Seperti biasa, dia , lelaki yang
ku cintai, memintaku menunggunya di pintu keluar parkir gedung teater
tempatnya mengalunkan sajak cinta bersama pejuang revolusi lain. Saat ini, ada
semacam kesepakatan para penyair untuk mengumandangkan sajak-sajak cinta. Semua
orang sedang merindukan revolusi. Negara sudah pada puncak kebobokannya.
Tingkat korupsi tinggi. Kampus-kampus sudah mulai sepi tak ada mahasiswa karena
biaya pendidikan tinggi tak tercapai oleh orang-orang yang kelaparan. Di
samping itu, orang-orang kaya yang mengeruk keuntungan dari korupsi telah memindahkan
keluarganya ke luar negeri karena situasi dalam negeri sudah tidak aman lagi.
Terlalu banyak penjarahan dan kesenjangan sosial.
“Cuma cinta yang dapat
menggerakkan revolusi”, katanya pada suatu hari di pinggir pantai yang lenggang
dan penuh limbah tak terurus, “Hati rakyat perlu di lembutkan dengan cinta
Dinda”.
Aku menoleh padanya dan bergumam,
“Tapi sajak mu selalu tentang keindahan wanita, bukan tentang syair patriotik
cinta negara seperti Rendra atau Taufik Ismail puluhan tahun lalu.”
“Tidak Dinda, yang kulakukan
sudah benar, wanitalah yang akan melembutkan jiwa bangsa ini. Kita semua butuh
sosok Ibu pertiwi. Kelembutan. Pejabat kita perlu itu, rakyat kecil yang
kemarin menjarah mall butuh kelembutan hati, dan aku, butuh kamu untuk membuat
hati para rakyat kita menjadi lembut.”
“Jadi, apa yang kamu inginkan?”
“Terimalah aku dinda, apalagi
yang kita tunggu?” Ia memandangku lembut, aku menghindari tatapan matanya.
“Aku pikir kamu akan menjawab
bahwa kita butuh revolusi. Ah ya... kalau kita tidak revolusi, aku tidak akan
pernah jadi sarjana. Tidak ada yang sanggup kuliah dengan biaya setinggi itu di
jaman ini kecuali koruptor.”
“Benar Dinda, kita akan revolusi,
tapi para pejuang tidak akan bisa tanpa seorang ratu, dan kamu adalah sang Ratu
itu. Masih aku ingat bahwa kau yang membakar semangat para pejuang untuk terus menggulingkan tiran.”
“Jun,kata-katamu manis sekali,
tapi aku belum lupa bahwa 1 tahun lalu kamu mengatakan hal serupa tapi kamu
justru menjalin cinta dengan Anggun.” Aku menggeser letak dudukku, semakin
menjaga jarak, sebenarnya aku semakin tergoda untuk menerima nya.
“Sepertinya kita sudah pernah
membahas ini”.
“Oh ya... Aku tidak pernah bosan
membahas ini”.
“Sekali lagi aku bercerita
padamu, saat itu situasi kacau, harus ada yang melindungi Anggun, Saat itu di
daerah selatan mencekam, tidak ada seorangpun yang melindunginya. Dia tidak
siap berperang sepertimu Dinda, dia ketakutan dan saat itu hanya ada aku. Aku
harus selalu ada di sampingnya. Ini demi negara Dinda, demi cita-cita revolusi
kita.” Jun memungut sebatang ranting dan menuliskan ‘REVOLUSI’sebesar dia bisa.
“Apakah salah bila aku menyebar kasih sayang dinda? Di saat kekacauan terjadi
dimana-mana begini.”
“Bagaimana kita akan revolusi kalau
pemudanya masih bermain di seputar perasaan perempuan? Para perempuan akan
mulai sibuk dengan perasaan nya sendiri dan orang-orang sibuk mengamankan
dirinya sendiri. Kalau ditanya apa yang harus aku lakukan saat ini, aku justru
ingin kamu kembali pada Anggun. Aku tidak dapat membayangkan tangisnya saat
kamu memutuskan pergi ke daerah barat menemuiku lagi dan bergabung di sini
lagi.”
“Dinda...” Jun memintaku untuk
memandangnya, aku mengacuhan pandangan ke air laut yang menghitam, “Ada banyak
wanita di dunia ini yang dapat dijadikan istri, tapi hanya kamu yang akan aku
jadikan ibu bagi anak-anakku. Aku ingin anak-anakku siap di garda terdepan
revolusi. Lihatlah, betapa kita nanti akan menghasilkan generasi pemberani?
Lihatlah! Dunia memanggil kita dengan suara merdu revolusi...”
“Jun! Dinda!”, Ada suara dari
sebelah kanan memanggil kami keras, “Di area pertokoan simpang 7 ada penjarahan!
Lekaslah kesana. Polisi mulai mempersiapkan gas air mata. Kita harus kesana!!!”
Roni berteriak sambil berlari ke arah kami. Tubuh besarnya bersimbah keringat.
Pasti sulit baginya berlari. Kami segera beranjak dan menghentikan pembicaraan
saat itu. Kita berdua tidak pernah dapat menyelesaikan apa yang ingin kita
bahas karena ada hal yang lebih mendesak untuk kita bicarakan. Revolusi.
***
Sekarang, Aku menunggunya di
pintu keluar parkir gedung ini untuk mendengarnya lagi. Berharap kali ini dia
punya hal baik yang mungkin berbeda dengan yang kemarin.
“Hai...”
Jun datang, dengan kaos hitam
bertuliskan REVOLUSI berwarna merah. Ia buru-buru memakai jaket untuk menutupi
kaosnya. Saat ini aparat berpatroli dimana-mana dan pemerintah mulai alergi
kata revolusi. Di tahun 2025 ini, semua media tidak lagi bisa bicara. Media
menjadi alat pemerintah untuk membuat rakyat tidak tahu apa-apa. Rakyat kecil
diberi kemudahan kredit TV hingga orang miskin punya TV. Bahkan lebih baik
anaknya mati kelaparan daripada kehilangan TV nya. Hanya radio amatiran
bergelombang am saja yang berani menggelorakan suara rakyat yang menginginkan
perubahan. Zaman dan teknologi canggih yang pernah diramalkan sebelumnya oleh para ilmuan tidak dapat kita nikmati. Terlalu mahal.
Akhirnya para seniman menggunakan cara tradisional, yaitu dengan menghidupkan kembali panggung kesenian. Panggung seni itu digelar sebagai ajang berbagi kode dan informasi. Banyak
pentas teater ilegal berakhir pada kematian senimannya. Pentas yang Jun adakan ini belum termasuk ilegal karena tidak mengandung kata revolusi di dalamnya. Semua
telah disamarkan dengan kata cinta. Dan pemerintah tidak mampu memblokir kata
itu.
“Hai jun, aku senang kamu tidak
terlambat.”
“Aku tidak pernah terlambat
untukmu dinda...”
“Kali ini sajak mu bagus.” Kata ku berbasa-basi.
“Biasanya?”
“Biasa saja.”
“padahal semua syair cinta yang
ku tulis muaranya padamu.”
“Oh ya, kamu tidak pernah
menuliskan namaku di syair-syairmu.”
“Karena bila aku mengumandangkan
keindahanmu pada dunia, semua orang akan menyadari keindahanmu Dinda, lalu
mereka akan datang untuk menjadi sahayamu.”
“Haha”, Aku tertawa kecil,”Kenapa
harus ada orang yang sebegitu pandai merayu sepertimu.”
“Bahkan rayuan ku ini pun bermuara
kepadamu. Karena mu.”
Aku tertawa kecil, aku tahu ini
gombal, tapi aku suka mendengarnya.
“Dinda, bila aku ungkapkan bahwa engkau indah, maka
orang lain akan mencintai mu juga.”
“Apa?” Aku terkejut, bagiku itu
berlebihan. “Aku bukan perempuan yang bisa membuat sesuatu jadi begitu.”
“Ya... kau begitu Dinda, kau
harus menyadari, jangan terlalu berendah hati.”
“Aku tidak sedang berendah hati.
Aku bicara yang sebenarnya,”
“Dinda... dengar...” Jun berhenti
dibawah rindangnya pohon beringin. Langkahnya membawa kami menuju bekas taman
kota yang kini tak terurus, “Kamu begitu mudah dicintai, Tapi begitu sulit di
dapatkan.”
“Aku masih berfikir tentang Anggun,
Seharusnya kamu yang membuatnya jatuh cinta, kamu yang harus menikahinya.”
“Aku tidak bisa dinda, aku hanya
mau menikah denganmu.”
“Kalau setahun lalu kamu
mengatakannya padaku, tidak akan serumit ini. Dia perempuan, aku juga, aku tahu
bagaimana kehilngan orang yang dicintai. Saat bersama dia, kamu tetap bisa
membuat sajak cinta.”
“itu tertuju padamu Dinda, aku
merasa sangat bersalah pada Anggun karena saat bersamanya, yang muncul di alam
akalku adalah kamu, dan yang ada di pikiranku bahwa aku harus kembali padamu.”
Aku tidak dapat membantahnya.
Lelaki ini benar-benar tahu cara meyakinkan perempuan dan membekukan
argumentasi. Aku mencoba celah lainnya.
“Jun, kau tidak pernah memberikan
ku sajak saat ulang tahun. Tapi kau membacakan sajak untuknya saat dia ulang
tahun.”
“Semua sajakku tertuju padamu,
salahkah aku memberikan 1 saja sajak untuknya?”
Skak mat lagi untukku. Kami
terdiam sejenak, tangan Jun ada di saku celananya. Mungkin dia tergoda dengan
korek dan rokok di sakunya, tapi dia tahu aku tak suka dia merokok.
“Jun, aku bingung, seharusnya aku
memikirkan bagaimana revolusi kita dan menghentikan ini semua, Tapi aku justru
di sibukkan dengan persoalan ini. Betapa sayangnya waktu yang kita buang untuk
membahas masalah perasaan.”
“Revolusi tidak lahir dari
generasi yang disibukkan dengan masalah pribadi, bila keadaan kita masih seperti ini, aku pikir kita tidak
akan pernah revolusi.”
“Aku ragu Jun, aku sudah pada
tingkat tidak percaya pada laki-laki. Apalagi aku merasa kamu tidak setia
padaku.”
“Aku setia padamu Dinda...” Jun
menatapku dalam, “Aku tidak pernah meninggalkanmu. Bila aku pernah bersama Anggun,
itu bukan berarti aku tidak setia. Kamu lihat, aku disini bersamamu?”
Aku menari nafas panjang, jelas
laki-laki ini sangat pintar merayu. Pipiku mulai panas tersipu, “Setia adalah
ada disaat duka dan suka. Di saat duka ku, kamu dimana?”
“Setia adalah tidak meninggalkan,
bahkan saat ada wanita lain”
“Ah, teori darimana?”
“Teori ku”
“Kenapa kamu suka mengeluarkan
teori yang tidak disepakati masyarakat umum sih?”
“Memang kamu pernah survey bahwa
definisi setia yang benar adalah versimu? Apakah ada konsensus yang secara khusus membahas itu?”
“Tidak” Jawabku singkat
“Kalau begitu teorimu juga tidak bisa dibilang benar”.
“Sesukamu saja lah, bersamamu
selalu membuatku tampak bodoh, kamu selalu dapat mengalahkan argumenku yang
sebenarnya di alam fikirku itu tampak benar, tapi aku tidak dapat
mengungkapkannya di depanmu.”
“Kenapa begitu?”
“Yah... aku merasa kalah dalam
berargumentasi saja, bahkan di forum forum revolusi kita.”
Jun berjalan di depan sambil
tertawa kecil, Aku tahu dia sedang merayakan kemenangannya dalam beragumentasi
denganku. Aku benar-benar tidak suka jadi merasa bodoh begini.
Jun membimbingku duduk di kursi
halte yang sebagian besinya sudah berkarat. Dia membersihkan kursi dengan
telapak tangannya dan mempersilahkan aku duduk. “Sebaliknya, berbicara denganmu
membuatku banyak berfikir. Aku harus mencari-cari pembahasan yang aku pikir tidak membuat ku jadi bodoh di depanmu. Aku takut, tidak menjadi pantas...”
Ucapannya menggantung. Kami diam, perasaanku bergemuruh.
Aku takut Jun mendengar detak jantungku.
“Jun...” Panggilku.
“Ya Dinda...”
“Tulislah namaku di syairmu yang
tertuju padaku, aku ingin seseorang mengabadikan namaku, anggaplah itu sebagai
prasasti”.
“Dinda... Tidak penting orang
tahu tetang kita, cukup kamu sudah tahu bahwa itu untukmu saja. Dinda... Yang
terlihat adalah yang paling tidak memberikan informasi. Biarlah cerita tentang dirimu aku
simpan di kotak rahasia terdalam, kamu begitu berharga untuk aku pamerkan.”
“Jun, aku berfikir, bahwa mungkin
saja, ada orang lain yg merasa bahwa syair itu untuk dia juga.”
“Semua orang berhak berfikir
begitu. Di jaman sekarang sangat sulit berbahagia. Bila dengan satu syair dapat
mengembangkan 1 senyum, maka akan aku gubah sejuta syair lagi agar seluruh
negeri dapa tersenyum.”
“Penduduk negeri kita hampir 7 milyar
sekarang jun”
“Baiklah”, kali ini jun tampak
kesal di koreksi, “Akan aku buat 7 milyar lebih syair. Asal kamu selalu jadi
inspirasiku”.
“Jun, kalau begitu kita menikah
saja”.
“Bukankah kamu ragu padaku?”
“Iya, yakinkan aku dengan
pernikahan, aku hanya ingin diyakinkan bahwa kamu tidak akan meninggalkan aku
seperti setahun lalu.”
“Kamu harus mantap saat menikah
denganku, tidak akan pernah terjadi pernikahan tanpa kemantapan.”.
“Jun, kamu aneh, seolah-olah aku
adalah ratu mu, tapi kamu justru seringkali jadi maharaja dalam menentukan
kputusan-keputusan. Aku sebenarnya tidak pernah jadi ratu mu. Inilah yang
membuatku ragu, Aku tertarik dengan cinta mu, revolusi mu, perubahan yang kamu
bicarakan, tapi kamu yang memutuskan semuanya seolah hanya kamu saja yang punya
rasa, seolah Cuma kamu saja yang punya cinta. Aku pikir, tidak semua yang terjadi adalah hasil pemikiranmu sendiri. Kadang kamu harus memenuhi permintaan ku, hanya untuk sekedar membuatku senang.”
“Menurutmu aku seegois itu?”
“Iya, kamu begitu.”
“Oh Dinda... aku tidak seperti
tu, kali ini biar aku berfikir jernih dulu. Aku hanya ingin mempertimbangkan lagi tentang keraguan dan pernikahan ini.” Dia menunduk tampak kecewa, “Ada
seruan dari timur untuk bergabung dengan kelompok revolusi merah, ada tokoh
disana, aku akan kesana sambil berfikir. Aku akan menghubungimu. Jaga dirimu.”
“Jun, kamu akan pergi sekarang?”
Aku terkejut saat Jun tiba-tiba mulai berdiri.
Jun mengangguk, dia membelai
singkat kepalaku, Secepat bayangan, punggungnya menghilang di balik tikungan.
Sejak itu, jun hampir tidak
terdengar kabarnya, salah satu surat kabar telah dilumpuhkan oleh kelompok
revolusi merah timur. Semua isi koran tersebut adalah ajakan revolusi. Aku
bimbang dengan perasaan ku dan mengesampingkan nyanyian merdu revolusi. Aku memilih menyepi di pojok-pojok taman dan bermain dengan anak-anak untuk sekedar menenangkan diri. Di sana selalu ada yang meninggalkan koran dan aku tertarik meraih koran tersebut. Pandanganku langsung tertuju di
sudut kanan bawah koran itu, tertulis sajak-sajak cinta jun, kali ini berjudul “Kepada
Anggun, tempat bermuara syair ku...”. Aku terhenyak...
***
Mungkin, aku belum cukup baik
untuknya, mungkin dia hanya bercanda untuk menarik perhatianku, mungkin aku memang
tak pernah ada baginya. Seruan revolusi lebih aku butuhkan untuk diriku sendiri
dan aku mulai mengacuhkan seruan revolusi bangsaku. Dia memang tidak pernah
menulis nama ku, tapi argumen bahwa “Yang terlihat adalah yang paling tidak
memberikan informasi” masuk akal. Bila itu memang prinsipnya, maka sajak untuk Anggun ini artinya apa?
Aku membayangkan, Anggun tersipu
malu dirayunya. Aku tidak dapat berhenti berfikir bahwa mungkin saja dia
mengucapkan kata yang sama seperti kata-katanya padaku. Mungkin saja, aku telah
melakukan kesalahan besar sehingga Jun menilai aku tak layak lagi jadi Ibu dari
anak-anaknya. Aku resah. Aku merasa dibohongi saat Jun berkata bahwa segala
sesuatu tentangku adalah satu-satunya yang spesial dalam hidupnya. Aku juga merasa terhina sekaligus. Dia kini
menulis hal spesial tentang anggun, dan menuliskan namanya. Dia telah
membuatkannya prasasti untuk mengumumkan pada dunia keindahan wanita yang
dicintainya. Hal yang tidak pernah dilakukannya padaku.
Aku mungkin terlalu mudah dirayu.
Parahnya, kini aku mulai menaruh perasaan-perasaan cinta saat Jun mengatakan
banyak hal manis padaku. Belakangan aku mulai selalu berfikir bahwa aku tidak boleh melihat hari
kemarin saat dia bersama Anggun. Bila ini terulang, semata kesalahanku yang
tidak memperhitungkan kemungkinan terburuk menerima dirinya hadir dalam jiwaku.
Bodohnya aku, Dia bisa
mengatakannya ke wanita manapun yang dia mau padahal. Memang, saat Jun merayu,
seolah-olah hanya Aku lah yang akan di hujaninya dengan pujian. Tapi ternyata,
pujian itu bisa untuk siapa saja yang dia kehendaki. Dia hanya membuat alam
akalku menerima dan menganggap bahwa aku adalah gadis terpilih diantara ribuan
gadis. Ah... bodohnya aku. Seharusnya konsentrasi pada revolusi ini jangan
terpecah dengan urusan-urusan perasaan yang menimbulkan kegelisahan. Namun
dalam hatiku, aku masih bertanya-tanya, ada apa dibalik segala perbuatan Jun
yang mengatasnamakan revolusi?
Revolusi, agama, perdamaian,
cinta adalah nyanyian merdu untuk kaum tertindas. Di negara lain, banyak
tokoh yang berjuang mati-matian untuk revolusi namun justru orang lain lah yang
memanen hasilnya. Para pejuang mati terbunuh, yang masih hidup dan cukup licik
tiba-tiba jadi pahlawan seolah-olah dialah yang bekerja. Aku masih tidak paham
kepada mereka yang berlindung di balik jubah revolusi untuk meninabobokkan para
pejuang sejati dan menghidupkan namanya sendiri. Apakah ini seperti Pemuka agama kini yang dekat dengan penguasa korup
yang menjual agamanya? Akankah para aktivis kini juga menjual nama perjuangan
untuk tujuan-tujuan di luar revolusi? Lalu
apa bedanya dengan pelacur yang menjual tubuhnya untuk kepentingannya sendiri?
Ah... pikiran ini makin
menggelisahkan aku. Mungkin nanti, ceritaku tak akan pernah dicatat dalam
sejarah. Tak seorangpun akan tahu karena aku tidak mengizinkan seorangpun tahu
ceritaku dengan nya. Bila aku bercerita pada orang-orang perihal kesedihanku,
tidak adil bagi Jun yang akan dihakimi oleh orang-orang yang bahkan tidak
mengenalnya. Aku sesak memikirkannya. Tapi sudahlah, aku akan mencintainya
dalam diam walau aku tidak akan pernah membiarkan raganya dekat padaku lagi.
Ini sudah cukup, dan aku tak mau salah melangkah lagi. Revolsi harus terus
berjalan dan aku memulainya dari peristiwa ini, dalam diriku sendiri.
Surakarta Hadiningrat, 11 sept 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Kamu?