semua makanan jadi enak, sekalipun aku tidak suka makanan itu sebelumnya. Sate padang, warteg mampang, pempek, Soto Betawi, sop iga dan semua yang sebelumnya tidak aku suka, jadi suka.

Aku selalu ingat kamu sebagai sosok superhero yang muncul dari dari balik kabut mengendarai elang terbang. Siap menuntaskan permasalahan layaknya jin botolnya Aladin. Ya, seperti itu.

Aku selalu iri bahwa kamu selalu bisa menyelesaikan masalahmu sendiri tanpa harus berpanjang kata dalam keluhan. Memang beberapa kali kamu mengeluh tentang beberapa hal, tapi keluhanmu tidak pernah sebanding dengan banyaknya keluhanku. Ya, aku iri tidak punya kekuatan yang kamu miliki. Barangkali itulah mengapa kita bersahabat.

Mengingat itu semua, makin membuat aku merasa, aku adalah sahabat yang tidak begitu berguna di hidupmu. Barangkali kamu terpaksa memungut dan mengadopsi aku jadi sahabat cuma karena aku terlalu imut untuk diabaikan. Jujur aja, emang gitu kan? 

Dengan segala kekurangan, kesalahan, kelupaan, keteledoran, dll, Kemarin kamu bilang kalau kamu memaafkanku. Aku jadi makin merasa bersalah. Walau aku memang berharap dimaafkan sih... Aku jadi makin merasa bersalah walau itu adalah salah satu alasan kenapa aku bisa bersahabat denganmu begitu lama. 

Oh iya, Kita juga tidak pernah bertengkar. Sama sekali. Itu adalah anugrah terindah sepanjang perjalanan persahabatan kita lho. Serius deh. Aku bangga dengan track record ini. 

Baiklah, akhir kata, kadonya menyusul ya...

Janji. 

Makasih atas 5 tahun yang terlewatkan. Makasih telah jadi kantong ajaib semua problem ku. Bahkan, kamu masih jadi fotografer terbaikku. Hampir semua foto di facebook ku kan kamu yang ambil. Aku juga heran, kenapa orang lain tidak bisa menangkap gambar ku sebagus tangkapan kameramu. Untuk ini, Terimakasih!!

---
PS buat pembaca :
Rasyid Jomblo. Mahasiswa Desain Komunikasi Visual Paramadina yang super kece. Yang minat, PM me. Sumpah. Orangnya Baik banget! Twitternya @rasyidhamied. Follow ya. Mumpung hari jumat, #FF in sekalian. Walau orangnya nggak suka twitteran, tapi pasti dia baca. 

Kamis, 15 Agustus 2013

Lebih dari Sekedar Lembaran Hari-Hari Liburan Lebaran

Akhirnya, punya waktu dan energi juga buat nulis blog lagi!

Aku mau share sesuatu...

Tentang, Sepinya Lebaran kali ini. 

Aku lebaran di Solo. Bareng bapak, Mahdi dan Tarell. Kita cuma berempat karena Ibu ada di Jepara bareng keluarga Mbak Indah kakak pertama ku yang juga ngurusin adek bontot ku Ruhi. Mbak Ima yang hamil muda masih di Cikunir dan Mbak Umu juga nggak Mudik karena suaminya emang nggak punya jadwal buat mudik ke Solo. 3 tahun lalu, semua anak-anak Ibu dan Bapakku masih bisa kumpul di Solo dan ngelakuin sungkeman. Ini ya bedanya punya kakak yang satu persatu udah "mentas" sama punya keluarga yang belum pada "mentas". Buat yang belom tau arti dari kata mentas, mentas itu istilah Jawa, yang artinya sudah menikah.

Di rumah waktu lebaran nggak masak, Nggak blanja dan nggak ada makanan apa-apa selain roti tawar. Nggak ada kue-kue kering, baju baru maupun tamu. Selain Sholat Ied di Rumah Almarhum Ami Segaff, g ada yang istimewa. Bukannya nggak bisa masak. Hanya saja, memang tidak ada kesempatan untuk itu.

Mahdi sama Tarell hari ini tetep jualan kayak biasa. Bahkan sehari ini jualan boneka Felt di tiga tempat. Jurug (Kebun Binatangnya Solo), Taman Balekambang (Taman Surapati ala Solo dengan versi yang lebih keren lagi) dan Ngarsopuro Night Market. Mereka pasti capek jualan sampe 3 kali di 3 tempat berbeda dengan nyeret gerobak seng di belakang Motor dan menata dagangan. Tapi mereka tahu bahwa mereka punya tanggung jawab untuk biaya hidup mereka sendiri. Aku lihat, mereka nggak banyak ngeluh. Bahkan, Tarell yang tampaknya manja dan males tetep punya kesadaran untuk berangkat jualan, secapek atau sengantuk apapun dia. Dalam hal ini, aku salut sama mereka.

Dulu, pas aku masih SMP dan SMA, tiap malam Ibu atau Mbak Ima harus jualan di setiap pasar malam dan di setiap bazaar rakyat. Jualannya dari jam 6 Malam sampe jam 12 Malam. Kadang formatnya Mbak Ima-Ibu, Ibu-Aku, Aku-Mbak Ima. Pernah bertiga juga. Tapi emang ibu-Mbak Ima lebih sering karena aku masih sekolah. Aku dulu capek banget jualan kayak gitu. Kadang belajarnya juga di pasar malem karena kalau nggak jualan, malah nggak bisa sekolah. Hehehe...

Sekarang Mahdi dan Tarell yang dulu sering aku tuduh sebagai anak-anak manja lah yang meneruskan tradisi itu. Walau lokasi jualan dan frekuensinya nggak sesering kayak dulu. Tapi tetep aja, jualan di pinggir jalan gitu capek banget. Aku bersyukur bahwa mereka mau dididik oleh keadaan. Di dalam pikiran mereka juga terpikir, "Kalau bukan kita, siapa lagi?"

Ada sepupu tanya pas aku silaturahmi ke sana cuma sama bapak, nggak sama adek-adek, "Lebaran-lebaran kok masih jualan aja sih?"

Aku jawab, "Iya donk, Mahdi kan tahun ini atau tahun depan mau kuliah, Tarell juga masih sekolah. Harus gitu kalau hidup mau terus jalan."

Sebenernya aku mau jawab, adekku kan wiraswasta, bukan pegawai kantoran kayak kamu yang punya hari cuti. Jadi yang menentukan libur atau nggak nya liburan itu bukan waktu, tapi diri sendiri. Tapi supaya damai, aku bilang gitu aja.

Kan Ibu sakit. Jadi harus ada yang menggantikan pekerjaan utama Ibu, Karena sebelumnya Bapak dan Ibu emang kerja. Bapak tetep di kerjaannya, Ibu harus ada yang gantiin. Pewaris tahtanya yang ada adalah Mahdi dan Tarell. Alhamdulillah mereka mau. Tarell dan Mahdi bisa membiayai hidupnya sendiri. Dibantu mbak indah yang suplay barang dari produksi Jepara. Karena kakak sendiri, pasti ada kelonggaran-kelonggaran tertentu buat Mahdi. Karena, kalau Mahdi jadi Sales yang g punya hubungan darah sama Mbak Indah, pasti udah di pecat deh karna sering telat setor. :P

Barangkali, beberapa orang menyayangkan, kenapa anak sekolah harus tetap bekerja padahal seharusnya mereka fokus belajar. Bagiku dan bagi keluargaku, sedari kecil seorang anak harus diajarkan untuk memahami kondisi perekonomian keluarganya. Agar Ia tumbuh jadi anak yang tidak penuntut dan tidak iri terhadap kemudahan-kemudahan finansial yang didapatkan oleh teman sebayanya. Anak juga harus diajari mandiri dan survive agar kelak Ia tidak jadi generasi memble dan bermental pejuang. Sebenernya, kami bukan keluarga yang miskin secara finansial, tapi kami hanya harus berusaha lebih keras dalam hal finansial. Apalagi sejak Ibu sakit dan harus selalu di kursi roda.

Kalau ada yang nanya lagi, emang nggak kasihan kalau adek-adekku harus jualan? Aku akan jawab, kasih sayang ku bahkan bertambah-tambah pada mereka. Bukan sekedar rasa kasihan. Kalau mereka nggak begitu, aku malah kasihan sama mereka, nggak bisa ngikutin jejak kakak-kakaknya yang pas seumuran mereka juga bantuin Ibu jualan. Kalau nggak kenal dunia jualan, bisa jadi mereka nanti akan susah berkembang kedewasaannya, kesadarannya, keteguhannya dalam menghadapi kerasnya dunia. Memang ada cara lain selain jualan untuk mengembangkan hal-hal diatas, tapi yang sekarang ada di depan mata ya jualan. Kalau mereka ada pilihan lain, mereka juga dibebaskan untuk memilih sesuai dengan passion mereka.

Waktu Ibu masih sehat pun, malam lebaran, hari lebaran dan setelah lebaran, kita juga jualan. Karena memang waktu hari-hari itulah dagangan kita bisa laris manis. Sayang sekali kalau dilewatkan. Jadi, disaat orang-orang menghabiskan uangnya untuk belanja hari Raya, kami berusaha "menangkap" uang yang mereka belanjakan.

Kembali ke topik lebaran.

Kini, walau lebaranku biasa aja. Belum sungkeman sama Ibu yang di Jepara, nggak punya foto keluarga saat lebaran seperti orang lain, nggak silaturahmi ke banyak tempat seperti keluarga lain, aku tetap bersyukur. Bahwa kita semua (keluarga Pak Muhsin Sukandar) bisa rukun dan menyadari tugas kita masing-masing. Antar saudara kandung tidak ada yang menuntut harus melakukan ini dan itu satu sama lain, bahkan, kita merasa bahwa kita juga tidak pantas untuk menuntut sesuatu ke orangtua sekalipun. Kita telah dewasa, kita adalah tuan dari segala tanggung jawab dan kehidupan kita. Kata Ibu, Ibu memang sengaja memerdekakan anak. Jadi kalau anak mau ikut jualan atau tidak, mau kerja atau tidak, itu adalah konsekuensi logis dari kematangan pemikiran dan kesadaran anaknya dalam memahami keadaan keluarga. Walau tetap saja, Ibu dan bapak sering mengingatkan betapa pentingnya ikut andil dalam pekerjaan-pekerjaan rumah yang membantu keluarga.

Walau ada aku di rumah, mereka -adik-adikku- nggak nyuruh buat gantiin jualan, melakukan pekerjaan rumah, atau yang lainnya. Saat aku menawarkan diri bantuin mereka, mereka bilang aku nggak perlu bantuin mereka jualan. Aku pikir, kalau aku memang merasa memiliki kesadaran tertentu untuk melakukan sesuatu, maka aku harus melakukannya. Aku memang kikuk saat pertamakali jualan lagi setelah sekian lama nggak jualan. Tapi akhhirnya aku bisa hafal juga semua perubahan harga. Emang, harga produk beberapa ada yang mengalami kenaikan.

Habis silaturahmi ke rumah keluarga terdekat, aku telpon Ibu sebentar, di kepala ku udah muter-muter jutaan kata buat Ibu, akhirnya aku cuma bilang, "Bu, maafin Ayu ya..." Habis itu nggak tau mau ngomong apalagi. Kayak nelpon pacar habis kita bikin kesalahan fatal. Kikuk, bingung... Tapi lega.

Ya Rabb.. Apapun yang terjadi, semoga Engkau merahmati keluarga kami.
Terimakasih Engkau telah mengirimkan kami orang tua yang mendidik kami untuk jadi pejuang.

Ps :
Kita juga lagi mau bikin website jual beli dan Insyallah lagi nyusun bikin Buku Tutorial Felt sekaligus mendirikan Lembaga Kursus dan Pelatihan khusus untuk kerajinan dari bahan Felt di Jepara. Semoga g cuma omong doang ini.
Oh iya, bagi yang belum tau keluarga kami punya dagangan macam apa, Ini foto-fotonya, sekalian promosi.

Pensil WisudaRp 5000/pc
Boneka Wisuda  Rp 35.000/pc

Jualannya lesehan gini deh

Jenis Barang Dagangannya Buanyaaak...
Macam-Macam jenis Boneka Bulet. Banyak Varian

Boneka Bulet Rp. 3.000/pc atau Rp 20.000/Lusin

Boneka ukuran tanggung Rp 5.000/pc atau Rp 35.000/lusin

Boneka Pengantin 12cm Rp 50.000/pasang

Boneka Adat Ukuran 12 cm Rp 50.000/pasang

1 Set Kotak Tisue Rp 150.000

Tempat HP @Rp 10.000
Ditulis tanggal 8 Agustus 2013 dan baru selesai ditulis tanggal 15 Agustus 2013, ditemani Tarell yang Ragu-ragu menentukan apakah dia sedang lapar atau tidak, apakah jam sekarang ini (Sekitar jam 2 pagi) aku harus masak  atau tidak. Dia akhirnya tertidur ssetelah sekian lama menimbang-nimbang keputusannya, sekejap mata, hilanglah keragu-raguannya. hehehe :P