Aku mau menunggu, asal orangnya kamu.
Pukul 9.48 malam. Stasiun sudah agak sepi. Awalnya aku pikir barangkali para pekerja memang hanya berjejalan pada pukul 5 sampai 8 malam.
Aku keliru. Ternyata orang-orang masih berjejalan di dalam kereta. Kamu hanya satu dari ribuan pengguna kereta lainnya.
Tadinya aku tak berencana di sini lama-lama. Lagipula, apa sih enaknya membawa beban ransel lima kilogram sambil berdiri sendirian di peron?
Apalagi, ada tiga macam tulisan yang antri untuk diselesaikan dengan total 5 judul. Satu soal pekerjaan, satu soal janji, dan satunya lagi soal masa depan. Dan di menit ini aku malah menulis blog.
Belum lagi soal pakaian kotor yang berteriak minta dicuci sejak minggu lalu.
Bukan, aku belum mencuci bukan karena malas. Aku harus mengunci pintu kamar rapat-rapat dan mematikan semua lampu untuk bekerja di tempat lain selama 2 hari.
Rasanya awal minggu memang baru kemarin. Awal minggu yang membuat kita berdua perlu mengeluarkan pakaian kotor dari ransel sisa bepergian akhir pekan lalu. Kamu menitipkan beberapa helai bajumu untuk kucuci hanya karena aku senang melakukannya, kamu sendiri tak pernah meminta hal tersebut.
Aku mulai merasa bahwa hari terlampau cepat berderap, melibas hari libur berisi kerja tanpa pertemuan kita. Hari yang membuat jari kita lebih sibuk menyentuh deret huruf di laptop daripada menggamitkan jemari kita satu sama lain. Apalagi sejak kamu memilih untuk mengurangi rasa lelah di perjalanan yang terlampau jauh dengan konsekuensi bahwa kita tak akan sesering biasanya untuk bertemu.
"Saya sudah selesai menulis sih..." ujarmu mengabarkan pada pukul 4 sore tadi di layar gawaiku.`
Tentu saja itu kabar baik. Kamu memanfaatkan waktu dengan apik di tengah kesibukanmu memeriksa gigi pasien dan seabrek kegiatan sosialmu. Kamu memang tidak akan meneleponku lewat panggilan video sesering dulu hanya dengan alasan, "rindu melihat wajahmu."
Tapi segalanya akan tampak cukup dan baik-baik saja bagiku karena toh kita harus memberikan waktu kepada diri kita sendiri agar lebih berdedikasi terhadap apa yang disebut sebagai kewajiban orang dewasa seputar karir, dengan lingkaran sosial yang berbeda satu sama lainnya.
Sampai sepuluh detik lalu, aku pikir ini adalah hari ketiga dalam minggu ini.
Rasanya hari-hari terasa sangat panjang untuk menunggu akhir pekan. Pada akhirnya untuk kesekian kalinya, aku keliru menghitung hari sekalipun ada kalender di layar gawaiku. Padahal, ada akhir pekan yang aku tunggu kedatangannya.
Seperti yang kau janjikan lewat pesan empat jam lalu, akhir pekan ini kita akan berjumpa. Aku pikir itu artinya tiga hari lagi. Ternyata bukan tiga hari. Melainkan hanya dua hari.
Lagi-lagi, 46 detik telepon darimu pada 40 menit yang lalu membuat hitunganku buyar.
"Ya sudah. Tunggu saya disitu," katamu sambil mengakhiri pembicaraan. Aku terlambat mengiyakan saat kamu sudah mengakhiri sambungan telepon.
Toh pada akhirnya, lewat keyakinan dan kesepakatan tak langsung, aku dan kamu sama-sama tahu bahwa kita akan saling menunggu.
Ada sensasi aneh yang terjadi di pikiranku. Seolah drama dalam kepala tentang kekasih yang hendak berjumpa tepat di tempat kali pertama pertemuan kita terputar dengan rekaman slow motion. Tempat ini memang jadi saksi di mana mataku pertama kali menemukan sosokmu.
Aku tak pernah mengatakan bahwa aku benci menunggu. Aku hanya tak suka jika seseorang tidak melakukan apa yang dia ucapkan. Menunggu selalu membuatku berpikir bahwa akan ada satu dua pekerjaan yang bisa aku lakukan. Hanya saja, kali ini aku menulis beberapa cuitan di lini kala Twitter, menulis blog, sembari bersandar di penyangga tubuh yang tak layak disebut kursi demi menunggumu di peron.
Sekarang pukul 10.12 malam. Peron semakin sepi. Tubuh kurus jangkungmu dengan kulit gelap khas Timur itu tak juga muncul.
Tenang saja. Kataku pada diri sendiri. Dia pasti segera datang.
Karena aku mau menunggu, asal orangnya kamu...
Waktu sudah menunjukkan pukul 10. 34 malam.
Akhirnya, aku melihat punggungmu yang berusaha keluar dari salah satu gerbong kereta. Tepat di seberangku. Dengan jaket hoody, ransel yang sudah kepalang lusuh, dan beberapa buku di tangan. Hangat senyummu perlahan menenangkan hatiku yang seringkali tiba-tiba membeku.
Mestinya juga kamu tidak perlu melontarkan pertanyaan, "kenapa wajahmu tanpa ekspresi seperti itu?" tiap kali hatiku mulai menggigil sepi dimakan ketakutan.
Kita berpandangan dari jauh. Lalu tersenyum. Astaga, melihatmu dari jarak 10 depa ini membuatku benar-benar semakin merindukanmu!
Saat jarak kita tinggal satu kelingking, aku ingin mengatakan padamu rasa terima kasihku karena telah benar-benar datang. Terima kasih telah menyempatkan bertemu walau hanya 10 menit bersama. Terima kasih atas senyum yang kamu tampakkan saat pertama kali pandangan mata kita bertemu.
Alih-alih mengatakan itu, aku menggunakan kesempatan pertemuan singkat kita untuk merajuk tentang tema yang sama. Persoalan yang berkali-kali telah kita bahas. Hal yang akan membuatmu memberikan jawaban yang sama karena pertanyaanku pun belum berubah.
Seperti biasa, kamu menyambut rajukanku dengan senyuman geli. Ada kerut halus nan indah yang bermuara dari bibir yang sampai ke matamu dan selalu membuatku malu. Saking malunya, aku akan membalikkan badan maupun menghindari pandanganku dari matamu sementara tanganmu masih erat memeluk jemariku.
Yang jelas, dengan berakhirnya waktu menunggu, kini aku jadi tahu waktu yang tepat untuk mengakhiri tulisan ini.