Rabu, 29 Januari 2020
Sebuah Cerita tentang Si Sedih
Selasa, 09 Juli 2019
Waduh, Ternyata Aku Perlu ke Dokter Lagi
Kondisiku saat ini baik. Secara fisik dan mental. Setidaknya itu yang selama ini aku pikirkan. Tidak ada peristiwa hidup yang bisa jadi alasan untuk putus asa. Pacarku sangat supportive, teman-temanku baik, dan keluargaku sedang cukup harmonis.
Tapi ada satu hal yang selalu menggangguku. Aku tidak tahu kenapa aku selalu mengantuk di segala situasi. Aku akan tidur saat kerja, saat mendengarkan orang bicara, dan di manapun. Aku ingin sekali bangun pagi. Setiap kali berhasil bangun pukul 5 pagi, aku akan mengantuk pukul 8 pagi dan bangun pada pukul 11 pagi. Kemudian, aku akan mulai mengantuk kembali pada pukul 3 sore.
Ini tidak sehat dan tidak produktif. Hal ini cukup mengganggu aktivitasku. Padahal aku sudah berusaha tidur pada pukul 11 malam atau paling lambat pukul 1 pagi. Tapi aku selalu saja mengantuk setelahnya. Padahal aktivitas ponselku tidak berlebihan.
Karena inilah, beberapa hal jadi terbengkelai. Aku mulai merasa bahwa aku ini agak kurang profesional.
Tenang saja, aku akhirnya berobat lagi ke dokter. Selama 8 bulan, aku putus obat dengan sendirinya tanpa konsultasi ke dokter. Aku merasa sehat sampai akhirnya keluhan soal aku yang tidur terus berdatangan. Aku perlu mengatasi ini. Aku bertanya-tanya pada dokter apakah ini gejala relaps, tekanan darah maupun tingkat gula darah, ataukah akunya yang dasar malas.
Kata dokter, gejala-gejala yang sudah aku alami adalah tanda bahwa aku sedang akan relaps. Aku heran. Kenapa ya aku bisa relaps di saat aku merasa kondisiku baik-baik saja?
Jadi, aku akan lebih tekun minum obat dan psikoterapi. Aku harap aku akan mengubah kebiasaan tidur di mana-mana ini dengan waktu singkat. Karena hidup tak bisa begitu saja berjalan dengan menghabiskan sepanjang usia kita dengan tidur. Aku juga manusia normal yang butuh hidup produktif dan menghasilkan kok.
Dokter bilang, karena aku putus obat agak lama, maka aku akan kena penyesuaian obat lagi dengan dosis yang lebih rendah dari sebelumnya. Ini adalah minggu ketiga setelah pertama kali periksa. Obatku sudah naik dosis dari 1/4 jadi 1/2. Kata dokter juga, lama-lama obatku akan normal jadi 1 tablet. Semoga tubuhku cepat beradaptasi dengan obat yang dikasih ya.
Sehat-sehat semua ya,
Senin, 06 Mei 2019
Belum Berakhir
Sabtu, 22 April 2017
Udah deh, Nggak Usah Datang ke Big Bad Wolf 2017
Aku memang penasaran sama serigala ini karena tahun lalu tidak bisa datang ke sana. Beruntunglah, kerja di media membuatku punya kesempatan untuk mendapatkan tiket VIP untuk tanggal 20 April 2017.
Apa keuntungan VIP?
Well, tak banyak. Kita cuma dapat kesempatan untuk masuk arena pameran buku yang luas sehari sebelum BBW 2017 dibuka untuk umum. Tidak ada diskon, tidak ada perlakukan khusus lainnya. Undangan ini adalah untuk para pemenang kuis. blogger, dan media yang memang diberi maupun mendaftarkan diri sebagai VIP.
Aku ke BBW bersama Yusni. Di sanalah aku tahu bahwa dia adalah partner pencari buku yang sempurna untuk diajak belanja ke BBW. Apalagi dia juga punya pengalaman pergi ke BBW tahun lalu.
![]() |
Ini foto yang aku kirimkan ke Tesa pas dia tanya, "udah berangkat ke BBW?" Baru sampai Stasiun Rawa Buntu |
Senin, 17 April 2017
Mati Rasa
Aku rasa aku sedang panas sampai meletup dan aku tak tahu bagaimana cara mendinginkannya.
Aku rasa aku sedang kesal sampai meradang dan aku tak tahu bagaimana cara menenangkannya.
Aku rasa aku sedang kalap sampai meluap dan aku tak tahu bagaimana cara membendungnya.
Aku rasa, lama-lama bisa jadi aku mati rasa.
(lagi).
Sakit. Sakit sekali.
Minggu, 09 April 2017
Pengalaman Waxing untuk Pertama Kali demi Melawan Trauma.
Warning! Postingan ini tidak cocok untuk kamu yang judgemental dan anti sama awareness seputar kesehatan reproduksi dan kebersihan intim kewanitaan. Tidak cocok juga untuk yang punya otak ngeres tiap kali membahas selangkangan perempuan.
Hai hai...
Maaf ya jadi jarang ngeblog. Nulis setiap hari di tempat kerja membuatku jadi malas menulis untuk diri sendiri nih. Padahal menulis untuk diri sendiri adalah salah satu cara untuk menyehatkan jiwa. Yhaaaa...
Kali ini, aku mau cerita pengalamanku yang seru dan aku sarankan para perempuan mencobanya juga.
Yak! Kayak di judul. Aku mau bagi pengalaman pertamaku waxing. Nggak cuma bagian underarms alias ketyperi, tapi juga half legs alias betty dan vagina pake Brazilian Monte.
Sebenarnya, aku udah waxing tanggal 9 Februari lalu. Tapi, sengaja belum aku review karena aku perlu nunggu reaksi dewan perbuluan di dalam tubuhku. Biar tahu pasti apa yang terjadi setelah dua bulan masa waxing berlalu.
Kita awali ceritanya dari kondisi perbuluanku yaaa...
Sejarah perbuluan Banu (apaan sih judulnya gini amat)
Jadi, dulunya aku adalah orang yang biasa mengatasi masalah perbuluan dengan cara dicukur. Terutama bagian ketyperi dan betty.
Mungkin mencukur bulu adalah salah satu hal bodoh yang aku lakukan di masa remaja hingga dewasa. Karena hal itulah yang membuat bulu makin lebat dan bertambah tebal. Selain itu, untuk bagian ketyperi, kulitnya juga jadi lebih gelap daripada bagian lain. Sekalipun, menurut orang-orang yang melihat kulit ketyperiku, di bagian ini sih aku ga menghitam ya. Tapi tetep aja, ada rasa insecure yang merayap tiap kali ngaca di bagian itu. Hiks! Lemah!
Aku pernah mencoba krim perontok bulu Veet. Tapi, selain panas di kulitku yang sensitif, krim itu tidak tuntas mencerabut sampai ke akarnya. Jadi si bulu masih sangat meranggas dengan lebatnya. Hanya butuh waktu seminggu untuk tumbuh panjang lagi. Sorry menyori ya 'bok, eike nggak bisa upload fotonya hutan belantara ketyperi.
Kakakku Himma adalah orang yang sering mencabut bulu ketyperi dengan pingset. Memang akan tercerabut sampai ke akarnya. Tapi, setelah rutin melakukan itu, ada masalah di kelenjar payudara yang membuatnya harus dioperasi. Untunglah benjolan itu sudah diangkat dan sekarang dia baik-baik saja. Itu juga yang membuatku tak mau lagi main-main dengan pingset untuk urusan perbuluan. Apalagi untuk daerah ketyperi.
Mencabuti bulu ketyperi dengan pingset itu bahaya! Serius!
Sampai akhirnya, teman kantor ngajakin untuk waxing bareng. Nggak cuma ketyperi dan betty, tapi aku juga ditantangin untuk nyobain Brazilian Monte. Brazilian Monte itu artinya bulu di sekitar vagina kita akan diwaxing sampai bersih mulus seperti bayi lagi.
Sebenarnya aku adalah orang yang jarang sekali ke tempat-tempat perawatan tubuh. Karena aku orangnya sangat pemalu dalam hal buka baju di depan orang lain. Apalagi sampai bagian bawah tubuh.
Misalnya, sampai umur segini pun, aku merasakan yang namanya creambath baru bulan Maret kemarin saat kepala pusing dan ingin dipijat. Itu pun nggak sampai buka seluruh bahuku.
Baru nyobain pijat tubuh di tukang pijat profesional pada umur 24 tahun.
Baru potong rambut di salon umur 25 tahun karena biasanya selalu dipotongin rambut sama ibu atau potong rambut di depan kaca sendiri.
Baru pertama kali facial di skin care umur 22 tahun karena diajak kakak kelas yang sempat prihatin dengan wajahku yang dijajah jerawat. Walau akhirnya aku nggak pernah lagi facial sampai 5 tahun berlalu.
Ya intinya, aku bukan orang yang rempong dengan urusan perawatan tubuh, terutama yang melibatkan orang lain dan bayar :p.
Aku sadar, sebagai perempuan, semakin dewasa kita harus makin memperhatikan kebersihan organ intim kita. Apalagi, aku harus "latihan" untuk berani buka celana demi perawatan.
Iya. Aku benar-benar harus latihan untuk hal sesederhana ini.
Aku punya trauma yang buruk saat periksa obgyn jaman SMP dulu. Ceritanya, aku punya masalah dengan masa menstuasi yang sangat panjang dan sempat mengalami over bleeding. Akhirnya, kakakku ngajak periksa ke obgyn dan diperiksa oleh dokter lelaki. Saat itu prosedur pemeriksaan yang harus aku lalui adalah, aku harus buka celana dan mekangkang lebar-lebar di kasur yang biasa dipakai oleh ibu melahirkan, yang ada jepitan betisnya itu lho.
Nah, dalam keadaan kayak gitu, dokternya mamasukkan kapas di anus untuk mendeteksi kelainan apa yang terjadi di tubuhku.
Saat prosesi itu terjadi, dokter rekannya yang lelaki juga masuk di kamar pemeriksaan dan mereka ngobrol dengan santainya di depan vaginaku yang terbuka lebar!
Sebagai anak SMP polos yang sangat sangat sangat pemalu, hal ini sangat menggangguku.
Beneran deh...
Malu! Malu sekali!!
Kalau dokter obgyn yang memeriksaku adalah seorang lelaki, oke lah ya... Masih bisa dimaafkan karena di rumah sakit itu memang tidak ada dokter perempuan. Terutama, saat itu aku memang butuh pertolongan. Tapi, teman si dokter itu lho! Ngapain sih dia masuk-masuk ruang pemeriksaan juga? Toh dia bukan dokter yang memeriksaku. Apalagi mereka ngobrol dengan santai di depan pasien yang tidak pakai celana selama kurang lebih 5 menit! Bayangkan!!
Maluuuuuu banget!!!
Sejak saat itu aku jadi takut sama semua dokter dan rumah sakit.
Sialnya lagi, di hari itu, aku juga hampir saja menabrak ranjang berjalan berisi jenazah di koridor rumah sakit karena tubuhku terlalu lemas dan anemia membuat pandangan mataku sangat buram sehingga gagal fokus. Horror!
Kenapa ke WaxTime?
Aku pilih di WaxTime karena emang kemarin dulu itu bareng-bareng banget sama temen kantor. Sebagai buruh yang bekerja dari rumah, momen bertemu dengan teman sekantor itu sangat jarang terjadi. Jadi, pas diajakin barengan, ya ayo aja. Apalagi semuanya kumpul.
Lokasinya juga strategis, sebelahan banget sama Pasar Santa. Jadi pas naik Gojek, tinggal cari jalan Cisanggiri 1, udah deh nyampe. Dari Mampang sih cuma bayar IDR 4000 pakai Gopay. Hemat banget kan.
Tempatnya rapi dan cantik banget. Jadi, aku udah terkesan banget sejak pertama kali ke sana.
Kita juga bisa mengira-ngira berapa harga yang harus kita bayar karena mereka mengunggah price list di instagram.
Sebuah kiriman dibagikan oleh WaxTime (waxing & relaxing) (@waxtime_id) pada
Awalnya, aku memang malu-malu. Tapi, aku sudah niat banget mau lawan satu-satu traumaku dan menggantinya dengan kenangan yang lain. Jadilah aku mau-mau aja. Apalagi mbak yang waxing aku orangnya ramah dan sabar banget sama aku yang cerewet ini.
Jadi, ada rasa percaya dan nyaman saat si mbak merawat perbuluanku yang sensitif. Makanya, aku sampai bertekad ingin waxing lagi di sini kalau dijajah bulu lagi,
Sakit nggak?
Untuk bagian ketyperi, wax di WaxTime itu nggak sakit sama sekali. Malah nyaman banget dan enak karena sensasi hangatnya bikin tubuh sangat rileks. Untuk bagian betty, bagian kulit yang empuk rasa cekit-cekit rasanya. Tapi masik oke. Nggak sampai teriak-teriak.
Barulah pas Brazilian Monte ini. Aku merasa sensasinya beda.
Selain soal tantangan buka celana, di bagian kulit yang empuk emang rasanya bikin hemhemhem~. Sempet teriak karena lumayan sakit. Tapi untuk daerah kulit yang nggak begitu empuk, rasanya enak banget kok.
Mbaknya juga telaten mempelajari anatomi tubuh kita, mana yang bagian sensitif untukku, mana yang netral. Jadi, setelah aku kasih tau di bagian situ agak sensitif, mbaknya dengan sigap langsung tahu harus melakukan apa di bagian kulit yang sensitif itu.
Hanya di detik-detik awal sih sensasi sakitnya ada. Tapi selanjutnya, nyaman banget.
Kondisi bulu setelah 2 bulan
Ini penting sekali untukku. Sebelum aku harus menghadapi obgyn jelang menikah nanti untuk keperluan medical check up. *uhuk*
Oh ya, selain berhasil melewati trauma membuka paha, aku juga berhasil melawan ketakutanku sama dokter dan rumah sakit lho. Karena aku pernah menjaga almarhum keponakan yang sakit Atresia Bilier di RSCM dan sekarang pasanganku pun seorang dokter. Tepatnya, dia adalah seorang dokter gigi yang bercita-cita ingin jadi wartawan. (lho!)
Jadi, begitulah ceritanya pemirsa.
Aku tidak mencantumkan instagramku sendiri ya, karena percuma. Lha wong digembok kok. :p
But, I let you see how happy I'm after waxing in WaxTime.
Sampai ketemu di blogpost lainnya. Aku usahakan untuk menulis pengalaman-pengalaman lainnya ya. :*
Jumat, 19 Februari 2016
Kita dan Rumah Luka
Sabtu, 17 Oktober 2015
Penari Api
"Kau sudah lama memandangiku dari jauh ketika aku pikir, aku sedang sibuk mencarimu."
Berulangkali aku bertekad untuk menggunakan kemahirku dalam berpura-pura tidak peduli. Tapi tak bisa. Ada nyala di dalam dada yang sulit padam. Ada panas menggeliat yang terperangkap dalam gelisah dan kian sulit ditenangkan.
Aku sudah berlatih untuk tenang sejak pertama kali kita bertemu.
Saat itu, aku sibuk mengabaikan tanganku yang bergetar saking paniknya harus bagaimana saat berjumpa nanti. Aku menahan diri untuk tidak bernafas terlalu keras demi mengontrol derasnya aliran darah yang melintasi arteri hingga jantungku. Aku tak tahu apakah cara tersebut cukup ampuh, aku bahkan tak sempat memikirkan apakah mekanisme biologis itu sudah tepat atau meleset. Karena otakku rasanya membeku untuk beberapa saat. Sejenak, aku lupa caranya berpikir. Aku mencoba sekeras mungkin untuk memerintahkan otakku bekerja.
Saat itu, aku berharap bisa memikirkan beberapa skenario yang mungkin terjadi dalam 5 sampai 10 menit ke depan, sejak pertama kali aku melangkahkan kaki di kotamu.
Skenario pertama. Begitu bertatap muka, kita akan bersalaman. Kita mulai bertukar senyum gugup sambil berbasa-basi soal cuaca dan perjalanan. Kemudian kau akan langsung mengantarkanku ke penginapan. Tanpa turun dari mobilmu, kau akan melambaikan tangan sambil berkata, "Sampai besok ya..."
Skenario kedua. Kita bertemu, kemudian masing-masing dari kita akan membungkuk dalam-dalam sambil berkata "Senang bertemu denganmu" dengan kikuk. Tak ada yang sepakat siapa diantara kita yang akan memecah kebekuan. Kau mengantarku ke mobilmu seperti yang biasa kau lakukan jika kau harus menjemput seseorang dari bandara. Kita berdua akan membisu sampai aku mengantuk dan jatuh tertidur. Beberapa saat kemudian, kau membangunkanku dengan kalimat, "Bangun. Sudah sampai di penginapanmu. Sampai jumpa besok." Aku menyempatkan diri mengikuti mobilmu lewat ekor mataku sebelum masuk ke penginapan. Aku akan berdiri di sana hingga mobilmu benar-benar hilang ditelan malam.
Skenario ketiga. Kau akan buru-buru menghampiriku. Kemudian kau akan membawakan tasku yang berat sambil berlaku sesopan yang kau bisa. Tak lupa, kau juga akan bertanya apakah aku lapar, karena kau sudah menyiapkan makan malam romantis walau barangkali itu terlalu cepat untuk kita. Sebenarnya aku tidak lapar, tapi toh akhirnya akan mengiyakan saja segala yang kau tawarkan. Setidaknya itulah yang akan aku lakukan untuk menimbulkan kesan bahwa aku telah mengapresiasi caramu menyambutku. Skenario itu tidak terlalu buruk di kepalaku. Lebih seperti picisan. Tapi, hey, apakah aku baru saja berharap ada sebuah makan malam romantis? Rasanya ini terlalu cepat. Ini gila. Tapi mungkin saja. Bukankah hal terbaik yang bisa terpikirkan adalah jangan berharap apapun dulu? Jangan. Aku meralat pendapatku sendiri. Skenario ini buruk, tapi, siapa tahu kau memang sudah menyiapkan segalanya dengan manis? Aaah... Sudahi saja drama ini.
Skenario keempat. Kau memilih berdiri di dekat mobilmu. Kau melihatku tampak kebingungan dari jauh. Tapi kau juga terlalu malas untuk berjalan. Kau memilih untuk melambaikan tangan dari jauh. Kita akan melempar kata "Hai" dengan cara yang paling singkat. Kau akan menyuruhku masuk begitu saja ke mobilmu. Aku sudah gugup setengah mati. Sebagai orang yang tidak ingin tampak amatir dalam menyikapi pertemuan pertama, aku akan menutupinya dengan bicara sebanyak mungkin dengan berbagai topik yang sebenarnya tidak aku kuasai. Aku terlalu khawatir kau mendengar kerasnya degub jantungku. Jika ini benar-benar hal yang aku lakukan, apakah kau akan berpikir bahwa aku perempuan cerewet yang membosankan?
Aku tak sempat memikirkan soal skenario kelima ketika kau menelepon ponselku. "Dimana?" tanyamu saat itu.
Aku mendeskripsikan lokasiku. Kau mengarahkanku untuk berjalan ke sana dan ke mari. Kemudian kau menutup pembicaraan sebelum aku menemukan sosokmu. Aku masih mengedarkan pandanganku ke segala arah ketika kau melambaikan tanganmu dari jauh. Dan setelahnya, terjadilah peristiwa seperti skenario keempat. Bedanya adalah, tidak ada kata "Hai". Aroma mobilmu sudah cukup menenangkan degubku. Suara radiomu meredam debarku. Sepertinya aku berhasil menenangkan diri sendiri. Ini lebih mudah dari yang aku duga.
Mungkin kau tidak memperhatikan bahwa aku berusaha mati-matian memecah keheningan. Aku memanfaatkan kelihaianku dalam berkomentar tentang segala sesuatu. Alih-alih berbicara soal kita dan panjangnya penantianmu, aku memilih untuk berkomentar tentang hal yang tidak penting. Mulai dari pesawat, bandara, jalan tol, lampu, pajak, pantai, tata kota, pariwisata, pemerintahan, baliho, dan apa saja yang sekiranya tidak membuatmu diam.
Saat itu, aku begitu lelah dan mengantuk. Tapi di sisi lain, aku begitu bersemangat untuk berkata apa saja denganmu.
Kau lebih banyak menghindari tatapanku saat itu. Beberapa kali kau tersenyum tanpa aku tahu sebabnya. Mungkin kau sama gugupnya denganku. Tapi aku lebih ahli dalam berpura-pura untuk tidak memperlihatkannya.
Bahkan kau membuat meja kita bergetar dengan gerakan kakimu yang kikuk saat kita duduk berhadapan di sisi pantai yang tak berangin. Aku tertawa sendiri membayangkan gerakan kakimu di meja yang bagiku mirip penjahit dengan mesin tuanya yang perlu dikayuh secara manual. Aku mengingatkanmu dengan nada sedingin mungkin seolah gerak kakimu mengganggu ketenanganku. Dan kau menyambutnya dengan menghisap rokok. Oh ya, bukankah kau berkata padaku sebelumnya bahwa kau bukan perokok?
Tunggu dulu, aku hampir mengingat segalanya. Semuanya. Walau tak mungkin dituliskan detailnya di sini. Kau tahu kan sebabnya?
Sejujurnya, aku tak suka hidangan yang di sajikan di sana. Aku sudah mengatakan itu padamu. Tapi aku tak mengatakan bahwa saat itu aku suka caramu tersenyum sambil mengalihkan pandangan tiap kali ada sesuatu yang kau anggap lucu. Aku tak suka dengan kumis dan jambang berantakanmu yang lebih mirip berandal tengik. Tapi di sisi lainnya, aku suka sekali nada bicaramu yang aneh dan sering aku tirukan. Aku tak suka posisi dudukmu yang membungkuk saat menyetir. Tapi aku selalu suka kebersamaan kita di sana.
Oh ya, sebenarnya aku juga tak suka saat kita makan siang bersama esok harinya. Kau menambahkan terlalu banyak kecap serta perasan jeruk nipis di mangkuk supku. Lalu dengan lancang, kau mencicipnya. Tak ada seorangpun yang pernah melakukan itu padaku. Aku tak suka ide soal semangkuk berdua dengan seseorang yang belum lama dekat. Tapi kau bilang supku sudah enak dan siap santap. Aku begitu ragu untuk mencicipnya. Untunglah, kali ini kau benar bahwa sup itu memang lebih enak dari sebelumnya. Entah, selalu ada perasaan untuk tak sependapat denganmu.
Aku ingin menemukan sebanyak mungkin hal yang tak aku suka darimu. Namun, setiap kali aku melakukannya, rasa manis yang kita ciptakan bersama dari kehangatanmu melintas. Mengingatnya, serasa ada yang sedang memeras jantungku. Melumat ulu hatiku. Membakar ego yang mengental di kepalaku.
Kau tahu, Alis tebal di atas bola matamu yang mirip dengan warna mataku beserta beberapa helai perak yang bersembunyi malu-malu di rambutmu itu berhasil memaku gerakku untuk melangkah pergi.
Aku akan tersenyum kecil tiap ingat perlombaan kita tentang siapa diantara kita yang matanya lebih besar dan siapa diantara kita yang matanya lebih coklat. Tentu saja aku pemenangnya. Namun, kau tak mau kalah.
"Hidungku lebih mancung dari hidungmu," katamu.
"Iya sih..." jawabku, "tapi hidungmu seperti landak, terlalu banyak komedo yang bercokol di atasnya. Lagipula, bulu hidungmu terlalu panjang."
Kau akan cemberut sambil bercermin, kemudian membenarkan perkataanku. Dengan polos, kau berkata bahwa selama ini kau tak pernah memperhatikan soal panjangnya bulu hidung. Aku memperhatikannya diam-diam sambil tertawa puas dalam hati.
Pelan-pelan, aku terbiasa dengan segala tentangmu. Termasuk tahi lalat di pipimu, rambut anti gravitasimu, kacamata melorotmu, baju bergaris yang membuatmu terlihat makin lebar, perut buncitmu, segalanya.
Oh ya, apakah aku sudah memberitahumu bahwa tahi lalat di wajah sering menjadi perumpamaan dalam puisi sufi tentang keindahan Tuhan? Apakah aku juga sudah memberitahumu juga bahwa aku menahan tawaku tiap kali kau hampir menangis haru karena mendengar lagu kebangsaan diputar di TV, radio, dan di manapun?
Kita tidak pernah benar-benar berlari. Tapi bagaimanapun, kita telah sampai sejauh ini. Belum terlalu jauh. Tapi, mari kita berandai-andai tentang perjalanan selanjutnya, akan seperti apa.
Sebelumnya, aku ingin bertanya padamu tentang beberapa hal.
Bagaimana jika lengkung indah pelangi yang kau kejar ternyata tak berkaki dan tak pernah ada ujungnya? Mengapa kau menciptakan bayanganmu sendiri hingga kau lupa bagaimana percaya pada yang nyata? Bagaimana rasanya sibuk memahat khayalmu sendiri hingga lupa bahwa setiap lekuk indah yang tercipta di sana menyimpan perih di setiap sisinya?
Sepertinya kita berdua juga dihantui oleh sesuatu yang berbeda. Kita dicekam oleh ketakutan yang kita ciptakan sendiri. Kita begitu takut melangkah karena khawatir akan terjebak pada mimpi buruk. Kita begitu merisaukan segala hal tentangnya sampai lelah. Hingga kita berdua lupa caranya saling menguatkan.
Aku tak pandai menawarkan keindahan pada seseorang yang telah lama bersabar atas keacuhanku.
Tapi, bagaimana jika kau aku ajak menjadi penari api bersamaku? Bukankah selama ini kau senang melihatku menari? Apalagi, kau memang selalu membiarkan aku menari sendirian. Kali ini, aku ingin benar-benar mengajakmu menari. Berdansa denganku bagai geliat api di atas panas baraNya.
Kelak, aku ingin berpijar, menyala, hingga mengabu bersamamu. Dan semoga saja, segalanya demi terang di jalanNya.
Jumat, 07 Agustus 2015
Andreas Harsono
Masalahnya, para senior tengil itu tak pernah mengajari bagaimana caranya menulis. Mereka meminta kami belajar sendiri dari banyak membaca. Mereka tak beri tahu bahan bacaan apa yang yang mesti dibaca. Kami makin linglung.
Segalanya terasa payah. Aku merasa sangat sengsara karena ketidaktahuan ini. Apalagi kalau berhadapan dengan pers mahasiswa di kampus lain. Mereka punya proses kaderisasi berjenjang yang baik. Jika di kampus lain seseorang menjadi Pemimpin redaksi pada semester 6, maka di Paramadina, semester 3 pun sudah bisa terpilih jadi pemred karena pada semester 5 seseorang mulai sibuk dengan skripsi dan biasanya memilih untuk tidak aktif lagi di UKM Kampus.
Jujur saja, sebagai Editor in Chief di Parmagz, aku buta literasi. Bagiku semuanya sama saja. Berita ya cuma seperti itu. Pengetahuanku standar. Hanya seputar piramida terbalik, 5 W 1 H, dan hal-hal dalam hardnews. Bodoh.
Dengan bekal merasa bodoh itu tadi, aku googling soal dunia jurnalistik. Spesifiknya, soal Jurnalisme Sastrawi. Kemudian aku menemukan blog Andreas Harsono dalam daftar teratas pencarian google. Di blog nya juga tercantum informasi mengenai Kursus Jurnalisme Sastrawi. Ternyata dia adalah salah satu pengajarnya. Teringat Misbah yang menyebalkan lagi, dia juga pernah menyinggung soal kursus itu sekalipun dia sendiri tidak pernah mengikutinya.
"Keren sih kursusnya. Tapi mahal." Katanya waktu itu.
Saat aku tanya seberapa mahal harganya, dia tidak memberitahuku. Mungkin dia memang tidak tahu tapi gengsi untuk bilang tidak tahu. Atau dia sebenarnya tahu tapi dia pikir aku tak mampu bayar.
Selama menjadi Editor in Chief dan Chief Operating Officer Parmagz pada periode berikutnya, aku memendam rasa kesal ke Misbah. Aku menganggapnya berdosa besar karena tidak pernah mendidik juniornya untuk bisa menulis dan punya selera bacaan yang baik. Sedangkan dia terus menerus memuji karyanya sendiri dan mengatakan betapa kerennya gaya menulis Pantau. Aku tak pernah baca satupun tulisan dari Pantau. Misbah bilang, Pantau itu bentuknya Majalah. Aku tanya di mana aku bisa beli majalahnya, dia bilang tidak tahu. Informasi soal itu selalu deadlock.
Di blog Andreas lah aku temukan segala yang aku cari. Aku membaca detail kurukulum kursus di Pantau. Sepertinya keren.
Tanggal 18 April 2013, aku memberanikan diri untuk mengirimkan email ke contact person yang tercantum dalam blog Andreas. Namanya Imam Shofwan.
Isi emailnya seperti ini :
Halo, aku baca website nya Andreas Harsono ttg pelatihan Jurnalisme sastrawi juni nanti. Caranya ikut gimana ya? Syaratnya apa? ThxMas Imam memberikan balasan pada keesokan harinya.
Halo, tolong kirim 2 contoh tulisanmu dan CV. Setelah itu membayar biaya pendaftaran: Rp. 3juta.
Thanks,
IS
Siapa tahu aku malah jadi mbak mbak penjaga warnet yang bisa bahagia karena bisa internetan gratis. Atau jadi mbak mbak kelas menengah yang kerja kantoran di ruang berAC sambil mengeluh jalanan macet karena aksi para Buruh.
Tahun itu, aku memang belum punya bayangan akan hidup dengan cara seperti apa nantinya. Siklus hidup yang aku tahu hanya kuliah, kerja, menikah, berhenti kerja karena hamil, jadi ibu rumah tangga yang baik, membesarkan anak, nyekolahin anak, nikahin anak, bercucu, lalu mati. Pikiranku hanya sesederhana itu karena aku tidak tahu apa yang penting di dunia ini. Apa yang perlu diperjuangkan. Apa peran yang harus kita ambil. Dan ya, aku dulu memang seperti itu. Naif.
Awal tahun 2014, aku perlu meliput sebuah konferensi pers di Kuningan. Saat itu aku memang baru saja jadi pemimpin redaksi sebuah media online baru. Karena aku meliput dengan handphone android, maka aku memilih untuk mentranskip konferensi pers dengan cara live tweet. Gara-gara membuka timeline twitter, aku jadi tahu bahwa Andreas Harsono juga ikut hadir dalam konferensi pers itu. Dia juga sedang live tweet.
Karena tak pernah tahu wajah Andreas itu seperti apa. Maka, untuk pertama kalinya, aku mengklik avatar twitternya. Aku sempat melakukan Zoom in dan Zoom out pada avatarnya. Demi mencari sosoknya di kerumunan. Ternyata mudah untuk menemukan dia. Aku kenal banyak orang di konferensi pers itu. Aku tinggal mencari satu-satunya wajah chinese di sana. Gotcha!
"Maaf, anda Andreas Harsono bukan ya?"
Ia mengiyakan.
Aku bertanya padanya soal Pantau. Berapa biayanya jika aku berminat ikut. Dia bilang, "Kursus Pantau bayar Tiga Juta Lima Ratus."
Aaaw...
Dia menginfokan padaku bahwa kelas Pantau akan dibuka pada hari Senin minggu depan. Sudah terlambat untuk mendaftar.
Aku bilang padanya bahwa aku sangat berminat untuk ikut kelasnya. Tapi aku masih mahasiswa. Belum menghasilkan uang.
Tentu saja!
Andreas meminta nomer handphoneku. Begitupun sebaliknya.
Andreas mengarahkan kameranya handphonenya ke arahku. Itu adalah hal yang tak pernah dilakukan oleh orang lain padaku.
Dia bilang, "Aku mau simpan fotomu untuk gambar kontak di HPku. Boleh ya?"
Mungkin dia takut lupa wajahku. Atau itu memang kebiasaannya? Aku mengiyakan saja apa maunya.
Setelah kenal dengannya, aku akhirnya tahu bahwa itu memang kebiasaannya ketika menyimpan nomer HP seseorang yang ditemuinya langsung.
Aku juga sempat bingung, harus memanggil dia dengan sapaan apa.
Dengan keputusan agak tergesa, aku memanggilnya dengan "Bang".
Malam harinya, aku membaca habis seluruh materi yang tercantum pada silabus Kursus. Yang belum aku baca hanya bukunya saja. Selain itu, aku juga membaca seluruh postingan blognya. Ada soal Norman, pernikahan, ceritanya mengajar jurnalistik, isu HAM, cara belajar menulis dengan bahasa Inggris, dan lainnya.
Di blog itu, aku juga menemukan tulisan soal respon atas kebingungan orang di sekitarnya yang akan memanggil dia dengan panggilan apa. Dia menulis bahwa orang memanggil dia dengan panggilan yang bervariasi. Dia oke disebut dengan sapaan apa saja.
Senin pagi, aku mengirimkan pesan whatsapp padanya. Aku mengabarkan padanya kalau aku kesulitan mencari alamat Yayasan Pantau. Dia menjawab pesanku dengan cepat dan memberikan nomer handphone mas Udin yang biasa menunjukkan jalan.
Sebagai orang yang diizinkan untuk masuk ke kelas tanpa bayar, aku sebenarnya agak minder. Apalagi peserta kursus rata-rata adalah orang yang biasa hidup di dunia jurnalistik. Aku memang Pemred saat itu, tapi kualitas tulisanku payah. Aku terpilih jadi Pemred cuma karena orang berpikir aku bisa nulis atau terbiasa menulis di kampus. Alasan kedua, tidak ada orang lainnya. Alasan ketiga, aku keminter. Aku bisa meyakinkan pada orang lain bahwa aku ini cukup pintar dalam bidang tertentu walau sebenarnya kualitasku masih weleh weleh.
Dengan kikuk, di hari pertama itu, aku berkenalan dengan wartawan beneran, Arsitek, Pegawai LSM, Kontributor koran berbahasa Inggris, dan sebagainya, dan sebagainya.
Saat itu, aku memutuskan untuk memanggil semua orang dengan panggilan Kak, Mas, Mbak, Bang. Kecuali untuk orang-orang yang merasa keberatan dengan panggilan itu.
Tak ku sangka, Mbak Eva memberiku materi dan makan siang. Aku bilang padanya bahwa aku hanya murid yang disusulkan Bang Andreas. Saat itu, aku bukan peserta yang membayar biaya kursus. Aku tidak ingin dia salah paham. Aku takut di akhir kursus, ada tagihan yang perlu aku bayar.
Sambil tersenyum, dengan mata yang sipit serupa lengkung pelangi itu, mbak Eva bilang, "Nggak papa Banu, kan materi dan makannya memang sudah disiapkan untuk Banu."
Aku senang sekali mendengarnya ^^,.
Rasanya aku tak tahan untuk tidak pamer ke Misbah kalau aku berhasil masuk kelas Pantau yang selalu ia sebut-sebut itu.
Minggu pertama kelas adalah Janet Steele, seorang Profesor asal George Washington University Amerika yang fasih berbahasa Indonesia. Andreas juga hadir di hari pertama walau sebentar.
Melihatnya masih mengenaliku dengan baik, aku mulai berhenti untuk menganggap diriku sebagai murid ilegal di kelas Pantau.
Belakangan, aku baru tahu bahwa beberapa alumni kelas Pantau yang sudah bekerja sering membayari para peserta Pantau yang baru. Yang tahu soal siapa yang membayari siapa hanya Bang Andreas dan Mas Imam yang tahu. Yang jelas, aku sangat berterimakasih atas kesempatan belajar ini.
Suatu hari, usai kelas Pantau, Kak Dian yang jadi redaktur Tribun Pontianak bilang dia akan ke rumah Andreas. Aku boleh ikut kalau punya waktu. Aku mengiyakan ajakan itu. Saat itu, aku main di rumahnya sampai jelang malam.
Dia jawab, "Iya sih, tapi kamu beruntung ada orang dewasa seperti aku yang membimbingmu. Aku dulu nggak punya. Mikir sendiri."
Aku sering protes padanya dengan bilang, "Masak sih aku kayak gitu...? Nggak ah. Aku nggak bermaksud seperti itu. Masak anggapannya jadi seperti itu sih? Ah, masak? Nggak gitu ah bang!"
Dia akan bilang bahwa itu adalah penilaiannya. Aku boleh percaya, boleh tidak. Dia hanya berikan pandangannya.
Nantinya, diam-diam aku akan bahwa ada benarnya juga apa yang dia bilang. Lalu, suatu hari yang lainnya lagi, aku akan mengiriminya pesan. 'Apakah aku boleh main ke rumahnya untuk curhat?'
Ada banyak pelajaran yang aku ambil setiap kali kita berinteraksi. Selain soal dunia jurnalistik, dia banyak mengajariku soal kerendahan hati dan keberpihakan pada orang yang terdiskriminasi.
Senin, 27 Juli 2015
Feodal itu Menyebalkan
Ada tiga cerita soal ini.
Ketika minta kontaknya, ajudan tidak mau beri. Alasannya soal privasi. Jika seseorang jadi pejabat publik, mestinya sudah menyiapkan diri punya beberapa nomer telpon. Ada yang public, ada yang privat.
Ujung-ujungnya, ajudan bilang, "Maaf mbak, mungkin besok bapak baru bisa ditemui."
Si pejabat keluar dari ruangannya. Lihat wartawan menunggu. Dia langsung nyapa, "ada apa?", sudah menunggu dari jam berapa?", "Mau tanya soal apa?", tak lama kemudian dia akan minta maaf karena tak bisa wawancara lama. Dia berikan kontaknya dan bilang, "SMS dan telpon aja mbak. Pasti saya jawab."
Ajudannya cuma bengong karena begitu mudah komunikasi sama bosnya.
Bahkan Dirjen tersebut ikut ucapkan selamat lebaran lebih dulu. Dengan sapaan "Mas Sahar" kepadaku. Mungkin dia lupa bahwa wartawan yang ada di daftar nama kontaknya itu perempuan. tapi setidaknya dia ingat untuk mengirim SMS hari raya lebih dulu.
Yang ada di kepalaku adalah, apa ajudannya tidak tahu kalau bosnya itu ramah sama wartawan? Apakah Ajudannya tidak diberi instruksi bagaimana caranya berhubungan dengan wartawan? Atau gimana? Di jaman sekarang, menduduki jabatan tertentu dengan lagak sok birokratis tak akan membuat si pejabat jadi keren. Malah sebaliknya. Kalau kamu jadi asisten, penting untuk tahu kebiasaan bosnya. Jangan bikin rumit sesuatu yang mestinya simpel.
Pas datang ke DPPnya, disambut oleh security yang bilang, "Kalau mau ke sini, telpon dulu mbak. Kalau belum ada janji, maaf sekali tidak bisa bertemu dengan yang bersangkutan."
Aku bilang padanya bahwa aku sudah mencoba telepon kantornya tapi tidak ada yang mengangkat. Dia melihat nomer telepon yang aku maksud dan ternyata itu memang benar-benar nomer telepon yang ada di depannya. "Tapi ada satu nomer lagi yang aktif mbak. Coba mbak hubungi nomer yang ini dulu. Besok bisa kembali ke sini lagi."
Aku bilang, berita tak bisa menunggu. Aku minta dia hubungkan saja ke Humas atau jabatan yang relevan dengan pertanyaanku.
Dia jawab, "Tidak bisa mbak. Prosedurnya begitu. Mbak datang saja besok, dengan janji di telepon lebih dulu."
Aku minta dia catat nomer teleponku dan berikan ke Humas. Humas mestinya bisa lebih tahu bagaimana berhubungan dengan wartawan. Dia mau mencatat nomer teleponku sambil bilang bahwa sebaiknya aku datang lagi besok. Sesuai dengan prosedur yang tadi dia bilang.
Aku diminta menulis pertanyaan yang akan aku ajukan ke Narasumber. Baiklah. Aku mengalah. Aku tulis dengan syarat dia sampaikan nomer ponselku ke Humas dan minta Humas kontak aku.
Esoknya, Humas SMS ke ponselku. Minta maaf dan berikan kontak Narasumber yang aku butuhkan. Aku kontak Narasumbernya. Ternyata dia tak menguasai tema yang aku tanyakan. Dia berikan nomer kontak orang lain lagi sambil bilang, "Nanti tanya dia saja. Bilang, dapat kontaknya dari saya. Dia akan jawab semua pertanyaanmu karna itu jobdesk dia."
Baiklah. Aku berterimakasih. Setelahnya, aku kontak nomer tersebut lewat telepon, Tak diangkat. Aku coba SMS, tak ada jawaban, Aku Whatsapp, hanya dibaca.
Akhirnya aku kontak ulang ke DPPnya. Diberi prosedur yang sama. Kontak ulang Humas dan pejabat yang beri nomer pejabat partai lainnya. Kembali tak ditanggapi sama sekali. Wah, susah. Ya sudah. Mungkin mereka memang tak mau terbuka pada wartawan. Tak ada berita apapun dari Partai itu.
Partai Biru lain lagi ceritanya. Sekalipun sudah datang langsung ke DPPnya, Dapat kontaknya, tidak ada satu pun yang mau bicara sekalipun jabatannya adalah Humas. Begitulah akhirnya. Tidak ada berita dari Partai itu. Bukan mauku. Bukan salahku.
Aku datang begitu saja ke DPP tanpa telepon. Langsung disambut petugas Parpol. Diarahkan ke penanggung jawab dan diberi kontak juga. Betapa mudahnya. Berita dibuat. Wawancara bisa dilakukan lewat telepon atau di tempat yang dijanjikan. Semuanya senang. Sebut saja ini terjadi di partai Kuning dan Hijau.
Memangnya, bersikap feodal dan birokratis itu keren? Nggak lah yaw!!
Sabtu, 25 Juli 2015
Tragedi, Fiksi, dan Nyata
"Tiba-tiba da memperhatikan bahwa kecantikan sudah runtuh berantakan pada dirinya, bahwa itu sudah mulai melukainya secara fisik seperti tumor atau kanker. Dia masih ingat bobot hak istimewa yang telah ditanggung oleh seluruh tubuhnya selama masa remaja, yang telah dilepaskannya sekarang. ---- Dia lelah menjadi pusat perhatian, di bawah kepungan pandangan lelaki. Pada malam hari, ketika insomnia menusukkan jarum pada matanya, dia akan menjadi perempuan biasa, tanpa daya tarik istimewa apapun."
Eva di Dalam Kucingnya, Gabriel Garcia Marquez.Libur lebaran yang lalu membuatku punya banyak waktu untuk maraton membaca buku-buku Fiksi. Buku yang aku baca diantaranya kumpulan cerpen "Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Lewat Mimpi" Karya Eka Kurniawan, kumpulan novel dan cerpen"Innocent Erendira and other stories" karya Gabriel Garcia Marquez -aku membaca terjemahan bahasa Indonesianya-, "My Sister's Keeper" karya Jodi Picoult yang aku baca dalam bahasa Inggris, dan buku-buku lainnya yang menurutku berhasil memotret kesedihan dengan "Indah".
Sebenarnya, kesedihan itu bukan sesuatu yang indah sih. Malah sebaliknya. Menggoreskan luka.
Dalam sebuah kuliahnya di kelas kami, Prof Abdul Hadi WM pernah berkata bahwa kesedihan manusia itu sifatnya abadi. Kenangan akan kesedihan akan menancap dalam mengalirkan air mata dan darah yang akan terus menyakitkan. Makanya, sastra yang banyak diminati oleh orang sepanjang zaman kebanyakan adalah cerita-cerita yang menggambarkan tragedi. Jujur saja, aku belum mengecek apa kata sastrawan lain soal ini. Yang jelas, aku setuju dengan Pak Hadi.
Aku sendiri selalu mengagumi setiap penulis yang berani menceritakan kesedihan-kesedihan yang ia alami langsung. Misalnya Gayatri Wedotami Muthari yang bercerita soal penyakit Lupusnya dan soal pelecehan seksual yang menimpanya lewat status facebooknya. Aku juga mengagumi keberanian Ninin Damayanti yang bersuara tentang KDRT yang dialaminya. Tentu saja ada nama lain yang punya keberanian menulis tragedinya sendiri untuk publik. Hanya saja, aku tidak bisa menuliskan secara lengkap siapa saja nama yang cukup aku perhatikan.
Tidak semua orang berani menyuarakan kesedihan-kesedihannya. Sebagian menggantinya dengan kisah fiksi berikut deretan nama-nama samaran dan serangkaian drama. Beberapa penulis melakukan itu karena ada sebuah anggapan bahwa jika kita sering menulis soal diri sendiri, maka kita akan dicap dengan label Self Sentris. Begitukah?
Aku punya beberapa orang di sekitarku yang merasa perasaannya jadi lebih baik ketika mendengar ada yang lebih menderita daripada dirinya. Ada juga tipe orang yang sering berkata dengan enteng bahwa masalahmu belum ada apa-apanya dibandingkan masalah orang itu yang lebih berat lagi. Ada lagi orang yang merasa lebih menderita dari orang lainnya.
Bagiku, tidak ada kesedihan yang sepele. Jika tidak bisa bersimpati dan memberi solusi, maka seseorang mesti belajar diam dan sekedar mendengar. Bukan mengeluarkan komentar-komentar menyalahkan yang membuat orang yang bersedih itu semakin merasa hidupnya payah.
Aku percaya bahwa seseorang punya porsinya masing-masing dalam merasai kesedihan. Tidak ada kesedihan yang sepele. Satu-satunya yang berhak mengatakan kesedihannya lebih berat dari kesedihan yang lain hanyalah individu yang merasakan kesedihan itu sendiri. Bukan orang lain. Ada kaca yang mesti ia bawa terus menerus untuk mengukur apakah kesedihannya memang layak untuk membuatnya ambruk atau tidak.
Minggu, 12 Juli 2015
Apa Kabarmu, Satu Tahun?
Sebenarnya, ada hal menyenangkan yang terjadi pada tanggal 11 Juli tahun lalu. Hari tersebut tak pernah direncanakan akan seperti apa. Hari yang tak pernah aku duga akan datang.
Entah bagaimana alurnya, hal kecil yang terjadi di hari itu bisa jadi sebuah kenang yang ikut menentukan bagaimana situasi yang terjadi sampai hari ini.
Namun, seperti hari yang lainnya yang tertelan oleh kesibukan, luka, dan hantu-hantu, 11 juli akan berlalu begitu saja. Sangat mungkin jika suatu hari terlupa. Aku memang ingat persis apa yang terjadi. Hanya saja, aku hampir lupa kapan harinya.
Aku sengaja menyimpan jejak dalam-dalam sebagai sebuah monumen yang setiap saat bisa aku kunjungi. Jika terlupa, aku akan tahu bagaimana cara menemukannya. Tepat di sana, di jantung kenang yang hampir terlupa, aku akan menunduk dalam-dalam sambil memejamkan mata. Demi menziarahi setiap debar yang lahir begitu saja. Entah dari mana.
Aku membayangkan, kau akan berkata padaku bahwa hari ini bukanlah sesuatu yang cukup penting hingga perlu jadi drama. Seolah-olah kisah yang terjadi adalah cerita penuh konflik klimaks anti-klimaks dengan sederet picisan.
Ini memang bukan kisah soal apapun. Ini sama sekali bukan apa-apa. Anggaplah begitu.
Rasanya seperti cookies manis yang telah habis dinikmati seorang anak kecil gemuk nan lucu. Dan kita tahu bahwa yang akan ia tinggalkan di sekitarnya hanyalah remah-remahnya saja.
Aku masih ingat, kita telah sampai pada satu hari yang melelahkan, yang akhirnya membuatmu berkata bahwa ini semua tak berguna untukmu. Tak berarti apa-apa.
Lagi pula, kau selalu punya satu toples cookies lezat yang bisa kau bagikan ke orang lain sambil bercerita tentang apapun.
Dengan debar yang tak kunjung padam, setiap serpih remah-remah yang tersisa -entah bagaimana- masih terasa.
Oh ya, halo. Apa kabar?
Kamis, 09 Juli 2015
Puskesmas adalah Kita
Teteup loh ya, kalau pelayanannya busuk, males banget muji-muji Pemerintah.
Mestinya keadaan di daerah lain tidak jauh beda. Semoga saja ada Puskesmas bagus di sana.
Jika kita periksa ke Klinik Swasta, untuk pemeriksaan standar yang ditanyai sakit apa sambil diperiksa tekanan darah dan detak jantung, seorang pasien mesti keluar uang sekitar IDR 50.000-150.000 plus tebus obat. Dengan pemeriksaan yang sama di Puskesmas, biayanya cuma IDR 2.000 sudah plus obatnya. Kalau punya BPJS malah bisa gratis.
Bahkan untuk penderita kelainan darah maupun antibody seperti Lupus, Anemia, Thalasemia dan lainnya, tes darah di laboratorium Puskesmas untuk deteksi dini juga sudah sangat memadai, dan yang penting, Murah! Untuk pengobatan selanjutnya bisa tanya ke dokter yang bersangkutan. Kemungkinan besar, -menurut perkiraanku- akan dirujuk dan diarahkan untuk bertemu dokter ahlinya.
Beberapa Puskesmas daerah yang bekerjasama dengan lembaga-lembaga macam Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) malah sudah bisa melakukan visum kepada korban kekerasan seksual plus cek HIV/AIDS/PMS (Penyakit Menular Seksual) dengan pendampingan. P2TP2A ini ada di berbagai wilayah di Indonesia. Silakan browsing sendiri ya.
Tidak harus jadi nakal dan gonta ganti pasangan untuk tes HIV/AIDS. Karena kita tak tahu transfusi darah jenis apa yang masuk ke dalam tubuh kita. Kita tak tahu apakah pasangan kita benar-benar hanya mengonsumsi "menu" di rumah atau "jajan". Karena pengidap HIV/AIDS belakangan ini justru Ibu Rumah Tangga baik-baik yang tak pernah macam-macam di luar rumah. Makanya, lebih baik deteksi sejak dini. Tidak perlu malu untuk kesehatan.
Mestinya pelayanan itu tidak ditentukan karena harga. Ini menyangkut integritas tenaga kesehatan di tempat masing-masing. Masalah kesehatan itu dekat dengan masalah kemanusiaan. Masak iya, kemanusiaan tergantung bayarnya berapa. Kalaupun itu realitas yang terjadi, sayang sekali jika terus dilenggangkan.
Dengan adanya Puskesmas, semua orang bisa berobat. Kalau pakai BPJS atau kartu-kartu lainnya, biasanya perlu rujukan ke fasilitas kesehatan Tingkat I. Ya Puskesmas itu salah satunya.
Tentu saja tidak optimal. Tentu saja masih ada kekacauan di sana sini dibanding Rumah Sakit. Tapi, adanya Puskesmas itu udah lumayan banget. Menjangkau sampai ke pelosok desa. Asal administrasi kenegaraan kita beres, hampir semua orang bisa periksa. Gampang banget cara manfaatin fasilitas kesehatan itu. Karena mestinya, Puskesmas adalah Kita.
Aku sih gitu ya, nggak tau kalau mas Anang.