Kamis, 25 Juli 2019

Aku pada Post Hijab

Hi, apa kabar?

Sebagai seorang aktivis yang sempat memperjuangkan untuk kebolehan pakai jilbab di publik dan surat legal (Ijazah misal), keputusanku untuk melepas jilbab cukup jadi sorotan. Apalagi latar belakang agamaku yang... Gitu deh. Turunan Syiah.



Terimakasih jika kamu adalah salah satu orang yang menganggap bahwa keputusan ini adalah pilihan pribadi yang harus dihargai. Karena aku mendapat pesan-pesan kekecewaan dari orang sekitar maupun orang lain soal keputusanku. Sebagai orang yang kurang bisa bersikap bodo amat, komentar buruk agak mempengaruhi psikologiku. Jadi, misal kamu mau menasehatiku soal pemahamanmu tentang sesuatu, pastikan bahwa orang yang kamu tuju memang memintamu untuk menasehatinya. Kalau tidak, kamu cuma jadi bising di dalam kepalanya dan memberatkan hatinya.

Setelah hidup tanpa jilbab, aku baru sadar bahwa ternyata aku tidak merawat tubuhku dengan baik. Aku tidak sadar bahwa paha dan perutku membesar sedemikian rupanya dan gagal aku antisipasi sebelumnya. Lemak menumpuk di beberapa bagian tubuh itu tidak sehat betapapun ada banyak kampanye soal body positivity. Saat ini aku punya keinginan untuk sehat sehingga melihat perut dan paha yang membesar ini membuatku merasa agak malu dengan diri sendiri. Dulu, bagian tubuh itu selalu tertutup rapat dengan kain longgar. Sehingga tidak jadi perhatianku. Aku tidak tahu bahwa mulai ada selulit di sana.

Bahkan, aku jarang pakai hand body lotion karena kulitku akan terasa lembab (padahal berkeringat!)   di bawah kain. Post hijab, di saat aku ingin pakai baju yang agak ketat atau terbuka, aku jadi sadar bahwa ukuran tubuh maupun penampakan kulitku jauh dari cantik yang ada di media. Bukan soal mengejar cantik standar media, karena jika iya, maka tak akan ada habisnya. Maksudku, standar sehat saja. Sayang sekali kulitku ini tampak agak kasar. Butuh berbulan-bulan dan berbotol-botol hand body untuk membuatnya halus dan lembab kembali.

Aku menyesali kealpaanku mengurus diri sendiri. Lagipula, dulu-dulu, setelah mandi, tanpa sisiran, tanpa mengeringkan rambut, dan tanpa hand body, aku akan langsung pakai baju dan jilbab, lalu siap pergi begitu saja. Karena dulu aku merasa, toh bagian tubuh itu tidak kelihatan. Padahal merawat tubuh itu adalah bentuk syukur kita pada Tuhan yang memberikan kita tubuh sehat sehingga mestinya aku tak mengabaikannya. Kalau kamu baca tulisan ini dan melakukan hal yang sama, maka tolonglah, lemak di mana-mana itu bisa jadi sarang penyakit dan tak pakai pelembab kulit itu bisa bikin masalah lain di kulit kita.

Setelah lepas jilbab, aku bisa olahraga di luar ruangan dengan baju yang lebih nyaman dan hemat ruang di tas. Bukan baju berat dan panas. Jika traveling, ransel kecilku bisa memuat baju untuk beberapa hari, sedangkan sebelumnya, aku harus membawa baju 5 potong untuk sekali pakai. Baju dalam+bra, kemeja luar, jilbab, celana, dan celana dalam. Maksudku, aku pikir selama ini aku yang tak becus packing. Ternyata aku memang harus membawa sebanyak itu untuk beberapa hari bepergian ke luar kota. Sekarang bawaanku agak ringan karena tak harus bawa baju serba panjang dan berlapis-lapis untuk bepergian.

Sebagai orang beragama, aku memahami bahwa mennjalankan kewajiban agama yang kita anut memang bikin kita mesti menjalani konsekuensi-konsekuensi atas tafsir kebenaran yang kita pilih. Misalnya, saat aku masih mengimani bahwa jilbab itu wajib, aku merasa tak keberatan berenang dengan baju 5 potong dengan standar syariah yang aku anut. Saat aku sudah memahami bahwa tafsir atas aurat dan jilbab dari ulama Islam sangat beragam, aku jadi lebih leluasa untuk pakai baju berenang yang aku anggap lebih nyaman dan praktis. Tentu saja, saat masih berjilbab, aku bisa pakai baju lima lapis tanpa komplain. Tapi, aku yang sekarang membayangkan aku di masa dulu, wah... ribet juga ya. Pantas saja cucianku banyak sekali. Keimanan kita pada sesuatu memang membuat hal-hal yang menurut orang lain sulit, tapi menurut kita biasa saja. Misal, bagi non niqab, makan dengan niqab itu ribet. Padahal bagi Niqabis, biasa saja tuh. Hal seperti itu hanya soal kebiasaan dan keyakinan kita terhadap kebenaran yang kita pilih.



Kalau kata Qurays Shihab, Allah bertanya pada kita, biar jadi 10, berapa harus ditambah berapa? Jawabannya beragam, tapi semuanya menunjukkan angka 10. Begitulah dunia yang dipenuhi berbagai keyakinan dan iman menafsirkannya. 

Menjadi seorang non hijabi membuatku sadar bahwa saat ini aku adalah minoritas. Betapa beratnya jadi perempuan di masa sekarang. Di mana orang-orang akan bilang bahwa perempuan ini lebih cantik berjilbab atau sebaliknya. Seolah kehadiran kita di tengah masyarakat adalah demi memenuhi standar kesalehan orang dan menyebut itu sebagai "lebih cantik". Artis yang berhijrah dipuji setinggi langit saat mengubah penampilan, sebaliknya, artis yang lepas jilbab dicaci maki seolah ia akan membuat dirinya dan seluruh keluarganya masuk neraka. Orang beragama banyak yang tak sadar bahwa komentarnya toxic. Mungkin itulah akibat dari mabuk agama atau justru waham agama. Semua yang tak sama dengannya dianggap sesat.

Coba saja baca komentar instagram Nia Ramadhani, begitu banyaknya orang yang pakai avatar berjilbab yang mencela cara berpakaiannya. Jika memang jadi berjilbab itu lebih baik, mengapa orang-orang melontarkan komentar buruk atas nama "sekedar mengingatkan?". Apakah ia sudah punya kapasitas untuk menjadi guru untuk orang lain? Lihat saja komentar terhadapp Salmafina, luar biasa jahatnya atas nama "sekedar mengingatkan". Aku saja belum tentu kuat jika ada di posisinya.

Komentar toxic seperti ini dulu sering aku dengar dari orang yang jilbabnya lebih lebar dari aku. Ia bilang cara berjilbabku kurang syar'i. Aku tak bisa membayangkan bahwa gelombang populisme Islam di Indonesia bukan untuk memberikan keadilan pada mereka yang tertindas, melainkan mencetak polisi-polisi moral yang mendorong sesamanya agar berpakaian sama seperti dia. Bagiku, mengoreksi cara berpakaian orang itu sangat tidak berkelas dan tidak membuat kamu jadi dihormati.

Rezim polisi moral berjubah agama membuat kita yang sedang ragu dengan manfaat keberagamaan kita jadi makin ingin memisahkan diri dari mereka. Akibatnya, ekspektasi orang yang memberikan saran pada kita itu akan semakin jauh. Lagipula, untuk apa sih memberikan ekspektasi kepada orang lain? Ekspektasi orang tua pada anak sendiri saja sering berbuah depresi pada anak, apalagi kalau ekspektasi terhadap stranger agar keberagamaannya sama.

Kalau misal, kamu kecewa dengan pemaknaan keagamaan orang, cek diri sendiri. Apakah kamu menaruh ekspektasi pada tempatnya atau tidak? Aku merasa, yang membuat aku meragukan dan ogah mengikuti standar berpakaian adalah kritikan terhadap cara berpakaianku yang dituntut lebih lebar, lebih tertutup, dan lebih gelap. Aku bertanya pada Tuhan, apakah hanya manusia berpenampilan seperti itu yang ia inginkan? Kalau begitu, betapa sempitnya surga yang ia ciptakan nantinya sehingga hanya orang yang berpakaian seragam seperti itu yang layak bersamaNya.

Tentu saja, pemikiran kamu tak harus sama sepertiku. Intinya, rayakan keberagamaanmu sendiri tanpa menuntut semua orang harus sama. Semua orang punya perjalanan spiritual yang ia resapi sendiri-sendiri. Mari kita hargai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Kamu?