Hari ini, 9 Juli 2014 adalah kedua kalinya aku ikut andil di pemilu. Pemilu Legislatif 5 tahun lalu sangat berbeda dengan sekarang. Dulu aku tidak tahu siapa yang harus aku pilih, bagaimana mekanismenya aku bisa terdaftar sebagai pemilih dan lainnya. Aku benar-benar hanya memilih calon legislatif yang ibuku pilih dan pasrah dengan apa yang terjadi selanjutnya. Aku tidak ingat siapa yang aku pilih saat pemilihan calon legislatif. 5 tahun lalu, suara di sosial media untuk remaja sepertiku tidak senyaring sekarang.
Terbatasnya arus informasi, kurang pergaulan, dan nggak kepikiran untuk ikut andil dalam pemerintahan adalah alasan-alasan yang aku pakai sebagai pembenaran (bukan kebenaran) kenapa aku ngawur menentukan tokoh legislatif yang harus aku pilih. Aku rasa, banyak remaja maupun orang dewasa juga belum tahu siapa yang harus dipilih. Bagaimana kita bisa menentukan sesuatu yang hanya kita tahu dari foto yang terpasang secara serampangan di jalan, tembok maupun pohon. Apalagi jika ditambah dengan pawai yang urakan. Apa menariknya partai seperti itu untuk kemajuan bangsa.
Waktu masih kecil, aku senang sekali ikut kampanye dan rasanya tidak ada yang mempermasalahkan itu. Mungkin orang-orang di Komnas PA belum secerewet sekarang. Maklum, Komnas PA memang baru didirikan pada 26 Oktober 1998 sedangkan pemilu saat itu Juni 1999. Jadi konsentrasi mereka masih terpecah untuk mengurusi lainnya. Atau aku memang tidak ikut dengan perdebatan yang ada tentang etis atau tidaknya mengajak anak-anak berkampanye? Sepertinya memang aku yang tidak tahu.
Saat itu, rasanya keberadaan anak kecil sangat penting di kampanye karena bisa menambah keceriaan. Aku dan teman-teman sangat senang ikut membantu menyebar 3 permen yang direkatkan pada kertas atau stiker PAN, membaginya pada orang-orang yang melihat kami di jalanan. Atau sekedar memungut permen yang disebar partai lain yang kampanye. Siapa lagi yang sudi memungut permen yang disebarkan di sepanjang jalan di siang hari yang sangat terik kalau bukan anak-anak?
Kami, anak-anak bau matahari ini akan bersorak gembira dan dengan bangga memasang stiker partai pilihan orang tua kami di sepeda maupun di pintu rumah. Menganggapnya seolah itu sebagai ideologi suci yang menjadi pembeda dari rumah satu dengan rumah lainnya. Teman sekelasku waktu SD ada yang orang tuanya pegawai negeri. Semua keluarganya adalah orang Golkar, Sedang keluargaku seluruhnya adalah penggemar Amien Rais yang suaranya membahana saat reformasi '98, otomatis kita adalah orang PAN. Kita bermusuhan karena itu. Tapi kita bisa saja tiba-tiba kompak berdiri sejajar di pinggir jalan raya untuk berebut permen dari partai lain yang sedang kampanye.
Tidak ada yang merasa prihatin dengan itu karena toh orang tua jadi tidak perlu keluar uang untuk membeli permen. Bahkan saat suara iring-iringan kampanye dimulai, para orang tua mendorong anak-anaknya untuk melihat pawai parpol dan membandingkannya satu sama lain. Berdasarkan kerasnya suara, permen yang dibagi maupun atribut lainnya.
Saat ini, usiaku sudah 23 tahun. Juni nanti 24 tahun.
Oke, aku sudah tua dan rasanya semua orang mulai memanggilku dengan "kak dan mbak". Pemahamanku tentang pemilu tentu saja tidak boleh sama dengan aku 5 tahun lalu ataupun 10 tahun lalu. Ada internet yang tergenggam setiap saat. Adalah kebodohan jika aku sampai tidak tahu apapun tentang seperti apa pemilu kali ini. Kalau punya akses informasi. Kenapa masih belum mengerti?
Demokrasi menorehkan sejarah panjang, seputar trial dan error dalam menyelenggarakan negara ini dan memenuhi hajat hidup orang banyak. Orang Indonesia saat ini bisa menentukan siapa saja orang yang nantinya akan mengolah uang kita untuk membuat negara ini terus berjalan dengan mekanisme yang mengelola berdasarkan prinsip keadilan sosial. Mereka digaji dengan uang pajak kita. Mereka juga yang menentukan uang hasil pajak kita yang masuk kas negara untuk belanja apa saja. Mereka juga yang menentukan berbagai peraturan dan undang-undang untuk kebaikan kita.
Tugas kita adalah memilih wakil kita, dan kemudian mengawasi kinerjanya. Beberapa orang mengawasi secara pribadi dan mengicaukannya di sosial media untuk melancarkan kritik. Beberapa membentuk lembaga khusus untuk mengawasi pelanggaran-pelanggaran mereka saat tidak melaksanakan apa yang seharusnya dilaksanakan. Mereka pembantu kita. Mereka melaksanakan apa yang menguntungkan buat kita. Mereka seharusnya mengabdi, bukan memperkaya diri.
Aku termasuk orang yang kecewa dengan pemerintahan SBY 10 tahun ini. Untuk Pemilihan Presiden 8 Juli 2009, aku golput. Saat itu
partai golput hampir mencapai 30%. Prosentasenya lebih besar dari perolehan suara
incumbent. Apakah
partai golput mengubah sesuatu SBY gagal jadi presiden atau ada pilihan ulang lagi?
Ternyata tidak!
Pilihan untuk Golput bisa jadi sebagai sebuah ideologi, sekedar permasalahan administrastif, apatis dan hal teknis lainnya. Aku Golput karena saat itu aku sedang dalam perjalanan dari Solo menuju Jakarta di dalam sebuah kereta ekonomi. Aku mendengar orang-orang yang berada satu gerbong denganku mengumumkan kemanangan Golput berdasarkan koran pagi yang mereka baca saat itu. Kami bersorak, beberapa menyatakan ketidaksukaannya pada SBY. Beberapa bertanya tentang apa yang dilakukan kalau golput yang menang dan mendiskusikannya dengan orang yang sama butanya dalam hal politik tentang hal itu. Aku meminjam koran orang yang duduk berseberangan denganku dengan penasaran. Isi koran pagi saat itu sebenarnya tidak mengabarkan kemenangan Golput. Tapi kemenangan SBY. Aku lupa koran yang aku baca apa.
Aku tidak begitu peduli saat itu. Aku lebih memikirkan tahun pertamaku di kampus nantinya daripada dampak terpilihnya SBY 5 tahun kedepan.
Sekarang ini, di sosial media sudah banyak informasi yang memuat tentang pemilu. Berbagai link tinggal di klik dan kita bisa tahu tentang apa yang harus kita lakukan hari ini. Di sini, sosial media yang sangat membantuku adalah twitter.
Ada
Daftar Caleg Tak Layak Pilih dalam Perspektif Media Penyiaran dari
@Remotivi, rekomendasi Caleg bersih dan berbagai informasi seputar pemilu dari
jariungu.com,
Bersih2014.net,
politikuang.net,
http://pantaupemilu.org/, blognya Bang Andreas Harsono tentang
Bagaimana memilih politisi dalam pemilihan umum? website KPU seperti
KPU Surakarta,
KPU Jakarta dan berbagai pembicaraan di twitter seputar pemilu. Semuanya informatif. Termasuk yang debat berhari-hari tentang pentingnya nyoblos, menyobek surat suara ataupun golput.
Fokus pribadiku adalah para pemimpin yang mau memperjuangkan kebebasan beragama dan anti korupsi. Aku mencoba menentukan prioritas ingin seperti apa negara ini nantinya. Setelah itu, barulah menentukan pilihan yang tepat. Teliti
track record calon DPR, DPD dan DPRD kita. Jangan malu dan capek merekomendasikan orang baik untuk dipilih orang-orang sekitar kita. Justru karena tidak dibayar itulah kita mau bergerak. Daripada dibayar tapi dia nanti malah jadi rampok.
Pemilu kali ini sangat berkesan. Karena aku benar-benar meluangkan waktu untuk mencari tahu siapa yang layak aku pilih untuk mengelola uang yang aku setor ke negara lewat DPR, DPD dan DPRD. Selain itu, aku akan mendatangi TPS untuk liputan Majalah Edukrasi edisi pemilu. Jadi mau tak mau aku juga melakukan riset untuk menambah data tulisanku nanti.
Aku sudah mengecek namaku secara online, aku lupa ini menggunakan aplikasi apa. Harsya, teman di mata kuliah Pancasila yang mengecek dataku di ios nya. Bodohnya, aku lupa menanyakan aplikasi yang dia gunakan apa. Sudahlah, yang penting aku terdaftar sebagai pemilih. Aku agak khawatir tidak terdaftar karena aku belum sempat pulang untuk membuat e-ktp. Prosesnya membuat e-ktp ternyata tidak bisa secepat
membuat SIM di Solo. Apalagi ketua RT ku saat itu baru saja meninggal dunia sehingga pengurusan e-ktp jadi semakin panjang.
Sekarang tinggal mempersiapkan dokumen seperti KTP beserta fotocopynya, Kartu Mahasiswa, untuk bisa mencoblos di Jakarta. Bahkan aku akan membawa fotocopy KK dari Solo. Aku sudah siap tempur!
|
Namaku terdaftar! Horeeee!!!! |
Aku benar-benar berharap dapat lolos administrasi di TPS Menteng nanti. Aku harus ke TPS Menteng Karena tugas liputan ke sana. Tugas liputanku sih tidak secara jelas menyebut tokoh. Hanya menyebut tentang siapa tokoh nasional yang datang ke TPS. Jadi aku memilih menyorot Jokowi yang nyoblos di TPS 27. Dan Megawati yang ada di TPS 35. Reporter lainnya jaga gawang di TPS Mampang dan sekitarnya untuk meliput tokoh lainnya. Sehingga ada variasi tokoh di dalamnya.
Di paragraf ini, aku baru ingat bahwa ternyata aku belum pernah berpartisipasi sama sekali di pemilu presiden. Aku berusaha keras mengingat pemilu pertamaku sampai sekarang. Bahkan aku juga tidak pernah memilih walikota. Aku jadi tidak sabar untuk 9 Juli 2014 nanti.
Hari ini sepertinya akan penuh petualangan. Karena untuk pertama kalinya aku
ngepos liputan di TPS. Untuk pertama kalinya juga aku liputan pemilu sekaligus menggunakan hak pilihku di luar kota.
Mengenai sukses atau tidaknya administrasiku, akan aku update belakangan.
Aku ngantuk sekali. Sudah pukul 3 pagi. Menurut Antara News Jokowi akan nyoblos pukul 8 pagi. Jadi aku harus sampai di lokasi sekitar Taman Surapati jam 7 pagi nanti. Aku berharap bisa bangun pagi. Karena aku tidak bisa tidur sebelum tulisan di blog ini selesai. Kalau ada
typo, akan aku ralat belakangan. Aku hanya ingin menerbitkan tulisan ini sebelum TPS dibuka. Hehehe....
Selamat Pesta Demokrasi hari ini!