Pipiku menempel di meja hangat berbahan
kayu jati yang tebal tanpa furnish. Aku mengintip lewat sudut mataku
yang setengah mengantuk. Meja makan ini mirip kepunyaan nenekku.
Pasti aku sudah tertidur di sini dalam beberapa waktu hingga membuat
leherku pegal. Aku mengangkat pipi sedikit untuk meraba tekstur
kulitku. Gara-gara rambut panjang yang mengurai kemana-mana ini,
pipiku jadi serupa peta yang jalurnya bermuara di hidung, mulut, atau
dahiku.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Cahaya
lampu temaram yang memberikan kesan hangat dan mengantuk memasuki
mataku. Aku berusaha beradaptasi dengan pencahayaan yang tak biasa
itu. Saat aku memandang berkeliling, aku baru sadar bahwa dinding
ruangan itu berwarna hitam di sisi kanan dan berwarna putih di
seberangnya. Entah itu memang cat, ataukah kain warna hitam yang
biasa dipakai di berbagai pementasan teater.
Aku menegakkan kepalaku tinggi-tinggi,
berusaha duduk tegak sepenuhnya. Agak pusing. Rasanya tak pernah
sepusing ini sebelumnya. Aku meraba pipiku lagi untuk memeriksa
apakah peta yang timbul dari rambut-rambutku sudah hilang atau belum.
Sampai aku menyadari sesuatu.
Rambut?
Apakah aku sampai ke tempat ini tanpa
jilbab?
Sesorang lelaki terhuyung menyenggol
meja, menarik kursi dengan kakinya dan duduk di hadapanku. Meja kayu
jati yang lebar itu membuat kita sangat berjarak. Aku merasa belum
pernah bertemu dengannya. Tapi aneh, sebuah nama muncul di kepalaku
tiba-tiba. Dia Pontoh. Ken Pontoh, Bahkan aku, entah darimana asalnya
pengetahuan ini- tahu bahwa dia adalah seorang penulis. Dia menyulut
rokok dan tersenyum padaku.
“Masih pusing? Apa aku harus
mengantarmu ke rumah?” Tanyanya.
“Apa kamu selalu melihat aku seperti
ini?” Aku bertanya balik sambil menggeretakkan leherku yang pegal.
“Maksudmu?”
“Aku, tanpa jilbab.”
“Memangnya kapan kamu pernah pakai
jilbab?”
Aku mengernyitkan kening. Begitukah?
Aku menunduk memandang pakaianku
sendiri. Kaos dan celana pendek. Jika merentangkan tangan, ketiakku akan terlihat jelas. Aku selalu mencemaskan setiap bulu yang
tumbuh dari ketiakku. Aku tak menyukai bulu itu dan tak suka jika ada
orang yang melihatnya. Tak ingat kapan terakhir kali aku mencukur
bulu-bulu itu. Tapi, mestinya bukan itu yang perlu aku cemaskan.
“Ini seperti meja nenekku.” Kataku
agak melamun.
“Kamu bilang, ini memang tempat minum
milik keluarga besarmu. Wajar jika meja ini milik nenekmu.”
“Aku bilang begitu? Kapan?”
“Apa kau sebegitu mabuknya sampai tak
ingat ucapanmu sendiri?”
Aku? Mabuk? Seingatku bahkan aku tak
pernah minum alkohol. Aku tak masalah dengan Wine. Beberapa kali, aku
sempat minum Wine dan tak pernah sekalipun mabuk.
Seorang lagi menarik kursi di samping
Ken Pontoh. Aku tahu namanya. Dia Andri, wartawan lepas yang selalu
sinis dengan media mainstream. Dia banyak menulis soal Papua hingga
dia punya banyak musuh dari kalangan tentara dan so called aktivis
NKRI.
Ken menyalakan
koreknya. Andri menunduk, menyulut rokok dari korek Ken, dan
menghembuskan asapnya. Tampak sangat menikmati.
Tunggu dulu. Andri
merokok? Bukankah dia punya asma dan sangat benci perokok? Setahuku
dia bukan perokok.
“Sejak kapan kamu
merokok, ndri?”
“Aku memang
merokok dari dulu.” Jawabnya sambil bersandar di bahu Ken.
Andri menempelkan
wajahnya di leher Ken, tampak sangat akrab. Aku tidak tahu jika
mereka berdua adalah sepasang kekasih. Aku bahkan tak tahu Ken dan
Andri adalah Gay. Tapi, tampak intim seperti itu bukan berarti mereka
pacaran. Sesekali aku juga bersandar di bahu sahabat lelakiku tanpa
pernah sekalipun berkencan dengannya.
Ken mengecup puncak
kepala Andri dan mengelus rambut pendeknya. Aku memalingkan wajah
demi memberi mereka privasi.
Pandanganku tertuju
pada piring dengan tulang yang bertumpuk-tumpuk. Harum Asem-Asem
Kambing khas masakan Nenek tercium. Aku menengok ke belakang. Ada
tungku dengan panci besar milik nenekku di sana.
Tampak seorang
perempuan yang tampak rapuh, dengan tubuh kurus, rambut abu-abu yang
terikat rapi dan punggung tegak tampak sedang mengaduk masakan.
Itu Nenek.
Seingatku dia sudah
meninggal bertahun-tahun lalu. Atau, adakah seseorang yang perawakan
dan gerak geriknya begitu identik?
Aku mengedarkan
pandanganku sekali lagi ke seluruh ruangan. Ada tiang kayu bambu khas
ruang makan rumah Nenek. Apakah aku benar-benar ada di rumah Nenek?
Seingatku rumah Nenek sudah berubah setelah diwariskan pada anak-anak
cucunya.
Rumah itu tak
seluas dulu. Saat aku masih kecil, aku bisa bersepeda dari ruang
depan sampai ke ruang makan saking luasnya. Setelah Kakek meninggal
dan Nenek mulai sakit-sakitan, pembagian bangunan dimulai. Setiap
anak mendapatkan jatah ruang dan tanahnya. Mulailah ada tembok
pemisah ruang satu dengan yang lainnya. Kamar Nenek beserta ruang
makan keluarga yang luas memanjang telah berubah jadi satu rumah
tersendiri milik sepupu. Tiang bambu yang kini aku lihat seingatku
diganti dengan tiang beton. Rumah itu akan ditingkat agar sepupu bisa
membuat kamar-kamar baru untuk anaknya.
Yang
aku lihat sekarang adalah rumah nenek yang masih alami. Rumah yang
mengalami masa pendudukan Belanda dan Jepang. Rumah yang konon sempat
jadi tempat pengungsian warga di tahun 1945an, baik beragama Islam
maupun Kristen. Dapurnya belum dikeramik. Masih berupa tanah dengan
kompor yang terbuat dari tungku beserta kayu bakarnya.
Nenek
tak menoleh padaku. Ia terus berkutat dengan alat-alat masaknya. Aku
merindukan mata biru yang mengabu jelang kematiannya. Aku ingin
menghirup dalam-dalam wangi minyak rambut cap urang-aring yang
membuat rambut panjangnya begitu lembut. Aku ingin menyentuh setiap
senti kulit keriputnya yang putih bercahaya. Kata para paman dan
sepupu, aku sangat mirip Nenek di waktu muda. Bedanya, hidung nenek
lebih mancung dan bola mataku warna coklat terang. Selebihnya,
semuanya mirip.
Aku
tak sabar ingin bertanya pada Ken maupun Andri, kenapa kita bisa ada
di sini. Di lain sisi, aku juga tak mau mengganggu kemesraan mereka.
Mereka tampak saling merindukan.
Ken melingkarkan
tangannya pada bahu Andri. Mereka berpelukan. Aku menunggu sampai
mereka bisa melepaskan diri sebelum menyela.
Andri batuk-batuk.
Dengan sigap Ken
menarik tisu yang terletak di meja dan menyerahkannya pada Andri. Ia
menutup hidungnya dengan tisu sambil batuk-batuk. Aku
mengkhawatirkan asmanya dan masih penasaran sejak kapan dia merokok.
Saat Andri menjauhkan tisu dari
hidungnya, aku kaget saat menyadari, dia Nina. Perempuan. Wartawan
lingkungan yang sering maliput soal kasus tanah adat. Dia memang
merokok sejak dulu. Hanya saja, aku tak tahu sebelumnya jika Ken dan
Nina dekat. Bahkan aku tak tahu jika mereka saling kenal.
Bagaimana mungkin citra Andri di mataku
tiba-tiba saja berubah jadi Nina?
Apakah aku begitu mabuk? Atau segalanya
memang berubah? Apakah perubahan yang berjalan terlalu cepat ataukah
otakku yang berfungsi terlalu lambat hingga aku ketinggalan banyak
informasi?
“Aku punya pertanyaan.” kataku
setelah Ken dan Nina menyingkirkan tisu-tisu itu.
“Ya?” Kata mereka.
Aku berdiri tegak. Sempat menoleh ke
belakang. Nenekku sudah tidak tampak. Mungkin ke tempat cuci piring
atau yang lainnya.
“Apakah kalian biasa melihatku
berpakaian seperti ini? Dengan kaos, dan hanya bercelana pendek?”
“Kamu memang selalu berpakaian
seperti itu jika sedang di Jakarta. Tentu saja kamu akan bercelana
panjang jika perlu masuk hutan atau rumah ibadah. Lagipula, ngapain
sih kamu tanya soal diri sendiri?” Jawab Nina.
“Aku bingung.”
“Kamu mabuk berat.” Kata Ken.
“Aku bahkan merasa tak pernah minum
alkohol.”
“Jangan becanda.”
“Kita ada di tahun berapa?”
“Katamu, ini tahun-tahun di mana
kemanusiaan telah mati. Manusia modern lupa berpijak pada bumi. Kamu
mengucapkan itu berkali-kali saat mabuk tadi.” Kata Ken lagi. Nina
melongo, mengangguk-angguk.
“Dengar. Mungkin ini aneh. Tapi, demi
Tuhan, aku melihat Nenekku di sana, dia hidup lagi. Bahkan aku berada
di rumahnya. Tapi aku jadi sangat berbeda dari aku yang aku kenal,
berbeda dengan aku yang selama ini hadir di dunia. Aku jadi asing
dengan diriku sendiri. Bahkan aku sebenarnya tak pernah bertemu
dengan Ken, dan langsung tahu bahwa Ken adalah Ken. Aku hanya
mengenalmu dari tulisan-tulisanmu di media. Tanpa aku melihat fotomu
sebelumnya.”
Mereka tampak khawatir.
Nina menggeleng-gelengkan kepalanya,
“Kamu hanya kebanyakan minum.”
“Ini aneh.” Kataku lebih ke diriku
sendiri daripada ke mereka.
Aku berjalan cepat-cepat melintasi
ruangan, menghindari tatapan bertanya mereka. Menuju pintu hitam yang
tadinya aku kira kain hitam yang biasa dipakai dekorasi teater.
Ruangan berubah.
Aku berada di sebuah aula dengan
dinding kaca dan lampu yang terang benderang. Lantainya marmer putih.
Tampak licin. Sangat bersih. Ada troli di mana-mana. Orang-orang di
sana tampak sangat terburu-buru. Aku menoleh ke belakang, memeriksa
pintu yang membawaku di sini. Tapi tak ada apapun di sana. Aku
menyesal kenapa aku menuju pintu hitam tadi alih-alih menghampiri
Nenekku.
Setelah melihat berkeliling. Aku tahu,
ini adalah sebuah bandara.
Seseorang meraih tanganku. Aku tak
mengenal wajah dan namanya. Rambutnya pirang sebahu dengan
bintik-bintik kemerahan di wajahnya. Dia sangat cantik dan tampak
sangat mengenaliku. Matanya yang berwarna Hazel tampak cemas.
“Kami mencarimu dari tadi. Kamu
menghilang. Penerbangan kita satu jam lagi. Bisa lebih cepat. Cuaca
sedang tidak menentu.” Dia masih mengibarkan tiket di depan
wajahku.
“Mau ke mana?”
“Norwegia. Oslo. Kemana lagi?
Bukannya kamu yang memesan semua tiket kita? Kok bisa lupa.”
“Kita?”
“Iya. Kita semua. Kita dapat suaka
penuh di sana. Apakah kamu sudah selesai bicara pada keluargamu
tentang kepergian kita?”
“Sebentar. Aku tidak paham.”
Aneh sekali, dia bicara bahasa yang
kedengarannya seperti bahasa Rusia. Dan aku yakin bahwa aku
menjawabnya dengan bahasa Indonesia. Otakku otomatis menerjemahkan
apa yang dia katakan ke dalam bahasa Indonesia.
“Maksudnya suaka?”
“Kamu buang-buang waktu bertanya
tentang hal yang kamu ketahui persis. Kamu juga tampak sangat lelah.
Kita berkumpul di gerbang keberangkatan 4. Mari kita ke sana. Ada
kursi pijat yang nyaman di sana. Mungkin bisa membantu.”
Aku mengikutinya. Norwegia? Suaka? Dan
apa sih maksud orang-orang bule ini?
Kami sampai di ruangan yang lebih
kecil, melewati pintu detector metal biasa yang ada di bandara. Aku
melihat kakiku sendiri dan takjub, kapan aku sempat mengganti celana
pendekku dengan celana panjang ini? Aku masih penasaran, kemana
jilbabku.
“Apakah ini nyata?” Tanyaku
padanya.
“Tergantung pikiranmu sendiri. Konon
apa yang kita alami sekarang ini hanyalah ilusi di dalam kepala
kita.”
“Jadi ini alam seperti apa?”
“Kamu mau mencoba mendebatku soal
filsafat lagi ya? Kita kan pernah bahas ini. Kamu sudah tahu bahwa
aku ini seorang postmo yang meragukan banyak hal. Saat ini
satu-satunya hal yang aku yakini adalah ketidakwarasanmu sendiri.”
“Bukan, ini bukan pertanyaan
filosofis. Ini pertanyaan yang biasa. Apakah aku bermimpi, atau yang
lainnya? Rasanya baru beberapa menit yang lalu aku meninggalkan rumah
nenekku dan tiba-tiba aku sekarang berada di Bandara bersamamu,
bersama kalian. Dengan alasan suaka yang aku tak mengerti alurnya.”
“Kamu seperti kaum romantis. Seperti
orang tua yang merindukan masa kecil anaknya dan berkata, 'Aaaah...
Anakku sudah besar. Rasanya baru kemarin aku melahirkanmu'.
Begitulah kamu sekarang.”
Dia mendorongku duduk di salah satu
deretan kursi pijat elektrik. Tubuhku rasanya tenggelam di kursi yang
besar dan empuk itu. Serasa ada banyak tangan yang mencengkeram bahu
dan punggungku.
Nyaman sekali.
Rasanya aku tertidur tanpa bermimpi
apapun.
Aku bangun dengan sendirinya. Udara
begitu hangat. Ada bantal di kepalaku. Rasanya bukan mencengkeram
lagi. Tapi hangat. Sangat nyaman. Rasanya aku sulit untuk beranjak.
Aku begitu takut saat bergerak semuanya akan berubah.
“Kamu sudah bangun?”
Suaranya berasal dari belakang
kepalaku. Begitu menenangkan. Nafasnya berhembus di puncak kepalaku.
Aku menyadari bahwa sensasi hangat ini timbul karena aku sedang tidur
di pelukannya. Dia memelukku dari belakang. Rasanya begitu akrab. Kursi pijat itu telah menghilang entah kemana.
Aku mengangguk pelan. Dia mengeratkan
pelukannya.
“Aku suka aromamu, aroma rambutmu,
aroma tubuhmu. Apakah kamu selalu harum seperti ini? Merasakan seperti ini
bersamamu. Sangat membahagiakan.”
“Aku tidak mengerti.”
“Apa yang tidak kamu mengerti?”
“Rasanya aku tadi sedang bermimpi. Di
mimpi tadi aku tertidur. Dan kini, rasanya aku memasuki mimpi yang
lain.”
“Mimpi yang lain? Apa maksudmu?”
“Bersamamu. Ini seperti mimpi.
Kecuali kamu bisa membuktikan bahwa aku sedang tidak bermimpi.”
Dia mempererat pelukannya. Tangannya
melingkar di depan dadaku yang tak berpakaian. Punggungku menempel di
dadanya. Tangannya mengelus-elus anak-anak rambut pada keningku.
“Aku melalui hari-hari penuh
kesedihan saat aku harus kehilangan segalanya. Ditambah Kamu
menyuruhku pergi di saat segalanya serba runyam. Kamu menyuruhku
pergi bahkan sebelum aku pernah masuk ke hidupmu.”
“Itu sebuah kesalahan.” Katanya
lirih sambil mengecup puncak kepalaku.
Aku menyamankan diri di pelukan lelaki
yang aku cintai ini. Rasanya aku baru sekali mendengar suaranya, tapi
aneh, aku merasa begitu akrab dengannya.
“Bagaimana jika ini adalah sebuah
mimpi di dalam mimpi. Karena aku yakin bahwa kamu belum memutuskan
untuk kembali. Ini bukan kenyataan. Mungkin aku sedang terperangkap
di dunia mimpiku sendiri.”
“Jika ini mimpi atau bukan, apakah
akan mempengaruhi kebahagiaanmu?”
“Tentu saja,” kataku dengan nada
merajuk, “saat aku bangun tidur dan menyadari kebersamaan ini
hanyalah mimpi, itu berarti buah dari keputusasaanku karena
ketidakhadiranmu selama ini. Aku sampai bermimpi aneh.”
Kita diam selama beberapa waktu.
“Panasmu sudah turun.” Katanya.
Memecah keheningan.
“Apa aku demam?”
“Iya. Kamu juga banyak mengigau.”
Masih sambil memunggunginya, aku
mengarahkan tangan kiriku yang bebas ke pipinya. Nafasnya terasa
terasa hangat dan menenangkan di telapak tanganku. Jika ini mimpi,
rasanya terlalu nyata.
“Aku ingin melihat wajahmu.”
bisikku.
“Kenapa?”
“Rindu.”
“Aku ada di sini,” katanya sambil
berbisik juga, “berbaliklah.”
Aku membalikkan tubuhku, kepaku tepat
berada di dadanya yang bidang.
“Aku mencintaimu. Kamu membuatku
begitu sedih ketika kita berpisah.”
Ia menghembuskan nafas pelan-pelan.
Dengan mantap, ia berkata, “Tak akan terjadi lagi. Janji.”
Aku menenggelamkan kepalaku di dadanya.
Harum. Aku mendongakkan kepalaku pelan-pelan. Siap bertatap mata
dengan lelaki yang aku cintai ini.
Tapi sosok yang mendekapku berubah. Aku
berada dipelukan seseorang yang mencintaiku. Bukan lelaki itu. Aku
sedang berada di pelukan Ibu. Ibuku.
Aku memandanginya lekat-lekat.
Memastikan bahwa mataku tak salah tangkap. Memang Ibu.
Mungkin aku tak pernah benar-benar
menatap mata lelaki itu.
Ibu mengecup keningku, “Kamu pergi
lama sekali.”
“Begitukah? Tapi aku merasa,
segalanya berjalan terlalu cepat dan aku kehilangan sesuatu yang
bahkan tak benar-benar pernah aku miliki. Kenapa Ibu merasa bahwa aku
pergi terlalu lama?”
“Beritahu Ibu,” nadanya mengandung
senyum. Nada yang sama seperti saat pertama kali aku bisa membaca
sebuah kalimat di usiaku yang sudah 7 tahun, “sejak kapan kita bisa
kehilangan sesuatu yang bahkan tak pernah kita miliki?”
“Mungkin seharusnya di dunia ini ada
sesuatu yang menetap. Sehingga sesuatu itu bisa bersama kita, dan
jadi milik kita. Menemani kita. Atau, apakah ternyata selama ini kita
hidup tidak untuk apa-apa dan terus menerus tak punya apa-apa? Untuk
apa kehidupan kalau begitu?”
“Jika kamu tak punya, lalu merasa
punya, dan kemudian tak punya lagi, artinya itu bukan milikmu. Kita
memang tak punya apa-apa. Merasa punya hanya mencipta penjara. Hei,
bukankah berkali-kali kamu bilang sendiri bahwa kamu benci mencipta
berhala? Barangkali berhala adalah hasratmu sendiri saat merasa
memiliki sesuatu. Masalahnya, apakah kita benar-benar pernah memiliki
sesuatu?”
“Aku punya Ibu,”
“Suatu hari Ibu pun akan pergi. Dalam
bentuk kematian, atau apapun bentuknya. Dan kamu harus berdiri di
kakimu sendiri tanpa Ibu. Tanpa segala sesuatu yang selama ini kamu
anggap milikmu.”
“Jika itu terjadi, aku tak pernah
benar-benar kehilanganmu. Bukankah kenangan tentang Ibu akan kekal di
hatiku?”
“Mestinya itu kamu terapkan jika kamu
mulai merasa kehilangan orang-orang dan sesuatu yang kamu cintai.
Mereka yang pergi, tak pernah benar-benar pergi. Mereka kembali.
Kadang hanya berupa kenangan, mungkin juga dengan bentuk yang
berbeda. Kadang hanya kamu yang merasakan, atau kadang hanya mereka
yang merasakan. Kadang kalian mungkin saling memikirkan diam-diam.
Ingat. Yang pernah singgah, tak akan benar-benar pergi.”
“Begitukah?”
Ibu mengangguk.
“Akan menyakitkan mengingat kenang
saat semuanya pergi. Kebahagiaan yang pernah kita rasakan rasanya tak
pernah kembali.” Kataku lagi.
“Setidaknya, dengan kenangan itu,
kamu mengingat bahwa kamu pernah bahagia.”
Ibu mengelus rambutku. Usianya sudah
tua, tapi wajahnya masih begitu muda. Aku mengagumi bentuk keningnya
yang halus tanpa cela. Kening warisan Nenekku.
“Apakah pembicaraan kita ini adalah
mimpi?” tanyaku lagi.
“Tergantung apakah kamu ingin
menjadikannya sebagai sebuah kesadaran baru, ataukah hanya kau anggap
sebagai mimpi yang remeh temeh.”
“Bagaimana caranya membedakan apakah
yang sedang kita alami ini mimpi atau bukan?”
“Saat seseorang tiba-tiba tertimpa
kesulitan atau tiba-tiba mendapatkan keberuntungan, mereka akan
berkata seolah-olah sedang bermimpi. Kamu barangkali memang sedang
bermimpi, tapi kamu bisa mewujudkannya. Ingatlah, hanya orang
tertidur yang bermimpi. Jika kamu memasuki terlalu banyak mimpi, yang
harus kamu lakukan adalah bangun. Sadar. Atau kamu akan terus
terperangkap di dalamnya. Terperangkap di hidup yang seharusnya tidak
perlu kamu jalani.”
Aku menyimpan kesimpulan itu untuk
diriku sendiri. Rasanya aku ingin kembali ke kursi pijat empuk di
bandara yang menenggelamkanku tadi. Rasanya aku ingin kembali ke
pelukan hangat milik lelaki yang aku cintai tadi. Rasanya aku juga
ingin kembali memandangi punggung Nenekku yang sibuk di dapur. Tapi
aku menyadari bahwa hal realistis yang paling bisa aku rasakan saat
ini hanyalah pelukan ibuku.
“Kamu sudah siap untuk bangun.”
Kata Ibuku, “bangunlah.”
Tubuhku mengejang. Mataku terbelalak.
Aku meraba-raba sekitarku dan menemukan ponsel yang dilayarnya
menunjukkan angka 04.38. Barangkali apa yang baru saja aku lakukan
hanya mimpi yang lain.
Yang perlu aku tahu adalah, ini waktu
yang tepat untuk sadar dan bangkit dari kungkungan yang aku ciptakan
sendiri.
Kalibata, 9 Juni 2015