Senin, 06 Mei 2019

Belum Berakhir

Aku pikir, jalan hidupku akan berhenti tahun lalu. Di saat harapan jadi abu dan kepala begitu tunduk lesu. Aku tak punya cita-cita saat itu. Bangunan rencana yang pernah aku bangun rasanya ambruk menimpa seluruh tubuhku hingga sulit sekali bangun lagi. Tangan-tangan yang membantuku bangun dari reruntuhan itu rasanya tak cukup untuk membuatku bangkit lagi.

Sekarang, kondisinya mungkin lebih baik. Jauh lebih baik.

Ada kalanya, satu dua hari, aku merasa sesak tak karuan saat mengingat seindah apa bangunan rencana masa laluku. Bahkan, mengingat puingnya saja sudah bisa mengalirkan deras dari bola mataku yang lelah. Keadaan memang lebih baik, tapi tidak selalu baik-baik saja. Aku masih sering berusaha setengah mati untuk mengacuhkan bisikan-bisikan ngawur yang ada di dalam kepalaku. Kadang aku berhasil mengabaikan bisikan itu sembari beraktivitas. Tak jarang, bisikan itu akan melumpuhkanku.

Namun kali ini, aku tak menyerah.

Aku tahu, melawan adalah hal yang sangat sulit. Aku bisa kelelahan luar biasa sekalipun tampaknya aku tak melakukan apapun. Tapi itulah konsekuensi dari kehidupan. Kita membayar nafas dengan usaha-usaha untuk menopang si tubuh hidup ini. Tubuh ini butuh makan, olahraga, pakaian, kasih sayang, tempat tinggal, dan uang. Maka, sesulit apapun yang mesti dilalui, ini hanyalah buah-buah konsekuensi yang aku pilih. Tak semua konsekuensi manis. Aku harap, yang rasanya pahir nanti jadi obat supaya bisa membangun harap dan rencana lagi dari awal. Pelan-pelan... Sampai suatu hari aku akan berdiri sendiri dan tersenyum pada bangunan runtuh yang aku jadikan monumen bersejarah di hidupku. Aku akan berkata padanya bahwa dia sudah memaafkan, mari kita cari jalan pulang menuju kebahagiaan masing-masing.

Langkahku sekarang tak seringan yang aku tulis di atas. Lebih baik bukan berarti benar-benar baik-baik saja. Jalan hidup menyodorkanku pada pilihan sulit berupa hal yang mungkin akan jadi bulan-bulanan orang nantinya. Jadi begini, saat orang mulai mengapresiasi kebangkitanku kembali, aku harus siap menerima lontaran batu yang akan datang padaku jika mereka tahu kondisinya. Jadi, aku sendiri heran dengan hidup yang mesti aku tempuh. Bisakah kita menempuh jalan normal-normal saja tanpa kontroversi dan direstui segala makhluk di bumi?

Aku lelah dengan label-label. Namun aku dikutuk untuk hidup di sana selamanya. Sepertinya aku hanya hidup dari toples satu ke toples lain yang tutupnya sudah disegel rapat dan dinamai dengan nama tertentu. Sehingga orang yang melihatku akan langsung membaca dengan label nama apa aku terlihat di sana?

Ngomong-ngomong, ada sebuah ironi. Di sini, saat aku berjuang keras menumpuk batu bata harap dengan tujuan menjadikannya sebagai tempat aman, aku tak sengaja menghancurkan dinding harap yang lain. Aku pasti sangat berdosa sehingga apa yang aku lakukan selalu saja tak baik. Memang, kita tak bisa menyenangkan orang lain. Tapi, bukankah namanya tak tahu diri jika kita justru tak melakukan balas jasa terhadap tangan-tangan yang mengangkatku? Aku yakin, sekalipun dada mereka dipenuhi cinta untukku, aku akan selalu punya sesuatu yang tidak aku sengaja bisa menyakitinya. Aku adalah tanaman berduri yang sulit berkompromi dengan situasi sehingga aku tak akan terlihat cantik dan baik-baik saja dengan konsekuensi hidup yang aku pilih.

Seperti inilah kondisiku sekarang.

Bagaimana denganmu? Apa sudah baik-baik saja?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Kamu?