Tahun 2008, selepas SMA, aku pernah mengajar di sebuah PAUD gratisan, khusus orang miskin di daerah Sukoharjo. Lupa nama pasti desanya apa. Apakah Gatak, Baki, atau Gawok. Aku tak familiar dengan pelosok desa di daerah satelit Solo. Apalagi, lokasinya lumayan jauh dari pusat Kota Solo, mesti lewati pinggiran sawah-sawah dulu. Jalur yang dilewati untuk bisa sampai sekolah lebih mirip sungai kering daripada jalanan biasa.
Setiap kali berangkat ke sekolah, aku naik motor bermesin 2 tak milik Ibu. Padahal, saat itu, sudah ada anjuran dari kepolisian untuk mulai mengganti mesin motor 2 tak dengan mesin 4 tak. Gasnya berat, suaranya berisik, guncangan yang ditimbulkan saat jalanan tak rata ampun-ampunan.
Di pelataran PAUD, ada arena permainan mandi bola. Entah sumbangan donatur, atau memang dibeli oleh pemilik sekolah. Sayangnya, anak-anak hampir tak pernah bisa main di "kandang" mandi bola itu karena tempat itu sering dihuni oleh Ular sawah. Entah dipakai si Ular untuk ganti kulit, kawin, pipis, tidur, dan lainnya. Segala macam trik sudah dicoba untuk mencegah ular masuk. Tapi sia-sia. Anak-anak jadi tak bisa main mandi bola yang jadi kemewahan bagi mereka. Apalagi saat itu memang ada video klip lagu anak-anak yang salah satu adegannya si penyanyi dan kawan-kawannya sedang asik mandi bola, lupa judulnya. Anak-anak suka curhat ingin sekali bisa main seperti itu. Ingin bisa seperti anak-anak yang lain.
Mindset 'ingin seperti anak-anak yang lain' inilah yang sering kita lawan. Pembina sekolah mewanti-wanti kami -para guru yang jumlahnya hanya 3 orang- untuk tidak menanamkan rasa 'ingin seperti orang lainnya' itu ke anak-anak. Mereka tak perlu diajari sebuah standar "normal" seperti yang ada pada umumnya. Menjadi beda karena pilihan atau karena keadaan itu mestinya adalah hal yang biasa.
Kita menerapkan konsep itu mulai dari hal yang terkecil.
Misalnya, tak perlu pakai seragam, tak perlu pakai sepatu jika memang tak punya. Boleh pakai baju apa saja yang dipunyai. Tak harus bagus. Kami sudah bersyukur jika para orangtua yang rata-rata dari kalangan tidak mampu itu sudah mau peduli pendidikan anak. Rasanya sangat bahagia jika melihat para orangtua rela antar anaknya sebelum berangkat ke sawah atau tunggui anaknya sampai selesai. Sekolah memang tak ingin merepotkan orangtua lebih banyak.
Sekalipun judulnya adalah PAUD, tetap saja ada anak usia 7 dan 8 tahun yang bergabung bersama kami. Mereka belum bisa baca buku dan orangtuanya terlalu minder untuk masukkan anaknya ke SD. Takut disuruh bayar seragam dan pungutan macam-macam. Guru utama mengajari 2 orang siswa yang lebih dewasa dari teman-temannya itu agar siap masuk SD, nanti PAUD akan bertanggung jawab memasukkan siswa tersebut ke SD yang mau menampung mereka dengan gratis.
Guru yang mengajari anak membaca dengan metode Desa Huruf itu menjamin bahwa anak ini bisa tetap ikuti sekolah seperti biasa sesuai umurnya. Bahkan sudah bisa membaca. Metode Desa Huruf memang berbeda dengan metode belajar membaca pada umumnya. Yang aku sesalkan, aku belum sempat belajar detail-detail metodenya. Yang jelas, anak bisa lebih cepat bisa membaca berbagai macam kosa kata tanpa perlu repot menghafal banyak nama-nama huruf. Sehingga belajar jadi sangat menyenangkan.
Selain soal kebebasan memakai pakaian apapun, pemilik dan pendiri sekolah, Bu Dewi Kuhnle, mewanti-wanti kepada kami untuk tidak mengajarkan hal-hal seperti 4 Sehat 5 Sempurna karena tak mau anak-anak jadi menuntut orangtuanya makanan sesuai standarpemerintah yang tak beri solusi konkrit soal kelaparan dan gizi buruk tertentu. Orang tua belum tentu mampu beli susu dan daging. Paling pol, gurulah yang minta ke orang tua langsung untuk memberi makan anak sayur-sayuran sederhana dari kebun sendiri, seadanya. Bisa Daun Singkong, Bayam, Daun Katu', Kangkung, dan sebagainya. Syukur-syukur kalau ada telur, daging atau ikan. Walau jika tak ada makanan itu, tentu saja tak apa-apa.
Tapi sekolah sediakan Susu gratis untuk semua anak setiap hari Jumat. Merk apa saja. Yang penting susu.
Yang membagikan susu itu adalah Michelle, anaknya Bu Dewi. Katanya, biar Michelle belajar sejak dini untuk memberi dan tak kikuk berhadapan dengan anak-anak yang kurang mampu. Michelle suka sekali menyanyi, modeling, mendalang, dan kini beberapa kali tampil di TV. Dia juga sekolah di PAUD tersebut. Sekalipun sekolah itu gratis dengan berbagai keterbatasannya, Bu Dewi sangat percaya diri bahwa apa yang diajarkan di sekolahnya adalah pendidikan yang berkualitas. Buktinya, anaknya sendiri sekolah di sana. Bukan sekolah di PAUD mahal yang saat itu sedang menjamur di Solo, dengan berbagai merk berbahasa Inggris maupun dengan embel-embel terpadu.
Soal tak diajarkannya 4 Sehat 5 Sempurna itu, aku pikir, benar juga sih. Gara-gara konsep 4 Sehat 5 Sempurna ini, aku pernah menyalahkan orang tua, kenapa tidak selalu ada daging? Kenapa tidak selalu ada susu? Kenapa makanan kita begini dan begitu? Kenapa di meja makan tidak ada makanan yang telah diajarkan oleh guru di sekolah?
Sebagai guru art and craft, aku mengajari anak-anak untuk mewarnai dengan warna apapun yang sesuai dengan imaginasi mereka. Seorang ibu yang sedang tunggui anaknya pernah melarang si anak untuk mewarnai buah pisang dengan warna merah. Dia bilang, seharusnya pisang itu warna kuning. Aku bilang, tak masalah jika pisang warna kuning, hijau, merah, ungu, coklat atau apapun. Anak juga dibebas mau menggunakan sarana spidol, crayon, pensil warna ataupun cat air. Apa saja dibolehkan sesuai dengan kenyamanan mereka.
Ibu itu tetap merasa aneh, dia melihat di TK Komersil lainnya, guru menginstruksikan warna dan sarana mewarnai supaya anak tahu apa yang harusnya diketahui siswa soal warna pada buah-buahan. Karena, bagaimana pun, di dunia ini tak ada wortel berwarna biru. Aku katakan padanya lagi, suatu hari dunia akan makin maju. Akan ada orang-orang -yang disebut peneliti- yang akan berhasil membuat Pisang berwarna Merah, Anggur berwarna Pink, Semangka berwana orange, dan sebagainya. Bahkan mungkin, anak-anak sendirilah yang mewujudkan imaginasi mereka yang saat ini tampaknya belum pernah ada. Ibu itu mengerti bahwa warna, seperti halnya pikiran, tak perlu seragam, tak perlu harus sesuai dengan ketentuan yang biasa diyakini masyarakat pada umumnya.
Selain soal mewarnai, yang aku ajarkan adalah craft, menyadur barang bekas. Kadang membuat wayang-wayangan dari tusuk lidi, membuat hiasan rumah dari gelas air mineral, origami dari kertas koran, membuat boneka dari kulit telur, dan sebagainya. Karena masih sangat kecil, sebagian alami gagal gunting, gagal tempel dan gagal hias. Tapi mereka tetap gembira karena bisa membuat mainannya sendiri. Dengan bahan-bahan yang ada di sekitar mereka.
PAUD ini sempat terhambat karena dituduh lakukan Kristenisasi. Pendiri dan Guru utama memang beragama Kristiani. Tapi kan ada aku dan satu pengajar berjilbab lain yang ikut berkontribusi. Jelas kami muslim, bahkan ada pelajaran mengaji di PAUD. Tapi yang namanya prasangka buruk itu ya ada saja. Warga desa sampai adakan rapat yang undang pengurus sekolah untuk berdialog dan klarifikasi tuduhan yang ada.
Aku tak sempat mengikuti perkembangan kasusnya karena mesti pindah ke Jakarta, mempersiapkan hal-hal terkait kuliah.
Aku tidak tahu apakah PAUD Mutiara Hati saat ini masih berjalan atau tidak. Sekalipun berteman di Facebook dengan Bu Dewi dan Michelle, aku tak pernah bersapa dengan mereka. Hanya saja, postingan Michelle -yang kini sudah tampak lebih dewasa dan sudah jadi artis- sering muncul di lini kala Facebookku.
Tadi siang, aku bersama seorang kawan mengobrol di sebuah taman sekitar Kalibata. Ada banyak anak-anak dan arena bermain di sana. Tiba-tiba aku teringat PAUD kecil itu dan jadi rindu. Rindu sekali mengajar dan temani anak-anak bermain.
Rindu tiba-tiba dipeluk dari belakang atau dilendoti oleh anak-anak, dan dengan kemanjaan yang menggemaskan, mereka bilang, "Aku sayaaaaang... sama Bu Guru."
Rasa rindu itu bercampur geli. Mengingat, betapa kikuknya aku yang baru saja lulus SMA dipanggil Bu Guru oleh para orang tua dan anak-anak. Merasa tua. Padahal, sama sekali belum tua. Masih 18 tahun saat itu. Merasa kurang pengalaman juga. Pun, segala aktivitas di sana segalanya bisa dilalui dengan sangat menyenangkan. Walau pastinya, tetap ada kekurangan di sana sini. Misal, aku pernah terlambat datang karena alasan konyol.
Aku nyasar. Padahal, berulang berhasil sampai lokasi tepat waktu, tepat lokasi.
Karena itulah, aku tak mau lagi mencoba jalur alternatif lainnya menuju PAUD. Aku pikir, mungkin ada alternatif jalan yang lebih beraspal yang barangkali bisa aku lewati. Aku jelas-jelas salah kalkulasi, baik arah, jarak, maupun waktu.
Aih... Suatu hari, aku ingin punya kesempatan untuk mengajar anak-anak PAUD lagi.
Setiap kali berangkat ke sekolah, aku naik motor bermesin 2 tak milik Ibu. Padahal, saat itu, sudah ada anjuran dari kepolisian untuk mulai mengganti mesin motor 2 tak dengan mesin 4 tak. Gasnya berat, suaranya berisik, guncangan yang ditimbulkan saat jalanan tak rata ampun-ampunan.
Di pelataran PAUD, ada arena permainan mandi bola. Entah sumbangan donatur, atau memang dibeli oleh pemilik sekolah. Sayangnya, anak-anak hampir tak pernah bisa main di "kandang" mandi bola itu karena tempat itu sering dihuni oleh Ular sawah. Entah dipakai si Ular untuk ganti kulit, kawin, pipis, tidur, dan lainnya. Segala macam trik sudah dicoba untuk mencegah ular masuk. Tapi sia-sia. Anak-anak jadi tak bisa main mandi bola yang jadi kemewahan bagi mereka. Apalagi saat itu memang ada video klip lagu anak-anak yang salah satu adegannya si penyanyi dan kawan-kawannya sedang asik mandi bola, lupa judulnya. Anak-anak suka curhat ingin sekali bisa main seperti itu. Ingin bisa seperti anak-anak yang lain.
Mindset 'ingin seperti anak-anak yang lain' inilah yang sering kita lawan. Pembina sekolah mewanti-wanti kami -para guru yang jumlahnya hanya 3 orang- untuk tidak menanamkan rasa 'ingin seperti orang lainnya' itu ke anak-anak. Mereka tak perlu diajari sebuah standar "normal" seperti yang ada pada umumnya. Menjadi beda karena pilihan atau karena keadaan itu mestinya adalah hal yang biasa.
Kita menerapkan konsep itu mulai dari hal yang terkecil.
Misalnya, tak perlu pakai seragam, tak perlu pakai sepatu jika memang tak punya. Boleh pakai baju apa saja yang dipunyai. Tak harus bagus. Kami sudah bersyukur jika para orangtua yang rata-rata dari kalangan tidak mampu itu sudah mau peduli pendidikan anak. Rasanya sangat bahagia jika melihat para orangtua rela antar anaknya sebelum berangkat ke sawah atau tunggui anaknya sampai selesai. Sekolah memang tak ingin merepotkan orangtua lebih banyak.
Sekalipun judulnya adalah PAUD, tetap saja ada anak usia 7 dan 8 tahun yang bergabung bersama kami. Mereka belum bisa baca buku dan orangtuanya terlalu minder untuk masukkan anaknya ke SD. Takut disuruh bayar seragam dan pungutan macam-macam. Guru utama mengajari 2 orang siswa yang lebih dewasa dari teman-temannya itu agar siap masuk SD, nanti PAUD akan bertanggung jawab memasukkan siswa tersebut ke SD yang mau menampung mereka dengan gratis.
Guru yang mengajari anak membaca dengan metode Desa Huruf itu menjamin bahwa anak ini bisa tetap ikuti sekolah seperti biasa sesuai umurnya. Bahkan sudah bisa membaca. Metode Desa Huruf memang berbeda dengan metode belajar membaca pada umumnya. Yang aku sesalkan, aku belum sempat belajar detail-detail metodenya. Yang jelas, anak bisa lebih cepat bisa membaca berbagai macam kosa kata tanpa perlu repot menghafal banyak nama-nama huruf. Sehingga belajar jadi sangat menyenangkan.
Selain soal kebebasan memakai pakaian apapun, pemilik dan pendiri sekolah, Bu Dewi Kuhnle, mewanti-wanti kepada kami untuk tidak mengajarkan hal-hal seperti 4 Sehat 5 Sempurna karena tak mau anak-anak jadi menuntut orangtuanya makanan sesuai standar
Tapi sekolah sediakan Susu gratis untuk semua anak setiap hari Jumat. Merk apa saja. Yang penting susu.
Yang membagikan susu itu adalah Michelle, anaknya Bu Dewi. Katanya, biar Michelle belajar sejak dini untuk memberi dan tak kikuk berhadapan dengan anak-anak yang kurang mampu. Michelle suka sekali menyanyi, modeling, mendalang, dan kini beberapa kali tampil di TV. Dia juga sekolah di PAUD tersebut. Sekalipun sekolah itu gratis dengan berbagai keterbatasannya, Bu Dewi sangat percaya diri bahwa apa yang diajarkan di sekolahnya adalah pendidikan yang berkualitas. Buktinya, anaknya sendiri sekolah di sana. Bukan sekolah di PAUD mahal yang saat itu sedang menjamur di Solo, dengan berbagai merk berbahasa Inggris maupun dengan embel-embel terpadu.
Soal tak diajarkannya 4 Sehat 5 Sempurna itu, aku pikir, benar juga sih. Gara-gara konsep 4 Sehat 5 Sempurna ini, aku pernah menyalahkan orang tua, kenapa tidak selalu ada daging? Kenapa tidak selalu ada susu? Kenapa makanan kita begini dan begitu? Kenapa di meja makan tidak ada makanan yang telah diajarkan oleh guru di sekolah?
Sebagai guru art and craft, aku mengajari anak-anak untuk mewarnai dengan warna apapun yang sesuai dengan imaginasi mereka. Seorang ibu yang sedang tunggui anaknya pernah melarang si anak untuk mewarnai buah pisang dengan warna merah. Dia bilang, seharusnya pisang itu warna kuning. Aku bilang, tak masalah jika pisang warna kuning, hijau, merah, ungu, coklat atau apapun. Anak juga dibebas mau menggunakan sarana spidol, crayon, pensil warna ataupun cat air. Apa saja dibolehkan sesuai dengan kenyamanan mereka.
Ibu itu tetap merasa aneh, dia melihat di TK Komersil lainnya, guru menginstruksikan warna dan sarana mewarnai supaya anak tahu apa yang harusnya diketahui siswa soal warna pada buah-buahan. Karena, bagaimana pun, di dunia ini tak ada wortel berwarna biru. Aku katakan padanya lagi, suatu hari dunia akan makin maju. Akan ada orang-orang -yang disebut peneliti- yang akan berhasil membuat Pisang berwarna Merah, Anggur berwarna Pink, Semangka berwana orange, dan sebagainya. Bahkan mungkin, anak-anak sendirilah yang mewujudkan imaginasi mereka yang saat ini tampaknya belum pernah ada. Ibu itu mengerti bahwa warna, seperti halnya pikiran, tak perlu seragam, tak perlu harus sesuai dengan ketentuan yang biasa diyakini masyarakat pada umumnya.
Selain soal mewarnai, yang aku ajarkan adalah craft, menyadur barang bekas. Kadang membuat wayang-wayangan dari tusuk lidi, membuat hiasan rumah dari gelas air mineral, origami dari kertas koran, membuat boneka dari kulit telur, dan sebagainya. Karena masih sangat kecil, sebagian alami gagal gunting, gagal tempel dan gagal hias. Tapi mereka tetap gembira karena bisa membuat mainannya sendiri. Dengan bahan-bahan yang ada di sekitar mereka.
PAUD ini sempat terhambat karena dituduh lakukan Kristenisasi. Pendiri dan Guru utama memang beragama Kristiani. Tapi kan ada aku dan satu pengajar berjilbab lain yang ikut berkontribusi. Jelas kami muslim, bahkan ada pelajaran mengaji di PAUD. Tapi yang namanya prasangka buruk itu ya ada saja. Warga desa sampai adakan rapat yang undang pengurus sekolah untuk berdialog dan klarifikasi tuduhan yang ada.
Aku tak sempat mengikuti perkembangan kasusnya karena mesti pindah ke Jakarta, mempersiapkan hal-hal terkait kuliah.
Aku tidak tahu apakah PAUD Mutiara Hati saat ini masih berjalan atau tidak. Sekalipun berteman di Facebook dengan Bu Dewi dan Michelle, aku tak pernah bersapa dengan mereka. Hanya saja, postingan Michelle -yang kini sudah tampak lebih dewasa dan sudah jadi artis- sering muncul di lini kala Facebookku.
Tadi siang, aku bersama seorang kawan mengobrol di sebuah taman sekitar Kalibata. Ada banyak anak-anak dan arena bermain di sana. Tiba-tiba aku teringat PAUD kecil itu dan jadi rindu. Rindu sekali mengajar dan temani anak-anak bermain.
Rindu tiba-tiba dipeluk dari belakang atau dilendoti oleh anak-anak, dan dengan kemanjaan yang menggemaskan, mereka bilang, "Aku sayaaaaang... sama Bu Guru."
Rasa rindu itu bercampur geli. Mengingat, betapa kikuknya aku yang baru saja lulus SMA dipanggil Bu Guru oleh para orang tua dan anak-anak. Merasa tua. Padahal, sama sekali belum tua. Masih 18 tahun saat itu. Merasa kurang pengalaman juga. Pun, segala aktivitas di sana segalanya bisa dilalui dengan sangat menyenangkan. Walau pastinya, tetap ada kekurangan di sana sini. Misal, aku pernah terlambat datang karena alasan konyol.
Aku nyasar. Padahal, berulang berhasil sampai lokasi tepat waktu, tepat lokasi.
Karena itulah, aku tak mau lagi mencoba jalur alternatif lainnya menuju PAUD. Aku pikir, mungkin ada alternatif jalan yang lebih beraspal yang barangkali bisa aku lewati. Aku jelas-jelas salah kalkulasi, baik arah, jarak, maupun waktu.
Aih... Suatu hari, aku ingin punya kesempatan untuk mengajar anak-anak PAUD lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Kamu?