Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 26 April 2014

Pingsan

Janji yang tak selesai, tangis yang terabai dan sekotak waktu yang kian masai adalah cerita tentang sial yang memang belum bosan mengintai
Lelah
Ingin tidur rebah dan nyenyak di rumah Tuhan
Sendiri saja
aku lupa jalan tapi benar-benar ingin pulang
terlalu lama, terlalu jauh, rasanya sudah tak mungkin sampai
beritahu aku apakah Ia sedang bersembunyi?
atau sedang tidak menerima tamu?
Ku ramu cemas dan semai ketakutan-ketakutan
sampai Ia timpakan satu rantingNya tepat di kepalaku.
KataNya, "Tunjukkan padaku di mana saja yang bukan rumah Ku?"

Tegal Parang, 26 April 2014

Jumat, 14 Maret 2014

Puisi dan Hidupku Setelahnya

Aku kira aku bisa menulis puisi. Di sekolah dasar aku senang menulis puisi, teman-teman ku ikut menulis juga sejak aku menulis. Ada sebuah persaingan ketat saat itu. Kata mereka puisiku tidak sebagus puisi temanku yang lain. Apalagi puisi itu ditulis dalam bahasa Inggris. Harus aku akui, puisi yang ditulis temanku itu memang bagus. Karena itu adalah karya Kahlil Ghibran. Teman-teman tidak tahu temanku plagiat. Apa yang bisa kita harapkan dari anak-anak ingusan itu? Aku tahu tapi aku diam. Siapa yang mau dipermalukan? Aku tak ingin menambah musuh. Lagipula aku hanya anak pindahan yang tidak punya teman saat itu.

Aku sempat mengira aku bisa menulis puisi. Curahan hati bisa jadi puisi. Kegembiraan jadi puisi, kemarahan jadi puisi, olok-olok jadi puisi. Semua orang yang membacanya bilang puisi yang aku tulis bagus. Semua orang ingin dibuatkan puisi saat pelajaran Sastra atau Bahasa Indonesia. Orang meyakini aku bisa membuat puisi dan itu membuat aku yakin aku bisa membuat puisi. Puisi dan aku adalah dua hal yang tak terpisahkan.

Belakangan, aku membaca ulang puisiku dan menemukan kedangkalan yang konyol setelahnya.

Aku kira aku akan terus hidup dengan puisi.

Memang, pada suatu hari, aku patah hati dan aku menangis semalaman ditemani puisi-puisi Hafidz dan Fariddudin Attar. Aku tidak punya apa-apa sebagai penghibur. Perasaanku menggelegak dan rongga dadaku kembali dipenuhi cinta. Aku tak mengizinkan dendam bersemayam. Hafidz dan Attar menuntunku ke altar kelayakan. Aku kira, saat itu aku memang diselamatkan oleh puisi.

Aku kira aku bisa menulis puisi. Aku menulis untuk kekasihku lalu ia mendebatnya habis-habisan. Percuma saja banyak orang memuji karyamu tapi bukan orang yang kau cintai yang memujinya. Percuma saja dipuji banyak orang yang tidak punya selera berpuisi dan bukan penikmat puisi. Aku mundur beberapa langkah. Menghitung kemungkinan terburuk. Sepertinya aku memang tidak bisa menulis puisi.

Aku membuka buku-buku puisi. Dulu aku sangat menikmati Neruda, Sutardji, Chairil Anwar, Abdul Hadi WM, Sarojini Naidu, Syirazi, Rumi, Ghibran, dan lain-lain. Suatu hari aku temukan diriku di tumpukan buku-buku puisi dan membaca beberapa syairnya. Aku tidak mendapatkan apa-apa dari puisi itu. Aku berusaha mencari kritik atas puisi itu di internet. Ternyata puisi itu dipuji oleh para kritikus. Aku jadi meragukan seleraku. Bahkan sekarang aku tidak tahu apa-apa soal puisi. Aku tidak bisa membaca dan kepekaan ku dalam memilah puisi bagus dan jelek menghilang begitu saja. Aku mencoba memaafkan diriku sendiri atas ini. Bahwa ternyata hidupku bukan lagi mesti bersama puisi.

Aku berhenti menulis puisi. Aku tidak bisa menulis puisi lagi dan bahkan tidak sanggup lagi membacanya. Aku seringkali mendengus keras begitu membaca puisi seseorang karena aku tidak mendapatkan apa-apa. Bukan karena puisi itu jelek. Tapi aku hanya tidak mengerti apapun yang tertulis. Salahku yang tidak mengerti. Bukan salah penulis puisinya. Aku ingin berkata puisi itu jelek dan puisi ini bagus. Tapi aku tidak punya pisau apapun untuk menilainya. Lagipula, siapa aku hingga berani menilai sebuah puisi? Aku tak punya apa-apa untuk mengakrabi lagi puisi. Tak punya.

Salahku adalah, selama ini aku tidak berada di tengah orang yang menulis puisi sehingga kemampuanku mengolah rasa jadi tumpul. Aku tidak punya selera lagi.

Bahkan aku tidak lagi punya minat berkencan dengan penyair lagi. Aku merasa sedang mengkhianati puisi yang pernah sangat aku cintai. Aku sedang berusaha memaafkan diri sendiri yang terlalu mudah tersentuh dan dimanipulasi oleh penyair dengan puisi-puisinya. Aku pikir seseorang itu semulia puisinya. Aku pikir puisi adalah konsekuensi logis dari jalan pikiran pembuatnya. Aku gagal melihat bahwa kini, puisi seringkali hanya jadi lipstik untuk menutupi bibir yang menghitam karna dusta dan kebobrokan.

Inilah waktu yang tepat untuk mengakhiri hubunganku dengan puisi. Aku tidak menjamin bahwa aku mampu tahan berjauhan dengan puisi. Tapi setidaknya, aku ingin tegas berkata bahwa jarakku dengan puisi setara jutaan tahun cahaya. Yang kau lihat setelahnya hanyalah masa lalu.

Aku patah hati pada puisi.

Maaf.

Minggu, 13 Januari 2013

Kekupu Rindu


Rindu itu seringkali berwujud kupu-kupu yang mengepak di dalam palung hati kita. 
Kepakan sayapnya yang rapuh nan indah meramu dengan sempurna kegelisahan hati dan kecemasan-kecemasan tentang cinta. 

Membuat kita terjaga dalam segenap kesadaran tentang keberadaan Kekasih dan sekaligus mabuk kerinduan karena segalanya menjelma jadi Kekasih.


Dengan lincah si kekupu akan terbangkan khayal kita dan mengantarkan kita pada bunga-bunga.

Bunga yang pertama adalah bunga yang menguraikan aroma sang Kekasih hingga harum kerinduannya menguar memenuhi rongga hati dan semesta. Seketika,segalanya indah!

Bunga kedua adalah bunga-bunga mimpi yang melenyapkan diri kita sendiri karena kita terlalu mabuk kerinduan hingga kita kehilangan kesadaran. Saat itu, segalanya menjelma seindah mimpi tentang taman-taman bunga.

Pada akhirnya, kerinduan pada kekasih telah mengantarkan kita pada Bunga-bunga mimpi hingga kita sampai pada mimpi tentang bunga-bunga. Di sana, si kekupu yang telah berproses menyempurna akan semakin meninggi, mencapai gemilang Cahaya...


Derik Kerinduan di Jakarta,  13 Januari 2013

Selasa, 16 Oktober 2012

Melangitkan kita

Kau api
Aku air
Kita butuh bejana, lalu menyebutnya cinta
Bejana antara kita adalah perantara membaramu dan gelora didih ku
kau ciptakan asap, aku hasilkan uap

Suatu hari akan sampai masanya kita berdua tiada,
untuk dapat melangit

Kau Api
Aku Air
Dan bejanalah yang membuat kisah kita
Sampai PadaNya

Tengah malam, 131012

Jumat, 29 Juni 2012

Tentang Hati...

Bibirmu berjanji pada sepasang mataku
"Aku tidak akan membuatmu menangis"
Lalu kedua tangan bertaut, mengikatnya
Biar hati yang akan menjaganya

Mataku berbicara tanpa kata
"Jangan mendaraskan janji walau sebaris"
Kepala membuang muka
Hati coba meneguhkannya



Sejak pertama kali aku berikan hatiku, berarti aku telah memberikan kau kekuatan untuk menghancurkan ku.
Ketika pertama kali aku biarkan kau melihat teteskan air mataku, berarti aku telah mengizinkanmu melihat kelemahanku.
Saat ku berikan diriku, berarti aku telah membiarkan kau memanfaatkan nya.
Aku tidak pernah terkejut bila suatu hari, kau menjadikan semuanya jadi abu ditelan api...


Ada saatnya, suatu hari, bila kita sudah tidak sedekat ini, apapun yang kau lakukan adalah lewat restuku.
Kebebasan yang aku berikan adalah termasuk hak mu untuk menghancurkan dan mengingkari apapun yang telah kau janji kan.
Datang lagi, sayat lagi....
Aku bahagia.
Karena kekuatanku ada di dalam cintaku

Bedahlah hatiku sesukamu...
Tak kau temukan hal lain di dalamnya selain ridho ku.


Kamis, 26 April 2012

Syahadah Zahra, Air Mata Cinta

Rumah itu adalah saksi tubuh yang membiru
Tempat mulia, penuh doa cinta
Terampas hakmu duhai Zahra
Dukamu, duka kami duhai putri Al Musthafa

Tanah itu adalah tanah rindu
Tempat mulia pusara cinta
Duka mu duka kami ya Zahra
Syafaati kami yang tercabik dosa ya Zahra

Tangis kekasihmu tertahan di wajah sendu
Mendengar wasiat cinta, keranda rahasia
Malam syahdu dendangkan pilu hak yang terkhianati, berkerudung nestapa
Bercerita tentang kelanjutan jalan Cinta, berlangsungnya Agama Cinta
Para pemuda surga bertanya "Ada apa dengan Ibu kami duhai Ayahanda?"
"Mengapa Ibunda diam mendengar kami duhai Ayahanda?"
"Apakah Ibunda telah menyusul Kakek kami ya Ayahanda?"
"Apakah kami tidak dapat bermain bersama Ibunda lagi Ayahanda?"
"Oh... Setelah dipisahkan dengan Kakek kami, Kami kini berpisah dengan Ibunda"
"Aduhai duka... singkatnya masa terasa bersama Sang Tercinta"
"Raga yang pernah bersama kami berlindung dalam selimut satu persatu telah tiada..."
"Betapa sementara dunia, betapa Fana nya manusia"
"Ibunda pergi menyusul Al Mustafa"
"Duhai Ilahi tempat segala Rahasia... Sumber segala Cinta..."
"Sambutlah kekasihMu, Ibunda kami tercinta yang Kau Cinta"
Sementara airmata menganak sungai membanjiri semesta

Malam kelu nan pilu menusuk sembilu
Hari berkabung para pecinta bertasbih Az Zahra
Sakiti mu sama seperti sakiti rasul Duhai Zahra
Tapi Mengapa mereka membuatmu luka ya Zahra?

Sepi menggelayut malam hantarkan kerandamu
Tanpa iringan, tanpa taburan bunga
Engkau pergi dengan luka di rusuk dan perih hati ya Ummu Abiha
Sholawat kami selalu tertuju padamu Ya Zahra...

Jakarta, 26 Maret 2012
Syafaati fakir ini Ya Zahra...
Syahar Banu

Senin, 05 Desember 2011

Sarojini Naidu Poetry For Imam Husain as


Black-robed, bare footed, with dim eyes that rain

Wild tears in memory of thy woeful plight

And hands in blind, rythmic anguish smite

Their blood stained bosoms, to a sad refrain

From the old haunting Legend of thy pain,

Thy votaries mourn thee thru’ the tragic night

With mystic dirge and meloncholy rite

Crying to thee Husain! Ya Hussain!

Why do thy myraid lovers so lament?

Sweet saint, is not thy matchless martyrhood

The living banner and brave covenant

Of the high creed thy prophet did proclaim

Bequeathing for the world’s beatitude

Th’ enduring loveliness of Allah’s name.

---------------------

About Sarojini Naidu

Sarojini Naidu is the First Indian woman president of Indian National Congress and first woman to be appointed Governor of any state in India. While working for the Indian National Congress Indian National Congress, she was introduced to many eminent personalities such as Muhammad Ali Jinnah, Jawaharlal Nehru and Mahatma Gandhi with whom she shared a special bond and a very good rapport. Meanwhile in 1916, she authored and published a biography of Muhammad Ali Jinnah entitled as The Ambassador of Hindu-Muslim Unity.

"I congratulate Muslims that from among them, Hussain (A.S.), a great human being was born, who is reverted and honored totally by all communities"

Sabtu, 22 Oktober 2011

Tentang Kekasih



Mata itu masih sama. Magnetnya membuatku masuk ke dalam jiwanya dan menelusuri alam keheningan yang mesti aku renungi dari subuh sampai dini hari. Aku mulai mengeja kata dari tatapan yang tersisa. Merangkai kata dari tatapan mata kemarin beserta teks yang beberapa kali terbaris dalam huruf digital.

Aku menyapa malam yang senantiasa aku sapa dengan mata benderang. mencoba mempertanyakan, bagaimanakah kabar kekasih? Aku tak lelah menyapanya karna namanya telah aku daras menjadi doa yang aku harap menelusup dalam dedaunan segar pagi hari, menguap menuju ketinggian oleh hangat mentari, dan beberapa saat kemudian kembali merindukan bumi dalam tetes hujan rakhmat. Tetes itu menyapa ujung rambutnya dan menjadi kawan dalam keluh kesahnya.

Perlahan... Seikat bunga menyeruak dari sanubariku. Apakah ini berkat dari sang Maha Cinta? Harumnya jadi kedamaian di jalan-jalan sempit para musafir cinta. Aku mencoba menapaki bekas kaki para pecinta dalam sunyi sambil tersenyum pada kekasih ku yang berada di singgasana maha mutiara kalbu. Aku bertanya-tanya, apakah keindahan para kekasih telah membuat banyak orang rela menjadi pelayannya walau hanya berurai doa-doa sepanjang hari pada sang Rahim? Aku menoleh kebelakang dan melihat uraian air mata para pecinta telah membawa mereka dalam samudera pengkhidmatan. Ketika darah jadi air mata dan air mata semerah darah membeberkan kesaksiannya atas kedahsyatan Cinta. Ketika Ketajaman pedang adalah muara cahaya. Maka sayatannya jadi permadani yang terhampar jadi tangga menuju langit.

Aku mendaraskan namanya lagi di altar cahaya agar ia mengerlingkan mata cahayanya pada ku, namun urung... Menatapnya telah membakar habis segala tuntutan ku padanya. Tiada sesuatu yang aku inginkan darinya. Ternyata hanya dengan melihatnya dari kerumunan sudah cukup. Aku merindukan penyatuan, Tetapi, aku lebih menginginkan kekasih datang dengan keindahan jiwa yang kelak menuntunnya pada pertemuan jiwa pecinta. Layaknya 2 tetes air tersebut melebur jadi butiran rintik air mata para pecinta yang mendamba kasihnya.

Aku tak hendak menempatkannya sebagai Tuhan, tak pula sebagai berhala. Biarlah Ia hidup sebagai Manusia, menyempurna dengan kemanusiaannya. Ia memang Tak bersayap, tak juga berlari secepat cahaya. Tapi keindahan jiwanya adalah kerlipan gemintang yang dirindukan langit setiap malam. Lalu aku dengar Orang bijak membisik padaku, Bila Ia menjadi manusia seutuhnya di alam akal ku, maka kepalanya dapat meninggi melebihi malaikat.


Garis kehidupan telah memanjang di hadapan para pecinta, bahwa Tiada hal lain yang diinginkan pecinta kepada kekasihnya selain penyatuan. Namun, Aku tak hendak mengaitkan paksa benang sari kasih ini padanya. Aku memilih untuk memulai langkahku menuju jalan cahaya dan berharap kekasih ku menapak jalan cahaya yang sama sampai pertemuan kita di altar Cahaya. Bila langkah cahaya kita berbeda, biarkan sinar mata kita yang pernah bertemu jadi meninggi dan menjadi kerlip kecil dalam kalbu para pendamba cinta.
 


Kamis, 19 Mei 2011

Rabb...

Ilahi...Rabbi...

Aku rela dirasuki dingin asal itu bukan tatapan dingin Mu.
Aku tahan rasakan Panas asal itu bukan panas Murka Mu.
Aku sanggup dahaga asal bukan keterdahagaanku akan kasih sayang Mu.
Aku mampu terhimpit sesak asal itu bukan sesak karena bernafas tanpa Cinta Mu

Dengan Kedurhakaan ku yang seringkali lebih cepat dari ketaatanku padamu
Dengan Kesiasiaan waktuku yang lebih cepat dari Kedisiplinanku berjumpa denganMu di sujud dan Rukuk ku
Dengan Keteledoranku yang lebih cepat dari Dzikirku padamu
Dengan baju kesombonganku yang lebih cepat daripada rasa rendah diri dan lemahku di hadapanMu yang senantiasa mengawasiku

Bahwasanya...
Ketika aku bersyukur, Aku telah abdikan diri untuk mencintai Mu
ketika aku hidup, aku yakin Engkau senantiasa mencintaiku
Ketika aku mati, aku Mengemis mengharapkan CintaMu melebihi ketika aku hidup
Namun kelalaian meliputiku lebih dahsyat dari penghambaanku padaMu tersebut

Aku bermohon padamu, dengan Asmamu yang dijunjung tinggi para Makhluk Langit yang ada di Bumi maupun makhluk yang dulunya di bumi lantas Melangit dengan derajat tertinggi sebagai kekasihMu,
Aku bermohon dengan mengharap berkah dari para kekasihmu yang membentangkan sayap-sayap kesuciannya di hadapan MalaikatMu
Aku bermohon dengan lewat syair yang tak pernah menyamai keindahan dan ketulusan para kekasih Mu yang terhimpun bersama mu
Aku bermohon dengan rintihan yang tak putus sebanyak helaian rambut para bidadariMu nan seharum kesturi

Sungguh kuharapkan dengan segala lemah dayaku..
kerapuhan tulangku...
dari ketakberdayaanku dan segala Keburukanku yang dengan beraninya aku tampakkan di sepanjang umurku dihadapmu...
Kumohonkan dengan segala AsmaMu yang terpuji...

Semoga Ar Rahman dan Ar Rahim mu yang lebih cepat daripada KeadilanMu senantiasa berlaku padaku...

Kepalang Rindu PadaMu,
16052011

Senin, 18 April 2011

Merapat Kilat

Engkau Cepat sekelebat
Tepat Berdetak, lalu wafat
Usai dihentak, Kian tak merapat, makin tak sederajat
Oh, galat ini tak lah kiamat


Mengingatmu sedetik, jadikanku lupa mantik barang sekelumit
Serasa namamu terketik di jutaan langit bergemericik rintik sejuta bait
berkutik sedikit, tlah ku kait sumpah sebait
sekiranya kau pamit
tanpa berkelit pahit
hatiku ini tak mesti sakit


14.4.2011
Saat meraba jejakmu

Rabu, 30 Maret 2011

Rekaman...

Aku pernah membawa jiwa seseorang dalam puisi. Saat itu dini hari dan dadaku sesak, Mataku berurai air mata mengenangnya. Tiba-tiba rasa rindu yang sangat dan berbaai kenangan muncul. Tapi bukan sebuah kutukan ataupun rutukan yang ingin aku ungkapkan pada kenangan yang lumayan pahit itu. Tapi rasa syujur luar biasa dengan cinta yang meledak-ledak utuk mengingatNya.

Bisa jadi ini adalah peristiwa Spiritual. Saat kita belajar tentang Jiwa dalam kajian mulla shaddra, akan dikenal bahwa manusia dapat membus batas materi dalam alam malakut. Jiwa ku saat itu tertarik pada sesosok manusia yang mengikat hatiku berbulan-bulan yang lalu. Aku merasa sangat dekat dengannya sampa aku menangis sesenggukan dan menulis. Tapi bukan dia yang aku pikirkan, tapi DIA. Aku hanya membawa jiwanya untuk bisa menyampaikan gejolak meledak-ledak. 

Entah, sulit diungkapkan. Aku tidak pernah benar2 membuat puisi sufistik. Tapi terjai begitu saja tanpa editing. Pastinya seperti dalam puisi sufi lain, mungkin selain pengarang yang mengalami pengalaman spiritual tersebut, Pembaca tidak akan faham. Yang jelas, menulis ini membuatku tidak tidur dan esoknya tidak mengantuk sama sekali.

Mungkin kesalahannya adalah percampuran bahasa Indonesia dan Inggris pada judul. Tapi itu kata pasangan yang terpikir dalam otakku saat itu.

Rekaman...Recomment


Di tahta tangkai penopang indah mawar itu adalah Kelopak Nya
Lalu menyobek , terkirimlah berbait-bait syair kerinduan sepanjang sungaiNya
Bawa ranum pesonakan jernih nan mewangi sepanjangNya sampai samudra kasihNya
SurgaNya didapati , mengarahkan bahtera bertuliskan Illah, Illah, Illahi….
Nan selalu berkompas gugusan bintang gemintang , Maka tersampaikan pada muara, penyair berkata Ialah surga….
Tempat pertemuan kelak…
Selama masih ada gunung Nya, Sungai Nya yang kan kirimkan kerinduan terpandu pun dalam deru badai memilu…

Sebagai petani semestinya rindukan hujan, bukan bandang apatah lagi gersang

Sebagai si sakit maka semestinya rindukan obat, bukan kerat
Sebagai mana semestinya nelayan tunggu tuk dapati ikan dalam jejaringnya
Sebagaimana hina itulah rindukan Layak dalam RumahNYA

Sesayup harapan teramat muda dalam bingkisan Nya yang terelok

Tersampailah….
Dimana TanganNya menepuk tegakkan pundak kita agar berjalan terus ikuti arah gemintang

Oh si pengemispun bencikan lapar nan makin bertambah sukar terperi

O…tahulah bahwa sang penyair tak pernah puas arak secawan untuk bersajak kelangitan
Mengertilah, dalam PialaNya termabuklah para alim dalam Kedai-kedai Nya
Maka dapatkah dalam larian itu pergi dari RahmatNya?
Sedangkan terpangku sudah di haribaanNya…

Berbukit kerikil tertakluk sudah

Pandang sebrang bukit tak terlihat…
…..selain daripada kabutNya….
Dingin ini telah memeluk dalam gigilan sendu kecintaanNya
Oh bukankah Janji itu adalah satu dari Anggur Nya?Mabuknya hinakan Raja bak pengemis
Maka singgasanalah pertanda kerajaannya nan rabun dikenal
Terserekan Ia dalam kepapaan nya?
Saat Cawan-cawannya telah kosong, sedang tenggorok managih untuk terbakar Arak asmaraNya?

Untukmu selalu, dalam keterlindungan Nya…

Tertitip salam termanis nan melangit


Jakarta, dalam sesak haru

Pukul 03.21 wib
Hari ke 19 bulan ke sebelas masehi
2010

SYAHARBANU

Senin, 28 Maret 2011

Dia pun Menelaah Kedalaman Jiwaku...

Aku sering mendapatkan karya-karya seperti Essay dan Puisi.
Tapi ada 1 karya dari Abangku yang bikin Nangis sesenggukan berjam-jam. Sebelumnya dia udah jelasin kalau Untuk membuat puisi itu dia harus membawa jiwaku ke alam tinggi dan meletakkannya di tempat terindah. Haaaaah...pokoknya klepek-klepek.

Aku suka berbalas puisi dengannya. Berbincang dengannya adalah mata air pengetahuan. Berbincang dengannya adalah penambah enargi kebijaksanaan. Dengannya aku menjadi luluh tak berbekas dengan segala sombongku.

Gaya penulisan puisinya sangat Iraqi. Gaya puisi Favoritku. padahal aku tidak pernah bilang ke Abangku kalau aku suka sekali gaya Iraqi. Rasanya Puisi adalah sebuah pengelaman spiritual dan indahnya dia mengajakku menyusuri lekuk alam spiritualnya. Jiwaku gerimis dan bibirku pucat pasi dengan kekosongan diri. Ia mengajakku Fana untuk menuju keberadaan. Dia bukan Hanya Romantis, tapi juga Spiritual.

Aku bertekad mencintai kakakku sampai akhir. Apapun yang terjadi bahkan bila suatu saat dia tidak ingin mengenalku. Dia mengajarkanku Cinta dan melenyapkan segala perasaan sakit hati yang dulu seringkali singgah. Dia Mengajarkan bahwa Hati harus bersih, Sakit hati akan membuat kita tidak menghargaidiri sendiri karena kita mengizinkan penyakit singgah di temp[at yang semestinya Suci. Hati adalah Jiwa tempai kita mengharap kesucian darinya. Dan sampai kini, Kakakku itu adalah orang yang paling kucintai sebagai kakak. Orang yang paling aku kenang karena kebaikannya.

Semoga Allah selalu menjaganya, Melindungi keluarganya, Melapangkan Kubur Ayahnya, Merahmati Ibunya, Melancarkan kebaikan yang menuju padanya. Terimalah salam kerinduan ku duhai kakak yang telah membuatku tertawan dan jatuh hingga fana...



Sesembahan Anggur Cinta…


Maka saat hati terbakar, memutih menjadi abu, tumbuh sekuntum mawar Cinta yang wanginya lebihi setaman, kelopaknya adalah Allah-Allah-Allah

di negri ketiadaan, tiada awan melainkan Cadar Nya

di negri ketiadaan, tiada sungai melainkan SegarNya

di negri ketiadaan, tiada laut melainkan IlmuNya

di negri ketiadaan, tiada Jiwa melainkan JiwaNya

di kota ketiadaan, tiada bangunan melainkan ArsyiNya

di kota ketiadaan, tiada sekolah melainkan FirmanNya

di kota ketiadaan, tiada seni melainkan CintaNya

di kota ketiadaan, tiada merah melainkan GincuNya

di rumah ketiadaan, tiada atap melainkan AmpunanNya

di rumah ketiadaan, tiada piala melainkan AnggurNya

di rumah ketiadaan, tiada lilin melainkan ApiNya

di rumah ketiadaan, tiada suara gitar melainkan Desah KesendirianNya

di kamar ketiadaan, tiada kasur-ranjang tapi kefaqiran

tak pula selimut tapi kedinginan

di kamar ketiadaan, tiada sejadah apapun tapi jiwa gemetaran

tak pula gadis cantik molek rupawan

di noktah ketiadaan, DIA-lah Kebenaran

di noktah ketiadaan, DIA-lah Gusti Pangeran

di noktah ketiadaan, Bercerlangan Zat Tuhan

di noktah ketiadaan, Gemilangan Wangi Zat Tuhan



Hud-hud berkelana melayang, mencari Ruh Yang Turun pada Malam Suci Seribu Bulan.
Ia bergumam, mustinya adalah Malam Suci-Nya dan titik, kerna Ia lebih dari Seribu Bulan. 
Tapi Ia bergumam pula, tapi lebih baik Malam Suci Seribu Bulan karena..

Ia Yang Sejati Tak Terbatas..
Tak Terperikan Dalam Kesendirian..
Dalam Keagungan..
Dalam Kesilauan..
Dalam Ketidaktahuan..
Dalam Lautan Keberadaan,
tanpa terbatas, 
bahkan oleh Diri-Nya Sendiri.

Puja dan puji pun digumankan Hanya Pada Sang Maha Asmara, 
mawar-mawar yang selalu merekah di hati-hati yang patah, 
yang durinya bila terkena teramat pedih menggores bak suara rebab. 
Atau seperti suara seruling Majnun di malam hari yang senyap, di padang belantara yang luas, di musim dingin yang mencekam, yang berintihan bertangisan berjeritan Layla, Layla, Laylaaa.. 
Atau seperti wadag Rumi yang mengelilingi Jiwa dan Irama Sang Maha Cinta dari Tabriz, Syamsyuddin Sang Pecinta, berputar-putar seperti gasing berkeliling kepala pun pusing jantung dan hatipun seolah berhenti berdetak, tarbus melayang-layang tinggi ,

Sungguh yang tiada memahami Asmara bukanlah bagian dari kami, kata seorang darwisy. 

Sungguh yang tiada memahami geletar Asmara bukanlah bagian dari mukmin, kata seorang saleh. 

Sungguh yang tiada memahami senar dan grip-grip Asmara bukanlah bagian dari muhsin, kata seoran faqir. 

Tapi Hud-Hud katakan padaku, perkara yang benar adalah siapa dan apa yang tak senantiasa menggeletar terhempaskan Gelombang Samudera Asmara bukanlah bagian dari alam maujud. Alias ketiadaan mutlak.

Senar gitar Espanola menyentuh lembut lembar-lembar Asma Waduudu dari goresan janji Alastu yang dulu kupatrikan didepan Kekasih. 

Getarannya lembut seperti alis lentik yang melindungi kelopak lembut dan mata-mata besar berkejap nan tatapannya teramat dalam. 

Alastu menghunjam lembut di rerelungan terdalam hati, geloranya sejuk bak sumber mata air cemerlang gemilang. 

Dimulai dengan penolakan akan segala dan penegasan akan Aku yang satu, 
Alastu menyumberi rasa-rasa lembut, takut dan harapan Cinta Ilahiyyah. 
Piala Alastu,- yang berisikan Anggur-Anggur Berusia Tujuh Abad- , memabokkan jasad maupun batin maupun batin dari batin dan Batin dari Segala Batin sehingga sang penenggaknya akan menjadi Pemabuk Sejati. 

Yang lupa akan dirinya sendiri seluruhnya. 
Yang lupa akan segala-galanya seluruhnya. 
Ia menjadi sempit sekali dihimpit oleh al-qoobidhu sehingga menjadi bak titik ketiadaan, 
tapi pada saat yang sama ia menjadi luas melayang terbang ke milyunan alam manifestasi-Nya diluaskan oleh al-baasithu. 
Sebuah titik noktah tak bervolume tak berwaktu tak ber-ruang tak terperi.

Al-waduudu mengarungi alam keberadaan dengan membawakan Anggur-Anggur Tujuh Abad dan menuangkannya di kedai-kedai tuak dalam piala Alastu. 

Bergelimpangan para hamba pecinta mencicipi setegukannya, apa - lagi sepiala penuh. 

Ohhh, serasa bumi menjadi langit dan langit menjadi bumi dan serasa alam material mengkerut lenyap tak lebih dari setitik saja, atau lebih kecil dari itu, atau tak terfikirkan lagi, atau memang ia hanyalah bayangan keberadaan dalam ketiadaan. 

Setiap manifestasi al-waduudu terpaksa membatasi yang lain, Rambut-Nya membagi alam-alam menjadi tak hingga, 

Pipi-Nya membuat alam-alam mengkristal karena rindu pada-Nya, 

Senyum-Nya membuat kiamat alam-alam kerna teramat rindu pada-Nya, apa lagi elusan-Nya? 

Wahai jiwa-jiwa surga, 

Hai…..hai…..hai…..
Wahai putri jiwa yang tulus…..
Kukirimkan baiat nokta kerinduanku….






Senin, 14 Maret 2011

Dimensi Harmoni

Padahal...

Aku terlanjur mengira jarum jam telah berlari ditiap tarik nafas

Ternyata ia hanya merotasi angka yang sama namun menantang kita ukir langlangan yang berbeda


Ah...Kau harus tahu sesungguhnya Ia tidak benar2 berlari selama putaran jam masih bertiktok sambil bersimfoni mengenai pengulas kekinian bernama kita, kurasa...

semesta hanyalah sekepal saksi

bahwa nun disini telah terhadirkan sesosok hati yang tak bertepi
Selalu, aku telah menolak tunduk!!
Pada kemestian, 
juga pada rasa yang tak mungkin dapat dilawan dengan sempurna

Aduh Tuhan...kenapa mesti ada kata ‘dilawan’?

Sementara ada harmoni, bahwa aku menulis tentangmu dan kau menulis tentangku
Dengan dimensi yang berbeda kita telah saling berbicara dan bercerita
Tentang gelisah di penghujung bulan antara jeda dan kerutinan





Hanyutan ibukota, 10 Maret 2011

Masih Sekelebat tentang Kau

Tahukah kau?

bukannya aku mengetuk pintu kalbumu untuk meminta izin masuk


Aku terpaksa mengetuk pintu yang dulu pernah terbuka itu karena gemuruh kegaduhan di dalamnya menyebut2 namaku...

Bila kita harus kembali ke istana masing2



mengapakah kudengar kau memanggil namaku di bait sendumu?

Aku bertanya padamu,Bukankah cukup kita saling sapa
dr sebrang jalan


seperti orang kebanyakan?

kamu hadir lagi di simpangan Jakarta, 12 Maret 2011

Insyaf

Dalam denyut dinihari
daku dengarkan deringan dawai doremifasolasido

dibalut doa-doa dari dewata...


demikian




diamlah dunia denganmu duhai Duli...
Dengan dibekali dupa,Duduk dewi dewi di dasaran dermaga duniawi, dengannya...






durjana dirubah




.........DHARMA............






Jakarta sedang dipeluk kepagian, 13 Maret 2010

Kamis, 17 Februari 2011

Kita, Setelah 13 hari

I.
terhenyak kudapati
ternyata aku tak dapat lagi menulis tentangmu
jemariku menolak berkompromi dengan rasa yang terlalu bergemuruh saat aku memanggilmu di ujung kaki pelangi yang pernah kita temukan bersama
kaki pelangi yang sepakat kita ciptakan tepatnya…
kita selalu mendatanginya bersama tanpa meninggalkan jejak karena kita sengaja membuatnya tak terpeta
agar hanya kita yang tahu

II.
sampailah pada sebuah masa, dimana kesadaran segara memenuhi akalku
akalku yang mendesak untuk bertanya, mengapa di kaki pelangi ini aku menjadi menggigil?
apakah karena tak ada lagi tawa yang bersahut?
ataukah tak ada lagi tanganmu di separuh kananku nan turut menggenggami mawar yang dulu telah kau enyahkan durinya?
mustahil bila tiba-tiba saja terjadi
mustahil bila tiba-tiba kau hilang

III.
aku mulai melangkahkan kaki meninggalkan kaki pelangi ini
tahukah kau, bahwa separuh langkahku pergi dari tempat kita ini adalah untuk menemukanmu kembali?
separuhnya lagi untuk memberikan penghiburan pada diriku sendiri atas kepapaanku karna ketakterbiasaanku tanpamu
mengingatmu, mengingat juga saat kita dulu menertawakan gemintang yang memudar menjelang subuh, karna kau bilang, kita tidak akan pernah seperti bintang itu.
ingatan membuatku menyesak dan menyeretku dalam sudut yang makin kelabu

IV.
Lagi-lagi, aku menyadari bahwa aku tak dapat lagi menulis tentangmu
Bukan karena kau tak lagi indah sehingga aku tak dapat lagi menulis binarmu
Di malakutku engkau tetap bertahta dalam keindahan seperti saat dulu aku pandangi tukikan dalam ikalnya rasiomu untuk aku resapi kedalaman palungnya nan memukau
Bukankah keindahan selalu membuat kita tenang dalam kedamaian?
Seperti sepoi nya ladang yang menghembuskan layang-layang diantara pekikan gembira anak-anak desa
Seperti indahnya bunga bunga di musim salju yang kita lihat lewat layar kaca
Bukankah keindahan itu kita sendiri yang menentukan pandangnya?
Maka dengan itu kau tetap indah
Namun, dalam perjalanan pencarianku terdapat Rintik
Yang menghuni ujung bulu mataku karena beratnya rindu di seperempat pencarianku, menjadikanna satu-satu berjatuhan
Mungkin karena itulah maka sosokmu tertutupi hingga pandanganku mengabut
Yang kabutnya hanya dapat hilang saat engkau menghapusnya dengan perjumpaan
Saat aku mengerjap, engkau mungkin sudah berjalan terlalu jauh

V.
Dalam pengharapan, sepertiga kepalaku telah tertengadah ke langit dengan segala kemanusiaanku
Berita langit berkata padaku bahwa engkau pergi mengejar ombak yang telah meruntuhkan karangmu
Menuntutnya mengembalikan serpihanmu yang tercuri
Aku benar-benar tak menemukanmu lagi
Aku, yang menyayangimu ini tak akan mencegah apa yang akan kau lakukan
Keindahanmu akan menuntun arahmu meski tak kembali pada garis yang telah menghubungkan titik bernama aku dan kau
Bahkan aku tidak dapat menemukan ujung pelangi yang tak pernah aku temukan lagi untuk sekedar mengingatmu, karena kita terlanjur membuatnya tak berjejak, tak terpeta
Mungkin karena kita terlanjur merancangnya untuk kita kunjungi bersama dan kaki pelangi menolak hadir bila kita tak sepasang
Membuatku lagi-lagi menyesali, bahwa kepergianmu membuatku tak dapat lagi menulis tentangmu

VI.
Maaf ku, atas bait yang tak sempat selesai
Akhirnya lukisan kata ini hanya separuh, untukmu jua...
Dalam Ibukota, 22.13 WIB
Hari ke 4 dalam kantung febuary tahun 2011 masehi