Minggu, 01 Agustus 2021

Surat dari Manusia yang Tidak Lulus "Quality Control"

Dear Ais dan Fathimah...

Hai, aku kirim surat lewat blog agar kalau dibaca orang lain, mungkin ada yang merasa relevan dengan ini sehingga membuat mereka tidak sendirian. Pandemi lebih mudah membuat orang kesepian terutama di masa isolasi. 

Aku tahu bahwa Ais tidak kenal Fathimah dan sebaliknya. Aku tidak pernah membicarakan Fathimah di depan Ais dan sebaliknya. Kalian adalah dua lingkaran pertemanan yang berbeda. Kita tidak selalu bertukar kabar dan bahkan tidak semua pesan bisa langsung terbalas. Tapi kita punya tempat aman di hati masing-masing. Rasanya aku perlu masuk ke tempat aman itu sekarang. Di hati kalian yang menyisakan sedikit tempat untukku. Anggap saja seperti teman baik yang mengetuk pintu rumah sambil menangis dan numpang rebahan.

Aku ingin mengawali cerita dari kakak keduaku. Kakakku menjual coklat batang reject yang tidak lulus quality control. Sebagian karena kemasannya yang rusak. Ia menjualnya dengan harga yang lebih murah dari pasaran. Produknya cukup laris. Rasa coklatnya sama saja dengan yang ada di supermarket. Dari barang reject, dia memperoleh profit yang bisa menafkahi keluarganya. 

Aku sering beli coklat itu dan menikmatinya bukan karena harganya yang lebih murah, bukan karena bantu bisnis kakakku. Tapi karena alasan yang ironis: aku mirip dengan coklat itu.

Sejak kecil aku dibesarkan dalam lingkungan yang bilang, "mbaknya cantik, kok adeknya jelek?" Lalu aku berhenti untuk berusaha jadi cantik. Aku berusaha jadi lebih pintar.

Karena gagal jadi juara kelas dan guru matematika bilang, "aku tidak sepintar kelihatannya," maka aku berhenti untuk berusaha pintar. Aku berusaha untuk bahagia dengan level average yang aku punya.

Ketika mencoba bahagia, ternyata aku tidak begitu bagus dalam mengelolanya. Neurotransmitter dan dopamine ku ternyata payah memproduksi kebahagiaan, maka aku  mencoba untuk jadi lebih baik di hal lainnya. 

Aku berusaha untuk jadi orang yang kompeten di dunia kerja. Lagi-lagi aku sering gagal dan tidak ada seorang pun yang bilang bahwa aku harus memaafkan diri sendiri saat berbuat salah. Aku gagal membuat telingaku mendengar bahwa memaafkan diri sendiri juga bagian penting dari penyesalan . Aku terkubur di dalamnya dan dibuat sesak nafas. Aku begitu takut melakukan sesuatu karena terlalu sering meragukan diri sendiri.

Aku berusaha jadi anak, istri, tante, kakak, dan adik yang baik untuk keluarga. Tapi aku tidak pernah cukup baik untuk mereka. Ada hari-hari di mana mereka sedih dan frustasi dengan interaksi yang ada.

Aku terbentuk dari sekian banyak kegagalan-kegagalan. Tak lolos quality control. Aku tahu bahwa manusia bukan benda mati seperti coklat atau barang pabrikan lain. Tapi setiap manusia mestinya punya sesuatu yang bisa ia banggakan. Aku bertanya-tanya apa yang bisa aku banggakan? 31 tahun hidup, aku masih tidak bisa menjawab hal apa yang dapat mendefinisikan: Siapa Syahar Banu?

Ekskstensial krisis di usia ini katanya wajar. Tapi ini tampaknya unbearable. Aku mempertanyakan alasanku hidup dan tidak bisa menjawabnya sekalipun punya pekerjaan, keluarga, dan segalanya baik-baik saja. Ada anjing besar jelek yang menelanku mentah-mentah masuk ke perutnya yang dalam dan gelap. Aku mulai menangis tanpa alasan yang jelas. Aku gagal mengidentifikasi kenapa aku jadi lebih bitter dan rapuh.

Setelah gagal cantik, gagal pintar, gagal bahagia, gagal sebagai istri-anak-kakak-adik-tante, dan gagal mencintai-mengerti diri sendiri, aku mulai marah dengan inkompetensiku sendiri. Jika kakakku bisa mendapatkan profit dari coklat reject, bagaimana caranya aku mendapatkan profit dari kondisiku yang "reject" ini?. 

Oh iya, ini hari yang indah untuk menjalani hidup dengan bitter. Bukan hari terbaikku, bukan yang terburuk. Katanya kita semua setidaknya perlu memvalidasi perasaan kita. Aku tidak tahu perasaan gagal sebelah mana yang perlu aku validasi.

Aku hanya terpaksa menjalaninya karena satu alasan: Rumah sakit terlalu penuh untuk menangani kasus tak penting sepertiku.

PS: Ini tanggal 1 Agustus. Aku tidak jadi mendaftar sebuah beasiswa yang sudah aku tunggu setahun pendaftarannya karena alasan yang tidak ingin aku tulis di sini. Sudahlah...

Rabu, 07 Juli 2021

Dear Ais...

Halo Ais,

Makasih sudah menulis surat yang menyenangkan untuk kado ulang tahunku. Hatiku hangat membacanya.

Ais, Almarhum Mbah Kakung (kakekku dari pihak ibu) katanya dulu juga punya sawah yang lumayan luas. Tapi, setelah masa penjajahan Jepang, Belanda, dan peristiwa 1965 yang juga berkobar di daerah Boyolali, ia mulai punya pikiran untuk menjual sawah untuk biaya sekolah beberapa anak lelakinya yang daftar PNS Departemen Agama, ABRI, dan sekolah agama. Simbah saat itu berprofesi sebagai kyai yang sangat dibutuhkan orang-orang kampung untuk memimpin segala acara sehingga anak-anak lelakinya didukung penuh untuk jadi priyayi kampung seperti dirinya. 

Adik simbah Kakung yang rumahnya di Delanggu Klaten sampai sekarang masih jadi juragan beras yang punya kuli, buruh tani, toko beras, dan bahkan alat-alat pertanian yang komplit. Halaman rumahnya juga sangat luas karena dipakai sebagai tempat jemur gabah. Walau kakak adik dari turunan kyai, adik mbah Kakung lebih milih jadi juragan beras daripada kyai. 

Almarhum Mbah Pati (sebutanku untuk keluarga kakek nenek dari pihak bapak) juga petani. Saat mbah Pati sudah mulai tua, mereka membagikan jatah sawah untuk anak-anaknya. Keluarga Mbah Pati di daerah Batangan, Jawa Tengah punya sawah yang lebih luas daripada sawah milik Mbah Kakung. 

Sayangnya, bapakku tidak tertarik jadi petani. Begitu dapat jatah sawah dari orangtuanya, bukannya menggarap sawah, bapakku malah langsung menjual sawah itu ke saudaranya sebagai bekal untuk sekolah ke pesantren. Bapakku sejak kecil tidak bisa membayangkan bahwa ia adalah seorang petani. Ia lebih suka jadi anak sekolahan, seperti Si Doel. Jadi, bapakku tumbuh sebagai pemberontak kecil dibanding kakak dan adiknya. Ia satu-satunya yang mengenyam pendidikan formal sampai SMA dan memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Di Jakarta inilah bapakku diperkenalkan oleh teman sepengajiannya dengan ibuku. Aku masih mencoba untuk mencari tahu kenapa bapakku tidak kuliah kalau dia memang senang dengan dunia sekolahan. Aku menduga bahwa ia jadi ikut pengajian tertentu yang membuatnya lebih suka berjihad daripada mengenyam pendidikan formal.

Ibuku anak perempuan bontot nomer 6, pendidikannya tidak terlalu diperhatikan oleh mbah Kakung. Bahkan pas belum lulus SMA, ibuku dipaksa nikah dengan sepupu jauh yang belum terlalu dikenalnya. Pernikahan dini itu melahirkan kakak pertamaku. Pernikahan ibuku berakhir dengan perceraiaan sesaat setelah kakak pertamaku lahir. Dia seperti feminist icon di masanya. Ibuku melakukan perlawanan di saat pemerintah dan orang sekitarnya melakukan represi kepada perempuan berhijab, ibuku berani bercerai di usia 21 tahun setelah menjalani toxic marriage, padahal tahun 70an, perceraian masih sangat tabu di kampung. Derita ibuku tidak berhenti di situ. Pada usia 24 tahun, mendadak ia jadi satu-satunya tahanan politik Tanjung Priok dan mengalami depresi berat. 

Saat depresi berat dengan status janda anak satu inilah, akhirnya keluarga merasa bahwa depresinya bisa sembuh kalau ibu menikah. Anehnya, "resep pernikahan untuk menyembuhkan depresi" ini berasal dari dokter penyakit jiwa yang merawat ibuku. Ibuku lagi-lagi menjalani pernikahan yang diatur oleh keluarga. Bapakku pernah cerita bahwa bapak hanya memilih ibu sebagai istrinya lewat foto yang disodorkan oleh seorang ustad. Bagi bapak, sekalipun status ibu adalah janda anak satu dan bapak masih bujangan dengan usia yang lebih muda, ibu adalah perempuan tercantik di antara semua perempuan yang terlihat di foto. 


Patriarkisme agama "bermain" di sini. Di saat bapak diberi pilihan soal wajah calon istri, para perempuan tidak diberi pilihan sama sekali karena hak akad ada di pihak keluarga perempuan. Ibuku kaget ketika pertama kali ketemu bapak dan diperkenalkan dengan lelaki yang disebut sebagai calon suami. Sambil bercanda, ibuku tidak menduga suaminya sejelek bapak, haha! Pertemuan kedua mereka adalah di hari pernikahan mereka. Keduanya tidak saling mengenal, pernikahan dengan metode ta'aruf Islami itu juga bukan pernikahan yang bahagia. Bapak dan ibu jarang sekali akur sampai tua sekalipun bisa punya 6 anak. Aku menyebut mereka Tom and Jerry, mungkin mereka merasa bahwa kehidupan runah tangga mereka tidak akan komplit tanpa perdebatan. Sepertinya mereka memang diciptakan berjodoh dengan cara seperti itu. Kalau bukan jodoh, mestinya mereka cerai seperti pernikahan pertama ibuku kan? Aku sih cukup sering minta mereka pisah. Tapi lama-lama aku merasa kalau itu bukan urusanku. Aku membiarkan mereka seperti Tom and Jerry dan bahkan mulai bisa menertawakan hal-hal kecil yang mereka perdebatkan. Saat aku berdamai dengan kondisi yang ada, aku jadi merasa bahwa itu situasi biasa yang tidak perlu dibikin stres. 

Membaca surat dan menonton vlogmu, aku jadi bertanya-tanya juga soal nasib. Apa yang terjadi jika kakek dan bapakku tidak jual sawahnya? Apakah aku bisa pulang kampung dan berkebun sepertimu juga? Saudara bapakku di Pati sana masih banyak yang jadi petani. Sekalipun tidak berpendidikan formal, mereka jauh lebih kaya dari bapakku. Aku pernah menanyakan pertanyaan itu ke bapak, bapak bilang kalau bapak jadi petani, aku tidak mungkin ada karena bapak tidak akan bisa menikah dengan ibu. Aku ada di dunia ini karena keputusan-keputusan nekat bapak ditambah campur tangan keluarga ibu.

Terus terang aku tidak tahu bagaimana bapak dan ibu menjalani pilihan-pilihan hidupnya. Setelah aku menikah, aku merasa bahwa berdebat dengan pasangan itu sesuatu yang tidak nyaman. Aku dan Ben lebih banyak tertawa. Bahkan aku yang dulu sering mimpi buruk pun bisa mimpi sambil ketawa. Aku dan Ben tidak pernah saling marah lebih dari sehari. Kami akan membahas masalah kami, berlomba untuk minta maaf, dan berpelukan. Kami memilih untuk membicarakan masalah kami daripada menghindari atau justru memperdebatkannya. Aku memilih untuk punya kehidupan pernikahan yang berbeda dengan orangtuaku dan ternyata berhasil. Jadi, selama kita masih punya pilihan-pilihan lebih baik dari yang orangtua kita jalani, aku kira hidup kita akan baik-baik saja. 

Jika di kampung sana banyak yang mendorongmu untuk jadi PNS, tentu kamu punya pilihan-pilihan untuk menjalani hidupmu sendiri. Jadi Liziqi Bugis pun keren. 

Saat ini situasi di Jabodetabek kacau sekali. Semua orang sibuk dan sakit. Jika temanku tidak sakit, pasti dia sedang sibuk urus anggota keluarganya yang sakit. Kami berharap situasi chaos itu tidak dituntut oleh bos yang tidak peduli dengan situasi yang ada, yaitu bos yang merongrong stafnya untuk produktif di saat situasinya parah sekali.

Sekalipun aku dan Ben sehat, tapi banyak teman-teman kita yang positif covid. Bahkan Kak Ari istri Andreas Harsono juga sakit. Kita sempat ngobrol di google meet untuk saling tanya kabarnya. Mereka seperti orangtua angkatku di Jakarta, jadi aku ikut sedih kalau salah satu anggota keluarga mereka sakit. 

Aku dan Ben tidak punya jaring jaminan sosial yang mempuni untuk back up kami jika salah satu atau kami berdua kena covid. Kemana harus isolasi mandiri? Berapa biayanya? Tabungan kami terbatas sekali dan alokasinya untuk kebutuhan perumahan yang sedang kami upayakan. Sistem kesehatan sudah kolaps, yang bisa kita lakukan hanya hati-hati, vaksin, protokol kesehatan, dan tetap bahagia. 

Semoga situasi pandemi di sana tidak separah di sini. 

Aku berharap juga, standar hidup ideal orang di sekitarmu tidak membuat kamu merasa harus melakukan penyesuaian-penyesuaian prinsip yang tidak membahagiakanku. 

Hiduplah dengan lebih percaya diri dan berani.


Selamat ulang tahun Ais!

Depok 7 Juli 2021

Banu.