Waktu masih remaja aku punya banyak kriteria-kriteria ideal untuk seorang pasangan. Untunglah, di setiap jenjang usia, aku selalu menaruh ruang-ruang ketidak idealan dan tak bertumpu pada fisik. Bisa dibilang, aku tahu bahwa penampakan fisik tertentu memang menarik, tapi bukan berarti itu harus dimiliki oleh pasanganku.
Waktu umurku di bawah 25 tahun, aku mengidamkan sosok pintar dan religius sebagai pasangan. Sikapku sangat terbuka terhadap berbagai keinginan yang mengarah pada serius. Buatku, saat seseorang pintar, maka ia akan membuat wawasanku makin kaya. Jika seseorang religius, maka ia mustahil memperlakukan aku dengan buruk. Kaya, ganteng, dan dari mana mereka berasal bukan jadi pertimbangan untukku. Karena itulah, aku punya pacar super kere yang penampilannya kusut sekali tapi super pintar.
Makin dewasa, aku menyadari bahwa semakin pintar seseorang, maka makin mudah untuknya memanipulasi seseorang. Aku beberapa kali mengalaminya. Pengalaman bertemu dengan orang religius juga membuatku merasa bahwa konservatisme seseorang bisa membuatnya melakukan pembenaran-pembenaran dengan ayat dan hadist sekalipun apa yang ia lakukan itu jahat. Baik dia Syiah maupun Sunni, ia bisa saja jadi Khawarij yang pakai kesalehannya untuk kepentingannya sendiri. Orang beragama juga cenderung patriarkis.
Pengalaman dengan seorang patriarkis membentukku jadi seorang feminis. Aku mengganti kriteria 'religius' dengan 'tidak patriarkis'. Aku juga mengganti kriteria 'pintar' dengan punya skill tertentu yang mendalam sehingga dia tampak keren. Aku keliru dalam melakukan proses filter soal ini. Sehingga, aku pernah juga terjebak dengan lelaki yang secara konsep tidak patriarkis, tapi ternyata dia abusive. Aku kadang berpikir, bagaimana mungkin orang yang paham konsep mendalam soal itu mengkhianati dirinya sendiri dengan melakukan timdak abusive?
Aku mengalami proses healing yang panjang. Rasa skeptis selalu timbul setiap kali menjalin hubungan. Aku mengendorkan kriteriaku lagi dan bilang pada diri sendiri bahwa sikap tidak patriarki bukan berarti dia paham definisinya. Melainkan dia sudah melakukan hal itu sebagai keseharian sekalipun ia tak memahami teorinya. Bisa jadi ia bahkan orang yang tidak paham apa itu patriarki dan feminisme. Ia bisa saja cerdas, cerdas emosional, musik, dan lainnya. Sehingga dia tampak menarik bagiku.
Namun, sekarang aku mencoba untuk melakukan redefinisi tentang makna kriteria. Kenapa situasi yang berjalan jadi sangat sulit dilalui? Mengapa identitas dan aktivitas keseharianku sulit diterima orang lain? Kenapa aku harus memotong-motong diriku sendiri agar dicintai dan dipertahankan? Kenapa kondisi apa adanya tak pernah memuaskan seseorang sehingga aku mesti kehilangan sebagian diriku hanya agar tak sendirian.
Aku memilih hidup, tapi nasib hidup selalu menyeretku ke medan peperangan yang tak bisa aku menangkan.