Tampilkan postingan dengan label Cerita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Januari 2020

Sebuah Cerita tentang Si Sedih

Aku terbangun lagi pada pukul 3 pagi oleh pikiran-pikiran aneh tentang hal yang sudah aku lupakan sesaat setelah membuka mata. Jika hal itu penting sekali, kenapa aku harus lupa? Jika itu bukan persoalan penting, kenapa aku harus sampai terjaga?

Aku menghubungi Ben, melaporkan padanya bahwa aku terbangun. Ia selalu memperhatikan jam berapa aku mengirim pesan padanya sehingga ia bisa mengatakan sesuatu yang menguatkan. Biasanya, ia akan bangun pada pukul lima pagi -jauh lebih dulu dari aku- dan berusaha meneleponku. 
Sayangnya, pagi itu ia telat bangun. Aku bangun pada pukul lima saat alarm berdering dan dengan sigap mengeluarkan sayuran dari kulkas untuk aku masak. Aku mengizinkan hatiku sedih, tapi setidaknya, aku ingin tubuhku sehat. Sayuran terbaik adalah yang dimasak dari dapur sendiri sehingga kesegaran dan kebersihannya terjamin. Maka inilah yang aku lakukan. Bangun pukul lima pagi demi memasak bekal untuk diri sendiri dan pasangan.

Di telepon, Ben bilang bahwa begitu selesai mandi, ia akan bergegas menuju kostku. Aku tak memintanya, tapi ia berjanji akan mengantarku ke kantor hari ini. Ia tahu suasana hatiku sedang tak bagus, maka ia ingin memastikan bahwa aku tak merasa sendirian. Lagipula, hari itu ia masuk siang sehingga punya banyak waktu mengantarku. Ia mengatakan berkali-kali bahwa mengantarku tidak merepotkan sama sekali.

Menurutku, mengantarkan aku ke kantor sangat merepotkan. Karena ia harus bangun lebih pagi, mandi lebih cepat, dan rumahnya bahkan ada di luar provinsi Jakarta! (baca: Sawangan, Depok). Jarak rumahnya (Ehm, sebenarnya dia selalu menyebut rumahnya sebagai "rumah kita berdua" sekalipun ia membelinya jauh sebelum bertemu denganku) ke kostanku kira-kira 27km dengan motor. Jarak rumahnya (rumah kita! :D) ke kantorku kira-kira 34km. Sedangkan dari kantorku menuju kantornya sekitar 13km. 

Kalau bukan cinta, aku tak tahu lagi dengan apa menamakannya.

Selain ingin lebih sehat, pagi ini aku masak untuk menenangkan pikiran. Dulu masak selalu jadi sarana untuk healing. Namun, setelah aku mengkomersialisasikan masakanku untuk dijual, masak jadi rutinitas yang melelahkan. Bahkan, mengolah makanan yang sama berkali-kali tak membuat masakanku makin hari makin enak. Ada kalanya masakanku sangat enak dan mendapat pujian banyak orang. Ada kalanya aku salah takar dan salah langkah sehingga ada kekurangan di sana-sini. Jika ingat soal lelah dan apa yang aku hadapi saat itu, yang tersisa hanya trauma. Aku juga heran kenapa terlalu mudah menyebut sesuatu dengan trauma. Ben yang membuang semua sisa makanan dan bahan-bahan warung yang tersisa di kulkas setelah dua bulan tak berani aku sentuh sama sekali. Aku bilang padanya bahwa aku trauma, Ben menanggapinya dengan santai. Toh ada banyak pelajaran dan kita tidak rugi.

Ia datang saat aku selesai membungkus bekal untuk kita berdua. Nasi Merah, Ayam Bumbu Bali, dan Tumis Kangkung. Sepertinya ia senang melihatku tampak baik-baik saja. Sambil mengucapkan terima kasih, ia membawa bekal makan kami baik-baik sambil menandai tempatnya agar tak tertukar. Aku memang memasukkan lauk lain ke dalam bekalku, lauk yang Ben tidak ingin memakannya: Oseng Paru dan Sambel Goreng Kentang Ati ayam. Ibu kost yang memberiku lauk itu ke semua anak kost semalam. Ben tak akan mau memakan lauk di dalam bekalku karena ia memang sangat menjaga kesehatan dengan tidak makan jerohan dan segala yang berkolestrol tinggi. Termasuk kulit ayam! Kadang ia melarangku makan makanan tertentu agar aku selalu sehat. Tapi kadang ia bilang aku harus bisa mengatur pola makanku sendiri. 

Saat berpisah dengannya di depan kantorku, aku mengucapkan banyak terima kasih padanya. Ia melepas helm full facenya untuk memperlihatkan senyum dan mengatakan bahwa aku terlihat sangat cantik. Itu pujian cantiknya yang ketiga sepagi ini. 

Aku melangkahkan kaki ke kantor dan segera menuju mesin absensi untuk menyerahkan sidik jari ibu jariku di sana. Aku lega bahwa aku punya banyak waktu bersantai hari ini sebelum jam kerja dimulai. Setidaknya untuk menyiapkan mental setelah aku menggunakan izin sakitku di awal minggu untuk menenangkan diri dari relaps yang tak jelas triggernya.

Beberapa waktu berlalu, Ben bilang, ia sudah sampai. Aku tidak mengecek berapa lama perjalanannya. Ia mengeluhkan soal macet tapi bersyukur bahwa ia bisa sampai dengan selamat. Lelaki itu memang punya kebiasaan baik dengan selalu mengucap rasa syukur setelah ia secara tak sengaja melontarkan kalimat keluhan. 

Misalnya, pernah suatu hark aku mengeluh makanan di sebuah warung yang tidak enak. Aku mengatakan apa adanya bahwa makanan itu tidak enak. Tapi ia langsung mengingatkan bahwa setidaknya kita sekarang tahu rasa makanan itu karena kita sudah dimampukan Tuhan untuk membelinya, lagipula kita tidak sakit saat makan makanannya sehingga kita makin punya banyak alasan untuk tetap bersyukur. Jika aku tak menghabiskan makanan karena memang tidak enak, ia akan menawarkan makanan lain yang rasanya lebih enak agar membuatku merasa lebih baik. Ia bukan orang yang memaksa orang lain untuk menghabiskan makanan, ia tipe yang meminta seseorang berhenti makan jika sudah kenyang. Maka, jika aku belum kenyang karena tidak sanggup menghabiskan makanan yang mengerikan, ia akan menyarankan aku untuk makan kudapan yang aku suka agar lebih kenyang. Aku biasanya akan memperlihatkan mimik yang tampak mencibir dia yang terlalu positif dalam memandang sesuatu yang menurutku sulit untuk dibela. Kadang ia setuju bahwa makanan itu tidak enak, tapi tetap saja sebaiknya kita tidak terus menerus mengeluhkannya. Hingga suatu hari dia bilang, "sayang, mungkin pas masak ini, kokinya udah lelah. Kamu kan pernah merasakan bahwa masak itu melelahkan. Gaji dia mungkin juga kecil, kebutuhannya banyak. Maafkan kokinya ya. Nanti kita cari makanan lain buat kamu biar kenyang."

Cara Ben tepat untuk membuatku berhenti mengeluh. Aku mudah menangis saat membayangkan bahwa ada seseorang yang sudah lelah bekerja hanya dibayar dengan upah minim. Aku memang tak bisa memverifikasi informasi seputar besarnya gaji si koki di resto/warung makan yang kami kunjungi. Aku tak tahu apakah ia dibayar layak atau tidak. Tapi membayangkannya saja sudah cukup membuatku diam. Ben benar, masih ada banyak hal yang patut disyukuri.

Aku mengingat baik-baik adegan itu. Menanamkan lekat-lekat di ingatan. Aku mengingat pujiannya hari ini padaku. Aku belum melakukan hal buruh hari ini. Hari ini masih terlalu pagi untuk dirusak dengan hal-hal yang tidak baik.

Di kantornya, Ben bilang bahwa bekal makan yang aku buat juga sangat enak. Aku tersenyum senang karena bisa berguna untuknya setelah ia berbaik hati mengantarku ke kantor.

Hari ini pekerjaanku juga tidak sulit. Rekeningku sangat aman, makananku  bergizi. Tapi sepertinya otakku masih gagal memproduksi endorfin, sekeras apapun aku mencobanya.

Aku bersyukur, tapi kenapa kesedihan ini tak pergi? Aku lebih beruntung dari banyak orang di dunia, tapi kenapa aku masih ingin terus-terusan menangis? Aku punya banyak waktu untuk istirahat, tapi kenapa aku selalu lelah? 

Aku merasa tidak punya masalah apapun, tapi kenapa aku merasa bahwa akan lebih baik aku tidak ada di dunia ini? Jika aku merasa jadi sel sperma pemenang di dalam ovum ibuku, tapi kenapa si pemenang ini punya mental yang sangat lemah? 

Aku membayangkan jika tiba-tiba saja aku tak muncul lagi selamanya di kantor ini lagi? Dengan mudah, aku akan mulai tergantikan dengan seseorang yang lebih muda dan lebih kompeten daripada aku, rekan kerja akan bergaul dengan sesamanya seperti biasa, mirip situasi kantor sebelum kedatanganku di sini. Ditambah, aku sudah mundur di banyak lingkaran pergaulan sehingga kehadiranku tak pelan-pelan tidak signifikan lagi di manapun.

Ben adalah lelaki yang sangat baik, ganteng, pekerja keras, lucu, dan bertalenta, akan ada banyak perempuan yang mau dengannya. Mentalnya juga sangat kuat, dia akan baik-baik saja.

Sungguh aku kecil. Tak signifikan, dan mudah tergantikan. 

Aku pikir, jika seseorang memang harus merasakan sedih, setidaknya ia harus punya alasan mengapa perlu bersedih dan menangis. 

Sayangnya, dalam situasi sekarang, aku tak menemukan sebabnya.

Halo Dokter, apakah sudah waktunya kita bertemu lagi?

Halo Banu, apakah kamu siap menjalani terapi dan medikasi panjang lagi?

Selasa, 09 Juli 2019

Waduh, Ternyata Aku Perlu ke Dokter Lagi

Hi,

Kondisiku saat ini baik. Secara fisik dan mental. Setidaknya itu yang selama ini aku pikirkan. Tidak ada peristiwa hidup yang bisa jadi alasan untuk putus asa. Pacarku sangat supportive, teman-temanku baik, dan keluargaku sedang cukup harmonis.

Tapi ada satu hal yang selalu menggangguku. Aku tidak tahu kenapa aku selalu mengantuk di segala situasi. Aku akan tidur saat kerja, saat mendengarkan orang bicara, dan di manapun. Aku ingin sekali bangun pagi. Setiap kali berhasil bangun pukul 5 pagi, aku akan mengantuk pukul 8 pagi dan bangun pada pukul 11 pagi. Kemudian, aku akan mulai mengantuk kembali pada pukul 3 sore.

Ini tidak sehat dan tidak produktif. Hal ini cukup mengganggu aktivitasku. Padahal aku sudah berusaha tidur pada pukul 11 malam atau paling lambat pukul 1 pagi. Tapi aku selalu saja mengantuk setelahnya. Padahal aktivitas ponselku tidak berlebihan.

Karena inilah, beberapa hal jadi terbengkelai. Aku mulai merasa bahwa aku ini agak kurang profesional.

Tenang saja, aku akhirnya berobat lagi ke dokter. Selama 8 bulan, aku putus obat dengan sendirinya tanpa konsultasi ke dokter. Aku merasa sehat sampai akhirnya keluhan soal aku yang tidur terus berdatangan. Aku perlu mengatasi ini. Aku bertanya-tanya pada dokter apakah ini gejala relaps, tekanan darah maupun tingkat gula darah, ataukah akunya yang dasar malas.

Kata dokter, gejala-gejala yang sudah aku alami adalah tanda bahwa aku sedang akan relaps. Aku heran. Kenapa ya aku bisa relaps di saat aku merasa kondisiku baik-baik saja?

Jadi, aku akan lebih tekun minum obat dan psikoterapi. Aku harap aku akan mengubah kebiasaan tidur di mana-mana ini dengan waktu singkat. Karena hidup tak bisa begitu saja berjalan dengan menghabiskan sepanjang usia kita dengan tidur. Aku juga manusia normal yang butuh hidup produktif dan menghasilkan kok.

Dokter bilang, karena aku putus obat agak lama, maka aku akan kena penyesuaian obat lagi dengan dosis yang lebih rendah dari sebelumnya. Ini adalah minggu ketiga setelah pertama kali periksa. Obatku sudah naik dosis dari 1/4 jadi 1/2. Kata dokter juga, lama-lama obatku akan normal jadi 1 tablet. Semoga tubuhku cepat beradaptasi dengan obat yang dikasih ya.

Sehat-sehat semua ya,


Senin, 06 Mei 2019

Belum Berakhir

Aku pikir, jalan hidupku akan berhenti tahun lalu. Di saat harapan jadi abu dan kepala begitu tunduk lesu. Aku tak punya cita-cita saat itu. Bangunan rencana yang pernah aku bangun rasanya ambruk menimpa seluruh tubuhku hingga sulit sekali bangun lagi. Tangan-tangan yang membantuku bangun dari reruntuhan itu rasanya tak cukup untuk membuatku bangkit lagi.

Sekarang, kondisinya mungkin lebih baik. Jauh lebih baik.

Ada kalanya, satu dua hari, aku merasa sesak tak karuan saat mengingat seindah apa bangunan rencana masa laluku. Bahkan, mengingat puingnya saja sudah bisa mengalirkan deras dari bola mataku yang lelah. Keadaan memang lebih baik, tapi tidak selalu baik-baik saja. Aku masih sering berusaha setengah mati untuk mengacuhkan bisikan-bisikan ngawur yang ada di dalam kepalaku. Kadang aku berhasil mengabaikan bisikan itu sembari beraktivitas. Tak jarang, bisikan itu akan melumpuhkanku.

Namun kali ini, aku tak menyerah.

Aku tahu, melawan adalah hal yang sangat sulit. Aku bisa kelelahan luar biasa sekalipun tampaknya aku tak melakukan apapun. Tapi itulah konsekuensi dari kehidupan. Kita membayar nafas dengan usaha-usaha untuk menopang si tubuh hidup ini. Tubuh ini butuh makan, olahraga, pakaian, kasih sayang, tempat tinggal, dan uang. Maka, sesulit apapun yang mesti dilalui, ini hanyalah buah-buah konsekuensi yang aku pilih. Tak semua konsekuensi manis. Aku harap, yang rasanya pahir nanti jadi obat supaya bisa membangun harap dan rencana lagi dari awal. Pelan-pelan... Sampai suatu hari aku akan berdiri sendiri dan tersenyum pada bangunan runtuh yang aku jadikan monumen bersejarah di hidupku. Aku akan berkata padanya bahwa dia sudah memaafkan, mari kita cari jalan pulang menuju kebahagiaan masing-masing.

Langkahku sekarang tak seringan yang aku tulis di atas. Lebih baik bukan berarti benar-benar baik-baik saja. Jalan hidup menyodorkanku pada pilihan sulit berupa hal yang mungkin akan jadi bulan-bulanan orang nantinya. Jadi begini, saat orang mulai mengapresiasi kebangkitanku kembali, aku harus siap menerima lontaran batu yang akan datang padaku jika mereka tahu kondisinya. Jadi, aku sendiri heran dengan hidup yang mesti aku tempuh. Bisakah kita menempuh jalan normal-normal saja tanpa kontroversi dan direstui segala makhluk di bumi?

Aku lelah dengan label-label. Namun aku dikutuk untuk hidup di sana selamanya. Sepertinya aku hanya hidup dari toples satu ke toples lain yang tutupnya sudah disegel rapat dan dinamai dengan nama tertentu. Sehingga orang yang melihatku akan langsung membaca dengan label nama apa aku terlihat di sana?

Ngomong-ngomong, ada sebuah ironi. Di sini, saat aku berjuang keras menumpuk batu bata harap dengan tujuan menjadikannya sebagai tempat aman, aku tak sengaja menghancurkan dinding harap yang lain. Aku pasti sangat berdosa sehingga apa yang aku lakukan selalu saja tak baik. Memang, kita tak bisa menyenangkan orang lain. Tapi, bukankah namanya tak tahu diri jika kita justru tak melakukan balas jasa terhadap tangan-tangan yang mengangkatku? Aku yakin, sekalipun dada mereka dipenuhi cinta untukku, aku akan selalu punya sesuatu yang tidak aku sengaja bisa menyakitinya. Aku adalah tanaman berduri yang sulit berkompromi dengan situasi sehingga aku tak akan terlihat cantik dan baik-baik saja dengan konsekuensi hidup yang aku pilih.

Seperti inilah kondisiku sekarang.

Bagaimana denganmu? Apa sudah baik-baik saja?

Sabtu, 22 April 2017

Udah deh, Nggak Usah Datang ke Big Bad Wolf 2017

Tahun ini, akhirnya Big Bad Wolf datang juga!

Aku memang penasaran sama serigala ini karena tahun lalu tidak bisa datang ke sana. Beruntunglah, kerja di media membuatku punya kesempatan untuk mendapatkan tiket VIP untuk tanggal 20 April 2017.

Apa keuntungan VIP?

Well, tak banyak. Kita cuma dapat kesempatan untuk masuk arena pameran buku yang luas sehari sebelum BBW 2017 dibuka untuk umum. Tidak ada diskon, tidak ada perlakukan khusus lainnya. Undangan ini adalah untuk para pemenang kuis. blogger, dan media yang memang diberi maupun mendaftarkan diri sebagai VIP.

Aku ke BBW bersama Yusni. Di sanalah aku tahu bahwa dia adalah partner pencari buku yang sempurna untuk diajak belanja ke BBW. Apalagi dia juga punya pengalaman pergi ke BBW tahun lalu.
Ini foto yang aku kirimkan ke Tesa pas dia tanya, "udah berangkat ke BBW?" Baru sampai Stasiun Rawa Buntu

Senin, 17 April 2017

Mati Rasa

Aku rasa aku sedang marah sampai mendidih dan aku tak tahu bagaimana cara memadamkannya.

Aku rasa aku sedang panas sampai meletup dan aku tak tahu bagaimana cara mendinginkannya.

Aku rasa aku sedang kesal sampai meradang dan aku tak tahu bagaimana cara menenangkannya.

Aku rasa aku sedang kalap sampai meluap dan aku tak tahu bagaimana cara membendungnya.

Aku rasa, lama-lama bisa jadi aku mati rasa.

(lagi).

Sakit. Sakit sekali.


Minggu, 09 April 2017

Pengalaman Waxing untuk Pertama Kali demi Melawan Trauma.

Warning! Postingan ini tidak cocok untuk kamu yang judgemental dan anti sama awareness seputar kesehatan reproduksi dan kebersihan intim kewanitaan. Tidak cocok juga untuk yang punya otak ngeres tiap kali membahas selangkangan perempuan. 

Hai hai...

Maaf ya jadi jarang ngeblog. Nulis setiap hari di tempat kerja membuatku jadi malas menulis untuk diri sendiri nih. Padahal menulis untuk diri sendiri adalah salah satu cara untuk menyehatkan jiwa. Yhaaaa...

Kali ini, aku mau cerita pengalamanku yang seru dan aku sarankan para perempuan mencobanya juga.

Yak! Kayak di judul. Aku mau bagi pengalaman pertamaku waxing. Nggak cuma bagian underarms alias ketyperi, tapi juga half legs alias betty dan vagina pake Brazilian Monte.

Sebenarnya, aku udah waxing tanggal 9 Februari lalu. Tapi, sengaja belum aku review karena aku perlu nunggu reaksi dewan perbuluan di dalam tubuhku. Biar tahu pasti apa yang terjadi setelah dua bulan masa waxing berlalu.

Kita awali ceritanya dari kondisi perbuluanku yaaa...

Sejarah perbuluan Banu (apaan sih judulnya gini amat)


Jadi, dulunya aku adalah orang yang biasa mengatasi masalah perbuluan dengan cara dicukur. Terutama bagian ketyperi dan betty.

Mungkin mencukur bulu adalah salah satu hal bodoh yang aku lakukan di masa remaja hingga dewasa. Karena hal itulah yang membuat bulu makin lebat dan bertambah tebal. Selain itu, untuk bagian ketyperi, kulitnya juga jadi lebih gelap daripada bagian lain. Sekalipun, menurut orang-orang yang melihat kulit ketyperiku, di bagian ini sih aku ga menghitam ya. Tapi tetep aja, ada rasa insecure yang merayap tiap kali ngaca di bagian itu. Hiks! Lemah!

Aku pernah mencoba krim perontok bulu Veet. Tapi, selain panas di kulitku yang sensitif, krim itu tidak tuntas mencerabut sampai ke akarnya. Jadi si bulu masih sangat meranggas dengan lebatnya. Hanya butuh waktu seminggu untuk tumbuh panjang lagi. Sorry menyori ya 'bok, eike nggak bisa upload fotonya hutan belantara ketyperi.

Kakakku Himma adalah orang yang sering mencabut bulu ketyperi dengan pingset. Memang akan tercerabut sampai ke akarnya. Tapi, setelah rutin melakukan itu, ada masalah di kelenjar payudara yang membuatnya harus dioperasi. Untunglah benjolan itu sudah diangkat dan sekarang dia baik-baik saja. Itu juga yang membuatku tak mau lagi main-main dengan pingset untuk urusan perbuluan. Apalagi untuk daerah ketyperi.

Mencabuti bulu ketyperi dengan pingset itu bahaya! Serius!

Sampai akhirnya, teman kantor ngajakin untuk waxing bareng. Nggak cuma ketyperi dan betty, tapi aku juga ditantangin untuk nyobain Brazilian Monte. Brazilian Monte itu artinya bulu di sekitar vagina kita akan diwaxing sampai bersih mulus seperti bayi lagi.

Sebenarnya aku adalah orang yang jarang sekali ke tempat-tempat perawatan tubuh. Karena aku orangnya sangat pemalu dalam hal buka baju di depan orang lain. Apalagi sampai bagian bawah tubuh.

Misalnya, sampai umur segini pun, aku merasakan yang namanya creambath baru bulan Maret kemarin saat kepala pusing dan ingin dipijat. Itu pun nggak sampai buka seluruh bahuku.

Baru nyobain pijat tubuh di tukang pijat profesional pada umur 24 tahun.

Baru potong rambut di salon umur 25 tahun karena biasanya selalu dipotongin rambut sama ibu atau potong rambut di depan kaca sendiri.

Baru pertama kali facial di skin care umur 22 tahun karena diajak kakak kelas yang sempat prihatin dengan wajahku yang dijajah jerawat. Walau akhirnya aku nggak pernah lagi facial sampai 5 tahun berlalu.

Ya intinya, aku bukan orang yang rempong dengan urusan perawatan tubuh, terutama yang melibatkan orang lain dan bayar :p.

Aku sadar, sebagai perempuan, semakin dewasa kita harus makin memperhatikan kebersihan organ intim kita. Apalagi, aku harus "latihan" untuk berani buka celana demi perawatan.

Iya. Aku benar-benar harus latihan untuk hal sesederhana ini.

Aku punya trauma yang buruk saat periksa obgyn jaman SMP dulu. Ceritanya, aku punya masalah dengan masa menstuasi yang sangat panjang dan sempat mengalami over bleeding. Akhirnya, kakakku ngajak periksa ke obgyn dan diperiksa oleh dokter lelaki. Saat itu prosedur pemeriksaan yang harus aku lalui adalah, aku harus buka celana dan mekangkang lebar-lebar di kasur yang biasa dipakai oleh ibu melahirkan, yang ada jepitan betisnya itu lho.

Nah, dalam keadaan kayak gitu, dokternya mamasukkan kapas di anus untuk mendeteksi kelainan apa yang terjadi di tubuhku.

Saat prosesi itu terjadi, dokter rekannya yang lelaki juga masuk di kamar pemeriksaan dan mereka ngobrol dengan santainya di depan vaginaku yang terbuka lebar!

Sebagai anak SMP polos yang sangat sangat sangat pemalu, hal ini sangat menggangguku.

Beneran deh...

Malu! Malu sekali!!

Kalau dokter obgyn yang memeriksaku adalah seorang lelaki, oke lah ya... Masih bisa dimaafkan karena di rumah sakit itu memang tidak ada dokter perempuan. Terutama, saat itu aku memang butuh pertolongan. Tapi, teman si dokter itu lho! Ngapain sih dia masuk-masuk ruang pemeriksaan juga? Toh dia bukan dokter yang memeriksaku. Apalagi mereka ngobrol dengan santai di depan pasien yang tidak pakai celana selama kurang lebih 5 menit! Bayangkan!!

Maluuuuuu banget!!!

Sejak saat itu aku jadi takut sama semua dokter dan rumah sakit.

Sialnya lagi, di hari itu, aku juga hampir saja menabrak ranjang berjalan berisi jenazah di koridor rumah sakit karena tubuhku terlalu lemas dan anemia membuat pandangan mataku sangat buram sehingga gagal fokus. Horror!

Kenapa ke WaxTime?


Aku pilih di WaxTime karena emang kemarin dulu itu bareng-bareng banget sama temen kantor. Sebagai buruh yang bekerja dari rumah, momen bertemu dengan teman sekantor itu sangat jarang terjadi. Jadi, pas diajakin barengan, ya ayo aja. Apalagi semuanya kumpul.

Lokasinya juga strategis, sebelahan banget sama Pasar Santa. Jadi pas naik Gojek, tinggal cari jalan Cisanggiri 1, udah deh nyampe. Dari Mampang sih cuma bayar IDR 4000 pakai Gopay. Hemat banget kan.

Tempatnya rapi dan cantik banget. Jadi, aku udah terkesan banget sejak pertama kali ke sana.

Kita juga bisa mengira-ngira berapa harga yang harus kita bayar karena mereka mengunggah price list di instagram.


Sebuah kiriman dibagikan oleh WaxTime (waxing & relaxing) (@waxtime_id) pada

Awalnya, aku memang malu-malu. Tapi, aku sudah niat banget mau lawan satu-satu traumaku dan menggantinya dengan kenangan yang lain. Jadilah aku mau-mau aja. Apalagi mbak yang waxing aku orangnya ramah dan sabar banget sama aku yang cerewet ini.

Jadi, ada rasa percaya dan nyaman saat si mbak merawat perbuluanku yang sensitif. Makanya, aku sampai bertekad ingin waxing lagi di sini kalau dijajah bulu lagi,

Sakit nggak?

Untuk bagian ketyperi, wax di WaxTime itu nggak sakit sama sekali. Malah nyaman banget dan enak karena sensasi hangatnya bikin tubuh sangat rileks. Untuk bagian betty, bagian kulit yang empuk rasa cekit-cekit rasanya. Tapi masik oke. Nggak sampai teriak-teriak.

Barulah pas Brazilian Monte ini. Aku merasa sensasinya beda.

Selain soal tantangan buka celana, di bagian kulit yang empuk emang rasanya bikin hemhemhem~. Sempet teriak karena lumayan sakit. Tapi untuk daerah kulit yang nggak begitu empuk, rasanya enak banget kok.

Mbaknya juga telaten mempelajari anatomi tubuh kita, mana yang bagian sensitif untukku, mana yang netral. Jadi, setelah aku kasih tau di bagian situ agak sensitif, mbaknya dengan sigap langsung tahu harus melakukan apa di bagian kulit yang sensitif itu.

Hanya di detik-detik awal sih sensasi sakitnya ada. Tapi selanjutnya, nyaman banget.

Kondisi bulu setelah 2 bulan

Bulu-buluku tumbuh dengan lambat dan malas-malasan. Selain itu, ketebalannya berkurang dan lokasi tumbuhnya juga jadi jarang-jarang.

Aku memutuskan untuk kembali lagi hari Jumat kemarin untuk bagian Ketyperi. Kali ini aku juga ngajakin si Lia, temen kuliah yang bilang kalau dia takut mau Brazilian juga.

Caritanya hari ini pergi waxing di @waxtime_id bareng ama @syahar.banu sekalian jalan bareng setelah sekian lama (re: terakhir pas zaman pilkada Presiden Jokowi). Banu adalah orang pertama yang berhasil ngajak aku Waxing (dulu sering temen2 ngajak aku nyoba waxing tapi gak pernah mau karna takut, haih cemen kali aku ini 😂). Kenapa berani mau nyoba? Karna Banu pinter ngerayu aku, sabar jelasin ini itu. Wah kamu cocok loh jadi marketingnya, karna berhasil buat aku luluh leleh. Hasyeeeekk 😂 . . So, walo cuma berani waxing underarms (masih cemen gak berani yang lebih extreme​). Karna masih coba2, eh ternyata gak sakit. So, akhir bulan Mei (insyaallah), mau nyoba Brazilian ama Banu. Banu uda pernah coba dan katanya cuma sakit dikit aja. Thanks Banu uda ngasih pengalaman baru.💗🙊 . . Sebenernya pengen upload fotonya seluruh badan tapi gak bisa 🙈😔 . #girlstime #girl #waxing #testimoni #sharestories #story #waxtime #waxingjakarta #hangout #girls #indonesiangirl #qualitytime #lfl #instastory #lifestory #potd #loli #chibi #cute
Sebuah kiriman dibagikan oleh otak gesrek (@beibie.jr) pada


Niat awalnya sih aku pengen Brazilian Monte lagi. Tapi apa daya, aku sedang haid. Jadi ditunda sampai haidnya selesai dulu dan sampai ada diskon lagi. Hohoho... Promonya sih kalau kita ulang tahun, maka otomatis kita dapat diskon khusus. Jadi, akhir Mei atau awal Juni nanti, aku pasti balik lagi ke sana! Nantikanlah kedatanganku kembali duhai mbak-mbak WaxTime!

Membuka celana di depan mbak yang mewaxing aku itu adalah pengalaman yang sangat berharga untukku. Karena itu adalah salah satu cara menantang rasa trauma dalam hal memperlihatkan paha beserta isinya di depan orang yang akan merawat kita.

Ini penting sekali untukku. Sebelum aku harus menghadapi obgyn jelang menikah nanti untuk keperluan medical check up. *uhuk*

Oh ya, selain berhasil melewati trauma membuka paha, aku juga berhasil melawan ketakutanku sama dokter dan rumah sakit lho. Karena aku pernah menjaga almarhum keponakan yang sakit Atresia Bilier di RSCM dan sekarang pasanganku pun seorang dokter. Tepatnya, dia adalah seorang dokter gigi yang bercita-cita ingin jadi wartawan. (lho!)

Jadi, begitulah ceritanya pemirsa.

Aku tidak mencantumkan instagramku sendiri ya, karena percuma. Lha wong digembok kok. :p

But, I let you see how happy I'm after waxing in WaxTime.


Sampai ketemu di blogpost lainnya. Aku usahakan untuk menulis pengalaman-pengalaman lainnya ya. :*

Jumat, 19 Februari 2016

Kita dan Rumah Luka

"Kau beruntung punya keluarga," katanya lirih, sore itu.

Aku mendengarnya mengambil nafas dalam-dalam. Tidak apa-apa jika ia ingin menangis. Tangisan bukanlah tanda kelemahan bagi laki-laki maupun perempuan. Bukankah kita tercipta dengan kelenjar air mata yang memang punya fungsi yang sama? Bukankah hati kita secara tak kasat mata juga bisa begitu tertekan dan terluka? Tapi, aku tak melihat ada tetes di sudut matanya. 

"Aku ingat betul. Di hari kematian Ibuku, orang-orang berusaha mengelus kepalaku hanya karena aku anak yatim piatu. Katanya Rasul senang mengelus kepala yatim piatu. Jika umatnya melakukan hal yang sama, maka akan ada banyak pahala yang didapatkan. Mereka melihatku dengan wajah penuh belas kasihan. Padahal, orang-orang itu juga yang akhirnya memperebutkan warisan dari ayah ibuku. Dengan alasan, aku masih terlalu kecil untuk mengelola harta warisannya. Mereka pikir aku tak pernah tahu bahwa aku punya hak atas warisan itu. Mereka tak peduli jika aku membutuhkan warisan itu untuk hidup, sekolah, melanjutkan cita-cita."

Ada keheningan menyakitkan di sini. Suaranya bergetar.

Mereka adalah penyumbang terbesar dalam kesakitan-kesakitan yang masih aku rasakan sampai saat ini. Apa karena aku anak angkat? Bagaimanapun, mereka seperti orangtuaku sendiri. Mereka hanya punya aku sebagai anaknya. Bahkan sebelumnya, aku tidak tahu bahwa aku bukan anak kandung mereka. Aku merasai pengkhianatan, perasaan sendirian, terbuang, terlunta-lunta dari orang-orang yang tampak selalu baik di depan orangtuaku. Tanah di pemakaman ibuku belum juga kering saat perebutan warisan terjadi. Bukannya menjagaku yang masih kecil dan sendirian, mereka justru menorehkan luka batin dalam kepada anak tersayangnya. Jika mengingatnya, rasanya luka ini masih berdarah."

Ia diam. Aku menahan diri untuk berkomentar. Tepatnya, aku tak tahu harus merespon apa. Aku ingin berkata padanya bahwa ia tak sendirian, ada aku. Tapi, di mana aku saat ia sedang lalui masa lalunya? Aku takut tak ada di dekatnya saat ia membutuhkanku di saat ini atau di masa depan. Jika aku bilang aku tahu perasaannya, maka itu kebohongan. Siapa yang tahu persis kesedihan orang lain di masa-masa tergelapnya? Bahkan dua orang yang mengalami peristiwa yang sama pun akan meresapi kesedihannya dengan kadar yang berbeda. Jelas aku tak ingin melontarkan kata-kata motivasi seolah aku tahu caranya menghadapi apa yang pernah dia hadapi. Aku saja berdarah-darah menghadapi "perang" ku sendiri yang sampai saat ini belum juga aku menangkan.

"Kau tahu, aku sempat mencari orangtua asliku. Bapak kandungku sudah lama meninggal. Aku tidak tahu bagaimana rupanya. Aku diangkat sejak masih orok. Ibu kandungku sendiri sudah menikah lagi. Adik tiri begitu membenciku hanya karena aku anak kampung dari pesantren. Aku tak mungkin bersama mereka. Aku tak mungkin hidup di warung ibu kandung yang terasa sangat asing bagiku itu. Aku merindukan almarhum ibu angkatku setiap hari. Setiap kali aku alami kekecewaan-kekecewaan dengan ibu kandungku. Sekarang ia pun sudah meninggal. Aku mengerti posisiku. Aku tak akan mendapatkan apa-apa lagi bahkan dari ibu kandungku sendiri. Aku benar-benar mengerti makna menjadi terasing dan sendirian. Kau beruntung punya keluarga. Aku tak punya rumah lagi. Aku tak tahu makna pulang."

Entahlah, 

Barangkali memang iya. Barangkali juga, aku terlalu lama menganggapnya biasa-biasa saja. Kadang ada rasa bangga dengan prestasi saudaraku. Seringkali malah terbebani dengan banyak hal. Aku menghitung berapa banyak yang harusnya aku berikan dan betapa sedikit yang ternyata bisa aku penuhi. Akan lebih melegakan jika aku menutup telinga tak peduli. Tapi jika aku tak-bisa-untuk-tak-peduli pada orang yang tak punya ikatan darah denganku,bagaimana mungkin aku bisa tak peduli pada keluargaku sendiri?

Aku ingin berkata padanya, barangkali saat ia sedang punya uang berlebih, ia akan dengan mudah menyenangkan dirinya sendiri untuk makan di resto mahal seperti yang sering ia tampakkan di sosial medianya. Tapi, aku mana bisa begitu. Aku akan membagi berapa uang yang aku butuhkan dan berapa kewajiban untuk adikku yang harus aku transfer. Aku tak akan bisa menabung karena setiap kali ada beberapa rupiah di rekening, selalu saja ada persoalan hidup-mati yang perlu aku tambal. 

Setiap kali aku mulai lelah dengan hidupku sendiri, aku tetap mendengarkan perkelahian ini itu yang melulu berisi keluhan bapak, kekecewaan ibu, dan menyerap setiap tetes sari pati ketidakbahagiaan yang mereka jalani. Aku terlibat di tengah mereka. 

Barangkali aku satu-satunya anak yang bisa diajak bicara oleh bapak sehingga ia menambah lapis demi lapis keluhan-keluhannya di atas kepalaku. Barangkali aku satu-satunya anak yang sifat-sifatnya paling mirip dengan ibu sehingga ibu selalu membanjiri hatiku dengan kekecewaan-kekecewaannya yang muram tentang segala sesuatu. Ibu yang masih mempercayai agama sebagai satu-satunya penyelamat hidup kita merasa begitu takut jika kelak aku tersesat karena ternyata kita punya banyak pandangan hidup yang sangat berbeda. Ibu pernah takut aku mengikuti kelompok keagamaan yang aneh, padahal ibulah yang pernah ikut kelompok agama seperti itu. Ibu takut aku terjebak dalam pergaulan yang salah karena lingkupku teralalu luas. Oh, jelas pergaulanku baik-baik saja. Aku hanya tak ingin seperti ibu saja yang hampir tak punya teman. Aku takut jika kelak aku tumbuh menjadi orang seperti ibuku. Di sisi lain menyadari kemiripan-kemiripan sifat kita berdua. Kau tahu betapa sulitnya mengelola hal kontradiktif semacam itu?

Aku belum pernah mengatakan pergulatan ini kepada temanku. Ia tak akan mengerti rasanya, seperti halnya aku juga tak akan pernah tahu persis apa yang ia rasakan. Aku tidak ingin menjadi seorang bedebah yang merasa bahwa deritaku lebih dalam daripada deritanya. Aku tak mau jadi orang brengsek yang begitu mendengar penderitaaan orang lain langsung merasa lega karena ternyata ada yang jauh lebih menderita. Orang macam apa yang senang karena mendengar orang lain lebih menderita?

"Aku rasa..." kataku, di sela keheningan, "Keluarga ada dua. Keluarga yang terikat darah dan keluarga yang akhirnya kita pilih sendiri." 

Sebenarnya itu adalah kutipan dari sosial media yang pernah aku baca. Barangkali dia juga pernah membacanya di suatu tempat. Tapi aku lupa di mana dan siapa yang mengatakannya.

Ia mengangguk. "Selalu ada orang baik yang menolongku di saat aku terjepit. Kebanyakan memang benar-benar orang yang tidak terduga." 

"Sama. Pun aku."

Kita tersenyum. Bersamaan. 

"Apa kau pernah berpikir untuk bunuh diri saat benar-benar merasa sengsara?"

"Tidak." Kataku terkekeh. "Aku sering merasa tidak sehat. Jika sedang sedih, aku akan merasa semakin tidak sehat. Cepat atau lambat, toh aku akan mati sendiri. Aku bahkan sudah merencanakan apa yang terjadi dengan tubuhku setelah mati."

"Aku pernah mengalami masa-masa ingin bunuh diri setiap hari. Sartre memang sialan."

"Gara-gara Sartre?"

"Iya."

"Hahaha,,, Dasar bodoh."

"Aku menulis kesedihan-kesedihanku di tembok kamar setiap kali mulai mengantuk dan nelangsa. Entah bagaimana kabarnya coretanku itu sekarang. Ada di kamarku yang dulu."

"Aku hanya pernah menulis empat huruf dari nama orang yang aku sukai. Saat aku benar-benar sangat merindukannya tapi aku tahu diri bahwa aku tak punya hak lagi untuk menghubunginya. Ia orang yang menemaniku di masa-masa aku jatuh terhempas sampai palung hidup yang paling dalam. Hampir mati rasanya dulu itu. Gila kalau dipikir-pikir. Aku kok bisa mengalami hal itu."

"Mengalami apa?"

"Suatu hari aku ceritakan. Bukan sekarang. Mentang-mentang kau sudah berbagi selimut gelapmu, apa aku harus membagi punyaku saat ini juga? Siapa yang akan bawa penerangnya dong?"

Dia tersenyum.

Kami menghabiskan minuman kami. Ia menuju wastafel. Sepertinya Mall ini hampir tutup. Beberapa gerai sudah mematikan lampunya.

"Anyway, ini kau yang traktir ya." Ujarnya sambil nyengir jail sekembalinya dari wastafel.

Aku menarik nafas. Pertemuan kita yang lalu, dia yang membayar makanan. Memang saat ini seharusnya aku yang membayar. Wajah adikku terlintas. Aku minta maaf pada bayangannya, barangkali aku harus mentraktir yatim piatu ini lebih dahulu dan menunda transferanku padanya lima hari lagi. Semoga dia bisa bertahan dengan uangnya yang tersisa saat ini. 

"Iya." Jawabku singkat.

Kami berjalan menuju tempat tinggal kami masing-masing. 

Ah, kau tahu, sebenarnya aku juga tak punya rumah. Aku juga sepertimu. Tak tahu makna pulang. Aku berdoa diam-diam, semoga kacau balaunya hidup kita ini segera berakhir. 

Barangkali sebenarnya masing-masing dari kita sudah punya rumah yang kelak akan kita temukan. Hanya saja, kita harus terluka dulu sebelum akhirnya beristirahat di bawah lindngan atapnya. Atau jangan-jangan, luka ini karena paku, gergaji, kayu, bebatuan, dan beton yang kita gunakan untuk mengokohkan rumah yang sedang kita bangun sendiri. Hanya saja kita tak menyadarinya. 

Siapa tahu kan? Siapa sih yang tahu? Tak seorang pun tahu. Tak ada, yang tahu.

Sabtu, 17 Oktober 2015

Penari Api

"Kau sudah lama memandangiku dari jauh ketika aku pikir, aku sedang sibuk mencarimu."

Berulangkali aku bertekad untuk menggunakan kemahirku dalam berpura-pura tidak peduli. Tapi tak bisa. Ada nyala di dalam dada yang sulit padam. Ada panas menggeliat yang terperangkap dalam gelisah dan kian sulit ditenangkan. 

Aku sudah berlatih untuk tenang sejak pertama kali kita bertemu.

Saat itu, aku sibuk mengabaikan tanganku yang bergetar saking paniknya harus bagaimana saat berjumpa nanti. Aku menahan diri untuk tidak bernafas terlalu keras demi mengontrol derasnya aliran darah yang melintasi arteri hingga jantungku. Aku tak tahu apakah cara tersebut cukup ampuh, aku bahkan tak sempat memikirkan apakah mekanisme biologis itu sudah tepat atau meleset. Karena otakku rasanya membeku untuk beberapa saat. Sejenak, aku lupa caranya berpikir. Aku mencoba sekeras mungkin untuk memerintahkan otakku bekerja. 

Saat itu, aku berharap bisa memikirkan beberapa skenario yang mungkin terjadi dalam 5 sampai 10 menit ke depan, sejak pertama kali aku melangkahkan kaki di kotamu.

Skenario pertama. Begitu bertatap muka, kita akan bersalaman. Kita mulai bertukar senyum gugup sambil berbasa-basi soal cuaca dan perjalanan. Kemudian kau akan langsung mengantarkanku ke penginapan. Tanpa turun dari mobilmu, kau akan melambaikan tangan sambil berkata, "Sampai besok ya..."

Skenario kedua. Kita bertemu, kemudian masing-masing dari kita akan membungkuk dalam-dalam sambil berkata "Senang bertemu denganmu" dengan kikuk. Tak ada yang sepakat siapa diantara kita yang akan memecah kebekuan. Kau mengantarku ke mobilmu seperti yang biasa kau lakukan jika kau harus menjemput seseorang dari bandara. Kita berdua akan membisu sampai aku mengantuk dan jatuh tertidur. Beberapa saat kemudian, kau membangunkanku dengan kalimat, "Bangun. Sudah sampai di penginapanmu. Sampai jumpa besok." Aku menyempatkan diri mengikuti mobilmu lewat ekor mataku sebelum masuk ke penginapan. Aku akan berdiri di sana hingga mobilmu benar-benar hilang ditelan malam.

Skenario ketiga. Kau akan buru-buru menghampiriku. Kemudian kau akan membawakan tasku yang berat sambil berlaku sesopan yang kau bisa. Tak lupa, kau juga akan bertanya apakah aku lapar, karena kau sudah menyiapkan makan malam romantis walau barangkali itu terlalu cepat untuk kita. Sebenarnya aku tidak lapar, tapi toh akhirnya akan mengiyakan saja segala yang kau tawarkan. Setidaknya itulah yang akan aku lakukan untuk menimbulkan kesan bahwa aku telah mengapresiasi caramu menyambutku. Skenario itu tidak terlalu buruk di kepalaku. Lebih seperti picisan. Tapi, hey, apakah aku baru saja berharap ada sebuah makan malam romantis? Rasanya ini terlalu cepat. Ini gila. Tapi mungkin saja. Bukankah hal terbaik yang bisa terpikirkan adalah jangan berharap apapun dulu? Jangan. Aku meralat pendapatku sendiri. Skenario ini buruk, tapi, siapa tahu kau memang sudah menyiapkan segalanya dengan manis? Aaah... Sudahi saja drama ini.

Skenario keempat. Kau memilih berdiri di dekat mobilmu. Kau melihatku tampak kebingungan dari jauh. Tapi kau juga terlalu malas untuk berjalan. Kau memilih untuk melambaikan tangan dari jauh. Kita akan melempar kata "Hai" dengan cara yang paling singkat. Kau akan menyuruhku masuk begitu saja ke mobilmu. Aku sudah gugup setengah mati. Sebagai orang yang tidak ingin tampak amatir dalam menyikapi pertemuan pertama, aku akan menutupinya dengan bicara sebanyak mungkin dengan berbagai topik yang sebenarnya tidak aku kuasai. Aku terlalu khawatir kau mendengar kerasnya degub jantungku. Jika ini benar-benar hal yang aku lakukan, apakah kau akan berpikir bahwa aku perempuan cerewet yang membosankan?

Aku tak sempat memikirkan soal skenario kelima ketika kau menelepon ponselku. "Dimana?" tanyamu saat itu.

Aku mendeskripsikan lokasiku. Kau mengarahkanku untuk berjalan ke sana dan ke mari. Kemudian kau menutup pembicaraan sebelum aku menemukan sosokmu. Aku masih mengedarkan pandanganku ke segala arah ketika kau melambaikan tanganmu dari jauh. Dan setelahnya, terjadilah peristiwa seperti skenario keempat. Bedanya adalah, tidak ada kata "Hai". Aroma mobilmu sudah cukup menenangkan degubku. Suara radiomu meredam debarku. Sepertinya aku berhasil menenangkan diri sendiri. Ini lebih mudah dari yang aku duga. 

Mungkin kau tidak memperhatikan bahwa aku berusaha mati-matian memecah keheningan. Aku memanfaatkan kelihaianku dalam berkomentar tentang segala sesuatu. Alih-alih berbicara soal kita dan panjangnya penantianmu, aku memilih untuk berkomentar tentang hal yang tidak penting. Mulai dari pesawat, bandara, jalan tol, lampu, pajak, pantai, tata kota, pariwisata, pemerintahan, baliho, dan apa saja yang sekiranya tidak membuatmu diam. 

Saat itu, aku begitu lelah dan mengantuk. Tapi di sisi lain, aku begitu bersemangat untuk berkata apa saja denganmu. 

Kau lebih banyak menghindari tatapanku saat itu. Beberapa kali kau tersenyum tanpa aku tahu sebabnya. Mungkin kau sama gugupnya denganku. Tapi aku lebih ahli dalam berpura-pura untuk tidak memperlihatkannya.

Bahkan kau membuat meja kita bergetar dengan gerakan kakimu yang kikuk saat kita duduk berhadapan di sisi pantai yang tak berangin. Aku tertawa sendiri membayangkan gerakan kakimu di meja yang bagiku mirip penjahit dengan mesin tuanya yang perlu dikayuh secara manual. Aku mengingatkanmu dengan nada sedingin mungkin seolah gerak kakimu mengganggu ketenanganku. Dan kau menyambutnya dengan menghisap rokok. Oh ya, bukankah kau berkata padaku sebelumnya bahwa kau bukan perokok?

Tunggu dulu, aku hampir mengingat segalanya. Semuanya. Walau tak mungkin dituliskan detailnya di sini. Kau tahu kan sebabnya?

Sejujurnya, aku tak suka hidangan yang di sajikan di sana. Aku sudah mengatakan itu padamu. Tapi aku tak mengatakan bahwa saat itu aku suka caramu tersenyum sambil mengalihkan pandangan tiap kali ada sesuatu yang kau anggap lucu. Aku tak suka dengan kumis dan jambang berantakanmu yang lebih mirip berandal tengik. Tapi di sisi lainnya, aku suka sekali nada bicaramu yang aneh dan sering aku tirukan. Aku tak suka posisi dudukmu yang membungkuk saat menyetir. Tapi aku selalu suka kebersamaan kita di sana. 

Oh ya, sebenarnya aku juga tak suka saat kita makan siang bersama esok harinya. Kau menambahkan terlalu banyak kecap serta perasan jeruk nipis di mangkuk supku. Lalu dengan lancang, kau mencicipnya. Tak ada seorangpun yang pernah melakukan itu padaku. Aku tak suka ide soal semangkuk berdua dengan seseorang yang belum lama dekat. Tapi kau bilang supku sudah enak dan siap santap. Aku begitu ragu untuk mencicipnya. Untunglah, kali ini kau benar bahwa sup itu memang lebih enak dari sebelumnya. Entah, selalu ada perasaan untuk tak sependapat denganmu.

Aku ingin menemukan sebanyak mungkin hal yang tak aku suka darimu. Namun, setiap kali aku melakukannya, rasa manis yang kita ciptakan bersama dari kehangatanmu melintas. Mengingatnya, serasa ada yang sedang memeras jantungku. Melumat ulu hatiku. Membakar ego yang mengental di kepalaku.

Kau tahu, Alis tebal di atas bola matamu yang mirip dengan warna mataku beserta beberapa helai perak yang bersembunyi malu-malu di rambutmu itu berhasil memaku gerakku untuk melangkah pergi.

Aku akan tersenyum kecil tiap ingat perlombaan kita tentang siapa diantara kita yang matanya lebih besar dan siapa diantara kita yang matanya lebih coklat. Tentu saja aku pemenangnya. Namun, kau tak mau kalah.

"Hidungku lebih mancung dari hidungmu," katamu.

"Iya sih..." jawabku, "tapi hidungmu seperti landak, terlalu banyak komedo yang bercokol di atasnya. Lagipula, bulu hidungmu terlalu panjang."

Kau akan cemberut sambil bercermin, kemudian membenarkan perkataanku. Dengan polos, kau berkata bahwa selama ini kau tak pernah memperhatikan soal panjangnya bulu hidung. Aku memperhatikannya diam-diam sambil tertawa puas dalam hati.

Pelan-pelan, aku terbiasa dengan segala tentangmu. Termasuk tahi lalat di pipimu, rambut anti gravitasimu, kacamata melorotmu, baju bergaris yang membuatmu terlihat makin lebar, perut buncitmu, segalanya.

Oh ya, apakah aku sudah memberitahumu bahwa tahi lalat di wajah sering menjadi perumpamaan dalam puisi sufi tentang keindahan Tuhan? Apakah aku juga sudah memberitahumu juga bahwa aku menahan tawaku tiap kali kau hampir menangis haru karena mendengar lagu kebangsaan diputar di TV, radio, dan di manapun?

Kita tidak pernah benar-benar berlari. Tapi bagaimanapun, kita telah sampai sejauh ini. Belum terlalu jauh. Tapi, mari kita berandai-andai tentang perjalanan selanjutnya, akan seperti apa.

Sebelumnya, aku ingin bertanya padamu tentang beberapa hal.

Bagaimana jika lengkung indah pelangi yang kau kejar ternyata tak berkaki dan tak pernah ada ujungnya? Mengapa kau menciptakan bayanganmu sendiri hingga kau lupa bagaimana percaya pada yang nyata? Bagaimana rasanya sibuk memahat khayalmu sendiri hingga lupa bahwa setiap lekuk indah yang tercipta di sana menyimpan perih di setiap sisinya? 

Sepertinya kita berdua juga dihantui oleh sesuatu yang berbeda. Kita dicekam oleh ketakutan yang kita ciptakan sendiri. Kita begitu takut melangkah karena khawatir akan terjebak pada mimpi buruk. Kita begitu merisaukan segala hal tentangnya sampai lelah. Hingga kita berdua lupa caranya saling menguatkan.

Aku tak pandai menawarkan keindahan pada seseorang yang telah lama bersabar atas keacuhanku.

Tapi, bagaimana jika kau aku ajak menjadi penari api bersamaku? Bukankah selama ini kau senang melihatku menari? Apalagi, kau memang selalu membiarkan aku menari sendirian. Kali ini, aku ingin benar-benar mengajakmu menari. Berdansa denganku bagai geliat api di atas panas baraNya.

Kelak, aku ingin berpijar, menyala, hingga mengabu bersamamu. Dan semoga saja, segalanya demi terang di jalanNya.

Jumat, 07 Agustus 2015

Andreas Harsono

Ini semua gara-gara Misbahudin Muhammad. Dia adalah Senior Editor sekaligus pendiri Parmagz, Pers Mahasiswa Paramadina. Dia yang mendoktrin kami bahwa kami harus meniru Jurnalisme Sastrawi ala Pantau. Di depan kami, Misbah selalu membanggakan kualitas majalah Parmagz edisi pertama yang menurutnya sudah menganut gaya Jurnalisme Sastrawi. Ia juga memuji Priyo, si pendiri Parmagz yang lain. Misbah bilang pada kami bahwa liputan konser musik Priyo di majalah Parmagz edisi pertama sudah setara tulisan wartawan Rolling Stone. 

Karna itulah, kami para juniornya yang berjumlah 10 orang dan seringkali menyusut jadi 4 orang sering melongo sendiri. 

Memangnya, bagaimana caranya supaya kami bisa menulis bagus seperti mereka? Atau paling tidak, bagaimana caranya supaya bisa punya selera menulis yang bagus seperti mereka?

Bahkan, beberapa anak Parmagz yang dari daerah diam-diam berbisik padaku, "Majalah Rolling Stone itu kayak gimana sih?"

Ngok!

Akhirnya aku bilang pada kawanku, "Wajar Misbah dan Priyo tulisannya bagus. Mereka udah tua."

Memang kok. Umur mereka sudah di atas 25 sedangkan kami para juniornya ini masih di bawah 20 tahun. Jadi anggap saja mereka bisa jago karena mereka tua. Problem solved!

Masalahnya, para senior tengil itu tak pernah mengajari bagaimana caranya menulis. Mereka meminta kami belajar sendiri dari banyak membaca. Mereka tak beri tahu bahan bacaan apa yang yang mesti dibaca. Kami makin linglung.

Okelah, aku ini sudah banyak membaca. Masalahnya, aku sendiri tak paham, mana tulisan jurnalisme sastrawi, mana yang bukan. Apakah sebuah feature sama seperti essay? Apakah hardnews yang didramatisasi itu bisa menjadi essay? Aku bingung. 

Seleraku terhadap tulisan jurnalistik tidak terdidik dengan baik. Jika orang yang aku anggap lebih pintar dariku bilang karya jurnalistik ini baik, maka aku akan mengamini hal itu karena aku sadar bahwa aku tidak memiliki kompetensi dalam dunia jurnalistik. Kemampuan literasiku sangat buruk. Aku tidak kenal siapapun yang bisa menjadi rujukan. Aku anggap semua wartawan sama saja. Kalau mereka sudah tua, maka otomatis mereka akan menjadi senior. Sama seperti anggapanku ke Misbah. Dia bisa menulis karena dia sudah tua.

Segalanya terasa payah. Aku merasa sangat sengsara karena ketidaktahuan ini. Apalagi kalau berhadapan dengan pers mahasiswa di kampus lain. Mereka punya proses kaderisasi berjenjang yang baik. Jika di kampus lain seseorang menjadi Pemimpin redaksi pada semester 6, maka di Paramadina, semester 3 pun sudah bisa terpilih jadi pemred karena pada semester 5 seseorang mulai sibuk dengan skripsi dan biasanya memilih untuk tidak aktif lagi di UKM Kampus.

Jujur saja, sebagai Editor in Chief di Parmagz, aku buta literasi. Bagiku semuanya sama saja. Berita ya cuma seperti itu. Pengetahuanku standar. Hanya seputar piramida terbalik, 5 W 1 H, dan hal-hal dalam hardnews. Bodoh.

Dengan bekal merasa bodoh itu tadi, aku googling soal dunia jurnalistik. Spesifiknya, soal Jurnalisme Sastrawi. Kemudian aku menemukan blog Andreas Harsono dalam daftar teratas pencarian google. Di blog nya juga tercantum informasi mengenai Kursus Jurnalisme Sastrawi. Ternyata dia adalah salah satu pengajarnya. Teringat Misbah yang menyebalkan lagi, dia juga pernah menyinggung soal kursus itu sekalipun dia sendiri tidak pernah mengikutinya.

"Keren sih kursusnya. Tapi mahal." Katanya waktu itu.

Saat aku tanya seberapa mahal harganya, dia tidak memberitahuku. Mungkin dia memang tidak tahu tapi gengsi untuk bilang tidak tahu. Atau dia sebenarnya tahu tapi dia pikir aku tak mampu bayar. 

Selama menjadi Editor in Chief dan Chief Operating Officer Parmagz pada periode berikutnya, aku memendam rasa kesal ke Misbah. Aku menganggapnya berdosa besar karena tidak pernah mendidik juniornya untuk bisa menulis dan punya selera bacaan yang baik. Sedangkan dia terus menerus memuji karyanya sendiri dan mengatakan betapa kerennya gaya menulis Pantau. Aku tak pernah baca satupun tulisan dari Pantau. Misbah bilang, Pantau itu bentuknya Majalah. Aku tanya di mana aku bisa beli majalahnya, dia bilang tidak tahu. Informasi soal itu selalu deadlock.

Di blog Andreas lah aku temukan segala yang aku cari. Aku membaca detail kurukulum kursus di Pantau. Sepertinya keren.

Tanggal 18 April 2013, aku memberanikan diri untuk mengirimkan email ke contact person yang tercantum dalam blog Andreas. Namanya Imam Shofwan.

Isi emailnya seperti ini :
Halo, aku baca website nya Andreas Harsono ttg pelatihan Jurnalisme sastrawi juni nanti. Caranya ikut gimana ya? Syaratnya apa? Thx
Mas Imam memberikan balasan pada keesokan harinya.
Halo, tolong kirim 2 contoh tulisanmu dan CV. Setelah itu membayar biaya pendaftaran: Rp. 3juta.
Thanks,
IS
Mendapat balasan email itu, aku makin merasa sengsara. Bagi mahasiswa sepertiku, 3 juta itu banyak.

Aku memutuskan untuk tak mengirimkan balasan email lagi pada mas Imam. Akhirnya aku mengubur keinginan untuk kursus. Kalau Misbah bisa belajar sendiri, mestinya aku bisa. Lagipula, aku belum tentu jadi wartawan.

Siapa tahu aku malah jadi mbak mbak penjaga warnet yang bisa bahagia karena bisa internetan gratis. Atau jadi mbak mbak kelas menengah yang kerja kantoran di ruang berAC sambil mengeluh jalanan macet karena aksi para Buruh.

Tahun itu, aku memang belum punya bayangan akan hidup dengan cara seperti apa nantinya. Siklus hidup yang aku tahu hanya kuliah, kerja, menikah, berhenti kerja karena hamil, jadi ibu rumah tangga yang baik, membesarkan anak, nyekolahin anak, nikahin anak, bercucu, lalu mati. Pikiranku hanya sesederhana itu karena aku tidak tahu apa yang penting di dunia ini. Apa yang perlu diperjuangkan. Apa peran yang harus kita ambil. Dan ya, aku dulu memang seperti itu. Naif.

Awal tahun 2014, aku perlu meliput sebuah konferensi pers di Kuningan. Saat itu aku memang baru saja jadi pemimpin redaksi sebuah media online baru. Karena aku meliput dengan handphone android, maka aku memilih untuk mentranskip konferensi pers dengan cara live tweet. Gara-gara membuka timeline twitter, aku jadi tahu bahwa Andreas Harsono juga ikut hadir dalam konferensi pers itu. Dia juga sedang live tweet.

Karena tak pernah tahu wajah Andreas itu seperti apa. Maka, untuk pertama kalinya, aku mengklik avatar twitternya. Aku sempat melakukan Zoom in dan Zoom out pada avatarnya. Demi mencari sosoknya di kerumunan. Ternyata mudah untuk menemukan dia. Aku kenal banyak orang di konferensi pers itu. Aku tinggal mencari satu-satunya wajah chinese di sana. Gotcha!

Usai acara, aku lihat Andreas sedang berbincang dengan salah satu pembicara konferensi pers. Aku menunggunya selesai bertukar kontak dengan pembicara.

"Maaf, anda Andreas Harsono bukan ya?" 

Aku sudah yakin dia Andreas. Aku hanya ingin memastikan bahwa dia bukan Wiranto yang menyamar.

Ia mengiyakan. 

Saat itu, Andreas juga langsung bertanya balik, aku ini siapa. Aku bilang kalau aku ini Pemimpin Redaksi salah satu media online Islam. Aku sih yakin dia tidak mengenal mediaku. Karena itu memang media nirlaba yang masih baru.

Aku bertanya padanya soal Pantau. Berapa biayanya jika aku berminat ikut. Dia bilang, "Kursus Pantau bayar Tiga Juta Lima Ratus."

Aaaw... 

Bahkan harganya sudah naik dari yang terakhir kali aku tanya ke Mas Imam. 

Sebenarnya, kursus tersebut tidak mahal. Pengajar dan Materinya memang keren. Aku saja yang terlalu kere. Hiks.

Dia menginfokan padaku bahwa kelas Pantau akan dibuka pada hari Senin minggu depan. Sudah terlambat untuk mendaftar.

Aku bilang padanya bahwa aku sangat berminat untuk ikut kelasnya. Tapi aku masih mahasiswa. Belum menghasilkan uang. 

Dia mengatakan hal yang membuatku sangat bahagia, "Datang saja kelasnya besok Senin. Nanti aku akan bilang ke stafku kalau kamu akan bergabung. Aku tidak tahu kebijakannya bagaimana. Mungkin kamu tidak akan dapat buku dan makan siang di sana. Kamu bisa jadi pendengar di sana. Apakah kamu oke jika seperti itu?"

Tentu saja!

Andreas meminta nomer handphoneku. Begitupun sebaliknya. 

Dia bilang, saat di Pantau nanti, aku harus izin dulu dengan Eva. Jika Eva mengizinkan, maka aku boleh ikut kelasnya sampai selesai selama 2 minggu. 

Aku mengerti.

Andreas mengarahkan kameranya handphonenya ke arahku. Itu adalah hal yang tak pernah dilakukan oleh orang lain padaku. 

Saat itu, aku agak bingung dan sempat GR. Apakah pertemuan denganku sangat berarti bagi hidupnya sampai-sampai dia ingin menyimpan fotoku? Bukankah sebagai orang yang lebih keren dari aku, harusnya sebaliknya ya? Aku yang memintanya foto bareng? Apakah aku harus minta foto bareng? Tapi aku ini jarang sekali minta foto bareng sama orang terkenal. Karena aku gengsian. Aku mah orangnya gitu...

Dia bilang, "Aku mau simpan fotomu untuk gambar kontak di HPku. Boleh ya?"

Mungkin dia takut lupa wajahku. Atau itu memang kebiasaannya? Aku mengiyakan saja apa maunya. 

Aku bilang pada diriku sendiri, "Boleh juga nih, difoto orang bisa gratis kursus." Atau malah kebalik? Kursus jurnalistik gratis bonus foto?

Setelah kenal dengannya, aku akhirnya tahu bahwa itu memang kebiasaannya ketika menyimpan nomer HP seseorang yang ditemuinya langsung.

Aku juga sempat bingung, harus memanggil dia dengan sapaan apa. 

Kalau "Pak?" Terlalu tua. Kalau "Om?" dia tidak punya kumis, jadi tidak tampak seperti Om Om. "Mas?" Dia tampak bukan suku Jawa. Kalau manggil "Bang?", aman sih, tapi selalu membuatku berpikir soal orang Timur atau daerah Sumatra. Atau jangan-jangan, dia tipe orang yang lebih senang dipanggil nama tanpa sapaan apapun selain namanya. Macam bule-bule di Barat.

Dengan keputusan agak tergesa, aku memanggilnya dengan "Bang". 

Pertimbanganku saat itu, dia terlalu Chinese untuk dipanggil Mas. Aku belum tahu sama sekali soal asalnya dan dengan apa dia biasa dipanggil. Kalau tahu dia berasal dari Jember, pasti dari awal aku akan memanggilnya dengan Mas. Untunglah dia tidak pernah masalah dengan panggilan apapun.

Malam harinya, aku membaca habis seluruh materi yang tercantum pada silabus Kursus. Yang belum aku baca hanya bukunya saja. Selain itu, aku juga membaca seluruh postingan blognya. Ada soal Norman, pernikahan, ceritanya mengajar jurnalistik, isu HAM, cara belajar menulis dengan bahasa Inggris, dan lainnya.

Di blog itu, aku juga menemukan tulisan soal respon atas kebingungan orang di sekitarnya yang akan memanggil dia dengan panggilan apa. Dia menulis bahwa orang memanggil dia dengan panggilan yang bervariasi. Dia oke disebut dengan sapaan apa saja.

***

Senin pagi, aku mengirimkan pesan whatsapp padanya. Aku mengabarkan padanya kalau aku kesulitan mencari alamat Yayasan Pantau. Dia menjawab pesanku dengan cepat dan memberikan nomer handphone mas Udin yang biasa menunjukkan jalan.

Sebagai orang yang diizinkan untuk masuk ke kelas tanpa bayar, aku sebenarnya agak minder. Apalagi peserta kursus rata-rata adalah orang yang biasa hidup di dunia jurnalistik. Aku memang Pemred saat itu, tapi kualitas tulisanku payah. Aku terpilih jadi Pemred cuma karena orang berpikir aku bisa nulis atau terbiasa menulis di kampus. Alasan kedua, tidak ada orang lainnya. Alasan ketiga, aku keminter. Aku bisa meyakinkan pada orang lain bahwa aku ini cukup pintar dalam bidang tertentu walau sebenarnya kualitasku masih weleh weleh. 

Lagipula, Media yang aku pimpin juga bukan media yang besar. Resikoku untuk mendapat kritikan dari segenap rakyat Indonesia sedikit. Karena pembacanya memang masih sedikit di segmen tertentu. 

Padahal ya, aku selalu kesulitan untuk menulis. Aku sering sulit untuk memulai, mengurai ide, menulis, dan mengakhiri tulisan yang aku buat.

Dengan kikuk, di hari pertama itu, aku berkenalan dengan wartawan beneran, Arsitek, Pegawai LSM, Kontributor koran berbahasa Inggris, dan sebagainya, dan sebagainya. 

Selain aku, ada satu orang lain yang masih mahasiswa. Namanya Diki asal Jember. Tapi, aku tetap merasa jadi yang termuda di sana. Padahal aku tak pernah tanya umur Diki. Bisa jadi dia yang lebih muda. 

Berusia muda membuatku sedikit terhibur. Soalnya, aku seperti dapat pembenaran mengapa pengamanan jurnalistik dan tulisanku tidak bagus. Ups!

Saat itu, aku memutuskan untuk memanggil semua orang dengan panggilan Kak, Mas, Mbak, Bang. Kecuali untuk orang-orang yang merasa keberatan dengan panggilan itu.

Tak ku sangka, Mbak Eva memberiku materi dan makan siang. Aku bilang padanya bahwa aku hanya murid yang disusulkan Bang Andreas. Saat itu, aku bukan peserta yang membayar biaya kursus. Aku tidak ingin dia salah paham. Aku takut di akhir kursus, ada tagihan yang perlu aku bayar.

Sambil tersenyum, dengan mata yang sipit serupa lengkung pelangi itu, mbak Eva bilang, "Nggak papa Banu, kan materi dan makannya memang sudah disiapkan untuk Banu."

Aku senang sekali mendengarnya ^^,.

Rasanya aku tak tahan untuk tidak pamer ke Misbah kalau aku berhasil masuk kelas Pantau yang selalu ia sebut-sebut itu.

Minggu pertama kelas adalah Janet Steele, seorang Profesor asal George Washington University Amerika yang fasih berbahasa Indonesia. Andreas juga hadir di hari pertama walau sebentar.

Melihatnya masih mengenaliku dengan baik, aku mulai berhenti untuk menganggap diriku sebagai murid ilegal di kelas Pantau.

Belakangan, aku baru tahu bahwa beberapa alumni kelas Pantau yang sudah bekerja sering membayari para peserta Pantau yang baru. Yang tahu soal siapa yang membayari siapa hanya Bang Andreas dan Mas Imam yang tahu. Yang jelas, aku sangat berterimakasih atas kesempatan belajar ini.

Suatu hari, usai kelas Pantau, Kak Dian yang jadi redaktur Tribun Pontianak bilang dia akan ke rumah Andreas. Aku boleh ikut kalau punya waktu. Aku mengiyakan ajakan itu. Saat itu, aku main di rumahnya sampai jelang malam. 

Sejak itulah aku jadi sering main ke rumahnya. Sebagian besar karena ada acara makan-makan di sana.

Kak Arie, Istri Andreas, adalah koki handal spesialis makanan sehat. Aku suka sekali Bakso Sapi dan Bakso Ayam buatannya. Aku juga suka nasi campur ubi, pisang dan macam-macam campuran lain yang mengurangi kadar gula pada nasi yang dihidangkan di meja makan. Intinya, ke rumah Andreas adalah perbaikan gizi untuk perut dan otak. Selalu ada diskusi menarik di sana. Selalu banyak wartawan yang lebih berpengalaman yang mampir ke sana untuk berbagi cerita.

D, anak perempuan Andreas juga sangat lucu. Kalau jenuh dengan pekerjaan, aku ingat D. Ingin lihat kelucuannya. Ingin mendampinginya nonton video di youtube dan bernyanyi bersama. Asik sekali~

Andreas sering bilang hal yang aku utarakan sebenarnya adalah hal-hal sederhana. Tapi aku berdalih, "Pas seumuranku, Bang Andreas pasti juga bingung kan mau ngapain kalau punya problem kayak gini."

Dia jawab, "Iya sih, tapi kamu beruntung ada orang dewasa seperti aku yang membimbingmu. Aku dulu nggak punya. Mikir sendiri."

Dia pernah cerita bagaimana dia mengalami masa mudanya. Sepertinya terlalu pribadi. Jadi tidak usah aku tulis di sini ya.

Curhat dengan Andreas memang tak selalu menyenangkan. Misalnya, untuk menceritakan sesuatu, aku butuh 100 kata. Namun, dia akan memotong cerita tersebut dan menyisakan 30 kata. Ini bukan memotong cerita dalam hal tulisan seperti layaknya proses editing. Tapi dia memotong ceritaku secara lisan dan memberikan jawaban yang aku butuhkan. Kebayang?

Dia juga terlalu jujur mengungkapkan pendapat dan kritiknya. Sebagian pait sekali. Sumpah. Tapi aku selalu membutuhkan orang yang bisa menilaiku dengan jujur. Apalagi, aku kurang suka dan tidak pintar berberbasa basi.

Aku sering protes padanya dengan bilang, "Masak sih aku kayak gitu...? Nggak ah. Aku nggak bermaksud seperti itu. Masak anggapannya jadi seperti itu sih? Ah, masak? Nggak gitu ah bang!"

Dia akan bilang bahwa itu adalah penilaiannya. Aku boleh percaya, boleh tidak. Dia hanya berikan pandangannya.

Nantinya, diam-diam aku akan bahwa ada benarnya juga apa yang dia bilang. Lalu, suatu hari yang lainnya lagi, aku akan mengiriminya pesan. 'Apakah aku boleh main ke rumahnya untuk curhat?'

Senang rasanya punya seorang yang bisa jadi guru, abang, orang tua, dan sekaligus teman sepertinya.

Ada banyak pelajaran yang aku ambil setiap kali kita berinteraksi. Selain soal dunia jurnalistik, dia banyak mengajariku soal kerendahan hati dan keberpihakan pada orang yang terdiskriminasi. 

Andreas bukan hanya mendidikku, tapi juga sering mengajakku ikut andil dalam kegiatannya. Yang paling seru adalah saat audiensi di Mabes Polri soal tes keperawanan dan ikut konferensi pers di rumah Iwan Fals bersama Jokowi. 

Dia sering memperkenalkan aku ke banyak orang keren lainnya. Hal yang aku tunggu-tunggu dari proses perkenalannya adalah, predikat apa yang dia rekatkan padaku.

Pernah, suatu hari Andreas bilang pada seseorang, "Ini Banu. Pemimpin Redaksi media yang jadi lawannya Arrahmah dot com."

Pernah juga, ia bilang pada kawannya, "Kenalin, ini Banu. Orang Syiah tapi genit."

Lain waktunya lagi, dia bilang, "Kenalkan, ini Banu. Calon mantunya Abu Jibril." Dia merujuk ceritaku di blog soal bapakku yang dulu berteman baik dengan Abu Jibril. Kini Abu Jibril jadi Wali Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Bapakku malah jadi orang Syiah yang Moderat. Maksudnya moderat di sini adalah, bapakku bukan seorang yang fiqih oriented.

Predikat yang ia sematkan padaku selalu lucu-lucu. Aku menunggu-nunggu kesempatan untuk membalasnya.

Aih, sebenarnya aku malu padanya karena aku belum menulis banyak hal yang ia sarankan. Ia memintaku menulis isu-isu tertentu untuk media nasional. Aku selalu punya banyak alasan. Sampai sekarang belum ada satupun yang aku kerjakan. Maaf ya bang. Karena itulah, aku merasa tak pernah masuk dalam circle orang keren. :(

Permintaannya yang sering aku penuhi hanyalah soal membaca. Aku sering membaca setiap buku yang ia rekomendasikan. 

Beberapa minggu yang lalu, Andreas ulang tahun. Lagi-lagi aku lalai mengucapkan selamat padanya. Aku baru tahu berhari-hari setelah dia ulang tahun. Itu pun berkat facebook. Padahal, saat ulang tahunku, aku main ke rumahnya hanya karena aku ingin merasakan suasana keluarga di rumah. 

Aku emang nggak asik nih. :/

Tentu saja ada banyak hal baik yang aku doakan untuknya. Aku juga berharap, hal baik yang aku harapkan untuknya bisa lebih banyak daripada hal baik yang telah dia lakukan untukku. 

Semoga Bang Andreas selalu ada, dan berlipat ganda. *macak Munir*

Aku juga berharap, semoga dia diberi kesabaran menghadapi anak muda yang sering galau dan merepotkan sepertiku. 

Selamat ulang tahun Bang! Ayo makan-makan.

Senin, 27 Juli 2015

Feodal itu Menyebalkan

Sering kali, saat perlu ke lembaga tertentu untuk liputan, aku temui orang-orang bergaya feodal. Mau bertemu atau minta kontaknya saja rumit sekali.

Ada tiga cerita soal ini.

Cerita Pertama :
Ketika perlu ke salah satu kementerian. Bertemu dengan ajudan. Kemudian ajudan meminta isi formulir janjian, menunggu sampai beberapa jam, itu saja belum tentu bisa bertemu pejabat terkait. "Maklum, bapak sibuk mbak." katanya.

Ketika minta kontaknya, ajudan tidak mau beri. Alasannya soal privasi. Jika seseorang jadi pejabat publik, mestinya sudah menyiapkan diri punya beberapa nomer telpon. Ada yang public, ada yang privat.

Ujung-ujungnya, ajudan bilang, "Maaf mbak, mungkin besok bapak baru bisa ditemui."

Si pejabat keluar dari ruangannya. Lihat wartawan menunggu. Dia langsung nyapa, "ada apa?", sudah menunggu dari jam berapa?", "Mau tanya soal apa?", tak lama kemudian dia akan minta maaf karena tak bisa wawancara lama. Dia berikan kontaknya dan bilang, "SMS dan telpon aja mbak. Pasti saya jawab."

Ajudannya cuma bengong karena begitu mudah komunikasi sama bosnya.

Bahkan Dirjen tersebut ikut ucapkan selamat lebaran lebih dulu. Dengan sapaan "Mas Sahar" kepadaku. Mungkin dia lupa bahwa wartawan yang ada di daftar nama kontaknya itu perempuan. tapi setidaknya dia ingat untuk mengirim SMS hari raya lebih dulu.

Yang ada di kepalaku adalah, apa ajudannya tidak tahu kalau bosnya itu ramah sama wartawan? Apakah Ajudannya tidak diberi instruksi bagaimana caranya berhubungan dengan wartawan? Atau gimana? Di jaman sekarang, menduduki jabatan tertentu dengan lagak sok birokratis tak akan membuat si pejabat jadi keren. Malah sebaliknya. Kalau kamu jadi asisten, penting untuk tahu kebiasaan bosnya. Jangan bikin rumit sesuatu yang mestinya simpel.

Cerita Kedua :
Pengalaman juga urusan sama salah satu DPP Partai. Sebut saja partai Hitam. Awalnya aku telepon dulu ke DPPnya lewat nomer telpon kantor yang tercantum di website. Tak ada yang mengangkat. Berkali-kali hasilnya zonk.

Pas datang ke DPPnya, disambut oleh security yang bilang, "Kalau mau ke sini, telpon dulu mbak. Kalau belum ada janji, maaf sekali tidak bisa bertemu dengan yang bersangkutan."

Aku bilang padanya bahwa aku sudah mencoba telepon kantornya tapi tidak ada yang mengangkat. Dia melihat nomer telepon yang aku maksud dan ternyata itu memang benar-benar nomer telepon yang ada di depannya. "Tapi ada satu nomer lagi yang aktif mbak. Coba mbak hubungi nomer yang ini dulu. Besok bisa kembali ke sini lagi."

Aku bilang, berita tak bisa menunggu. Aku minta dia hubungkan saja ke Humas atau jabatan yang relevan dengan pertanyaanku.

Dia jawab, "Tidak bisa mbak. Prosedurnya begitu. Mbak datang saja besok, dengan janji di telepon lebih dulu."

Aku minta dia catat nomer teleponku dan berikan ke Humas. Humas mestinya bisa lebih tahu bagaimana berhubungan dengan wartawan. Dia mau mencatat nomer teleponku sambil bilang bahwa sebaiknya aku datang lagi besok. Sesuai dengan prosedur yang tadi dia bilang.

Aku diminta menulis pertanyaan yang akan aku ajukan ke Narasumber. Baiklah. Aku mengalah. Aku tulis dengan syarat dia sampaikan nomer ponselku ke Humas dan minta Humas kontak aku.

Esoknya, Humas SMS ke ponselku. Minta maaf dan berikan kontak Narasumber yang aku butuhkan. Aku kontak Narasumbernya. Ternyata dia tak menguasai tema yang aku tanyakan. Dia berikan nomer kontak orang lain lagi sambil bilang, "Nanti tanya dia saja. Bilang, dapat kontaknya dari saya. Dia akan jawab semua pertanyaanmu karna itu jobdesk dia."

Baiklah. Aku berterimakasih. Setelahnya, aku kontak nomer tersebut lewat telepon, Tak diangkat. Aku coba SMS, tak ada jawaban, Aku Whatsapp, hanya dibaca.

Akhirnya aku kontak ulang ke DPPnya. Diberi prosedur yang sama. Kontak ulang Humas dan pejabat yang beri nomer pejabat partai lainnya. Kembali tak ditanggapi sama sekali. Wah, susah. Ya sudah. Mungkin mereka memang tak mau terbuka pada wartawan. Tak ada berita apapun dari Partai itu.

Partai Biru lain lagi ceritanya. Sekalipun sudah datang langsung ke DPPnya, Dapat kontaknya, tidak ada satu pun yang mau bicara sekalipun jabatannya adalah Humas. Begitulah akhirnya. Tidak ada berita dari Partai itu. Bukan mauku. Bukan salahku.

Cerita Ketiga

Aku datang begitu saja ke DPP tanpa telepon. Langsung disambut petugas Parpol. Diarahkan ke penanggung jawab dan diberi kontak juga. Betapa mudahnya. Berita dibuat. Wawancara bisa dilakukan lewat telepon atau di tempat yang dijanjikan. Semuanya senang. Sebut saja ini terjadi di partai Kuning dan Hijau.

Memangnya, bersikap feodal dan birokratis itu keren? Nggak lah yaw!!

Sabtu, 25 Juli 2015

Tragedi, Fiksi, dan Nyata

"Tiba-tiba da memperhatikan bahwa kecantikan sudah runtuh berantakan pada dirinya, bahwa itu sudah mulai melukainya secara fisik seperti tumor atau kanker. Dia masih ingat bobot hak istimewa yang telah ditanggung oleh seluruh tubuhnya selama masa remaja, yang telah dilepaskannya sekarang. ---- Dia lelah menjadi pusat perhatian, di bawah kepungan pandangan lelaki. Pada malam hari, ketika insomnia menusukkan jarum pada matanya, dia akan menjadi perempuan biasa, tanpa daya tarik istimewa apapun." 
Eva di Dalam Kucingnya, Gabriel Garcia Marquez.
Libur lebaran yang lalu membuatku punya banyak waktu untuk maraton membaca buku-buku Fiksi. Buku yang aku baca diantaranya kumpulan cerpen "Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Lewat Mimpi" Karya Eka Kurniawan, kumpulan novel dan cerpen"Innocent Erendira and other stories" karya Gabriel Garcia Marquez -aku membaca terjemahan bahasa Indonesianya-,  "My Sister's Keeper" karya Jodi Picoult yang aku baca dalam bahasa Inggris, dan buku-buku lainnya yang menurutku berhasil memotret kesedihan dengan "Indah".

Sebenarnya, kesedihan itu bukan sesuatu yang indah sih. Malah sebaliknya. Menggoreskan luka. 

Dalam sebuah kuliahnya di kelas kami, Prof Abdul Hadi​ WM pernah berkata bahwa kesedihan manusia itu sifatnya abadi. Kenangan akan kesedihan akan menancap dalam mengalirkan air mata dan darah yang akan terus menyakitkan. Makanya, sastra yang banyak diminati oleh orang sepanjang zaman kebanyakan adalah cerita-cerita yang menggambarkan tragedi. Jujur saja, aku belum mengecek apa kata sastrawan lain soal ini. Yang jelas, aku setuju dengan Pak Hadi.

Saat itu, secara otomatis aku menghitung Novel dan Cerpen favoritku. Memang sih, kebanyakan berkisah seputar tragedi. Atau jangan-jangan, selera bacaanku saja yang cukup muram?

Aku sendiri selalu mengagumi setiap penulis yang berani menceritakan kesedihan-kesedihan yang ia alami langsung. Misalnya Gayatri Wedotami Muthari​ yang bercerita soal penyakit Lupusnya dan soal pelecehan seksual yang menimpanya lewat status facebooknya. Aku juga mengagumi keberanian Ninin Damayanti​ yang bersuara tentang KDRT yang dialaminya. Tentu saja ada nama lain yang punya keberanian menulis tragedinya sendiri untuk publik. Hanya saja, aku tidak bisa menuliskan secara lengkap siapa saja nama yang cukup aku perhatikan.

Sedangkan aku? Aku tidak punya keberanian macam itu untuk diriku sendiri. Aku terlalu pengecut untuk mengungkapkan lewat tulisan tragedi yang pernah terjadi dalam hidupku. Mestinya aku lebih berani untuk bercerita lewat tulisan. Selain untuk terapi, bisa juga dijadikan pelajaran bagi orang lain. 

Tapi aku yang cengeng ini sering menghibur diri sendiri dengan berkata pada pikiranku sendiri, "Suatu hari, akan tiba saatnya aku akan bersuara. Pasti."

Tidak semua orang berani menyuarakan kesedihan-kesedihannya. Sebagian menggantinya dengan kisah fiksi berikut deretan nama-nama samaran dan serangkaian drama. Beberapa penulis melakukan itu karena ada sebuah anggapan bahwa jika kita sering menulis soal diri sendiri, maka kita akan dicap dengan label Self Sentris. Begitukah? 

Aku punya beberapa orang di sekitarku yang merasa perasaannya jadi lebih baik ketika mendengar ada yang lebih menderita daripada dirinya. Ada juga tipe orang yang sering berkata dengan enteng bahwa masalahmu belum ada apa-apanya dibandingkan masalah orang itu yang lebih berat lagi. Ada lagi orang yang merasa lebih menderita dari orang lainnya.

Bagiku, tidak ada kesedihan yang sepele. Jika tidak bisa bersimpati dan memberi solusi, maka seseorang mesti belajar diam dan sekedar mendengar. Bukan mengeluarkan komentar-komentar menyalahkan yang membuat orang yang bersedih itu semakin merasa hidupnya payah. 

Beberapa yang lainnya, justru mengecilkan tragedi orang lain hanya karena ia merasa bahwa ia pernah lalui tragedi lebih dahsyat. Lebih penting. Lebih menyayat. Sehingga tragedi yang dialami orang lain tampak sepele. 

Aku percaya bahwa seseorang punya porsinya masing-masing dalam merasai kesedihan. Tidak ada kesedihan yang sepele. Satu-satunya yang berhak mengatakan kesedihannya lebih berat dari kesedihan yang lain hanyalah individu yang merasakan kesedihan itu sendiri. Bukan orang lain. Ada kaca yang mesti ia bawa terus menerus untuk mengukur apakah kesedihannya memang layak untuk membuatnya ambruk atau tidak.

Aih, ngomong apa sih aku ini...

Tapi ngomong-ngomong. Aku kangen lho sama kamu. Kalau kamu nggak kangen balik, apakah artinya ini sebuah tragedi lainnya? Kalau iya, maka aku sudah berani menuliskannya. 

Minggu, 12 Juli 2015

Apa Kabarmu, Satu Tahun?

Sebenarnya, ada hal menyenangkan yang terjadi pada tanggal 11 Juli tahun lalu. Hari tersebut tak pernah direncanakan akan seperti apa. Hari yang tak pernah aku duga akan datang.

Entah bagaimana alurnya, hal kecil yang terjadi di hari itu bisa jadi sebuah kenang yang ikut menentukan bagaimana situasi yang terjadi sampai hari ini.

Namun, seperti hari yang lainnya yang tertelan oleh kesibukan, luka, dan hantu-hantu, 11 juli akan berlalu begitu saja. Sangat mungkin jika suatu hari terlupa. Aku memang ingat persis apa yang terjadi. Hanya saja, aku hampir lupa kapan harinya.

Aku sengaja menyimpan jejak dalam-dalam sebagai sebuah monumen yang setiap saat bisa aku kunjungi. Jika terlupa, aku akan tahu bagaimana cara menemukannya. Tepat di sana, di jantung kenang yang hampir terlupa, aku akan menunduk dalam-dalam sambil memejamkan mata. Demi menziarahi setiap debar yang lahir begitu saja. Entah dari mana.

Aku membayangkan, kau akan berkata padaku bahwa hari ini bukanlah sesuatu yang cukup penting hingga perlu jadi drama. Seolah-olah kisah yang terjadi adalah cerita penuh konflik klimaks anti-klimaks dengan sederet picisan.

Ini memang bukan kisah soal apapun. Ini sama sekali bukan apa-apa. Anggaplah begitu.

Rasanya seperti cookies manis yang telah habis dinikmati seorang anak kecil gemuk nan lucu. Dan kita tahu bahwa yang akan ia tinggalkan di sekitarnya hanyalah remah-remahnya saja.

Aku masih ingat, kita telah sampai pada satu hari yang melelahkan, yang akhirnya membuatmu berkata bahwa ini semua tak berguna untukmu. Tak berarti apa-apa.

Lagi pula, kau selalu punya satu toples cookies lezat yang bisa kau bagikan ke orang lain sambil bercerita tentang apapun.

Dengan debar yang tak kunjung padam, setiap serpih remah-remah yang tersisa -entah bagaimana- masih terasa.

Oh ya, halo. Apa kabar?

Kamis, 09 Juli 2015

Puskesmas adalah Kita

Kamu pernah berobat ke Puskesmas?

Hatiku rasanya dekat sekali dengan Puskesmas. Aku lahir di Puskesmas. Rumah kakek hanya berjarak 10 menit jalan kaki ke sana. Jadi, ketika Ibuku mulai kontraksi, pilihan terdekat hanyalah ke Puskesmas itu. Rumah sakit lokasinya berkilo-kilo meter dari rumah. Ada opsi dukun beranak. Tapi Ibuku lebih percaya bidan untuk urusan melahirkan. 

Saat masih kecil, mbakku pernah mengolok-olokku karena aku satu-satunya anak dalam keluarga yang lahir di Puskesmas. Semuanya lahir di rumah sakit yang nyaman di Jakarta atau di Bekasi. Aku hanya numpang lahir di kampung. Dan pas banget, lokasinya di Puskesmas.

Saat itulah aku punya anggapan bahwa Puskesmas identik dengan tempat orang kampung berobat yang pelayanannya serba minim. 

Waktu SD, Aku pernah protes sambil menangis ke Ibu kenapa harus dilahirkan di Puskesmas kampung? Padahal selama hamil Ibu tinggal di Jakarta. Numpang lahir kok ya di kampung. Gara-gara itu aku jadi diejek mbakku.

"Sini..." Ibu memegang tangan kananku dan mendekatkannya ke mulut, "kamu ibu balikin ke perut lagi. Ibu makan. Tangannya dullllu yaaaa.... Aum… Lehernya mana sini lehernya, Auuuum… Sini sini mana perutnyaaaa... Auuuum... Nyam...nyam.. nyam... Enaaaak..." Aku kegelian. Ibu pura-pura mengunyah, " Nanti kalau udah di perut semua, ibu mau pindah ke luar negeri. Naik pesawat. Biar kamu bisa lahir lagi di Rumah Sakit bagus, di luar negeri sekalian."

Gara-gara Ibu begitu, aku jadi lupa kenapa tadi mesti menangis. 

Beranjak dewasa, aku jadi orang yang sinis banget sama pemerintah. Lahir di mana saja juga sama paitnya. Tapi, setelah aku pikir-pikir, lama kelamaan aku paham bahwa sebenarnya keberadaan Puskesmas di sebuah desa adalah salah satu hal keren yang sudah dirintis pemerintah. Beberapa Puskesmas sudah menyediakan ruang rawat inap, poli gigi, poli Ibu dan anak yang cukup memadai untuk keperluan tahap awal pengobatan.

Teteup loh ya, kalau pelayanannya busuk, males banget muji-muji Pemerintah. 

Di Kecamatan Mampang Prapatan sini, setiap desanya ada satu Puskesmas yang berdiri. Kalau penyakit kita tak bisa ditangani Puskesmas desa karena butuh fasilitas yang lebih lengkap, kita akan dirujuk ke Puskesmas daerah yang punya fasilitas dan dokter ahli. Kalau di Mampang Prapatan, Puskesmas Daerahnya sedang dalam proses metamorfosis jadi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dengan dilengkapi kamar inap, dokter, dan laboratorium yang memadai.

Mestinya keadaan di daerah lain tidak jauh beda. Semoga saja ada Puskesmas bagus di sana.

Jika kita periksa ke Klinik Swasta, untuk pemeriksaan standar yang ditanyai sakit apa sambil diperiksa tekanan darah dan detak jantung, seorang pasien mesti keluar uang sekitar IDR 50.000-150.000 plus tebus obat. Dengan pemeriksaan yang sama di Puskesmas, biayanya cuma IDR 2.000 sudah plus obatnya. Kalau punya BPJS malah bisa gratis. 

Waktu pertama kali ke Puskesmas lagi, aku girang luar biasa karena ternyata berobat bisa lebih murah dari naik Kopaja.

Biaya untuk cek darah di Klinik dan laboratorium swasta bisa ratusan ribu sampai jutaan. Tapi di Puskesmas, cek darah lengkap cuma butuh biaya IDR 50.000. Tentu saja bisa gratis untuk pasien BPJS.

Bahkan untuk penderita kelainan darah maupun antibody seperti Lupus, Anemia, Thalasemia dan lainnya, tes darah di laboratorium Puskesmas untuk deteksi dini juga sudah sangat memadai, dan yang penting, Murah! Untuk pengobatan selanjutnya bisa tanya ke dokter yang bersangkutan. Kemungkinan besar, -menurut perkiraanku- akan dirujuk dan diarahkan untuk bertemu dokter ahlinya.

Beberapa Puskesmas daerah yang bekerjasama dengan lembaga-lembaga macam Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) malah sudah bisa melakukan visum kepada korban kekerasan seksual plus cek HIV/AIDS/PMS (Penyakit Menular Seksual) dengan pendampingan. P2TP2A ini ada di berbagai wilayah di Indonesia. Silakan browsing sendiri ya.

Pegawai P2TP2A di Bandung pernah bilang padaku, "Biasanya, korban pemerkosaan yang meminta bantuan pendampingan atau advokasi ke sini dalam keadaan bersih. Maksudnya, dia sudah mandi. Padahal, untuk keperluan visum, sebaiknya korban tidak mandi dulu biar semua jejaknya masih utuh dan bisa jadi tanda bukti yang kuat jika korban mau menindaklanjuti laporan ke pihak kepolisian."

P2TP2A belum ada di banyak kota. Makanya, kalau tidak ada, kita bisa melakukan pemeriksaan itu secara mandiri. Lebih baik periksa untuk tahu keadaan tubuh kita daripada terlanjur. Jika ada sesuatu yang mengkhawatirkan dan tidak dapat ditangani Puskesmas, langsung bisa dirujuk ke rumah sakit daerah yang masih punya koneksi dengan puskesmas.

Di Puskesmas Kemang, ada dokter Rebbeca yang sudah terkenal sebagai orang yang bisa ditanya dan melakukan pemeriksaan soal HIV/AIDS. Rahasia juga terjamin. Bisa Gratis juga kok. Paling bayar pendaftaran tetep IDR 2000 ya. Kabarnya di RS Carolus juga bisa Gratis.

Tidak harus jadi nakal dan gonta ganti pasangan untuk tes HIV/AIDS. Karena kita tak tahu transfusi darah jenis apa yang masuk ke dalam tubuh kita. Kita tak tahu apakah pasangan kita benar-benar hanya mengonsumsi "menu" di rumah atau "jajan". Karena pengidap HIV/AIDS belakangan ini justru Ibu Rumah Tangga baik-baik yang tak pernah macam-macam di luar rumah. Makanya, lebih baik deteksi sejak dini. Tidak perlu malu untuk kesehatan. 

Di Puskesmas daerah Bangka, Pela Mampang, Tegal Parang, dan berbagai Puskesmas daerah lainnya di luar Jakarta, ada kampanye gerakan IVA (Intip Vagina Anda). Jangan salah paham ya karena ada kata intip intipnya, IVA itu sebuah gerakan untuk meraih kepedulian perempuan terhadap organ reproduksinya. Fungsi utamanya adalah deteksi awal kanker Serviks dengan kapas dan Cuka. Caranya, kapas dibasahi cuka, lalu dokter akan mengintip vagina kita dengan menempelkan kapas dan cuka itu ke Vagina. Jika ada pengapuran di kapas, maka dikhawatirkan ada bibit kanker serviks di sana. Metode ini harus dilakukan oleh dokter beneran lho ya. Don't try this at home. Nggak usah sok sok an main dokter dokteran sama pacar buat mraktekin metode ini ya. Itu mah 100% modus doang. Amannya, ya IVA aja di Puskesmas. 

Di Puskesmas, periksa IVA cuma perlu bayar IDR 5.000. Kalau terdeteksi ada kanker, akan langsung cek cryo dengan biaya IDR 70.000. Sepertinya kalau punya BPJS bisa gratis. 

Sayangnya, fasilitas dan pelayanan yang ada di berbagai puskesmas tidak sama. Tahun 2010, aku masih mengalami Puskesmas di Jakarta yang jam 11 pagi sudah tutup. Di tahun 2015, keadaan berubah. Puskesmas buka dari jam 7 atau 8 pagi sampai jam 4. Berkat Ahok juga yang minta Puskesmas buka sampai sore.

Jam pelayanan Puskesmas di daerah sekarang ini bagaimana ya? Yang jelas, jika jam 11 dan 12 pagi sudah tidak menerima pasien, maka Pueskesmas itu melakukan pelanggaran. Sila laporkan dinas terkait di Kabupaten/Kecamatan terdekat.

Masalah pendidikan, kesejahteraan, dan kesehatan di Indonesia itu adalah tingginya ketimpangan antar daerah. Di suatu daerah bisa saja ada satu Puskesmas yang lengkap pelayanannya. Tapi di tempat lain, fasilitasnya mengenaskan. Pelayanan dokternya busuk, obatnya kadaluarsa.

Pas ketemu fasilitas kesehatan yang kacau, orang jadi hilang minat untuk periksa. Takut nggak ditangani dengan benar lah, takut kurang bisa jaga privasi lah. Khawatir ini itu. Kalau aku sih selalu khawatir saat ke poli gigi Puskesmas. Menurut pengalaman, biasanya alat kesehatannya masih bau mulut orang lain walau sekilas tampak sangat bersih. Awalnya aku ingin menyalahkan Puskesmas. Wajar aja bau karena bayarnya murah. Tapi, suatu ketika aku periksa gigi ke Rumah Sakit dan ke dokter Gigi yang buka praktek di rumah. Ternyata bau juga.

Mestinya pelayanan itu tidak ditentukan karena harga. Ini menyangkut integritas tenaga kesehatan di tempat masing-masing. Masalah kesehatan itu dekat dengan masalah kemanusiaan. Masak iya, kemanusiaan tergantung bayarnya berapa. Kalaupun itu realitas yang terjadi, sayang sekali jika terus dilenggangkan.

Untuk orang sepertiku yang sering kena Panic Attack tiap kali ke Rumah Sakit dan di alam bawah sadarku yang oknyol takut hantu-hantu yang gentayangan di sana, Puskesmas sih cocok. Walau beberapa kali komplain sama pelayanannya, bukan berarti aku jadi membenci. Toh RS negeri dan swasta yang bayar mahal pun juga sering salah-salah pelayanannya. Jadi ya nggak sampe bikin kapok untuk periksa ke sana.

Dengan adanya Puskesmas, semua orang bisa berobat. Kalau pakai BPJS atau kartu-kartu lainnya, biasanya perlu rujukan ke fasilitas kesehatan Tingkat I. Ya Puskesmas itu salah satunya.

Tentu saja tidak optimal. Tentu saja masih ada kekacauan di sana sini dibanding Rumah Sakit. Tapi, adanya Puskesmas itu udah lumayan banget. Menjangkau sampai ke pelosok desa. Asal administrasi kenegaraan kita beres, hampir semua orang bisa periksa. Gampang banget cara manfaatin fasilitas kesehatan itu. Karena mestinya, Puskesmas adalah Kita.

Aku sih gitu ya, nggak tau kalau mas Anang.