Suatu hari, dalam salah satu sesi konseling psikologi, terapis ku bilang bahwa aku adalah seorang yang perfeksionis. Ekspektasiku terhadap diri sendiri kelewat tinggi sehingga aku tak berani melangkah ke tempat yang belum pasti. Aku tak ingin menjalin hubungan yang tak pasti. Aku tak ingin ikut undian dan enggan dengan segala macam hal yang punya risiko gagal.
Aku memang tak selalu berada di zona nyaman. Namun, aku selalu menolak jika harus berkompetisi dalam segala macam persoalan. Aku tak tertekan jika ternyata bukan jadi yang pertama dan terbaik dalam satu bidang karena aku menyadari betul kemampuanku yang serba pas-pasan dengan "survival mode" maksimal yang biasa saja. Tapi aku jelas akan sangat kecewa jika kalah dalam sebuah kompetisi tertentu atau berada dalam situasi gagal.
Itu yang membuatku punya prinsip, "lebih baik tak mencoba/tak mengerjakan jika hasilnya tak akan memuaskan.
Aku adalah orang yang nyaris tak pernah melamar kerja. Semua pekerjaan yang pernah datang padaku adalah hasil dari berbagai koneksi yang aku punya. Tawaran selalu datang tanpa tes yang rumit, tanpa surat lamaran kerja, dan jaminan diterima. Setiap orang yang merekrutku menganggap aku punya potensi lebih sehingga mereka mempercayakan pekerjaan ini dan itu padaku. Aku menerimanya karena aku tak harus terlalu keras berusaha. Bukan berarti aku tak mau bekerja keras. Namun rutinitas pekerjaan sering membuatku lelah jiwa dan raga.
Aku terlalu lelah hingga ada hari-hari di mana aku tak bisa bangun dari tempat tidur tanpa ada alasan yang jelas. Bukan malas, tapi seluruh energiku menguap entah kemana begitu aku membukan mata.
Beberapa orang menyemangatiku dengan bilang bahwa karyaku bagus. Dalam beberapa kesempatan, aku memang melaksanakan tugas dengan baik. Penilaian orang lain membawa dampak positif bagiku. Ada bara api yang menyala di dadaku yang kering. Aku bisa sangat semangat setelahnya. Tapi tak mampu mempertahankan nyala itu. Bisa saja, setelah rentetan peristiwa menyenangkan, kondisiku turun lagi dan membuatku mimpi buruk setelahnya. Saat terbangun, aku tak bisa menghentikan air mata mengalir.
Aku harus mengakui bahwa aku kepayahan menghadapi dementor-dementor yang terus menghantuiku. Harus ada tangan-tangan yang membantuku bangun dari tempat tidur. Harus ada obat yang serupa patronous agar dementor-dementor itu terusir. Hingga kini, dunia ideal di mana aku harus rajin berobat dan dunia kenyataan di mana aku terlalu lelah untuk melakukan apapun terus menerus hadir. Aku lelah mendamaikan mereka. Jadi, ekspektasi-ekspektasi pribadiku makin lama makin menggerus habis kenyataan yang mesti dihadapi.
Bayangkan jika kamu tahu bagaimana cara mengerjakan sesuatu dengan baik tapi tubuhmu tak dapat bergerak?
Mentalku memang tak sekuat kisah-kisah inspiratif yang viral. Aku sudah terlalu lelah. Bukan soal punya masalah atau tidak, penyakit ini adalah masalah terbesarku yang mengundang berbagai masalah lain. Bertumpuk. Makin tinggi... Makin tinggi... Sedangkan kemampuanku dalam menyelesaikan satu persatu hal yang perlu diselesaikan makin hari makin berkurang. Segalanya serba tak karuan.
Aku gagal mengenal diriku sendiri. Segala macam deskripsi yang dulunya milikku kini terkubur dalam kepayahan-kepayahan yang makin mencekikku. Masa muda penuh kerja keras, perlahan mengabur dalam sepotong kenangan. Potensi-potensiku yang dulunya sempat kugenggam lepas satu persatu.
Setiap hari, mataku memandang bayangan di cermin dan bertanya-tanya siapa perempuan berwajah sedih yang di dalam kepalanya penuh rekayasa tentang kematian ini? Harapannya begitu pendek, keluhannya begitu panjang. Kemana gadis muda yang dulu begitu ceria dan semangat? Mana penulis ambisius yang karyanya kini jadi debu?
Dalam dunia yang ideal, seseorang harus mampu menyembuhkan lukanya sendiri, berdiri di kaki sendiri, dan memegang prinsip-prinsip tertentu untuk bertahan hidup. Namun, jika keinginan untuk bertahan hidup itu kandas, luka yang timbul makin membusuk, kaki yang menobang tubuh sudah terlalu pincang, dan beberapa prinsip tak mampu dijalankan, kemanakah larinya jiwa dan raga yang malang ini nantinya?
Jika keputusasaan ini kelak tempatnya ada di neraka, bukankah keputusasaan itu sudah terasa seperti neraka?
PS:
Tulisan ini terbit tanpa dibaca ulang penulisnya semata-mata agar penulis tak mengurungkan niatnya untuk tak menulis apa-apa di blog menyedihkannya ini.
Aku memang tak selalu berada di zona nyaman. Namun, aku selalu menolak jika harus berkompetisi dalam segala macam persoalan. Aku tak tertekan jika ternyata bukan jadi yang pertama dan terbaik dalam satu bidang karena aku menyadari betul kemampuanku yang serba pas-pasan dengan "survival mode" maksimal yang biasa saja. Tapi aku jelas akan sangat kecewa jika kalah dalam sebuah kompetisi tertentu atau berada dalam situasi gagal.
Itu yang membuatku punya prinsip, "lebih baik tak mencoba/tak mengerjakan jika hasilnya tak akan memuaskan.
Aku adalah orang yang nyaris tak pernah melamar kerja. Semua pekerjaan yang pernah datang padaku adalah hasil dari berbagai koneksi yang aku punya. Tawaran selalu datang tanpa tes yang rumit, tanpa surat lamaran kerja, dan jaminan diterima. Setiap orang yang merekrutku menganggap aku punya potensi lebih sehingga mereka mempercayakan pekerjaan ini dan itu padaku. Aku menerimanya karena aku tak harus terlalu keras berusaha. Bukan berarti aku tak mau bekerja keras. Namun rutinitas pekerjaan sering membuatku lelah jiwa dan raga.
Aku terlalu lelah hingga ada hari-hari di mana aku tak bisa bangun dari tempat tidur tanpa ada alasan yang jelas. Bukan malas, tapi seluruh energiku menguap entah kemana begitu aku membukan mata.
Beberapa orang menyemangatiku dengan bilang bahwa karyaku bagus. Dalam beberapa kesempatan, aku memang melaksanakan tugas dengan baik. Penilaian orang lain membawa dampak positif bagiku. Ada bara api yang menyala di dadaku yang kering. Aku bisa sangat semangat setelahnya. Tapi tak mampu mempertahankan nyala itu. Bisa saja, setelah rentetan peristiwa menyenangkan, kondisiku turun lagi dan membuatku mimpi buruk setelahnya. Saat terbangun, aku tak bisa menghentikan air mata mengalir.
Aku harus mengakui bahwa aku kepayahan menghadapi dementor-dementor yang terus menghantuiku. Harus ada tangan-tangan yang membantuku bangun dari tempat tidur. Harus ada obat yang serupa patronous agar dementor-dementor itu terusir. Hingga kini, dunia ideal di mana aku harus rajin berobat dan dunia kenyataan di mana aku terlalu lelah untuk melakukan apapun terus menerus hadir. Aku lelah mendamaikan mereka. Jadi, ekspektasi-ekspektasi pribadiku makin lama makin menggerus habis kenyataan yang mesti dihadapi.
Bayangkan jika kamu tahu bagaimana cara mengerjakan sesuatu dengan baik tapi tubuhmu tak dapat bergerak?
Mentalku memang tak sekuat kisah-kisah inspiratif yang viral. Aku sudah terlalu lelah. Bukan soal punya masalah atau tidak, penyakit ini adalah masalah terbesarku yang mengundang berbagai masalah lain. Bertumpuk. Makin tinggi... Makin tinggi... Sedangkan kemampuanku dalam menyelesaikan satu persatu hal yang perlu diselesaikan makin hari makin berkurang. Segalanya serba tak karuan.
Aku gagal mengenal diriku sendiri. Segala macam deskripsi yang dulunya milikku kini terkubur dalam kepayahan-kepayahan yang makin mencekikku. Masa muda penuh kerja keras, perlahan mengabur dalam sepotong kenangan. Potensi-potensiku yang dulunya sempat kugenggam lepas satu persatu.
Setiap hari, mataku memandang bayangan di cermin dan bertanya-tanya siapa perempuan berwajah sedih yang di dalam kepalanya penuh rekayasa tentang kematian ini? Harapannya begitu pendek, keluhannya begitu panjang. Kemana gadis muda yang dulu begitu ceria dan semangat? Mana penulis ambisius yang karyanya kini jadi debu?
Dalam dunia yang ideal, seseorang harus mampu menyembuhkan lukanya sendiri, berdiri di kaki sendiri, dan memegang prinsip-prinsip tertentu untuk bertahan hidup. Namun, jika keinginan untuk bertahan hidup itu kandas, luka yang timbul makin membusuk, kaki yang menobang tubuh sudah terlalu pincang, dan beberapa prinsip tak mampu dijalankan, kemanakah larinya jiwa dan raga yang malang ini nantinya?
Jika keputusasaan ini kelak tempatnya ada di neraka, bukankah keputusasaan itu sudah terasa seperti neraka?
PS:
Tulisan ini terbit tanpa dibaca ulang penulisnya semata-mata agar penulis tak mengurungkan niatnya untuk tak menulis apa-apa di blog menyedihkannya ini.