Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 Juli 2018

Setelah Gaduh

Dunia kita mendadak gaduh. Telinga kita penuh oleh tanya dan tuduhan-tuduhan. Sementara kepala juga terlalu sesak dengan suara-suara kebencian. Kau yang sengaja begitu, atau aku yang memang membuatmu begitu. Kita berdua saling tikam, lalu menimbang-nimbang darah yang tercecer dari luka itu.

Kita mungkin jadi dua orang yang saling menyesalkan hal yang sudah-sudah. Kau bilang urat malumu hampir putus, aku bilang urat nadiku yang putus. Kita sudah berusaha untuk saling membalut luka. Menghangatkan gigil dalam dekap ibu, menguatkan kepala dalam belaian lembut ayah. Kita berdua kalah oleh keadaan. Aku yang bertahan hidup dengan obat, kau yang mencoba selamat dengan infus di tangan. Kita berdua pesakitan yang sama sekali tidak baik-baik saja.

Aku pikir, babak belur kali ini adalah sebuah tanda babak selanjutnya. Tapi ternyata itu hanya berlaku padamu. Kau selalu kuat dan indah dengan semua daya hidup yang selalu membuatku mencintaimu dengan sangat, berkali-kali. Sedangkan aku terus tersengal-sengal di jurang kematian. Aku masih takut untuk terjun, tapi terlalu enggan terus berada di puncak keputus-asaan.

Hidupmu berjalan. Kau tak kehabisan aksara untuk digadaikan. Dari dulu, aku sudah tahu bahwa kau lebih kokoh dariku. Tapi kita bermain peran sebagai dua orang yang saling menyembuhkan. Kau akan berbicara dengan dokterku sementara di hari lain, aku akan memasakkan sup krim atau kare ayam Jepang favoritmu saat kau demam.

Kita tak pernah benar-benar saling menguatkan sayang...

Aku membutuhkanmu karena aku begitu rapuh. Kau mempertahankanku berkali-kali karena kau gamang. Kita berdua adalah infeksi dari dua luka.

Suatu hari... Jika masih ada hari... Aku ingin bicara padamu sambil duduk di rumput, memakan bekal makanan yang telah kusiapkan untukmu dan tanpa tangis. Aku pernah bahagia dan memang salah mengira bahwa itu selamanya. Tapi bukan berarti aku tak berterimakasih atas segalanya.

Selama ini, aku adalah seorang nyinyir dan pembangkang di depanmu. Kau juga harus akui bahwa kau melakukan pembangkangan-pembangkangan di balik punggungku. Kita bukan dua orang yang saling menggenggam. Kau bersembunyi dalam diam, aku berteriak dalam keputus asaan.

Sementara, kita saling mengawasi dari kejauhan. Kita perlu sembunyi di ketiak ibu masing-masing yang luar biasa baik bagi kita berdua. Ibuku dan ibumu memang bidadari jatuh ke bumi yang jadi peneduh kita.

Jelang tidurmu, ingat-ingatlah aku yang setiap malam diam-diam memintamu untuk sikat gigi dan membersihkan wajah dengan sabun. Jangan lupa mengganti pakaian rutin dan sering-seringlah makan sayur. Aku tak masalah dengan siapapun teman makanmu. Aku juga tak mengapa jika kamu mengajak orang lain makan ke warung tenda sup kaki kambing, sate taichan, maupun sop konro kesukaan kita. Ajaklah seseorang ke festival musik yang kau sukai. Kita pernah sangat bahagia di tempat-tempat seperti itu. Jika rindu, dengarkan lagu klasik dan musik elektro pop kesukaanku (kau tahu betul soal itu dan menjadikan salah satu musik favoritku sebagai rujukan tulisanmu. Untuk ini, terimakasih!).

Bukan berarti, aku benar-benar tak ingin lagi kita bersama. Atau aku lupa cara bahagia denganmu. Tapi mungkin kita tak bisa bertemu lagi. Mungkin baik bagiku jika berpindah ke dunia yang lain. Dunia yang asing dan barangkali lebih menyeramkan. Tidak sepertiku, kau selalu punya mimpi, wujudkanlah.

Aku akan mengecup keningmu diam-diam seperti biasa jika memungkinkan. Jadi, baik-baik ya. Kau harus tahu, setiap tetes darah yang berasal tebasan pedang darimu selalu berdesir ngilu seolah berkata, "aku menyayangimu."

Jumat, 19 Februari 2016

Kita dan Rumah Luka

"Kau beruntung punya keluarga," katanya lirih, sore itu.

Aku mendengarnya mengambil nafas dalam-dalam. Tidak apa-apa jika ia ingin menangis. Tangisan bukanlah tanda kelemahan bagi laki-laki maupun perempuan. Bukankah kita tercipta dengan kelenjar air mata yang memang punya fungsi yang sama? Bukankah hati kita secara tak kasat mata juga bisa begitu tertekan dan terluka? Tapi, aku tak melihat ada tetes di sudut matanya. 

"Aku ingat betul. Di hari kematian Ibuku, orang-orang berusaha mengelus kepalaku hanya karena aku anak yatim piatu. Katanya Rasul senang mengelus kepala yatim piatu. Jika umatnya melakukan hal yang sama, maka akan ada banyak pahala yang didapatkan. Mereka melihatku dengan wajah penuh belas kasihan. Padahal, orang-orang itu juga yang akhirnya memperebutkan warisan dari ayah ibuku. Dengan alasan, aku masih terlalu kecil untuk mengelola harta warisannya. Mereka pikir aku tak pernah tahu bahwa aku punya hak atas warisan itu. Mereka tak peduli jika aku membutuhkan warisan itu untuk hidup, sekolah, melanjutkan cita-cita."

Ada keheningan menyakitkan di sini. Suaranya bergetar.

Mereka adalah penyumbang terbesar dalam kesakitan-kesakitan yang masih aku rasakan sampai saat ini. Apa karena aku anak angkat? Bagaimanapun, mereka seperti orangtuaku sendiri. Mereka hanya punya aku sebagai anaknya. Bahkan sebelumnya, aku tidak tahu bahwa aku bukan anak kandung mereka. Aku merasai pengkhianatan, perasaan sendirian, terbuang, terlunta-lunta dari orang-orang yang tampak selalu baik di depan orangtuaku. Tanah di pemakaman ibuku belum juga kering saat perebutan warisan terjadi. Bukannya menjagaku yang masih kecil dan sendirian, mereka justru menorehkan luka batin dalam kepada anak tersayangnya. Jika mengingatnya, rasanya luka ini masih berdarah."

Ia diam. Aku menahan diri untuk berkomentar. Tepatnya, aku tak tahu harus merespon apa. Aku ingin berkata padanya bahwa ia tak sendirian, ada aku. Tapi, di mana aku saat ia sedang lalui masa lalunya? Aku takut tak ada di dekatnya saat ia membutuhkanku di saat ini atau di masa depan. Jika aku bilang aku tahu perasaannya, maka itu kebohongan. Siapa yang tahu persis kesedihan orang lain di masa-masa tergelapnya? Bahkan dua orang yang mengalami peristiwa yang sama pun akan meresapi kesedihannya dengan kadar yang berbeda. Jelas aku tak ingin melontarkan kata-kata motivasi seolah aku tahu caranya menghadapi apa yang pernah dia hadapi. Aku saja berdarah-darah menghadapi "perang" ku sendiri yang sampai saat ini belum juga aku menangkan.

"Kau tahu, aku sempat mencari orangtua asliku. Bapak kandungku sudah lama meninggal. Aku tidak tahu bagaimana rupanya. Aku diangkat sejak masih orok. Ibu kandungku sendiri sudah menikah lagi. Adik tiri begitu membenciku hanya karena aku anak kampung dari pesantren. Aku tak mungkin bersama mereka. Aku tak mungkin hidup di warung ibu kandung yang terasa sangat asing bagiku itu. Aku merindukan almarhum ibu angkatku setiap hari. Setiap kali aku alami kekecewaan-kekecewaan dengan ibu kandungku. Sekarang ia pun sudah meninggal. Aku mengerti posisiku. Aku tak akan mendapatkan apa-apa lagi bahkan dari ibu kandungku sendiri. Aku benar-benar mengerti makna menjadi terasing dan sendirian. Kau beruntung punya keluarga. Aku tak punya rumah lagi. Aku tak tahu makna pulang."

Entahlah, 

Barangkali memang iya. Barangkali juga, aku terlalu lama menganggapnya biasa-biasa saja. Kadang ada rasa bangga dengan prestasi saudaraku. Seringkali malah terbebani dengan banyak hal. Aku menghitung berapa banyak yang harusnya aku berikan dan betapa sedikit yang ternyata bisa aku penuhi. Akan lebih melegakan jika aku menutup telinga tak peduli. Tapi jika aku tak-bisa-untuk-tak-peduli pada orang yang tak punya ikatan darah denganku,bagaimana mungkin aku bisa tak peduli pada keluargaku sendiri?

Aku ingin berkata padanya, barangkali saat ia sedang punya uang berlebih, ia akan dengan mudah menyenangkan dirinya sendiri untuk makan di resto mahal seperti yang sering ia tampakkan di sosial medianya. Tapi, aku mana bisa begitu. Aku akan membagi berapa uang yang aku butuhkan dan berapa kewajiban untuk adikku yang harus aku transfer. Aku tak akan bisa menabung karena setiap kali ada beberapa rupiah di rekening, selalu saja ada persoalan hidup-mati yang perlu aku tambal. 

Setiap kali aku mulai lelah dengan hidupku sendiri, aku tetap mendengarkan perkelahian ini itu yang melulu berisi keluhan bapak, kekecewaan ibu, dan menyerap setiap tetes sari pati ketidakbahagiaan yang mereka jalani. Aku terlibat di tengah mereka. 

Barangkali aku satu-satunya anak yang bisa diajak bicara oleh bapak sehingga ia menambah lapis demi lapis keluhan-keluhannya di atas kepalaku. Barangkali aku satu-satunya anak yang sifat-sifatnya paling mirip dengan ibu sehingga ibu selalu membanjiri hatiku dengan kekecewaan-kekecewaannya yang muram tentang segala sesuatu. Ibu yang masih mempercayai agama sebagai satu-satunya penyelamat hidup kita merasa begitu takut jika kelak aku tersesat karena ternyata kita punya banyak pandangan hidup yang sangat berbeda. Ibu pernah takut aku mengikuti kelompok keagamaan yang aneh, padahal ibulah yang pernah ikut kelompok agama seperti itu. Ibu takut aku terjebak dalam pergaulan yang salah karena lingkupku teralalu luas. Oh, jelas pergaulanku baik-baik saja. Aku hanya tak ingin seperti ibu saja yang hampir tak punya teman. Aku takut jika kelak aku tumbuh menjadi orang seperti ibuku. Di sisi lain menyadari kemiripan-kemiripan sifat kita berdua. Kau tahu betapa sulitnya mengelola hal kontradiktif semacam itu?

Aku belum pernah mengatakan pergulatan ini kepada temanku. Ia tak akan mengerti rasanya, seperti halnya aku juga tak akan pernah tahu persis apa yang ia rasakan. Aku tidak ingin menjadi seorang bedebah yang merasa bahwa deritaku lebih dalam daripada deritanya. Aku tak mau jadi orang brengsek yang begitu mendengar penderitaaan orang lain langsung merasa lega karena ternyata ada yang jauh lebih menderita. Orang macam apa yang senang karena mendengar orang lain lebih menderita?

"Aku rasa..." kataku, di sela keheningan, "Keluarga ada dua. Keluarga yang terikat darah dan keluarga yang akhirnya kita pilih sendiri." 

Sebenarnya itu adalah kutipan dari sosial media yang pernah aku baca. Barangkali dia juga pernah membacanya di suatu tempat. Tapi aku lupa di mana dan siapa yang mengatakannya.

Ia mengangguk. "Selalu ada orang baik yang menolongku di saat aku terjepit. Kebanyakan memang benar-benar orang yang tidak terduga." 

"Sama. Pun aku."

Kita tersenyum. Bersamaan. 

"Apa kau pernah berpikir untuk bunuh diri saat benar-benar merasa sengsara?"

"Tidak." Kataku terkekeh. "Aku sering merasa tidak sehat. Jika sedang sedih, aku akan merasa semakin tidak sehat. Cepat atau lambat, toh aku akan mati sendiri. Aku bahkan sudah merencanakan apa yang terjadi dengan tubuhku setelah mati."

"Aku pernah mengalami masa-masa ingin bunuh diri setiap hari. Sartre memang sialan."

"Gara-gara Sartre?"

"Iya."

"Hahaha,,, Dasar bodoh."

"Aku menulis kesedihan-kesedihanku di tembok kamar setiap kali mulai mengantuk dan nelangsa. Entah bagaimana kabarnya coretanku itu sekarang. Ada di kamarku yang dulu."

"Aku hanya pernah menulis empat huruf dari nama orang yang aku sukai. Saat aku benar-benar sangat merindukannya tapi aku tahu diri bahwa aku tak punya hak lagi untuk menghubunginya. Ia orang yang menemaniku di masa-masa aku jatuh terhempas sampai palung hidup yang paling dalam. Hampir mati rasanya dulu itu. Gila kalau dipikir-pikir. Aku kok bisa mengalami hal itu."

"Mengalami apa?"

"Suatu hari aku ceritakan. Bukan sekarang. Mentang-mentang kau sudah berbagi selimut gelapmu, apa aku harus membagi punyaku saat ini juga? Siapa yang akan bawa penerangnya dong?"

Dia tersenyum.

Kami menghabiskan minuman kami. Ia menuju wastafel. Sepertinya Mall ini hampir tutup. Beberapa gerai sudah mematikan lampunya.

"Anyway, ini kau yang traktir ya." Ujarnya sambil nyengir jail sekembalinya dari wastafel.

Aku menarik nafas. Pertemuan kita yang lalu, dia yang membayar makanan. Memang saat ini seharusnya aku yang membayar. Wajah adikku terlintas. Aku minta maaf pada bayangannya, barangkali aku harus mentraktir yatim piatu ini lebih dahulu dan menunda transferanku padanya lima hari lagi. Semoga dia bisa bertahan dengan uangnya yang tersisa saat ini. 

"Iya." Jawabku singkat.

Kami berjalan menuju tempat tinggal kami masing-masing. 

Ah, kau tahu, sebenarnya aku juga tak punya rumah. Aku juga sepertimu. Tak tahu makna pulang. Aku berdoa diam-diam, semoga kacau balaunya hidup kita ini segera berakhir. 

Barangkali sebenarnya masing-masing dari kita sudah punya rumah yang kelak akan kita temukan. Hanya saja, kita harus terluka dulu sebelum akhirnya beristirahat di bawah lindngan atapnya. Atau jangan-jangan, luka ini karena paku, gergaji, kayu, bebatuan, dan beton yang kita gunakan untuk mengokohkan rumah yang sedang kita bangun sendiri. Hanya saja kita tak menyadarinya. 

Siapa tahu kan? Siapa sih yang tahu? Tak seorang pun tahu. Tak ada, yang tahu.

Sabtu, 25 Juli 2015

Tragedi, Fiksi, dan Nyata

"Tiba-tiba da memperhatikan bahwa kecantikan sudah runtuh berantakan pada dirinya, bahwa itu sudah mulai melukainya secara fisik seperti tumor atau kanker. Dia masih ingat bobot hak istimewa yang telah ditanggung oleh seluruh tubuhnya selama masa remaja, yang telah dilepaskannya sekarang. ---- Dia lelah menjadi pusat perhatian, di bawah kepungan pandangan lelaki. Pada malam hari, ketika insomnia menusukkan jarum pada matanya, dia akan menjadi perempuan biasa, tanpa daya tarik istimewa apapun." 
Eva di Dalam Kucingnya, Gabriel Garcia Marquez.
Libur lebaran yang lalu membuatku punya banyak waktu untuk maraton membaca buku-buku Fiksi. Buku yang aku baca diantaranya kumpulan cerpen "Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Lewat Mimpi" Karya Eka Kurniawan, kumpulan novel dan cerpen"Innocent Erendira and other stories" karya Gabriel Garcia Marquez -aku membaca terjemahan bahasa Indonesianya-,  "My Sister's Keeper" karya Jodi Picoult yang aku baca dalam bahasa Inggris, dan buku-buku lainnya yang menurutku berhasil memotret kesedihan dengan "Indah".

Sebenarnya, kesedihan itu bukan sesuatu yang indah sih. Malah sebaliknya. Menggoreskan luka. 

Dalam sebuah kuliahnya di kelas kami, Prof Abdul Hadi​ WM pernah berkata bahwa kesedihan manusia itu sifatnya abadi. Kenangan akan kesedihan akan menancap dalam mengalirkan air mata dan darah yang akan terus menyakitkan. Makanya, sastra yang banyak diminati oleh orang sepanjang zaman kebanyakan adalah cerita-cerita yang menggambarkan tragedi. Jujur saja, aku belum mengecek apa kata sastrawan lain soal ini. Yang jelas, aku setuju dengan Pak Hadi.

Saat itu, secara otomatis aku menghitung Novel dan Cerpen favoritku. Memang sih, kebanyakan berkisah seputar tragedi. Atau jangan-jangan, selera bacaanku saja yang cukup muram?

Aku sendiri selalu mengagumi setiap penulis yang berani menceritakan kesedihan-kesedihan yang ia alami langsung. Misalnya Gayatri Wedotami Muthari​ yang bercerita soal penyakit Lupusnya dan soal pelecehan seksual yang menimpanya lewat status facebooknya. Aku juga mengagumi keberanian Ninin Damayanti​ yang bersuara tentang KDRT yang dialaminya. Tentu saja ada nama lain yang punya keberanian menulis tragedinya sendiri untuk publik. Hanya saja, aku tidak bisa menuliskan secara lengkap siapa saja nama yang cukup aku perhatikan.

Sedangkan aku? Aku tidak punya keberanian macam itu untuk diriku sendiri. Aku terlalu pengecut untuk mengungkapkan lewat tulisan tragedi yang pernah terjadi dalam hidupku. Mestinya aku lebih berani untuk bercerita lewat tulisan. Selain untuk terapi, bisa juga dijadikan pelajaran bagi orang lain. 

Tapi aku yang cengeng ini sering menghibur diri sendiri dengan berkata pada pikiranku sendiri, "Suatu hari, akan tiba saatnya aku akan bersuara. Pasti."

Tidak semua orang berani menyuarakan kesedihan-kesedihannya. Sebagian menggantinya dengan kisah fiksi berikut deretan nama-nama samaran dan serangkaian drama. Beberapa penulis melakukan itu karena ada sebuah anggapan bahwa jika kita sering menulis soal diri sendiri, maka kita akan dicap dengan label Self Sentris. Begitukah? 

Aku punya beberapa orang di sekitarku yang merasa perasaannya jadi lebih baik ketika mendengar ada yang lebih menderita daripada dirinya. Ada juga tipe orang yang sering berkata dengan enteng bahwa masalahmu belum ada apa-apanya dibandingkan masalah orang itu yang lebih berat lagi. Ada lagi orang yang merasa lebih menderita dari orang lainnya.

Bagiku, tidak ada kesedihan yang sepele. Jika tidak bisa bersimpati dan memberi solusi, maka seseorang mesti belajar diam dan sekedar mendengar. Bukan mengeluarkan komentar-komentar menyalahkan yang membuat orang yang bersedih itu semakin merasa hidupnya payah. 

Beberapa yang lainnya, justru mengecilkan tragedi orang lain hanya karena ia merasa bahwa ia pernah lalui tragedi lebih dahsyat. Lebih penting. Lebih menyayat. Sehingga tragedi yang dialami orang lain tampak sepele. 

Aku percaya bahwa seseorang punya porsinya masing-masing dalam merasai kesedihan. Tidak ada kesedihan yang sepele. Satu-satunya yang berhak mengatakan kesedihannya lebih berat dari kesedihan yang lain hanyalah individu yang merasakan kesedihan itu sendiri. Bukan orang lain. Ada kaca yang mesti ia bawa terus menerus untuk mengukur apakah kesedihannya memang layak untuk membuatnya ambruk atau tidak.

Aih, ngomong apa sih aku ini...

Tapi ngomong-ngomong. Aku kangen lho sama kamu. Kalau kamu nggak kangen balik, apakah artinya ini sebuah tragedi lainnya? Kalau iya, maka aku sudah berani menuliskannya. 

Selasa, 09 Juni 2015

Labirin Mimpi Mimpi


Pipiku menempel di meja hangat berbahan kayu jati yang tebal tanpa furnish. Aku mengintip lewat sudut mataku yang setengah mengantuk. Meja makan ini mirip kepunyaan nenekku. Pasti aku sudah tertidur di sini dalam beberapa waktu hingga membuat leherku pegal. Aku mengangkat pipi sedikit untuk meraba tekstur kulitku. Gara-gara rambut panjang yang mengurai kemana-mana ini, pipiku jadi serupa peta yang jalurnya bermuara di hidung, mulut, atau dahiku.

Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Cahaya lampu temaram yang memberikan kesan hangat dan mengantuk memasuki mataku. Aku berusaha beradaptasi dengan pencahayaan yang tak biasa itu. Saat aku memandang berkeliling, aku baru sadar bahwa dinding ruangan itu berwarna hitam di sisi kanan dan berwarna putih di seberangnya. Entah itu memang cat, ataukah kain warna hitam yang biasa dipakai di berbagai pementasan teater.

Aku menegakkan kepalaku tinggi-tinggi, berusaha duduk tegak sepenuhnya. Agak pusing. Rasanya tak pernah sepusing ini sebelumnya. Aku meraba pipiku lagi untuk memeriksa apakah peta yang timbul dari rambut-rambutku sudah hilang atau belum. Sampai aku menyadari sesuatu.

Rambut?

Apakah aku sampai ke tempat ini tanpa jilbab?

Sesorang lelaki terhuyung menyenggol meja, menarik kursi dengan kakinya dan duduk di hadapanku. Meja kayu jati yang lebar itu membuat kita sangat berjarak. Aku merasa belum pernah bertemu dengannya. Tapi aneh, sebuah nama muncul di kepalaku tiba-tiba. Dia Pontoh. Ken Pontoh, Bahkan aku, entah darimana asalnya pengetahuan ini- tahu bahwa dia adalah seorang penulis. Dia menyulut rokok dan tersenyum padaku.

“Masih pusing? Apa aku harus mengantarmu ke rumah?” Tanyanya.

“Apa kamu selalu melihat aku seperti ini?” Aku bertanya balik sambil menggeretakkan leherku yang pegal.

“Maksudmu?”

“Aku, tanpa jilbab.”

“Memangnya kapan kamu pernah pakai jilbab?”

Aku mengernyitkan kening. Begitukah?

Aku menunduk memandang pakaianku sendiri. Kaos dan celana pendek. Jika merentangkan tangan, ketiakku akan terlihat jelas. Aku selalu mencemaskan setiap bulu yang tumbuh dari ketiakku. Aku tak menyukai bulu itu dan tak suka jika ada orang yang melihatnya. Tak ingat kapan terakhir kali aku mencukur bulu-bulu itu. Tapi, mestinya bukan itu yang perlu aku cemaskan.

“Ini seperti meja nenekku.” Kataku agak melamun.

“Kamu bilang, ini memang tempat minum milik keluarga besarmu. Wajar jika meja ini milik nenekmu.”

“Aku bilang begitu? Kapan?”

“Apa kau sebegitu mabuknya sampai tak ingat ucapanmu sendiri?”

Aku? Mabuk? Seingatku bahkan aku tak pernah minum alkohol. Aku tak masalah dengan Wine. Beberapa kali, aku sempat minum Wine dan tak pernah sekalipun mabuk.

Seorang lagi menarik kursi di samping Ken Pontoh. Aku tahu namanya. Dia Andri, wartawan lepas yang selalu sinis dengan media mainstream. Dia banyak menulis soal Papua hingga dia punya banyak musuh dari kalangan tentara dan so called aktivis NKRI.

Ken menyalakan koreknya. Andri menunduk, menyulut rokok dari korek Ken, dan menghembuskan asapnya. Tampak sangat menikmati.

Tunggu dulu. Andri merokok? Bukankah dia punya asma dan sangat benci perokok? Setahuku dia bukan perokok.

“Sejak kapan kamu merokok, ndri?”

“Aku memang merokok dari dulu.” Jawabnya sambil bersandar di bahu Ken.

Andri menempelkan wajahnya di leher Ken, tampak sangat akrab. Aku tidak tahu jika mereka berdua adalah sepasang kekasih. Aku bahkan tak tahu Ken dan Andri adalah Gay. Tapi, tampak intim seperti itu bukan berarti mereka pacaran. Sesekali aku juga bersandar di bahu sahabat lelakiku tanpa pernah sekalipun berkencan dengannya.

Ken mengecup puncak kepala Andri dan mengelus rambut pendeknya. Aku memalingkan wajah demi memberi mereka privasi.

Pandanganku tertuju pada piring dengan tulang yang bertumpuk-tumpuk. Harum Asem-Asem Kambing khas masakan Nenek tercium. Aku menengok ke belakang. Ada tungku dengan panci besar milik nenekku di sana.

Tampak seorang perempuan yang tampak rapuh, dengan tubuh kurus, rambut abu-abu yang terikat rapi dan punggung tegak tampak sedang mengaduk masakan.

Itu Nenek.

Seingatku dia sudah meninggal bertahun-tahun lalu. Atau, adakah seseorang yang perawakan dan gerak geriknya begitu identik?

Aku mengedarkan pandanganku sekali lagi ke seluruh ruangan. Ada tiang kayu bambu khas ruang makan rumah Nenek. Apakah aku benar-benar ada di rumah Nenek? Seingatku rumah Nenek sudah berubah setelah diwariskan pada anak-anak cucunya.

Rumah itu tak seluas dulu. Saat aku masih kecil, aku bisa bersepeda dari ruang depan sampai ke ruang makan saking luasnya. Setelah Kakek meninggal dan Nenek mulai sakit-sakitan, pembagian bangunan dimulai. Setiap anak mendapatkan jatah ruang dan tanahnya. Mulailah ada tembok pemisah ruang satu dengan yang lainnya. Kamar Nenek beserta ruang makan keluarga yang luas memanjang telah berubah jadi satu rumah tersendiri milik sepupu. Tiang bambu yang kini aku lihat seingatku diganti dengan tiang beton. Rumah itu akan ditingkat agar sepupu bisa membuat kamar-kamar baru untuk anaknya.

Yang aku lihat sekarang adalah rumah nenek yang masih alami. Rumah yang mengalami masa pendudukan Belanda dan Jepang. Rumah yang konon sempat jadi tempat pengungsian warga di tahun 1945an, baik beragama Islam maupun Kristen. Dapurnya belum dikeramik. Masih berupa tanah dengan kompor yang terbuat dari tungku beserta kayu bakarnya.

Nenek tak menoleh padaku. Ia terus berkutat dengan alat-alat masaknya. Aku merindukan mata biru yang mengabu jelang kematiannya. Aku ingin menghirup dalam-dalam wangi minyak rambut cap urang-aring yang membuat rambut panjangnya begitu lembut. Aku ingin menyentuh setiap senti kulit keriputnya yang putih bercahaya. Kata para paman dan sepupu, aku sangat mirip Nenek di waktu muda. Bedanya, hidung nenek lebih mancung dan bola mataku warna coklat terang. Selebihnya, semuanya mirip.

Aku tak sabar ingin bertanya pada Ken maupun Andri, kenapa kita bisa ada di sini. Di lain sisi, aku juga tak mau mengganggu kemesraan mereka. Mereka tampak saling merindukan.

Ken melingkarkan tangannya pada bahu Andri. Mereka berpelukan. Aku menunggu sampai mereka bisa melepaskan diri sebelum menyela.

Andri batuk-batuk.

Dengan sigap Ken menarik tisu yang terletak di meja dan menyerahkannya pada Andri. Ia menutup hidungnya dengan tisu sambil batuk-batuk. Aku mengkhawatirkan asmanya dan masih penasaran sejak kapan dia merokok.

Saat Andri menjauhkan tisu dari hidungnya, aku kaget saat menyadari, dia Nina. Perempuan. Wartawan lingkungan yang sering maliput soal kasus tanah adat. Dia memang merokok sejak dulu. Hanya saja, aku tak tahu sebelumnya jika Ken dan Nina dekat. Bahkan aku tak tahu jika mereka saling kenal.

Bagaimana mungkin citra Andri di mataku tiba-tiba saja berubah jadi Nina?

Apakah aku begitu mabuk? Atau segalanya memang berubah? Apakah perubahan yang berjalan terlalu cepat ataukah otakku yang berfungsi terlalu lambat hingga aku ketinggalan banyak informasi?

“Aku punya pertanyaan.” kataku setelah Ken dan Nina menyingkirkan tisu-tisu itu.

“Ya?” Kata mereka.

Aku berdiri tegak. Sempat menoleh ke belakang. Nenekku sudah tidak tampak. Mungkin ke tempat cuci piring atau yang lainnya.

“Apakah kalian biasa melihatku berpakaian seperti ini? Dengan kaos, dan hanya bercelana pendek?”

“Kamu memang selalu berpakaian seperti itu jika sedang di Jakarta. Tentu saja kamu akan bercelana panjang jika perlu masuk hutan atau rumah ibadah. Lagipula, ngapain sih kamu tanya soal diri sendiri?” Jawab Nina.

“Aku bingung.”

“Kamu mabuk berat.” Kata Ken.

“Aku bahkan merasa tak pernah minum alkohol.”

“Jangan becanda.”

“Kita ada di tahun berapa?”

“Katamu, ini tahun-tahun di mana kemanusiaan telah mati. Manusia modern lupa berpijak pada bumi. Kamu mengucapkan itu berkali-kali saat mabuk tadi.” Kata Ken lagi. Nina melongo, mengangguk-angguk.

“Dengar. Mungkin ini aneh. Tapi, demi Tuhan, aku melihat Nenekku di sana, dia hidup lagi. Bahkan aku berada di rumahnya. Tapi aku jadi sangat berbeda dari aku yang aku kenal, berbeda dengan aku yang selama ini hadir di dunia. Aku jadi asing dengan diriku sendiri. Bahkan aku sebenarnya tak pernah bertemu dengan Ken, dan langsung tahu bahwa Ken adalah Ken. Aku hanya mengenalmu dari tulisan-tulisanmu di media. Tanpa aku melihat fotomu sebelumnya.”

Mereka tampak khawatir.

Nina menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kamu hanya kebanyakan minum.”

“Ini aneh.” Kataku lebih ke diriku sendiri daripada ke mereka.

Aku berjalan cepat-cepat melintasi ruangan, menghindari tatapan bertanya mereka. Menuju pintu hitam yang tadinya aku kira kain hitam yang biasa dipakai dekorasi teater.

Ruangan berubah.

Aku berada di sebuah aula dengan dinding kaca dan lampu yang terang benderang. Lantainya marmer putih. Tampak licin. Sangat bersih. Ada troli di mana-mana. Orang-orang di sana tampak sangat terburu-buru. Aku menoleh ke belakang, memeriksa pintu yang membawaku di sini. Tapi tak ada apapun di sana. Aku menyesal kenapa aku menuju pintu hitam tadi alih-alih menghampiri Nenekku.

Setelah melihat berkeliling. Aku tahu, ini adalah sebuah bandara.

Seseorang meraih tanganku. Aku tak mengenal wajah dan namanya. Rambutnya pirang sebahu dengan bintik-bintik kemerahan di wajahnya. Dia sangat cantik dan tampak sangat mengenaliku. Matanya yang berwarna Hazel tampak cemas.

“Kami mencarimu dari tadi. Kamu menghilang. Penerbangan kita satu jam lagi. Bisa lebih cepat. Cuaca sedang tidak menentu.” Dia masih mengibarkan tiket di depan wajahku.

“Mau ke mana?”

“Norwegia. Oslo. Kemana lagi? Bukannya kamu yang memesan semua tiket kita? Kok bisa lupa.”

“Kita?”

“Iya. Kita semua. Kita dapat suaka penuh di sana. Apakah kamu sudah selesai bicara pada keluargamu tentang kepergian kita?”

“Sebentar. Aku tidak paham.”

Aneh sekali, dia bicara bahasa yang kedengarannya seperti bahasa Rusia. Dan aku yakin bahwa aku menjawabnya dengan bahasa Indonesia. Otakku otomatis menerjemahkan apa yang dia katakan ke dalam bahasa Indonesia.

“Maksudnya suaka?”

“Kamu buang-buang waktu bertanya tentang hal yang kamu ketahui persis. Kamu juga tampak sangat lelah. Kita berkumpul di gerbang keberangkatan 4. Mari kita ke sana. Ada kursi pijat yang nyaman di sana. Mungkin bisa membantu.”

Aku mengikutinya. Norwegia? Suaka? Dan apa sih maksud orang-orang bule ini?

Kami sampai di ruangan yang lebih kecil, melewati pintu detector metal biasa yang ada di bandara. Aku melihat kakiku sendiri dan takjub, kapan aku sempat mengganti celana pendekku dengan celana panjang ini? Aku masih penasaran, kemana jilbabku.

“Apakah ini nyata?” Tanyaku padanya.

“Tergantung pikiranmu sendiri. Konon apa yang kita alami sekarang ini hanyalah ilusi di dalam kepala kita.”

“Jadi ini alam seperti apa?”

“Kamu mau mencoba mendebatku soal filsafat lagi ya? Kita kan pernah bahas ini. Kamu sudah tahu bahwa aku ini seorang postmo yang meragukan banyak hal. Saat ini satu-satunya hal yang aku yakini adalah ketidakwarasanmu sendiri.”

“Bukan, ini bukan pertanyaan filosofis. Ini pertanyaan yang biasa. Apakah aku bermimpi, atau yang lainnya? Rasanya baru beberapa menit yang lalu aku meninggalkan rumah nenekku dan tiba-tiba aku sekarang berada di Bandara bersamamu, bersama kalian. Dengan alasan suaka yang aku tak mengerti alurnya.”

“Kamu seperti kaum romantis. Seperti orang tua yang merindukan masa kecil anaknya dan berkata, 'Aaaah... Anakku sudah besar. Rasanya baru kemarin aku melahirkanmu'. Begitulah kamu sekarang.”

Dia mendorongku duduk di salah satu deretan kursi pijat elektrik. Tubuhku rasanya tenggelam di kursi yang besar dan empuk itu. Serasa ada banyak tangan yang mencengkeram bahu dan punggungku.

Nyaman sekali.

Rasanya aku tertidur tanpa bermimpi apapun.

Aku bangun dengan sendirinya. Udara begitu hangat. Ada bantal di kepalaku. Rasanya bukan mencengkeram lagi. Tapi hangat. Sangat nyaman. Rasanya aku sulit untuk beranjak. Aku begitu takut saat bergerak semuanya akan berubah.

“Kamu sudah bangun?”

Suaranya berasal dari belakang kepalaku. Begitu menenangkan. Nafasnya berhembus di puncak kepalaku. 

Aku menyadari bahwa sensasi hangat ini timbul karena aku sedang tidur di pelukannya. Dia memelukku dari belakang. Rasanya begitu akrab. Kursi pijat itu telah menghilang entah kemana.

Aku mengangguk pelan. Dia mengeratkan pelukannya.

“Aku suka aromamu, aroma rambutmu, aroma tubuhmu. Apakah kamu selalu harum seperti ini? Merasakan seperti ini bersamamu. Sangat membahagiakan.”

“Aku tidak mengerti.”

“Apa yang tidak kamu mengerti?”

“Rasanya aku tadi sedang bermimpi. Di mimpi tadi aku tertidur. Dan kini, rasanya aku memasuki mimpi yang lain.”

“Mimpi yang lain? Apa maksudmu?”

“Bersamamu. Ini seperti mimpi. Kecuali kamu bisa membuktikan bahwa aku sedang tidak bermimpi.”

Dia mempererat pelukannya. Tangannya melingkar di depan dadaku yang tak berpakaian. Punggungku menempel di dadanya. Tangannya mengelus-elus anak-anak rambut pada keningku.

“Aku melalui hari-hari penuh kesedihan saat aku harus kehilangan segalanya. Ditambah Kamu menyuruhku pergi di saat segalanya serba runyam. Kamu menyuruhku pergi bahkan sebelum aku pernah masuk ke hidupmu.”

“Itu sebuah kesalahan.” Katanya lirih sambil mengecup puncak kepalaku.

Aku menyamankan diri di pelukan lelaki yang aku cintai ini. Rasanya aku baru sekali mendengar suaranya, tapi aneh, aku merasa begitu akrab dengannya.

“Bagaimana jika ini adalah sebuah mimpi di dalam mimpi. Karena aku yakin bahwa kamu belum memutuskan untuk kembali. Ini bukan kenyataan. Mungkin aku sedang terperangkap di dunia mimpiku sendiri.”

“Jika ini mimpi atau bukan, apakah akan mempengaruhi kebahagiaanmu?”

“Tentu saja,” kataku dengan nada merajuk, “saat aku bangun tidur dan menyadari kebersamaan ini hanyalah mimpi, itu berarti buah dari keputusasaanku karena ketidakhadiranmu selama ini. Aku sampai bermimpi aneh.”

Kita diam selama beberapa waktu.

“Panasmu sudah turun.” Katanya. Memecah keheningan.

“Apa aku demam?”

“Iya. Kamu juga banyak mengigau.”

Masih sambil memunggunginya, aku mengarahkan tangan kiriku yang bebas ke pipinya. Nafasnya terasa terasa hangat dan menenangkan di telapak tanganku. Jika ini mimpi, rasanya terlalu nyata.

“Aku ingin melihat wajahmu.” bisikku.

“Kenapa?”

“Rindu.”

“Aku ada di sini,” katanya sambil berbisik juga, “berbaliklah.”

Aku membalikkan tubuhku, kepaku tepat berada di dadanya yang bidang.

“Aku mencintaimu. Kamu membuatku begitu sedih ketika kita berpisah.”

Ia menghembuskan nafas pelan-pelan. Dengan mantap, ia berkata, “Tak akan terjadi lagi. Janji.”

Aku menenggelamkan kepalaku di dadanya. Harum. Aku mendongakkan kepalaku pelan-pelan. Siap bertatap mata dengan lelaki yang aku cintai ini.

Tapi sosok yang mendekapku berubah. Aku berada dipelukan seseorang yang mencintaiku. Bukan lelaki itu. Aku sedang berada di pelukan Ibu. Ibuku.

Aku memandanginya lekat-lekat. Memastikan bahwa mataku tak salah tangkap. Memang Ibu.

Mungkin aku tak pernah benar-benar menatap mata lelaki itu.

Ibu mengecup keningku, “Kamu pergi lama sekali.”

“Begitukah? Tapi aku merasa, segalanya berjalan terlalu cepat dan aku kehilangan sesuatu yang bahkan tak benar-benar pernah aku miliki. Kenapa Ibu merasa bahwa aku pergi terlalu lama?”

“Beritahu Ibu,” nadanya mengandung senyum. Nada yang sama seperti saat pertama kali aku bisa membaca sebuah kalimat di usiaku yang sudah 7 tahun, “sejak kapan kita bisa kehilangan sesuatu yang bahkan tak pernah kita miliki?”

“Mungkin seharusnya di dunia ini ada sesuatu yang menetap. Sehingga sesuatu itu bisa bersama kita, dan jadi milik kita. Menemani kita. Atau, apakah ternyata selama ini kita hidup tidak untuk apa-apa dan terus menerus tak punya apa-apa? Untuk apa kehidupan kalau begitu?”

“Jika kamu tak punya, lalu merasa punya, dan kemudian tak punya lagi, artinya itu bukan milikmu. Kita memang tak punya apa-apa. Merasa punya hanya mencipta penjara. Hei, bukankah berkali-kali kamu bilang sendiri bahwa kamu benci mencipta berhala? Barangkali berhala adalah hasratmu sendiri saat merasa memiliki sesuatu. Masalahnya, apakah kita benar-benar pernah memiliki sesuatu?”

“Aku punya Ibu,”

“Suatu hari Ibu pun akan pergi. Dalam bentuk kematian, atau apapun bentuknya. Dan kamu harus berdiri di kakimu sendiri tanpa Ibu. Tanpa segala sesuatu yang selama ini kamu anggap milikmu.”

“Jika itu terjadi, aku tak pernah benar-benar kehilanganmu. Bukankah kenangan tentang Ibu akan kekal di hatiku?”

“Mestinya itu kamu terapkan jika kamu mulai merasa kehilangan orang-orang dan sesuatu yang kamu cintai. Mereka yang pergi, tak pernah benar-benar pergi. Mereka kembali. Kadang hanya berupa kenangan, mungkin juga dengan bentuk yang berbeda. Kadang hanya kamu yang merasakan, atau kadang hanya mereka yang merasakan. Kadang kalian mungkin saling memikirkan diam-diam. Ingat. Yang pernah singgah, tak akan benar-benar pergi.”

“Begitukah?”

Ibu mengangguk.

“Akan menyakitkan mengingat kenang saat semuanya pergi. Kebahagiaan yang pernah kita rasakan rasanya tak pernah kembali.” Kataku lagi.

“Setidaknya, dengan kenangan itu, kamu mengingat bahwa kamu pernah bahagia.”

Ibu mengelus rambutku. Usianya sudah tua, tapi wajahnya masih begitu muda. Aku mengagumi bentuk keningnya yang halus tanpa cela. Kening warisan Nenekku.

“Apakah pembicaraan kita ini adalah mimpi?” tanyaku lagi.

“Tergantung apakah kamu ingin menjadikannya sebagai sebuah kesadaran baru, ataukah hanya kau anggap sebagai mimpi yang remeh temeh.”

“Bagaimana caranya membedakan apakah yang sedang kita alami ini mimpi atau bukan?”

“Saat seseorang tiba-tiba tertimpa kesulitan atau tiba-tiba mendapatkan keberuntungan, mereka akan berkata seolah-olah sedang bermimpi. Kamu barangkali memang sedang bermimpi, tapi kamu bisa mewujudkannya. Ingatlah, hanya orang tertidur yang bermimpi. Jika kamu memasuki terlalu banyak mimpi, yang harus kamu lakukan adalah bangun. Sadar. Atau kamu akan terus terperangkap di dalamnya. Terperangkap di hidup yang seharusnya tidak perlu kamu jalani.”

Aku menyimpan kesimpulan itu untuk diriku sendiri. Rasanya aku ingin kembali ke kursi pijat empuk di bandara yang menenggelamkanku tadi. Rasanya aku ingin kembali ke pelukan hangat milik lelaki yang aku cintai tadi. Rasanya aku juga ingin kembali memandangi punggung Nenekku yang sibuk di dapur. Tapi aku menyadari bahwa hal realistis yang paling bisa aku rasakan saat ini hanyalah pelukan ibuku.

“Kamu sudah siap untuk bangun.” Kata Ibuku, “bangunlah.”

Tubuhku mengejang. Mataku terbelalak. Aku meraba-raba sekitarku dan menemukan ponsel yang dilayarnya menunjukkan angka 04.38. Barangkali apa yang baru saja aku lakukan hanya mimpi yang lain.

Yang perlu aku tahu adalah, ini waktu yang tepat untuk sadar dan bangkit dari kungkungan yang aku ciptakan sendiri.

Surreal underwater photography by Mallory Morrison


Kalibata, 9 Juni 2015

Senin, 12 Januari 2015

Memasung Relikui

Malam ini aku memperlihatkan foto pernikahan sahabatku yang diunggah lewat Facebook ke seorang teman.

Aku bilang padanya, "Dia kelihatan cantik ya?"

"Iya, kelihatan cocok sama suaminya."

"Likesnya ratusan." Kataku menambahkan.

"Foto orang nikahan kalau diupload di Facebook itu emang pasti banyak yang ngelikes. Temen-temen gue juga kok."

"Iya ya, kayaknya. Foto temen gue yang nikahan dapet likesnya sampai 300an."

"Nah, Elu nanti kalau nikah kira-kira yang ngelikes fotonya berapa?" Tanyanya sambil senyum-senyum.

Aku tersenyum kecil. Ini sungguh topik yang sensitif.

"Sepertinya, malah tak berminat memajang foto. Privacy. Apalagi kalau gue nikahnya sama si itu."

"Cie, ngarep nikah sama si itu…"

Aku diam, berpikir. Oh iya. Jangan mikir jauh-jauh. Sebisa mungkin, jangan. Dia tak akan suka.

"Tapi," sambungku, "pertanyaan yang lebih urgent adalah, emangnya dia mau nikah sama gue?"

Temanku tertawa. Dia tahu karakter orang yang aku maksud dari sudut pandang yang sering aku ceritakan.

"Menurut gue, bukan itu pertanyaan yang lebih urgent deh. Yang lebih urgent  adalah, apa dia bakalan menikah?

Benar juga!

"Emmm… Itulah! Orang kayak dia nggak akan seperti orang lain yang terikat sama standar hidup yang masyarakat tetapkan. Usia tak akan mempan menuntutnya melakukan sesuatu."

Kami terdiam.

Temanku merebahkan tubuhnya ke kasur, melanjutkan aktivitas membaca buku yang sempat tertunda dengan obrolan pernikahan ini.

Aku menatap layar ponsel dengan gamang sambil menimbang-nimbangnya dalam genggaman.

Saat ini, kita berdua hanya bisa terhubung dengan ini

Aku pikir, dia akan menikah, dia pernah berkata seperti itu. Entahlah. Tiada yang bisa tahu pasti tentang keputusan-keputusan besar dalam hidupnya.

Kemarin malam aku bermimpi membaca berita soal pernikahannya lewat sosial media. Mungkin akibat banyak mengonsumsi berita pernikahan kawan-kawan di sosial media. Ini mimpi yang aneh. Mimpi yang sekuat mungkin aku dorong ke bagian terluar ingatan.

Ibuku adalah orang yang sering mempercayai pertanda mimpi. Dia akan merespon dengan bersemangat cerita apa saja soal mimpi yang dia dengar. Seperti para penggemar zodiak yang selalu tampak menganalisa dan mengaitkan semua hal dengan urusan bintang-bintang. Sedangkan aku, hanya sering mengingat-ingat beberapa mimpi yang aneh setelah bangun tidur. Memikirkan, merasakan sensasinya, dan menikmati sisa-sisa ingatan yang ada. Tak ingin menggawat-gawatkan sebuah mimpi dengan menebak maknanya. Secara teori, tak perlu lah sibuk dengan hal yang tak pasti. Nyatanya, sampai sekarang, apa yang terjadi di alam mimpi masih sangat lekat di ingatan.

Jika aku, pada suatu hari memberanikan diri untuk bertanya padanya, "Hai tuan pintar kesayangan, apakah kamu mau menikah denganku?

Dia akan memberi jawaban panjang dengan nada dingin seperti biasa, seputar, "Kasih sayang jangan disempit dengan pernikahan.", "Perasaanmu soal itu masih terlalu prematur." , "Untuk saat ini aku tidak tertarik untuk menjalin hubungan semacam itu."

Membayangkan skenario semacam ini saja sudah membuatku patah, berantakan.

Lalu, jika suatu hari aku bertanya, "Kapan kamu akan menikah? Dengan siapa kamu menikah? Seperti apa penampakan calon istrimu itu?"

Dia akan menjawab dengan jawaban pendek, "Privacy. Itu bukan hal yang perlu ku share denganmu."

Jawaban imaginer itu berjejalan di kepalaku.

Aku akan di sini, melihatmu bekerja keras dari jauh. Berdoa sekaligus bangga padamu diam-diam. Sambil berusaha mengusir hantu dalam kepalaku yang mencengkeram kuat. Hantuku memang sudah lama jadi benalu, membentuk simbiosis parasitisme dalam tubuhku. Terus menggerogoti. Tak mau lepas. Sejauh ini, aku selalu gagal berperang melawannya.

Mengetahui soal hantu ini, kau akan memberiku pandangan tak sabar. "Apa? Soal hantumu lagi?" 

Mengusir hantu adalah hal teknis bagimu yang mudah dilakukan. Kau akan berkata bahwa aku sendiri yang membuatnya jadi rumit. Aku akan mengiyakanmu. Kau benar. Aku sendiri yang tak bisa mengendalikan kekusutan ini.

Aku tak pernah merencanakan hal seperti ini terjadi. Segalanya tampak lepas kendali. 

Kau akan bilang, untuk mengatasinya, aku harus mencari sesuatu yang membuatku senang.

Kemudian, aku sadar bahwa kesenanganku adalah sesuatu yang sama dengan hal membuatmu senang dan itu cukup menentramkan hatiku. Itu adalah hal di antara kita berdua yang dapat menjinakkan si hantu. Sayang sekali, aku pernah gagal mengelola kesenangan kita ini. Tepatnya, aku memang gagal.

Kau menegurku, mempertanyakan kasih sayangku, membuat segalanya tampak begitu sulit untukku.

"Jika kau menyayangiku, kenapa kau tak paham dengan prinsipku?" Katamu, saat itu.

Aku salah. Aku yang terlalu bodoh untuk menyadari siapa pecinta dan siapa kekasih. Kau berbalik dengan segala konsekuensi yang kau genggam erat-erat. Keputusanmu sekuat matahari di garis khatulistiwa yang teriknya tak tergoyahkan.

Kau, yang pernah mengizinkan aku untuk mencintaimu sudah merasa sangat bersyukur, setidaknya sampai saat ini kau tak pernah mencabut izin itu. Atau ingatanku yang salah?

Aku sudah memilih untuk berdiri di tempat yang tak terlihat olehmu. Tak apa. Aku akan mencoba untuk bahagia, menjadi apa saja dalam hidupmu.

Sekalipun sebagai seorang canggung, yang kelak kau lupakan.

Tengah Malam, 12 Januari 2015