Malam ini aku berjanji pada Ben akan tidur tepat waktu. Kami sudah saling mengucapkan selamat tidur lewat telepon sambil berjanji bahwa besok akan berjumpa pada pukul delapan pagi, sebelum ia berangkat kerja. Berbeda denganku yang jadwalnya sering tidak menentu, Ben selalu mengantuk pada pukul 10 dan akan mulai tidur pada pukul 11 malam. Pada pukul 4:30, ia akan bangun tidur dengan rasa syukur dan mengucapkan selamat pagi padaku lewat whatsapp. Hal itu sudah dilakukannya hampir setiap hari selama setahun lebih kami bersama.
Setiap hari aku berjanji pada diri sendiri akan hidup lebih baik dari hari kemarin. Aku membayangkan diriku akan tidur tepat waktu seperti jam tidur Ben dan bangun dengan bugar pada pukul lima pagi untuk hidup lebih produktif. Badan dan mataku lelah, pikiranku tak mau istirahat. Selalu ada peristiwa-peristiwa buruk yang terlintas yang melumpuhkan kemampuanku untuk menuntaskan komitmen pada diriku sendiri.
Ada perasaan gagal sebagai manusia yang mestinya bersetia pada ucapnya sendiri. Seperti malam ini, aku gagal tidur tepat waktu lagi. Persoalan sepele namun begitu fundamental untuk kesehatanku.
Aku mencoba berkompromi pada kepala agar ia mau diajak tenang dan istirahat. Setiap kali ada pikiran buruk, aku merapal mantra yang dibisikkan Ben tiap kali situasinya mencekam. "Banu rajin. Banu cerdas. Banu mampu menghadapinya. Banu berharga. Banu cantik. Banu disayang sekali sama Benget. Benget sayang sekali sama Banu. Banu masakannya enak. Banu baik sekali. Banu perempuan kuat. Banu kesayangan Benget. Banu beruntung. Banu sehat..." dan seterusnya. Seringkali Ben membimbingku untuk mengucapkannya pelan-pelan.
Hari ini ada beberapa peristiwa besar yang melintas di media sosial. Aku mengucapkan ulang tahun pada Naruto, bergembira dengan kemenangan tolak reklamasi Teluk Benoa, dan bersedih dengan meninggalnya Akbar Alamsyah yang jadi martir demokrasi. Menyebalkannya lagi, aku membaca sebuah poster "budaya" di mana Sitok Srengenge satu panggung dengan Gus Mus yang mengingatkanku pada rasa getir bahwa senelangsa apapun korbannya, pemerkosa dan pelaku pelecehan seksual akan tetap baik-baik saja. Aku jadi benci pada diri sendiri kenapa aku tidak mampu jadi baik-baik saja sementara orang yang menyakitiku mungkin sedang bahagia dengan karir dan segala privilesenya. Padahal aku sudah bersama seseorang yang jauh lebih baik, tapi kenapa luka tetap menganga tak lekas pulih.
Ada banyak hal prioritas di dunia ini. Aku terlalu kerepotan menjalani prioritas dasarku seputar makan cukup, tidur teratur, dan kerja dengan semestinya. Aku merasa gagal, tapi lagi-lagi Ben akan mengingatkan "Banu mampu, Banu pintar, Banu sehat, Banu cantik..." sampai aku berhenti menangis.
Pikiran liar soal hal-hal minor menyanderaku sampai pukul tiga pagi dini hari. Aku bukannya ingkar janji pada Ben untuk tidur pada pukul 11 malam ini, kali ini aku hanya kalah pada keriuhan pikiranku.
Besok lagi, aku berjanji lagi akan lebih bisa menjinakkan pikir dan mengistirahatkan tubuh. Agar aku tak perlu minta maaf padanya soal mengingkari janji pada diri sendiri dan padanya bahwa aku baik-baik saja.
Aku akan sangat mengantuk saat ia datang nanti. Sedangkan dia akan selalu maklum dan mengerti. Ceritanya selalu seperti itu.
Setidaknya, besok, dalam sejenak, hidup akan terasa baik-baik saja sampai punggungnya hilang di pintu kamar pada pukul sepuluh pagi dan deru motornya makin menjauh.
Lalu, saat pikiranku mulai mengatakan hal aneh lainnya, aku akan kembali merapal kembali mantra Benget padaku, "Banu baik-baik saja. Banu kuat. Banu mampu. Benget sayang sekali sama Banu. Banu bisa bertahan. Banu hebat..."
)* Noceur : Noun, one who stays up late
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Kamu?