Selasa, 01 Oktober 2013

Guru : Antara Si Pengemban Tugas Kenabian dan Si Pendikte

Socrates pernah berkata pada murid-muridnya, "Aku tidak dapat membuat semua orang mengetahui segalanya, aku hanya dapat membuat mereka berfikir."

Selama aku hidup, selalu ada sosok guru yang membuatku belajar bagaimana caranya mempelajari sesuatu dan menemukan alasan kenapa aku harus mempelajari hal tersebut. Kadang juga, dengan sangat menyebalkan, aku akan bertemu dengan seorang guru yang hanya membutuhkan kehadiran kita sehingga dengan malas, aku akan memaksa diriku untuk tergopoh-gopoh masuk ke kelasnya dan menahan kantuk sisa begadang semalam.

Bagiku, seorang guru yang baik bukanlah yang dapat menjawab semua pertanyaan muridnya dan meminta kita menghafal berderet penuh mantra asing yang tidak kita ketahui kenapa itu begitu penting.

Guru, di dalam pikiran ideal ku adalah seseorang yang bisa membuat kita memiliki kesadaran untuk lebih banyak belajar dan berfikir. 

Guru itu memiliki tugas seperti para nabi, yaitu seseorang yang memberikan petunjuk dan menyampaikan. Guru mengajarkan bagaimana cara berfikir untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita. Sehingga kita tidak perlu bertanya ttg pertanyaan partikuler dan remeh-temeh ke guru kita. Tidak mungkin kita menghabisakan waktu seorang Guru dengan pertanyaan, "Apakah jika bertamu, sebaiknya sendal kita sisihkan ke sebelah kanan atau kiri pintu supaya lebih afdol??" Tentu saja, pertanyaan remeh temeh itu, seharusnya membuat jengkel seseorang yang memiliki pengetahuan mendalam namun dengan terpaksa harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan sepele. 

Kebanyakan guru, hanya menyuruh manusia yang dihadapannya untuk belajar tanpa membuat para insan pembelajar memiliki kesadaran kenapa kita butuh mempelajari hal tersebut. Sebagian guru lainnya, membebani manusia didikannya tentang mantra-mantra asing yang harus dihafal tanpa memberikan celah bagi kita untuk menganalisa mengapa mantra tersebut penting dan relevan untuk kehidupan kita.

Pak Munif benar, guru harus bisa memperlakukan kita seperti manusia. Bukan seperti mesin yang harus patuh terhadap manual book  yang ada di dalam kardus sebuah mesin. Atau, dalam arti lain, manusia itu bukan mesin yang bisa diperlakukan hanya dengan tahap tertentu. Tidak bisa, hanya dengan memencet tombol on, bisa langsung on.

Aku tahu seharusnya semangat belajar ku tidak redup hanya karena barangkali aku kurang cocok dengan caranya mengajar, Semangat seharusnya adalah sebuah elemen terpisah dari kesiapaan . Iya, seharusnya begitu. Tapi akhirnya aku tunduk pada emosi ku. Aku tidak dapat mengingat apapun yang Ia ucapkan. Padahal itu bukanlah sebuah mantra yang teramat sulit. Itu mantra biasa saja. Seharusnya tinggal merapal mantra itu di ujian, tanpa peduli seberapa ampuhnya mantra itu, aku bisa lulus. Aku hanya tidak menemukan alasan, kenapa aku membutuhkan deretan teks ini. Jika aku membutuhkan, mengapa aku tidak tehu mengapa mantra yang satu ini, mengapa bukan mantra yang lain? Jika aku tidak membutuhkan, mengapa aku bisa memilih untuk terkurung di sini bersama seseorang yang menyebalkan dan mengklaim diri sebagai guruku padahal aku tidak pernah belajar apapun darinya? Aku tidak pernah memilihnya. Aku terpaksa bersama nya karena sistem yang ada mengaturku sedemikian rupa. 

Bagaimana jika mantra itu ternyata -di luar pengetahuan ku- benar-benar sakti? Padahal aku terlanjur merapal mantra itu dengan malas-malasan tanpa menyertai jiwa ku di dalamnya? Bagaimana jika mantra itu tanpa aku sadari justru berbalik mengenai kepalaku sendiri? Memantrai semua yang ada di otakku dan semua hal yang tersimpan di dalamnya sehingga semua hal jadi begitu memuakkan seperti perasaan ku atas mantra yang tidak tahu kenapa harus aku hafal.

Akhirnya aku harus berdamai dengan argumen yang ada di kepalaku. Guru meminta aku untuk jadi mesin yang memberikan jawaban kapanpun dia mau dan ada di ruangannya kapanpun. Sekalipun aku harus berada di sana adalah sebuah aturan yang diluar kuasaku -bukan pilihanku-. Barangkali di ruang itu aku harus belajar memahami bagaimana menjaga perasaan seorang pintar yang berharap di dengar. Atau barangkali ini merupakan sebuah siasat dari kepala guru untuk membuatku tahu arti pengendalian diri agar serta merta tidak merusak apapun yang tidak aku sukai. 

Apapun itu, kelak aku juga akan tahu maknanya. Atau, aku mesti berusaha keras agar aku tidak menganggap "penjara" ini sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Kamu?