Kamis, 11 Juli 2019

Review Film: Parasite, Sebuah Potret Ketimpangan Getir Tanpa Air Mata

Semoga ini tak menjadi sebuah review yang terlambat atas sebuah film Korea fenomenal: Parasite. Jika kamu belum menonton film ini, maka baiknya kamu melupakan sejenak tentang sederet penghargaan yang berhasil disabet oleh besutan Bong Joon-Ho ini. Saya juga menyarankan agar calon penonton tak perlu menonton trailernya juga. Bagi saya, film ini akan lebih ciamik jika ditonton dengan pengetahuan seminim mungkin tentang segala sesuatu di dalamnya. You’ve been warned.
Parasite bagi saya adalah sebuah karya tanpa alur cerita klise di mana ada pihak baik dan pihak buruk di dalamnya. Setiap karakter tokohnya membuat penonton merasa ‘menyesal’ jika terburu-buru menaruh keberpihakan pada tokoh tertentu.

Sumber gambar: Koreanportal.com

Adegan film ini berawal dari sebuah keluarga kelas pariah yang menyandarkan hidupnya dengan melipat karton pembungkus pizza. Mereka dibayar dengan upah sangat murah yang akan dikurangi jika pihak restoran pizza tak senang dengan hasil kerjanya. Mereka tinggal di sebuah gang sempit yang datarannya lebih rendah daripada rumah lainnya. Jika beruntung, mereka dapat mengakses internet dari koneksi tetangga. Jika sedang sial, mereka terpaksa harus menonton tetangga mabuk yang pipis sembarangan di depan rumah mereka.

Sejak awal film, keluarga ini bukanlah tipe orang miskin yang pasrah dengan kondisi yang ada. Buktinya, mereka dengan mudah mengintimidasi gadis dari restoran pizza agar mau membayar upah yang seharusnya mereka terima sekalipun ada hasil kerja yang jadi produk reject.

Keinginan untuk bertahan hidup dengan kualitas yang lebih baik terwujud berkat kedatangan teman kuliah si anak pertama yang diperankan oleh aktor Park Seo-Joon. Dari kunjungan temannya ini, Ki-woo (Choi Woo-shik) sekeluarga mulai terlibat sebuah kejadian pelik yang jadi suguhan utama film ini.

Berbekal ijazah palsu, Ki-Woo mulai mengajar bahasa Inggris Da-Hye (Jung Ziso), putri pertama keluarga CEO Park. "Aku bukan membuat ijazah palsu. Tahun depan, aku akan masuk ke Stanford. Aku hanya akan mencetaknya lebih awal," kata Ki-Woo pada ayahnya.


via GIPHY

Tak butuh waktu lama, Ki-Woo mulai memanfaatkan kepolosan Yeon-kyo (Cho Yeo-jeong) yang sepenuhnya percaya bahwa rekomendasi adalah cara terbaik untuk mempekerjakan seseorang. Tak butuh lama bagi Ki-Woo untuk membuat Yeon-Kyo terkelabuhi dengan memasukkan satu persatu anggota keluarganya sebagai pekerja di rumah itu.

Demi bertahan hidup, keluarga Ki-Taek mesti membuat kebohongan satu dan yang lainnya. Malang, yang jadi korban pertama atas peristiwa ini adalah Moon-Gwang yang merupakan pembantu pertama keluarga CEO Park. Kedatangan Moon-gwang ke rumah CEO Park lagi untuk merawat suaminya rupanya membawa nasib sial untuknya. Tadinya, ia memiliki harapan besar bahwa keluarga Ki-Taek akan memberikan simpati padanya karena mereka sama-sama miskin. Alih-alih bersimpati, dua keluarga yang berharap mendapatkan jatah remah-remah dari borjuis Park ini merasa bahwa kehadiran satu sama lain ternyata adalah sebuah ancaman hingga sebisa mungkin harus ada yang tersingkir. Bahkan dua keluarga proletar itu rela saling bunuh demi bertahan di sebuah tempat yang bukan rumah mereka.

Sutradara Bong Joon-Ho secara genius memotret ketimpangan ekonomi yang njomplang antara keluarga Taek dan Park. Jika keluarga Park bisa menikmati matahari di halaman rumah mereka yang hijau, maka keluarga Taek terpaksa harus menerima dataran rendah rumahnya banjir setiap kali hujan deras. Kegetiran atas kemiskinan dan sensitifnya perasaan Ki-Taek terhadap ketidaksukaan CEO Park terhadap bau busuk ‘kemiskinan’ rupanya membuatnya gelap mata hingga melakukan hal yang menghianati kemanusiaannya sendiri, membunuh CEO Park.

Film ini adalah sebuah gambaran bahwa kenyamanan adalah harga yang harus dibayar mahal oleh siapapun. Bagi arsitek rumah, kenyamanan adalah sebuah rumah dengan desain indah yang memiliki bunker agar hidupnya tetap aman jika ada bencana yang terjadi. Bagi suami Moon-Gwang, tinggal di bunker keluarga Park sudah sangat membuatnya bahagia sekalipun ia tak pernah melihat langit lagi. Untuk keluarga Taek, kenyamanan adalah saat mereka bisa hidup seperti keluarga Park. Bagi keluarga Park, nyaman adalah saat anak-anak bisa belajar dengan pekerja rumahan yang tak melanggar privasi dan tak berbau lobak busuk.

Pada akhirnya, apapun gambaran nyaman yang diidamkan mereka, semua tokoh di dalam film ini dipaksa menelan mentah-mentah ketidakberuntungan nasibnya. Semua keluarga kehilangan anggota yang berharga sekuat apapun mereka berusaha mempertahankan zona nyamannya sendiri. Tak ada akhir yang bahagia.

Setelah semuanya kalah, lalu apa? Hah? Apaan sih tadi itu? Maksudnya apa ya?


via GIPHY

Padahal, di sinilah subtilitas film ini mencuat dengan indah meninggalkan kesan mendalam pada kemanusiaan kita semua. Keunikan film ini yang susah dicari padanannya adalah ketiadaan hero dan anti heronya. Pun, tidak ada villain yang bisa benar-benar kita benci. Kita tak akan menemukan tokoh super baik yang kemalangannya membuat kita iba.

Barangkali film ini adalah potret sempurna bahwa setiap orang di lapisan masyarakat apapun bisa jadi parasite bagi orang lain. Bisa jadi, kita sendiri termasuk di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Kamu?