Minggu, 22 Desember 2019

Bagaimana Mungkin

Pukul 2 pagi, wajahmu melintas di pikiran. Ini sangat aneh. Pikiran itu timbul di saat aku ingin merawat baik-baik yang sudah ada. Aku berusaha keras merapal kembali rasa syukur dan memegang erat segala sesuatu yang sudah ada di genggaman.

Kenangan memaksaku untuk melintasi hari-hari yang kita lewati dengan canggung. Pagi hari tanpa ucapan selamat pagi, tengah hari tanpa ajakan makan siang, dan kepulangan tanpa salam perpisahan.

Terlalu lelah untuk menghindarinya. Tapi harus.

Aku membayangkan kita berdua bisa menjelaskan kenapa interaksi kita jadi terlalu canggung satu sama lain. Aku tidak ingin gelisah sendirian dan ingin menemukan jawabannya. Sementara aku menjalani peranku di realita, aku akan melipat baik-baik gambarmu di pikiranku dan mendaras doa-doa baik untukmu. Itu semua aku lakukan demi membelokkan pikiranku yang sering mempertanyakan, "kenapa baru sekarang?" 

Aku perlu lebih keras pada diri sendiri bahwa ini adalah skenario terbaik yang bisa aku jalani.

Begitulah, pada akhirnya aku harus bilang pada diri sendiri, "Pikiran tentangmu sangat sia-sia dan aku ingin segera mengakhirinya."

Rabu, 16 Oktober 2019

Takut

Aku takut pada kesendirian pukul 12 malam. Waktu di mana kepalaku riuh di saat seharusnya aku tidur. Kesendirian merengkuhku erat-erat hingga tubuhku sakit dan leherku tercekik. Percayalah, aku tak berniat sama sekali merasakan ini semua.

Aku berusaha mengusir riuh di dalam pikiranku hingga tertidur kelelahan. Esoknya, alarm ponsel akan bunyi pada pukul lima pagi. Aku akan mematikan alarm tersebut sambil mengetik, "selamat pagi sayang," pada Ben. Lelah sisa semalam akan membuatku mengantuk lagi pada menit selanjutnya. Siklus itu sudah berlangsung selama dua minggu dan aku kesepian makin meluluh lantakkan etos kehidupan. Kini aku serupa daging yang tak pernah meninggalkan pembaringan dan takut pada terik matahari.

Aku hanya kesepian.

Aku tahu bahwa Ben akan menelepon setiap pulang kerja, akan tidur, dan bangun tidur nanti. Tapi kehadiran virtual tak bisa menuntaskan kesepianku yang membutuhkan eksistensi seseorang secara nyata di sini. Karena hanya dengan kehadiran, kepalaku bisa benar-benqr tenang.

Aku tak mengerti kenapa harus seperti ini. Ini adalah sebuah dilema tanpa solusi. Rasanya aku ingin tidur panjang dan terbangun di pertengahan tahun 2020 di saat aku tidak perlu menelan pahit kesepian seperti ini.

Aku terdengar manja, tapi bukan ini mauku sebenarnya. Tidak ada satupun yang bisa menolongku dari perasaan mencekam ini.

Aku sudah terlalu lelah untuk bisa menolong diri sendiri.

Jumat, 11 Oktober 2019

Noceur*

Malam ini aku berjanji pada Ben akan tidur tepat waktu. Kami sudah saling mengucapkan selamat tidur lewat telepon sambil berjanji bahwa besok akan berjumpa pada pukul delapan pagi, sebelum ia berangkat kerja. Berbeda denganku yang jadwalnya sering tidak menentu, Ben selalu mengantuk pada pukul 10 dan akan mulai tidur pada pukul 11 malam. Pada pukul 4:30, ia akan bangun tidur dengan rasa syukur dan mengucapkan selamat pagi padaku lewat whatsapp. Hal itu sudah dilakukannya hampir setiap hari selama setahun lebih kami bersama.

Setiap hari aku berjanji pada diri sendiri akan hidup lebih baik dari hari kemarin. Aku membayangkan diriku akan tidur tepat waktu seperti jam tidur Ben dan bangun dengan bugar pada pukul lima pagi untuk hidup lebih produktif. Badan dan mataku lelah, pikiranku tak mau istirahat. Selalu ada peristiwa-peristiwa buruk yang terlintas yang melumpuhkan kemampuanku untuk menuntaskan komitmen pada diriku sendiri.

Ada perasaan gagal sebagai manusia yang mestinya bersetia pada ucapnya sendiri. Seperti malam ini, aku gagal tidur tepat waktu lagi. Persoalan sepele namun begitu fundamental untuk kesehatanku.

Aku mencoba berkompromi pada kepala agar ia mau diajak tenang dan istirahat. Setiap kali ada pikiran buruk, aku merapal mantra yang dibisikkan Ben tiap kali situasinya mencekam. "Banu rajin. Banu cerdas. Banu mampu menghadapinya. Banu berharga. Banu cantik. Banu disayang sekali sama Benget. Benget sayang sekali sama Banu. Banu masakannya enak. Banu baik sekali. Banu perempuan kuat. Banu kesayangan Benget. Banu beruntung. Banu sehat..." dan seterusnya. Seringkali Ben membimbingku untuk mengucapkannya pelan-pelan.

Hari ini ada beberapa peristiwa besar yang melintas di media sosial. Aku mengucapkan ulang tahun pada Naruto, bergembira dengan kemenangan tolak reklamasi Teluk Benoa, dan bersedih dengan meninggalnya Akbar Alamsyah yang jadi martir demokrasi. Menyebalkannya lagi, aku membaca sebuah poster "budaya" di mana Sitok Srengenge satu panggung dengan Gus Mus yang mengingatkanku pada rasa getir bahwa senelangsa apapun korbannya, pemerkosa dan pelaku pelecehan seksual akan tetap baik-baik saja. Aku jadi benci pada diri sendiri kenapa aku tidak mampu jadi baik-baik saja sementara orang yang menyakitiku mungkin sedang bahagia dengan karir dan segala privilesenya. Padahal aku sudah bersama seseorang yang jauh lebih baik, tapi kenapa luka tetap menganga tak lekas pulih.

Ada banyak hal prioritas di dunia ini. Aku terlalu kerepotan menjalani prioritas dasarku seputar makan cukup, tidur teratur, dan kerja dengan semestinya. Aku merasa gagal, tapi lagi-lagi Ben akan mengingatkan "Banu mampu, Banu pintar, Banu sehat, Banu cantik..." sampai aku berhenti menangis.

Pikiran liar soal hal-hal minor menyanderaku sampai pukul tiga pagi dini hari. Aku bukannya ingkar janji pada Ben untuk tidur pada pukul 11 malam ini, kali ini aku hanya kalah pada keriuhan pikiranku.

Besok lagi, aku berjanji lagi akan lebih bisa menjinakkan pikir dan mengistirahatkan tubuh. Agar aku tak perlu minta maaf padanya soal mengingkari janji pada diri sendiri dan padanya bahwa aku baik-baik saja.

Aku akan sangat mengantuk saat ia datang nanti. Sedangkan dia akan selalu maklum dan mengerti. Ceritanya selalu seperti itu.

Setidaknya, besok, dalam sejenak, hidup akan terasa baik-baik saja sampai punggungnya hilang di pintu kamar pada pukul sepuluh pagi dan deru motornya makin menjauh.

Lalu, saat pikiranku mulai mengatakan hal aneh lainnya, aku akan kembali merapal kembali mantra Benget padaku, "Banu baik-baik saja. Banu kuat. Banu mampu. Benget sayang sekali sama Banu. Banu bisa bertahan. Banu hebat..."

)* Noceur : Noun, one who stays up late

Kamis, 25 Juli 2019

Aku pada Post Hijab

Hi, apa kabar?

Sebagai seorang aktivis yang sempat memperjuangkan untuk kebolehan pakai jilbab di publik dan surat legal (Ijazah misal), keputusanku untuk melepas jilbab cukup jadi sorotan. Apalagi latar belakang agamaku yang... Gitu deh. Turunan Syiah.



Terimakasih jika kamu adalah salah satu orang yang menganggap bahwa keputusan ini adalah pilihan pribadi yang harus dihargai. Karena aku mendapat pesan-pesan kekecewaan dari orang sekitar maupun orang lain soal keputusanku. Sebagai orang yang kurang bisa bersikap bodo amat, komentar buruk agak mempengaruhi psikologiku. Jadi, misal kamu mau menasehatiku soal pemahamanmu tentang sesuatu, pastikan bahwa orang yang kamu tuju memang memintamu untuk menasehatinya. Kalau tidak, kamu cuma jadi bising di dalam kepalanya dan memberatkan hatinya.

Setelah hidup tanpa jilbab, aku baru sadar bahwa ternyata aku tidak merawat tubuhku dengan baik. Aku tidak sadar bahwa paha dan perutku membesar sedemikian rupanya dan gagal aku antisipasi sebelumnya. Lemak menumpuk di beberapa bagian tubuh itu tidak sehat betapapun ada banyak kampanye soal body positivity. Saat ini aku punya keinginan untuk sehat sehingga melihat perut dan paha yang membesar ini membuatku merasa agak malu dengan diri sendiri. Dulu, bagian tubuh itu selalu tertutup rapat dengan kain longgar. Sehingga tidak jadi perhatianku. Aku tidak tahu bahwa mulai ada selulit di sana.

Bahkan, aku jarang pakai hand body lotion karena kulitku akan terasa lembab (padahal berkeringat!)   di bawah kain. Post hijab, di saat aku ingin pakai baju yang agak ketat atau terbuka, aku jadi sadar bahwa ukuran tubuh maupun penampakan kulitku jauh dari cantik yang ada di media. Bukan soal mengejar cantik standar media, karena jika iya, maka tak akan ada habisnya. Maksudku, standar sehat saja. Sayang sekali kulitku ini tampak agak kasar. Butuh berbulan-bulan dan berbotol-botol hand body untuk membuatnya halus dan lembab kembali.

Aku menyesali kealpaanku mengurus diri sendiri. Lagipula, dulu-dulu, setelah mandi, tanpa sisiran, tanpa mengeringkan rambut, dan tanpa hand body, aku akan langsung pakai baju dan jilbab, lalu siap pergi begitu saja. Karena dulu aku merasa, toh bagian tubuh itu tidak kelihatan. Padahal merawat tubuh itu adalah bentuk syukur kita pada Tuhan yang memberikan kita tubuh sehat sehingga mestinya aku tak mengabaikannya. Kalau kamu baca tulisan ini dan melakukan hal yang sama, maka tolonglah, lemak di mana-mana itu bisa jadi sarang penyakit dan tak pakai pelembab kulit itu bisa bikin masalah lain di kulit kita.

Setelah lepas jilbab, aku bisa olahraga di luar ruangan dengan baju yang lebih nyaman dan hemat ruang di tas. Bukan baju berat dan panas. Jika traveling, ransel kecilku bisa memuat baju untuk beberapa hari, sedangkan sebelumnya, aku harus membawa baju 5 potong untuk sekali pakai. Baju dalam+bra, kemeja luar, jilbab, celana, dan celana dalam. Maksudku, aku pikir selama ini aku yang tak becus packing. Ternyata aku memang harus membawa sebanyak itu untuk beberapa hari bepergian ke luar kota. Sekarang bawaanku agak ringan karena tak harus bawa baju serba panjang dan berlapis-lapis untuk bepergian.

Sebagai orang beragama, aku memahami bahwa mennjalankan kewajiban agama yang kita anut memang bikin kita mesti menjalani konsekuensi-konsekuensi atas tafsir kebenaran yang kita pilih. Misalnya, saat aku masih mengimani bahwa jilbab itu wajib, aku merasa tak keberatan berenang dengan baju 5 potong dengan standar syariah yang aku anut. Saat aku sudah memahami bahwa tafsir atas aurat dan jilbab dari ulama Islam sangat beragam, aku jadi lebih leluasa untuk pakai baju berenang yang aku anggap lebih nyaman dan praktis. Tentu saja, saat masih berjilbab, aku bisa pakai baju lima lapis tanpa komplain. Tapi, aku yang sekarang membayangkan aku di masa dulu, wah... ribet juga ya. Pantas saja cucianku banyak sekali. Keimanan kita pada sesuatu memang membuat hal-hal yang menurut orang lain sulit, tapi menurut kita biasa saja. Misal, bagi non niqab, makan dengan niqab itu ribet. Padahal bagi Niqabis, biasa saja tuh. Hal seperti itu hanya soal kebiasaan dan keyakinan kita terhadap kebenaran yang kita pilih.



Kalau kata Qurays Shihab, Allah bertanya pada kita, biar jadi 10, berapa harus ditambah berapa? Jawabannya beragam, tapi semuanya menunjukkan angka 10. Begitulah dunia yang dipenuhi berbagai keyakinan dan iman menafsirkannya. 

Menjadi seorang non hijabi membuatku sadar bahwa saat ini aku adalah minoritas. Betapa beratnya jadi perempuan di masa sekarang. Di mana orang-orang akan bilang bahwa perempuan ini lebih cantik berjilbab atau sebaliknya. Seolah kehadiran kita di tengah masyarakat adalah demi memenuhi standar kesalehan orang dan menyebut itu sebagai "lebih cantik". Artis yang berhijrah dipuji setinggi langit saat mengubah penampilan, sebaliknya, artis yang lepas jilbab dicaci maki seolah ia akan membuat dirinya dan seluruh keluarganya masuk neraka. Orang beragama banyak yang tak sadar bahwa komentarnya toxic. Mungkin itulah akibat dari mabuk agama atau justru waham agama. Semua yang tak sama dengannya dianggap sesat.

Coba saja baca komentar instagram Nia Ramadhani, begitu banyaknya orang yang pakai avatar berjilbab yang mencela cara berpakaiannya. Jika memang jadi berjilbab itu lebih baik, mengapa orang-orang melontarkan komentar buruk atas nama "sekedar mengingatkan?". Apakah ia sudah punya kapasitas untuk menjadi guru untuk orang lain? Lihat saja komentar terhadapp Salmafina, luar biasa jahatnya atas nama "sekedar mengingatkan". Aku saja belum tentu kuat jika ada di posisinya.

Komentar toxic seperti ini dulu sering aku dengar dari orang yang jilbabnya lebih lebar dari aku. Ia bilang cara berjilbabku kurang syar'i. Aku tak bisa membayangkan bahwa gelombang populisme Islam di Indonesia bukan untuk memberikan keadilan pada mereka yang tertindas, melainkan mencetak polisi-polisi moral yang mendorong sesamanya agar berpakaian sama seperti dia. Bagiku, mengoreksi cara berpakaian orang itu sangat tidak berkelas dan tidak membuat kamu jadi dihormati.

Rezim polisi moral berjubah agama membuat kita yang sedang ragu dengan manfaat keberagamaan kita jadi makin ingin memisahkan diri dari mereka. Akibatnya, ekspektasi orang yang memberikan saran pada kita itu akan semakin jauh. Lagipula, untuk apa sih memberikan ekspektasi kepada orang lain? Ekspektasi orang tua pada anak sendiri saja sering berbuah depresi pada anak, apalagi kalau ekspektasi terhadap stranger agar keberagamaannya sama.

Kalau misal, kamu kecewa dengan pemaknaan keagamaan orang, cek diri sendiri. Apakah kamu menaruh ekspektasi pada tempatnya atau tidak? Aku merasa, yang membuat aku meragukan dan ogah mengikuti standar berpakaian adalah kritikan terhadap cara berpakaianku yang dituntut lebih lebar, lebih tertutup, dan lebih gelap. Aku bertanya pada Tuhan, apakah hanya manusia berpenampilan seperti itu yang ia inginkan? Kalau begitu, betapa sempitnya surga yang ia ciptakan nantinya sehingga hanya orang yang berpakaian seragam seperti itu yang layak bersamaNya.

Tentu saja, pemikiran kamu tak harus sama sepertiku. Intinya, rayakan keberagamaanmu sendiri tanpa menuntut semua orang harus sama. Semua orang punya perjalanan spiritual yang ia resapi sendiri-sendiri. Mari kita hargai.

Kamis, 11 Juli 2019

Review Film: Parasite, Sebuah Potret Ketimpangan Getir Tanpa Air Mata

Semoga ini tak menjadi sebuah review yang terlambat atas sebuah film Korea fenomenal: Parasite. Jika kamu belum menonton film ini, maka baiknya kamu melupakan sejenak tentang sederet penghargaan yang berhasil disabet oleh besutan Bong Joon-Ho ini. Saya juga menyarankan agar calon penonton tak perlu menonton trailernya juga. Bagi saya, film ini akan lebih ciamik jika ditonton dengan pengetahuan seminim mungkin tentang segala sesuatu di dalamnya. You’ve been warned.
Parasite bagi saya adalah sebuah karya tanpa alur cerita klise di mana ada pihak baik dan pihak buruk di dalamnya. Setiap karakter tokohnya membuat penonton merasa ‘menyesal’ jika terburu-buru menaruh keberpihakan pada tokoh tertentu.

Sumber gambar: Koreanportal.com

Adegan film ini berawal dari sebuah keluarga kelas pariah yang menyandarkan hidupnya dengan melipat karton pembungkus pizza. Mereka dibayar dengan upah sangat murah yang akan dikurangi jika pihak restoran pizza tak senang dengan hasil kerjanya. Mereka tinggal di sebuah gang sempit yang datarannya lebih rendah daripada rumah lainnya. Jika beruntung, mereka dapat mengakses internet dari koneksi tetangga. Jika sedang sial, mereka terpaksa harus menonton tetangga mabuk yang pipis sembarangan di depan rumah mereka.

Sejak awal film, keluarga ini bukanlah tipe orang miskin yang pasrah dengan kondisi yang ada. Buktinya, mereka dengan mudah mengintimidasi gadis dari restoran pizza agar mau membayar upah yang seharusnya mereka terima sekalipun ada hasil kerja yang jadi produk reject.

Keinginan untuk bertahan hidup dengan kualitas yang lebih baik terwujud berkat kedatangan teman kuliah si anak pertama yang diperankan oleh aktor Park Seo-Joon. Dari kunjungan temannya ini, Ki-woo (Choi Woo-shik) sekeluarga mulai terlibat sebuah kejadian pelik yang jadi suguhan utama film ini.

Berbekal ijazah palsu, Ki-Woo mulai mengajar bahasa Inggris Da-Hye (Jung Ziso), putri pertama keluarga CEO Park. "Aku bukan membuat ijazah palsu. Tahun depan, aku akan masuk ke Stanford. Aku hanya akan mencetaknya lebih awal," kata Ki-Woo pada ayahnya.


via GIPHY

Tak butuh waktu lama, Ki-Woo mulai memanfaatkan kepolosan Yeon-kyo (Cho Yeo-jeong) yang sepenuhnya percaya bahwa rekomendasi adalah cara terbaik untuk mempekerjakan seseorang. Tak butuh lama bagi Ki-Woo untuk membuat Yeon-Kyo terkelabuhi dengan memasukkan satu persatu anggota keluarganya sebagai pekerja di rumah itu.

Demi bertahan hidup, keluarga Ki-Taek mesti membuat kebohongan satu dan yang lainnya. Malang, yang jadi korban pertama atas peristiwa ini adalah Moon-Gwang yang merupakan pembantu pertama keluarga CEO Park. Kedatangan Moon-gwang ke rumah CEO Park lagi untuk merawat suaminya rupanya membawa nasib sial untuknya. Tadinya, ia memiliki harapan besar bahwa keluarga Ki-Taek akan memberikan simpati padanya karena mereka sama-sama miskin. Alih-alih bersimpati, dua keluarga yang berharap mendapatkan jatah remah-remah dari borjuis Park ini merasa bahwa kehadiran satu sama lain ternyata adalah sebuah ancaman hingga sebisa mungkin harus ada yang tersingkir. Bahkan dua keluarga proletar itu rela saling bunuh demi bertahan di sebuah tempat yang bukan rumah mereka.

Sutradara Bong Joon-Ho secara genius memotret ketimpangan ekonomi yang njomplang antara keluarga Taek dan Park. Jika keluarga Park bisa menikmati matahari di halaman rumah mereka yang hijau, maka keluarga Taek terpaksa harus menerima dataran rendah rumahnya banjir setiap kali hujan deras. Kegetiran atas kemiskinan dan sensitifnya perasaan Ki-Taek terhadap ketidaksukaan CEO Park terhadap bau busuk ‘kemiskinan’ rupanya membuatnya gelap mata hingga melakukan hal yang menghianati kemanusiaannya sendiri, membunuh CEO Park.

Film ini adalah sebuah gambaran bahwa kenyamanan adalah harga yang harus dibayar mahal oleh siapapun. Bagi arsitek rumah, kenyamanan adalah sebuah rumah dengan desain indah yang memiliki bunker agar hidupnya tetap aman jika ada bencana yang terjadi. Bagi suami Moon-Gwang, tinggal di bunker keluarga Park sudah sangat membuatnya bahagia sekalipun ia tak pernah melihat langit lagi. Untuk keluarga Taek, kenyamanan adalah saat mereka bisa hidup seperti keluarga Park. Bagi keluarga Park, nyaman adalah saat anak-anak bisa belajar dengan pekerja rumahan yang tak melanggar privasi dan tak berbau lobak busuk.

Pada akhirnya, apapun gambaran nyaman yang diidamkan mereka, semua tokoh di dalam film ini dipaksa menelan mentah-mentah ketidakberuntungan nasibnya. Semua keluarga kehilangan anggota yang berharga sekuat apapun mereka berusaha mempertahankan zona nyamannya sendiri. Tak ada akhir yang bahagia.

Setelah semuanya kalah, lalu apa? Hah? Apaan sih tadi itu? Maksudnya apa ya?


via GIPHY

Padahal, di sinilah subtilitas film ini mencuat dengan indah meninggalkan kesan mendalam pada kemanusiaan kita semua. Keunikan film ini yang susah dicari padanannya adalah ketiadaan hero dan anti heronya. Pun, tidak ada villain yang bisa benar-benar kita benci. Kita tak akan menemukan tokoh super baik yang kemalangannya membuat kita iba.

Barangkali film ini adalah potret sempurna bahwa setiap orang di lapisan masyarakat apapun bisa jadi parasite bagi orang lain. Bisa jadi, kita sendiri termasuk di dalamnya.

Selasa, 09 Juli 2019

Waduh, Ternyata Aku Perlu ke Dokter Lagi

Hi,

Kondisiku saat ini baik. Secara fisik dan mental. Setidaknya itu yang selama ini aku pikirkan. Tidak ada peristiwa hidup yang bisa jadi alasan untuk putus asa. Pacarku sangat supportive, teman-temanku baik, dan keluargaku sedang cukup harmonis.

Tapi ada satu hal yang selalu menggangguku. Aku tidak tahu kenapa aku selalu mengantuk di segala situasi. Aku akan tidur saat kerja, saat mendengarkan orang bicara, dan di manapun. Aku ingin sekali bangun pagi. Setiap kali berhasil bangun pukul 5 pagi, aku akan mengantuk pukul 8 pagi dan bangun pada pukul 11 pagi. Kemudian, aku akan mulai mengantuk kembali pada pukul 3 sore.

Ini tidak sehat dan tidak produktif. Hal ini cukup mengganggu aktivitasku. Padahal aku sudah berusaha tidur pada pukul 11 malam atau paling lambat pukul 1 pagi. Tapi aku selalu saja mengantuk setelahnya. Padahal aktivitas ponselku tidak berlebihan.

Karena inilah, beberapa hal jadi terbengkelai. Aku mulai merasa bahwa aku ini agak kurang profesional.

Tenang saja, aku akhirnya berobat lagi ke dokter. Selama 8 bulan, aku putus obat dengan sendirinya tanpa konsultasi ke dokter. Aku merasa sehat sampai akhirnya keluhan soal aku yang tidur terus berdatangan. Aku perlu mengatasi ini. Aku bertanya-tanya pada dokter apakah ini gejala relaps, tekanan darah maupun tingkat gula darah, ataukah akunya yang dasar malas.

Kata dokter, gejala-gejala yang sudah aku alami adalah tanda bahwa aku sedang akan relaps. Aku heran. Kenapa ya aku bisa relaps di saat aku merasa kondisiku baik-baik saja?

Jadi, aku akan lebih tekun minum obat dan psikoterapi. Aku harap aku akan mengubah kebiasaan tidur di mana-mana ini dengan waktu singkat. Karena hidup tak bisa begitu saja berjalan dengan menghabiskan sepanjang usia kita dengan tidur. Aku juga manusia normal yang butuh hidup produktif dan menghasilkan kok.

Dokter bilang, karena aku putus obat agak lama, maka aku akan kena penyesuaian obat lagi dengan dosis yang lebih rendah dari sebelumnya. Ini adalah minggu ketiga setelah pertama kali periksa. Obatku sudah naik dosis dari 1/4 jadi 1/2. Kata dokter juga, lama-lama obatku akan normal jadi 1 tablet. Semoga tubuhku cepat beradaptasi dengan obat yang dikasih ya.

Sehat-sehat semua ya,


Jumat, 24 Mei 2019

Tidak Cukup

Waktu masih remaja aku punya banyak kriteria-kriteria ideal untuk seorang pasangan. Untunglah, di setiap jenjang usia, aku selalu menaruh ruang-ruang ketidak idealan dan tak bertumpu pada fisik. Bisa dibilang, aku tahu bahwa penampakan fisik tertentu memang menarik, tapi bukan berarti itu harus dimiliki oleh pasanganku.

Waktu umurku di bawah 25 tahun, aku mengidamkan sosok pintar dan religius sebagai pasangan. Sikapku sangat terbuka terhadap berbagai keinginan yang mengarah pada serius. Buatku, saat seseorang pintar, maka ia akan membuat wawasanku makin kaya. Jika seseorang religius, maka ia mustahil memperlakukan aku dengan buruk. Kaya, ganteng, dan dari mana mereka berasal bukan jadi pertimbangan untukku. Karena itulah, aku punya pacar super kere yang penampilannya kusut sekali tapi super pintar.

Makin dewasa, aku menyadari bahwa semakin pintar seseorang, maka makin mudah untuknya memanipulasi seseorang. Aku beberapa kali mengalaminya. Pengalaman bertemu dengan orang religius juga membuatku merasa bahwa konservatisme seseorang bisa membuatnya melakukan pembenaran-pembenaran dengan ayat dan hadist sekalipun apa yang ia lakukan itu jahat. Baik dia Syiah maupun Sunni, ia bisa saja jadi Khawarij yang pakai kesalehannya untuk kepentingannya sendiri. Orang beragama juga cenderung patriarkis.

Pengalaman dengan seorang patriarkis membentukku jadi seorang feminis. Aku mengganti kriteria 'religius' dengan 'tidak patriarkis'. Aku juga mengganti kriteria 'pintar' dengan punya skill tertentu yang mendalam sehingga dia tampak keren. Aku keliru dalam melakukan proses filter soal ini. Sehingga, aku pernah juga terjebak dengan lelaki yang secara konsep tidak patriarkis, tapi ternyata dia abusive. Aku kadang berpikir, bagaimana mungkin orang yang paham konsep mendalam soal itu mengkhianati dirinya sendiri dengan melakukan timdak abusive?

Aku mengalami proses healing yang panjang. Rasa skeptis selalu timbul setiap kali menjalin hubungan. Aku mengendorkan kriteriaku lagi dan bilang pada diri sendiri bahwa sikap tidak patriarki bukan berarti dia paham definisinya. Melainkan dia sudah melakukan hal itu sebagai keseharian sekalipun ia tak memahami teorinya. Bisa jadi ia bahkan orang yang tidak paham apa itu patriarki dan feminisme. Ia bisa saja cerdas, cerdas emosional, musik, dan lainnya. Sehingga dia tampak menarik bagiku.

Namun, sekarang aku mencoba untuk melakukan redefinisi tentang makna kriteria. Kenapa situasi yang berjalan jadi sangat sulit dilalui? Mengapa identitas dan aktivitas keseharianku sulit diterima orang lain? Kenapa aku harus memotong-motong diriku sendiri agar dicintai dan dipertahankan? Kenapa kondisi apa adanya tak pernah memuaskan seseorang sehingga aku mesti kehilangan sebagian diriku hanya agar tak sendirian.

Aku memilih hidup, tapi nasib hidup selalu menyeretku ke medan peperangan yang tak bisa aku menangkan.

Senin, 06 Mei 2019

Belum Berakhir

Aku pikir, jalan hidupku akan berhenti tahun lalu. Di saat harapan jadi abu dan kepala begitu tunduk lesu. Aku tak punya cita-cita saat itu. Bangunan rencana yang pernah aku bangun rasanya ambruk menimpa seluruh tubuhku hingga sulit sekali bangun lagi. Tangan-tangan yang membantuku bangun dari reruntuhan itu rasanya tak cukup untuk membuatku bangkit lagi.

Sekarang, kondisinya mungkin lebih baik. Jauh lebih baik.

Ada kalanya, satu dua hari, aku merasa sesak tak karuan saat mengingat seindah apa bangunan rencana masa laluku. Bahkan, mengingat puingnya saja sudah bisa mengalirkan deras dari bola mataku yang lelah. Keadaan memang lebih baik, tapi tidak selalu baik-baik saja. Aku masih sering berusaha setengah mati untuk mengacuhkan bisikan-bisikan ngawur yang ada di dalam kepalaku. Kadang aku berhasil mengabaikan bisikan itu sembari beraktivitas. Tak jarang, bisikan itu akan melumpuhkanku.

Namun kali ini, aku tak menyerah.

Aku tahu, melawan adalah hal yang sangat sulit. Aku bisa kelelahan luar biasa sekalipun tampaknya aku tak melakukan apapun. Tapi itulah konsekuensi dari kehidupan. Kita membayar nafas dengan usaha-usaha untuk menopang si tubuh hidup ini. Tubuh ini butuh makan, olahraga, pakaian, kasih sayang, tempat tinggal, dan uang. Maka, sesulit apapun yang mesti dilalui, ini hanyalah buah-buah konsekuensi yang aku pilih. Tak semua konsekuensi manis. Aku harap, yang rasanya pahir nanti jadi obat supaya bisa membangun harap dan rencana lagi dari awal. Pelan-pelan... Sampai suatu hari aku akan berdiri sendiri dan tersenyum pada bangunan runtuh yang aku jadikan monumen bersejarah di hidupku. Aku akan berkata padanya bahwa dia sudah memaafkan, mari kita cari jalan pulang menuju kebahagiaan masing-masing.

Langkahku sekarang tak seringan yang aku tulis di atas. Lebih baik bukan berarti benar-benar baik-baik saja. Jalan hidup menyodorkanku pada pilihan sulit berupa hal yang mungkin akan jadi bulan-bulanan orang nantinya. Jadi begini, saat orang mulai mengapresiasi kebangkitanku kembali, aku harus siap menerima lontaran batu yang akan datang padaku jika mereka tahu kondisinya. Jadi, aku sendiri heran dengan hidup yang mesti aku tempuh. Bisakah kita menempuh jalan normal-normal saja tanpa kontroversi dan direstui segala makhluk di bumi?

Aku lelah dengan label-label. Namun aku dikutuk untuk hidup di sana selamanya. Sepertinya aku hanya hidup dari toples satu ke toples lain yang tutupnya sudah disegel rapat dan dinamai dengan nama tertentu. Sehingga orang yang melihatku akan langsung membaca dengan label nama apa aku terlihat di sana?

Ngomong-ngomong, ada sebuah ironi. Di sini, saat aku berjuang keras menumpuk batu bata harap dengan tujuan menjadikannya sebagai tempat aman, aku tak sengaja menghancurkan dinding harap yang lain. Aku pasti sangat berdosa sehingga apa yang aku lakukan selalu saja tak baik. Memang, kita tak bisa menyenangkan orang lain. Tapi, bukankah namanya tak tahu diri jika kita justru tak melakukan balas jasa terhadap tangan-tangan yang mengangkatku? Aku yakin, sekalipun dada mereka dipenuhi cinta untukku, aku akan selalu punya sesuatu yang tidak aku sengaja bisa menyakitinya. Aku adalah tanaman berduri yang sulit berkompromi dengan situasi sehingga aku tak akan terlihat cantik dan baik-baik saja dengan konsekuensi hidup yang aku pilih.

Seperti inilah kondisiku sekarang.

Bagaimana denganmu? Apa sudah baik-baik saja?