Rabu, 29 Januari 2020

Sebuah Cerita tentang Si Sedih

Aku terbangun lagi pada pukul 3 pagi oleh pikiran-pikiran aneh tentang hal yang sudah aku lupakan sesaat setelah membuka mata. Jika hal itu penting sekali, kenapa aku harus lupa? Jika itu bukan persoalan penting, kenapa aku harus sampai terjaga?

Aku menghubungi Ben, melaporkan padanya bahwa aku terbangun. Ia selalu memperhatikan jam berapa aku mengirim pesan padanya sehingga ia bisa mengatakan sesuatu yang menguatkan. Biasanya, ia akan bangun pada pukul lima pagi -jauh lebih dulu dari aku- dan berusaha meneleponku. 
Sayangnya, pagi itu ia telat bangun. Aku bangun pada pukul lima saat alarm berdering dan dengan sigap mengeluarkan sayuran dari kulkas untuk aku masak. Aku mengizinkan hatiku sedih, tapi setidaknya, aku ingin tubuhku sehat. Sayuran terbaik adalah yang dimasak dari dapur sendiri sehingga kesegaran dan kebersihannya terjamin. Maka inilah yang aku lakukan. Bangun pukul lima pagi demi memasak bekal untuk diri sendiri dan pasangan.

Di telepon, Ben bilang bahwa begitu selesai mandi, ia akan bergegas menuju kostku. Aku tak memintanya, tapi ia berjanji akan mengantarku ke kantor hari ini. Ia tahu suasana hatiku sedang tak bagus, maka ia ingin memastikan bahwa aku tak merasa sendirian. Lagipula, hari itu ia masuk siang sehingga punya banyak waktu mengantarku. Ia mengatakan berkali-kali bahwa mengantarku tidak merepotkan sama sekali.

Menurutku, mengantarkan aku ke kantor sangat merepotkan. Karena ia harus bangun lebih pagi, mandi lebih cepat, dan rumahnya bahkan ada di luar provinsi Jakarta! (baca: Sawangan, Depok). Jarak rumahnya (Ehm, sebenarnya dia selalu menyebut rumahnya sebagai "rumah kita berdua" sekalipun ia membelinya jauh sebelum bertemu denganku) ke kostanku kira-kira 27km dengan motor. Jarak rumahnya (rumah kita! :D) ke kantorku kira-kira 34km. Sedangkan dari kantorku menuju kantornya sekitar 13km. 

Kalau bukan cinta, aku tak tahu lagi dengan apa menamakannya.

Selain ingin lebih sehat, pagi ini aku masak untuk menenangkan pikiran. Dulu masak selalu jadi sarana untuk healing. Namun, setelah aku mengkomersialisasikan masakanku untuk dijual, masak jadi rutinitas yang melelahkan. Bahkan, mengolah makanan yang sama berkali-kali tak membuat masakanku makin hari makin enak. Ada kalanya masakanku sangat enak dan mendapat pujian banyak orang. Ada kalanya aku salah takar dan salah langkah sehingga ada kekurangan di sana-sini. Jika ingat soal lelah dan apa yang aku hadapi saat itu, yang tersisa hanya trauma. Aku juga heran kenapa terlalu mudah menyebut sesuatu dengan trauma. Ben yang membuang semua sisa makanan dan bahan-bahan warung yang tersisa di kulkas setelah dua bulan tak berani aku sentuh sama sekali. Aku bilang padanya bahwa aku trauma, Ben menanggapinya dengan santai. Toh ada banyak pelajaran dan kita tidak rugi.

Ia datang saat aku selesai membungkus bekal untuk kita berdua. Nasi Merah, Ayam Bumbu Bali, dan Tumis Kangkung. Sepertinya ia senang melihatku tampak baik-baik saja. Sambil mengucapkan terima kasih, ia membawa bekal makan kami baik-baik sambil menandai tempatnya agar tak tertukar. Aku memang memasukkan lauk lain ke dalam bekalku, lauk yang Ben tidak ingin memakannya: Oseng Paru dan Sambel Goreng Kentang Ati ayam. Ibu kost yang memberiku lauk itu ke semua anak kost semalam. Ben tak akan mau memakan lauk di dalam bekalku karena ia memang sangat menjaga kesehatan dengan tidak makan jerohan dan segala yang berkolestrol tinggi. Termasuk kulit ayam! Kadang ia melarangku makan makanan tertentu agar aku selalu sehat. Tapi kadang ia bilang aku harus bisa mengatur pola makanku sendiri. 

Saat berpisah dengannya di depan kantorku, aku mengucapkan banyak terima kasih padanya. Ia melepas helm full facenya untuk memperlihatkan senyum dan mengatakan bahwa aku terlihat sangat cantik. Itu pujian cantiknya yang ketiga sepagi ini. 

Aku melangkahkan kaki ke kantor dan segera menuju mesin absensi untuk menyerahkan sidik jari ibu jariku di sana. Aku lega bahwa aku punya banyak waktu bersantai hari ini sebelum jam kerja dimulai. Setidaknya untuk menyiapkan mental setelah aku menggunakan izin sakitku di awal minggu untuk menenangkan diri dari relaps yang tak jelas triggernya.

Beberapa waktu berlalu, Ben bilang, ia sudah sampai. Aku tidak mengecek berapa lama perjalanannya. Ia mengeluhkan soal macet tapi bersyukur bahwa ia bisa sampai dengan selamat. Lelaki itu memang punya kebiasaan baik dengan selalu mengucap rasa syukur setelah ia secara tak sengaja melontarkan kalimat keluhan. 

Misalnya, pernah suatu hark aku mengeluh makanan di sebuah warung yang tidak enak. Aku mengatakan apa adanya bahwa makanan itu tidak enak. Tapi ia langsung mengingatkan bahwa setidaknya kita sekarang tahu rasa makanan itu karena kita sudah dimampukan Tuhan untuk membelinya, lagipula kita tidak sakit saat makan makanannya sehingga kita makin punya banyak alasan untuk tetap bersyukur. Jika aku tak menghabiskan makanan karena memang tidak enak, ia akan menawarkan makanan lain yang rasanya lebih enak agar membuatku merasa lebih baik. Ia bukan orang yang memaksa orang lain untuk menghabiskan makanan, ia tipe yang meminta seseorang berhenti makan jika sudah kenyang. Maka, jika aku belum kenyang karena tidak sanggup menghabiskan makanan yang mengerikan, ia akan menyarankan aku untuk makan kudapan yang aku suka agar lebih kenyang. Aku biasanya akan memperlihatkan mimik yang tampak mencibir dia yang terlalu positif dalam memandang sesuatu yang menurutku sulit untuk dibela. Kadang ia setuju bahwa makanan itu tidak enak, tapi tetap saja sebaiknya kita tidak terus menerus mengeluhkannya. Hingga suatu hari dia bilang, "sayang, mungkin pas masak ini, kokinya udah lelah. Kamu kan pernah merasakan bahwa masak itu melelahkan. Gaji dia mungkin juga kecil, kebutuhannya banyak. Maafkan kokinya ya. Nanti kita cari makanan lain buat kamu biar kenyang."

Cara Ben tepat untuk membuatku berhenti mengeluh. Aku mudah menangis saat membayangkan bahwa ada seseorang yang sudah lelah bekerja hanya dibayar dengan upah minim. Aku memang tak bisa memverifikasi informasi seputar besarnya gaji si koki di resto/warung makan yang kami kunjungi. Aku tak tahu apakah ia dibayar layak atau tidak. Tapi membayangkannya saja sudah cukup membuatku diam. Ben benar, masih ada banyak hal yang patut disyukuri.

Aku mengingat baik-baik adegan itu. Menanamkan lekat-lekat di ingatan. Aku mengingat pujiannya hari ini padaku. Aku belum melakukan hal buruh hari ini. Hari ini masih terlalu pagi untuk dirusak dengan hal-hal yang tidak baik.

Di kantornya, Ben bilang bahwa bekal makan yang aku buat juga sangat enak. Aku tersenyum senang karena bisa berguna untuknya setelah ia berbaik hati mengantarku ke kantor.

Hari ini pekerjaanku juga tidak sulit. Rekeningku sangat aman, makananku  bergizi. Tapi sepertinya otakku masih gagal memproduksi endorfin, sekeras apapun aku mencobanya.

Aku bersyukur, tapi kenapa kesedihan ini tak pergi? Aku lebih beruntung dari banyak orang di dunia, tapi kenapa aku masih ingin terus-terusan menangis? Aku punya banyak waktu untuk istirahat, tapi kenapa aku selalu lelah? 

Aku merasa tidak punya masalah apapun, tapi kenapa aku merasa bahwa akan lebih baik aku tidak ada di dunia ini? Jika aku merasa jadi sel sperma pemenang di dalam ovum ibuku, tapi kenapa si pemenang ini punya mental yang sangat lemah? 

Aku membayangkan jika tiba-tiba saja aku tak muncul lagi selamanya di kantor ini lagi? Dengan mudah, aku akan mulai tergantikan dengan seseorang yang lebih muda dan lebih kompeten daripada aku, rekan kerja akan bergaul dengan sesamanya seperti biasa, mirip situasi kantor sebelum kedatanganku di sini. Ditambah, aku sudah mundur di banyak lingkaran pergaulan sehingga kehadiranku tak pelan-pelan tidak signifikan lagi di manapun.

Ben adalah lelaki yang sangat baik, ganteng, pekerja keras, lucu, dan bertalenta, akan ada banyak perempuan yang mau dengannya. Mentalnya juga sangat kuat, dia akan baik-baik saja.

Sungguh aku kecil. Tak signifikan, dan mudah tergantikan. 

Aku pikir, jika seseorang memang harus merasakan sedih, setidaknya ia harus punya alasan mengapa perlu bersedih dan menangis. 

Sayangnya, dalam situasi sekarang, aku tak menemukan sebabnya.

Halo Dokter, apakah sudah waktunya kita bertemu lagi?

Halo Banu, apakah kamu siap menjalani terapi dan medikasi panjang lagi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Kamu?