Bisa dibilang, dalam tiga tahun terakhir ini aku jadi orang yang ingatan soal ketidakberuntungannya lebih kuat daripada ingatan soal hal-hal baik. Kebiasaan itu terjadi begitu saja tanpa aku sadari. Aku merasa saat ada keberuntungan, maka itu adalah satu hal yang lumrah aku dapatkan setelah beberapa kali sial. Sudut pandang itu mengkristal seperti liontin yang memberatkan leherku dan harus aku bawa kemana-mana.
Tiga tahun belakangan, aku sulit menemukan ingatan indah. Selalu ada badai setelah bunga-bunga. Hal itu terus terjadi hingga aku tak ingat lagi kapan terakhir kali aku bahagia tanpa takut ada hantaman badai setelahnya.
Aku bergumul dengan kesedihan dan babak belur dibuatnya.
Aku tahu pengkhiatan orang yang pernah kita percaya sudah berakhir. Yang lalu biarlah berlalu. Hari baru bersama orang-orang baru. Orang yang ditemui tidak akan sejahat dia. Aku merapal itu berkali-kali di kepala hingga aku rasa aku mulai bisa menerapkannya secara nyata di kehidupan sehari-hari.
Aku belajar untuk mempercayai orang lain lagi. Namun, pengkhianatan kembali berulang. Sial masih membebani dadaku yang selama ini kesulitan bernafas.
Kadang aku merasa bahwa barangkali beberapa orang diciptakan dengan kantung kebahagiaan besar dan orang sepertiku hanya diberi sekantung kecil bahagia. Saking kecilnya sampai lupa kalau punya.
Seharusnya masa lalu yang kelam menjadikan kita jadi makin kuat. Itu benar. Aku merasa tiga tahun lalu aku adalah orang yang kuat. Namun kini tenagaku sudah habis. Bahkan untuk sekedar tampak segalanya baik-baik saja pun aku tak mampu. Sudah terlalu lama "berperang" dengan diri sendiri dan saat ini rasanya lelah luar biasa.
Namun aku tidak menyerah.
Aku mulai berpikir bahwa mungkin mengubah perspektif nelangsa jadi sesuatu hal yang patut disyukuri akan bisa membuatku jadi lebih kuat.
Aku mulai mengingat satu-satu derita yang barangkali bisa aku ubah jadi rasa syukur.
Saat masih kecil, keluarga kami sangat miskin. Bapak dan ibu yang ada di Bekasi tak mampu mengirimkan uang pada tiga anaknya yang masih usia SMP dan SD. Kami harus survive sendiri tanpa mengharap pada siapapun. Sekolah tak terbayar, seragam pun tak punya. Tapi kami tetap menebalkan muka dengan berangkat sekolah sekalipun diejek teman dan dipermalukan guru.
Setiap hari usai pulang sekolah, aku selalu keliling dari satu kebun ke kebun lain, dari satu comberan ke comberan yang lain untuk mencari bayam liar. Bayam itu nantinya kami masak jadi sayur bening. Kadang ada beras kadang tidak. Asal ada bayam dan garam, maka hari itu kami bisa makan.
Di awal cari bayam, aku berebut daun bayam dengan ayam-ayam milik tetangga. Daun bayam yang aku petik tumbuh pendek dengan daun berlubang di mana-mana. Jika ada ayam di sekitar bayam itu, maka bayam itu akan penuh sobekan di sana-sini karena habis dipatuk. Rasa lapar membuat kami tak pernah jijik berebut daun dengan ayam-ayam itu. Aku dan kakakku pun tak pernah memikirkan bahwa bayam itu mungkin subur karena adanya air kencing dan cairan lain dari kamar mandi tetangga yang mengaliri tanah bayam liar itu.
Aku mencoba bersyukur bahwa Tuhan menitipkan ketegaran pada daun bayam yang aku petik. Bahkan di tempat yang dipandang rendah oleh orang lain di sana, ada rezeki tiga anak yang kelaparan di situ. Untung ada bayam tumbuh.
Saat dipermalukan guru karena tidak bisa bayar sekolah dan tidak beli seragam, aku jadi sadar betapa mahalnya pendidikan. Aku selalu minta surat resmi tentang dikeluarkan dari sekolah karena tidak mampu bayar sekolah. Tentu saja sekolah tak akan mengeluarkan surat macam itu. Karena itulah aku tetap berangkat sekolah sekalipun tak pernah menerima rapor dan selalu menggunakan kartu ujian sementara setiap hari.
Kemiskinan mendidikku untuk berempati pada sesama. Aku mulai belajar arti priviledge.
Bullying saat kecil menyadarkan aku bahwa di dunia ini ada orang yang memang jadi kelompok rentan diskriminasi. Ada orang-orang yang memang diperlukan tidak adil, jika orang kuat di sekitarnya tidak angkat membela, maka ia akan habis dilindas sendirian. Saat itu aku memang dilindas sendirian. Tapi aku belum habis. Hidupku masih berlanjut. Bahkan aku bisa kuliah.
Aku masih mencari memori-memori sial yang mestinya aku syukuri. Apa yang terjadi tidak akan sia-sia. Pasti ada hal yang tak sekedar berkontribusi melemahkan. Pasti ada hal-hal yang bisa menguatkan aku saat ini.
Aku menemukan ingatan itu. Peristiwa ini baru yang terjadi beberapa hari lalu.
Jadi ceritanya, pasanganku baru pulang dari Bangladesh untuk menjalankan misi kemanusiaan pada pengungsi Rohingya. Aku yang excited menyambut kedatangannya berniat untuk masak makanan spesial.
Aku membeli ayam dan meracik bumbunya dengan baik. Tentu saja aku memasaknya dengan penuh cinta. Sekalipun belum makan seharian, aku bertekad menunda rasa lapar agar bisa makan bersama dengan pasanganku jam berapapun ia datang nantinya.
Saat dia datang tengah malam, aku menghidangkan masakan itu. Rasanya perutku luar biasa lapar. Aku bisa merasakan jemariku yang mulai gemetar saat memegang sendok. Namun ada yang aneh, ada semut di dalam masakanku. Tak hanya satu. Jumlahnya banyak.
Aku melihat piringnya. Dia juga menyadari ada semut di sana. Aku bilang padanya untuk tak meneruskan makan karena semutnya terlalu banyak.
Dia bilang, "tidak apa-apa kok. Semua masakanmu akan saya makan. Semutkan protein. Daritadi saya makan semua semutnya."
Aku sendiri tidak sanggup meneruskan makan karena semut itu sampai masuk ke sela-sela daging. Sulit untuk bisa memisahkan semut dan dagingnya. Aku melihatnya terus makan sampai tandas. Ia tak mengajukan komplain apapun tentang makanan yang aku sajikan. Di sana aku menyadari bahwa lelaki ini memang benar-benar mencintaiku. Aku menyembunyikan wajahku yang menangis haru di balik pintu sebelum aku kembali bertatap muka dengannya.
Besoknya aku menelepon ibu untuk menceritakan kejadian itu. Aku bilang pada ibu bahwa mungkin aku tidak teliti saat menuangkan kecapnya. Aku tidak menyadari ada banyak semut berenang di dalam kemasan kecap yang aku gunakan.
Ibu bilang, "tidak apa-apa dibuang. Niatkan untuk memberi rezeki pada bakteri yang akan menghabiskannya."
Aku membungkus masakanku pelan-pelan sambil minta maaf padanya. Kemudian aku letakkan dengan hati-hati di pojok tempat sampah. Aku minta maaf pada semua orang yang lapar di hari itu karena aku membuang makanan enak yang bercampur ribuan semut hitam di dalamnya. Aku merapal maaf berulang-ulang seharian. Sebagai orang yang pernah merasakan derita menggigil berhari-hari karena lapar dan tak punya uang, membuang makanan adalah hal yang sangat emosional bagiku.
Pada pukul 4 pagi keesokan harinya, aku belanja ceker ayam dua porsi di tukang sayur dekat rumah. Aku mengolah segalanya dengan baik. Aku pastikan kali ini tidak ada semut. Sambil menunggu ceker ayam empuk, aku mengabari temanku bahwa aku berniat memberinya sup ceker ayam masakanku. Dia merasa tidak enak hati jika aku repot-repot memasakkan untuknya.
Aku tetap membungkuskan masakan untuknya. Bumbu sup itu pas dan cekernya pun terasa lumer di mulut. Temanku mengucapkan terima kasih sambil bilang bahwa sebenarnya ia memang sedang tak punya uang untuk makan. Kami ngobrol seharian sampai dia komplain soal tetangga sebelah yang membakar sampah. Kami batuk-batuk. Parahnya adalah, adegan di dalam paragraf ini sebenarnya terjadi di dalam mimpiku.
Nyatanya, aku ketiduran setelah memberitahu temanku bahwa aku masak sup ceker. Asap sampah yang membuat kami batuk-batuk berasal dari sup cekerku yang sudah gosong jadi arang di dalam wajan. Seluruh kamar penuh asap. Tak terasa, aku tidur lebih dari 5 jam karena semalaman tak bisa tidur. Aku segera berlari sambil batuk-batuk ke dapur untuk mematikan kompor.
Aku buka pintu kamar lebar-lebar untuk mendapatkan udara segar. Segalanya bau asap. Termasuk mukena yang aku gantung di pintu kamar yang menggabungkan pintu dapur.
Untung saja aku segera bangun sebelum terjadi kebakaran. Untung saja kondisi gas dan komporku sedang baik-baik saja. Untung saja tidak ada benda apapun yang menyambar kompor. Aku menangis di depan kompor dengan wajan berasap itu karena bersyukur tidak terjadi kebakaran di kost ini. Karena beberapa hari lalu, warung bakso langganan yang lokasinya di tikungan Mampang 2 sudah habis dipanggang api.
Aku masih mencari-cari lagi hal yang bisa membuatku bersyukur.
Aku sadar kali ini, dalam masa penyembuhan ini, aku masih bisa menulis. Tentu saja bukan tulisan dengan deadline ketat dan jam kerja yang padat. Dengan segala keterbatasanku, setidaknya aku tetap berkarya.
Aku bersyukur bahwa kali ini aku punya laptop. Aku tahu deritanya tak punya laptop saat passion utama kita adalah menulis. Aku bersyukur selalu ada orang-orang terdekat yang mengingatkan bahwa aku tak seburuk monster yang ada di pikiranku. Aku bersyukur masih bisa berkarya di tengah keterbatasan. Aku bersyukur bahwa kali ini aku bisa dengan lega mengungkapkan perasaanku tanpa beban tanpa takut bahwa akan ada yang terganggu dengan tulisanku.
Aku bersyukur bahwa kali ini, aku merasakan hidup. Aku merasakan baik-baik hembusan nafas, debar jantung, air mata, lengkap dengan rasa lelah yang terus menerus aku rasakan. Karena artinya aku masih jadi bagian dari kehidupan ini.
Aku tahu bahwa pada akhirnya aku memilih untuk hidup setelah berkali-kali mengusir pikiran liar yang selalu mengajakku untuk mengakhirinya.
Aku memilih hidup dan aku harap kehidupan memelukku erat-erat di dalamnya. Sampai saatnya tiba.
Tiga tahun belakangan, aku sulit menemukan ingatan indah. Selalu ada badai setelah bunga-bunga. Hal itu terus terjadi hingga aku tak ingat lagi kapan terakhir kali aku bahagia tanpa takut ada hantaman badai setelahnya.
Aku bergumul dengan kesedihan dan babak belur dibuatnya.
Aku tahu pengkhiatan orang yang pernah kita percaya sudah berakhir. Yang lalu biarlah berlalu. Hari baru bersama orang-orang baru. Orang yang ditemui tidak akan sejahat dia. Aku merapal itu berkali-kali di kepala hingga aku rasa aku mulai bisa menerapkannya secara nyata di kehidupan sehari-hari.
Aku belajar untuk mempercayai orang lain lagi. Namun, pengkhianatan kembali berulang. Sial masih membebani dadaku yang selama ini kesulitan bernafas.
Kadang aku merasa bahwa barangkali beberapa orang diciptakan dengan kantung kebahagiaan besar dan orang sepertiku hanya diberi sekantung kecil bahagia. Saking kecilnya sampai lupa kalau punya.
Seharusnya masa lalu yang kelam menjadikan kita jadi makin kuat. Itu benar. Aku merasa tiga tahun lalu aku adalah orang yang kuat. Namun kini tenagaku sudah habis. Bahkan untuk sekedar tampak segalanya baik-baik saja pun aku tak mampu. Sudah terlalu lama "berperang" dengan diri sendiri dan saat ini rasanya lelah luar biasa.
Namun aku tidak menyerah.
Aku mulai berpikir bahwa mungkin mengubah perspektif nelangsa jadi sesuatu hal yang patut disyukuri akan bisa membuatku jadi lebih kuat.
Aku mulai mengingat satu-satu derita yang barangkali bisa aku ubah jadi rasa syukur.
Saat masih kecil, keluarga kami sangat miskin. Bapak dan ibu yang ada di Bekasi tak mampu mengirimkan uang pada tiga anaknya yang masih usia SMP dan SD. Kami harus survive sendiri tanpa mengharap pada siapapun. Sekolah tak terbayar, seragam pun tak punya. Tapi kami tetap menebalkan muka dengan berangkat sekolah sekalipun diejek teman dan dipermalukan guru.
Setiap hari usai pulang sekolah, aku selalu keliling dari satu kebun ke kebun lain, dari satu comberan ke comberan yang lain untuk mencari bayam liar. Bayam itu nantinya kami masak jadi sayur bening. Kadang ada beras kadang tidak. Asal ada bayam dan garam, maka hari itu kami bisa makan.
Di awal cari bayam, aku berebut daun bayam dengan ayam-ayam milik tetangga. Daun bayam yang aku petik tumbuh pendek dengan daun berlubang di mana-mana. Jika ada ayam di sekitar bayam itu, maka bayam itu akan penuh sobekan di sana-sini karena habis dipatuk. Rasa lapar membuat kami tak pernah jijik berebut daun dengan ayam-ayam itu. Aku dan kakakku pun tak pernah memikirkan bahwa bayam itu mungkin subur karena adanya air kencing dan cairan lain dari kamar mandi tetangga yang mengaliri tanah bayam liar itu.
Aku mencoba bersyukur bahwa Tuhan menitipkan ketegaran pada daun bayam yang aku petik. Bahkan di tempat yang dipandang rendah oleh orang lain di sana, ada rezeki tiga anak yang kelaparan di situ. Untung ada bayam tumbuh.
Saat dipermalukan guru karena tidak bisa bayar sekolah dan tidak beli seragam, aku jadi sadar betapa mahalnya pendidikan. Aku selalu minta surat resmi tentang dikeluarkan dari sekolah karena tidak mampu bayar sekolah. Tentu saja sekolah tak akan mengeluarkan surat macam itu. Karena itulah aku tetap berangkat sekolah sekalipun tak pernah menerima rapor dan selalu menggunakan kartu ujian sementara setiap hari.
Kemiskinan mendidikku untuk berempati pada sesama. Aku mulai belajar arti priviledge.
Bullying saat kecil menyadarkan aku bahwa di dunia ini ada orang yang memang jadi kelompok rentan diskriminasi. Ada orang-orang yang memang diperlukan tidak adil, jika orang kuat di sekitarnya tidak angkat membela, maka ia akan habis dilindas sendirian. Saat itu aku memang dilindas sendirian. Tapi aku belum habis. Hidupku masih berlanjut. Bahkan aku bisa kuliah.
Aku masih mencari memori-memori sial yang mestinya aku syukuri. Apa yang terjadi tidak akan sia-sia. Pasti ada hal yang tak sekedar berkontribusi melemahkan. Pasti ada hal-hal yang bisa menguatkan aku saat ini.
Aku menemukan ingatan itu. Peristiwa ini baru yang terjadi beberapa hari lalu.
Jadi ceritanya, pasanganku baru pulang dari Bangladesh untuk menjalankan misi kemanusiaan pada pengungsi Rohingya. Aku yang excited menyambut kedatangannya berniat untuk masak makanan spesial.
Aku membeli ayam dan meracik bumbunya dengan baik. Tentu saja aku memasaknya dengan penuh cinta. Sekalipun belum makan seharian, aku bertekad menunda rasa lapar agar bisa makan bersama dengan pasanganku jam berapapun ia datang nantinya.
Saat dia datang tengah malam, aku menghidangkan masakan itu. Rasanya perutku luar biasa lapar. Aku bisa merasakan jemariku yang mulai gemetar saat memegang sendok. Namun ada yang aneh, ada semut di dalam masakanku. Tak hanya satu. Jumlahnya banyak.
Aku melihat piringnya. Dia juga menyadari ada semut di sana. Aku bilang padanya untuk tak meneruskan makan karena semutnya terlalu banyak.
Dia bilang, "tidak apa-apa kok. Semua masakanmu akan saya makan. Semutkan protein. Daritadi saya makan semua semutnya."
Aku sendiri tidak sanggup meneruskan makan karena semut itu sampai masuk ke sela-sela daging. Sulit untuk bisa memisahkan semut dan dagingnya. Aku melihatnya terus makan sampai tandas. Ia tak mengajukan komplain apapun tentang makanan yang aku sajikan. Di sana aku menyadari bahwa lelaki ini memang benar-benar mencintaiku. Aku menyembunyikan wajahku yang menangis haru di balik pintu sebelum aku kembali bertatap muka dengannya.
Besoknya aku menelepon ibu untuk menceritakan kejadian itu. Aku bilang pada ibu bahwa mungkin aku tidak teliti saat menuangkan kecapnya. Aku tidak menyadari ada banyak semut berenang di dalam kemasan kecap yang aku gunakan.
Ibu bilang, "tidak apa-apa dibuang. Niatkan untuk memberi rezeki pada bakteri yang akan menghabiskannya."
Aku membungkus masakanku pelan-pelan sambil minta maaf padanya. Kemudian aku letakkan dengan hati-hati di pojok tempat sampah. Aku minta maaf pada semua orang yang lapar di hari itu karena aku membuang makanan enak yang bercampur ribuan semut hitam di dalamnya. Aku merapal maaf berulang-ulang seharian. Sebagai orang yang pernah merasakan derita menggigil berhari-hari karena lapar dan tak punya uang, membuang makanan adalah hal yang sangat emosional bagiku.
Pada pukul 4 pagi keesokan harinya, aku belanja ceker ayam dua porsi di tukang sayur dekat rumah. Aku mengolah segalanya dengan baik. Aku pastikan kali ini tidak ada semut. Sambil menunggu ceker ayam empuk, aku mengabari temanku bahwa aku berniat memberinya sup ceker ayam masakanku. Dia merasa tidak enak hati jika aku repot-repot memasakkan untuknya.
Aku tetap membungkuskan masakan untuknya. Bumbu sup itu pas dan cekernya pun terasa lumer di mulut. Temanku mengucapkan terima kasih sambil bilang bahwa sebenarnya ia memang sedang tak punya uang untuk makan. Kami ngobrol seharian sampai dia komplain soal tetangga sebelah yang membakar sampah. Kami batuk-batuk. Parahnya adalah, adegan di dalam paragraf ini sebenarnya terjadi di dalam mimpiku.
Nyatanya, aku ketiduran setelah memberitahu temanku bahwa aku masak sup ceker. Asap sampah yang membuat kami batuk-batuk berasal dari sup cekerku yang sudah gosong jadi arang di dalam wajan. Seluruh kamar penuh asap. Tak terasa, aku tidur lebih dari 5 jam karena semalaman tak bisa tidur. Aku segera berlari sambil batuk-batuk ke dapur untuk mematikan kompor.
Sup cekerku yang jadi arang |
Untung saja aku segera bangun sebelum terjadi kebakaran. Untung saja kondisi gas dan komporku sedang baik-baik saja. Untung saja tidak ada benda apapun yang menyambar kompor. Aku menangis di depan kompor dengan wajan berasap itu karena bersyukur tidak terjadi kebakaran di kost ini. Karena beberapa hari lalu, warung bakso langganan yang lokasinya di tikungan Mampang 2 sudah habis dipanggang api.
Aku masih mencari-cari lagi hal yang bisa membuatku bersyukur.
Aku sadar kali ini, dalam masa penyembuhan ini, aku masih bisa menulis. Tentu saja bukan tulisan dengan deadline ketat dan jam kerja yang padat. Dengan segala keterbatasanku, setidaknya aku tetap berkarya.
Aku bersyukur bahwa kali ini aku punya laptop. Aku tahu deritanya tak punya laptop saat passion utama kita adalah menulis. Aku bersyukur selalu ada orang-orang terdekat yang mengingatkan bahwa aku tak seburuk monster yang ada di pikiranku. Aku bersyukur masih bisa berkarya di tengah keterbatasan. Aku bersyukur bahwa kali ini aku bisa dengan lega mengungkapkan perasaanku tanpa beban tanpa takut bahwa akan ada yang terganggu dengan tulisanku.
Aku bersyukur bahwa kali ini, aku merasakan hidup. Aku merasakan baik-baik hembusan nafas, debar jantung, air mata, lengkap dengan rasa lelah yang terus menerus aku rasakan. Karena artinya aku masih jadi bagian dari kehidupan ini.
Aku tahu bahwa pada akhirnya aku memilih untuk hidup setelah berkali-kali mengusir pikiran liar yang selalu mengajakku untuk mengakhirinya.
Aku memilih hidup dan aku harap kehidupan memelukku erat-erat di dalamnya. Sampai saatnya tiba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Kamu?