Selasa, 14 Januari 2014
Ketika Memunggungi Mimpi
Kamis, 09 Januari 2014
Hampir Gila karena We Chat
“Saya nggak jadi nikah mbak, dia sekarang sudah dilamar orang.” Ujarnya. Sambil menyodorkan sate padang pesanan saya.
Aroma sedap dan kepulan asap dari panggangan sate menguar ke sekitar jalan Tegal Parang yang dilintasi banyak kendaraan bermotor. Penjualnya sibuk mengatur lembaran daun pisang dan menaruhnya sedemikian rupa hingga tertata rapi di piring plastik ukuran kecil. Tangan kirinya beralih ke deretan tusukan sate mentah yang tertata di etalase gerobak, mengambil segenggaman lalu dipindahkan ke panggangan yang berasap. Tangan kanan dan kirinya tampak mahir berkoordinasi memindahkan tusukan sate dari panggangan ke panci yang berisi kuah, membubuhkan minyak goreng ke sate yang akan dipanggang dan merapikan letak arang yang membara. Tangan kanannya sudah tahu kapan harus memegang kipas dan kapan harus berganti memegang pisau untuk mengiris ketupat, memberikan kuah, lalu menyodorkannya ke pelanggan.
Dia berdiri di sisi belakang gerobak. Kursi plastik sederhana berjajar dibelakangnya. Ponsel pintar yang biasanya mengalunkan lagu-lagu minang itu kali ini tidak bersenandung.
Lelaki yang akrab disapa dengan Uda ini menceritakan perkenalannya dengan seorang wanita asal Tasikmalaya yang ia temui di jejaring We Chat. Pertemuan lewat sarana chatting tersebut berujung pada keakraban yang membuat mereka sepakat pacaran jarak jauh lewat jejaring chatting yang iklannya sempat gencar di televisi tersebut. Sejak awal berkenalan dan akhirnya kopi darat, gadis pujaannya sudah menanyakan tentang pernikahan.
“Saya memang orang Minang, tapi Mamak saya tidak masalah jika saya akhirnya menikah dengan suku Sunda. Lagipula, umur saya sudah 25 tahun. Sudah waktunya menikah.”
Ketika saya tanya lebih jauh tentang keluarganya, ia malah berkata, “Sebenarnya gila saya ini mbak. Ngawur malah. Masak saya hampir mengorbankan gerobak sate padang saya buat cewek yang cuma ketemu di We Chat dan baru ketemu langsung sekali. Bahkan sekarang saya malu kalau sempat patah hati karena itu.”
Antrian pembeli sate padang tidak membuatnya terganggu untuk terus bercerita, “Dia bilang, saya harus pindah ke Tasikmalaya kalau menikah sama dia. Saya sudah memikirkannya. Bahkan saya hampir menjual gerobak ini untuk diganti gerobak buah di Tasikmalaya. Barangkali prospek berdagang sop buah lebih bagus daripada sate padang. Karena saya juga jenuh. Sate padang hasilnya memang lumayan. Tapi gampang basi. Setelah saya hampir mantap untuk berpindah, mungkin cinta memang tidak bisa menunggu mbak. Dia keburu dilamar orang. Mungkin keadaan dia yang didesak keluarganya juga memang sulit. Saya tidak menyalahkan dia.”
Ia mengambil ponsel pintarnya, menunjukkan menu di layarnya kepada saya, “Cek aja nih mbak. Saya sudah uninstall we chat sekarang. Memang rasanya sepi. Tapi setiap kali saya membuka We Chat, saya jadi ingat dia. Tahun baru kemarin saya nggak jualan untuk menyembuhkan sakit hati mbak. Dia maupun saya memang tidak ada yang salah. Tapi kita yang akhirnya nggak bisa bersama ini juga cukup berat. Makanya, tahun baru kemarin saya nggak jualan mbak. Saya butuh waktu untuk diri sendiri dulu.”
Saya mendengarkannya. Malam beranjak larut. Jam masih menunjukkan pukul 8 malam, Uda masih harus berjualan sampai pukul 12 malam nanti. Kali ini, ia sepertinya memang hanya ingin berbagi, sehingga tidak membutuhkan nasehat apapun dari saya. Saya pamit setelah membayar sepiring sate padang. Sambil berharap, Uda menemukan ketegarannya lagi.