Jawabanku, "nggak punya sih, karna aku belum pernah jadi gadis desa. Aku juga nggak punya bayangan apapun soal hidup di pedesaan. Belum ada kesempatan untuk hidup lama di desa. Aku mau coba sekali-kali. Akan lebih tenang sepertinya. Aku dari kecil sudah ada di daerah urban sih. Jadi agak bingung kalau harus hidup di desa."
Gara-gara itu, aku jadi membayangkan jika suatu hari nanti aku harus hidup di desa dan bercocok tanam. Menanam umbi-umbian dan palawija sambil menari-nari di tengah sawah demi menunggu hujan. Aku buru-buru menghalau bayangan soal menari itu karena tidak mau hidupku jadi sedrama Bolliwood sejak dalam pikiran.
Aku jadi berpikir, payah juga aku ini ya. Hidup di negara agraris tapi tak bisa bercocok tanam. Hidup di negara maritim tapi tak bisa berenang dan berlayar. Setidaknya, pada suatu hari, aku harus menguasai salah satunya. Demi jadi generasi negara agraris dan maritim yang bermartabat. Tak hanya bisa makannya saja.
Hari ini sepertinya Dewi Sri (tanpa Mulyani) sedang berpihak padaku. Dia mengaktifkan signal agraria dalam kepalaku sehingga akhirnya aku berada sangat dekat dengan sawah dan bisa mempraktekkannya sedikit (sangat-sangat-sangat sedikit) sambil menunggu sesuatu yang penting seputar kegiatan utamaku di sini. Lokasi sawahnya itu di Pamekasan, sedangkan aku menginap di daerah Bangkalan. Sangat jauh dan daerahnya benar-benar asing. Tumbuhan yang aku temui adalah tanaman istimewa, kekayaan khas Indonesia yang belum pernah aku lihat secara langsung. Tembakau!
Awalnya aku ingin melihat-lihat sawah saja. Mencari tahu lebih banyak soal pertanian di Pamekasan, cuaca, sumber air, harga tembakau, sistem sewa lahan, siklus tanam, dan lain-lain dari ibu petani tembakau. Seorang kawan asli Madura menerjemahkan percakapan kami ke dalam bahasa Indonesia karena Ibu itu hanya bicara bahasa Madura. Dia seperti perempuan pada umumnya yang multitasking. Bisa mengobrol dengan santai tanpa terganggu kinerjanya.
Aku jadi penasaran bagaimana rasanya mencabuti tanaman tembakau kering itu supaya nantinya bisa ditanami padi. Akhirnya, aku diijinkan oleh ibu petani tembakau untuk membantunya. Awalnya memang susah sekali. Rasanya akar tembakau begitu mencengkeram tanah dengan dalam dan kuat. Jika jarak antara tangan dengan pangkal kayu dekat akar terlalu jauh, kayu tembakau akan patah dan lebih susah dicabut. Tapi lama-lama bisa juga.
Mungkin karena aku tampak sebagai gadis urban main ke desa, ibu itu bilang kalau dia khawatir pekerjaan ini akan membuat tanganku kasar dan kulitku jadi hitam. Ibu petani itu memakai sarung tangan di sebelah kiri untuk melindungi tangannya, sedangkan aku tak pakai sarung tangan dan baju yang aku pakai pun terlalu bersih untuk dipakai ke sawah. Maklum, aku memang tidak ada rencana soal main ke sawah sebelumnya. Aku memang seorang "turis". Aku bilang saja ke ibu petani kalau dia tak perlu khawatir soal tangan maupun kulitku. Aku memang tak pernah merawatnya secara khusus. Dalam hati aku menambahkan, "Bu, aku ini tak ingin punya tangan yang halus, inginnya biar hati saja yang jadi halus. Tak apa juga jika kulitku jadi hitam, asal bukan kisah hidupku yang jadi hitam berjelaga dan setragis cacing kepanasan. *eciyeeee…* :p
Soal kondisi sawahnya sendiri, ada sumur di tengah sawah yang dipakai untuk pengairan. Kata warga sekitar, hampir tidak pernah ada hujan di Pamekasan. Sehingga sumur itu satu-satunya cara untuk mengairi sawah. Ada pipa di mana-mana dengan penyedot air untuk mengairi seluruh lahan. Cukup banyak sumur dan airnya pun tak dalam.
Setelah pohon tembakau kering dicabuti, lahan itu akan diganti dengan tanaman padi. Kata ibu petani, jika gagal panen atau sesuatu terjadi pada lahan sehingga tidak bisa mendapatkan uang, dia biasanya akan menjual sapinya untuk bertahan hidup. Harga tembakau yang dia tanam dengan kondisi belum diirisi sekitar Rp 40.000/kg. Aku kurang tahu apakah ini termasuk harga yang cukup bagus atau tidak. Aku juga lupa tidak bertanya soal detail jenis tembakaunya.
Aku hanya punya waktu sekitar satu jam dan berhasil mencabuti dua baris tanaman tembakau kering. Rasanya senang sekali walau panasnya matahari membuatku berkeringat banyak (padahal aku jarang berkeringat lho!) dan lumayan ngos-ngosan. Apalagi aku agak susah melangkah karena belum terbiasa memakai rok saat melakukan sesuatu yang banyak geraknya dan dengan sepatu koboi. Ibu petani bilang terimakasih telah dibantu walau perasaanku mengatakan bahwa justru aku lebih banyak merepotkan dia dengan pertanyaan-pertanyaan daripada membantu.
Perempuan di Madura umumnya memang memakai rok. Rok yang aku pakai ini terpaksa dipinjam dari seorang kawan karena aku tidak tahu sama sekali soal budaya rok atau sarung di Madura. Aku pikir karena aku akan banyak ke sana ke mari, lebih praktis jika memakai celana jeans, sepatu koboi dan ransel gunung. Aku begitu menyesali kesalahan terbesarku yang tak mencari tahu soal budaya berpakaian daerah setempat. Sehingga harus merepotkan orang lain hanya karena pakaian. Yah, apa boleh buat, sudah terlanjur. Kali ini memang harus mengikuti budaya setempat. Tak ada salahnya jika aku jadi gadis penurut dulu untuk sementara.
posted from Bloggeroid