Sabtu, 16 Mei 2015

Rasyid Things

Belakangan ini aku mulai tak suka Mall. Rasanya pusing melihat berbagai macam barang yang sebagian besar diskonnya menipu. Selain itu, seorang kawan yang bekerja di Mall bercerita betapa menyiksanya berdiri sepanjang jam kerja sambil tersenyum kepada semua orang. Jika ketahuan duduk maka ia akan dapat teguran dari supervisor. Aku sangat berempati padanya dan berharap dia segera naik jabatan sehingga bisa duduk kapanpun dia mau. Kondisi di luar Mall yang macet, lingkungan kumuh korban penggusuran Mall. titik banjir sekitarnya dsb menambah kegetiran-kegetiran tiap kali aku melangkahkan kakiku ke Mall.

Aku sendiri bukan orang yang suka belanja. Seringnya jadi orang yang hanya temani belanja. Belanja sering jika hanya butuh. Seringnya sih merasa tak butuh. :p

Salah satu orang yang sering ku temani belanja adalah Rasyid. Aku sampai hafal selera, ukuran baju, parfum, sabun, dan kebutuhan dia yang lainnya.

Menyenangkan sekali bisa memilihkan dia baju dan segala macam kebutuhannya karena dia adalah orang yang tak bermasalah dengan sesuatu yang tampak nyeleneh potongan maupun warnanya. Gitu lah kalau calon Sarjana Seni. Jadi ya oke-oke aja kalau pakai warna pink, ungu, dan paduan cerah lain. Tak pernah mempersoalkan merk juga. Bahan, warna, design dan rasionalitas harga jadi pertimbangan utama.

Karena ketidaknyamananku dengan Mall, kita berdua harus berkompromi untuk tidak belanja di Mall jika ada opsi lain yang bisa ditempuh. Kenapa harus ke Mall jika di toko biasa tersedia? Kenapa harus di Mall jika di pasar tradisional tersedia? Tapi, aku tak bisa memaksakan prinsipku pada sahabat dan orang-orang yang aku sayang juga sih. Apalagi Rasyid adalah seseorang yang tak pernah mengeluarkan jargon-jargon tertentu yang menolak ini itu yang rentan membawanya jadi seorang hipokrit. Jadi, aku sama sekali tak bermasalah jika dia memang minta ditemani belanja. Apalagi jika itu bagian dari kebutuhannya yang memang seorang *ehm* ekskutif muda unyu, yang sering bertemu dengan banyak klien dan jadi image perusahaan.

Yang jadi opsi jika kita tak ke mall salah satunya adalah belanja online. Karena Window Shopping di toko online itu lebih gampang, makanya aku nyoba liat-liat produk Zalora yang cocok buat Rasyid.

Berikut ini adalah daftar belanjaan yang mungkin bisa dipertimbangkan Rasyid. 

Untuk kemejanya, aku pilihkan yang ini, ada pilihan warna merah. Tapi baju terakhir yang kita beli bersama juga warna merah. Jadi, ini juga oke. Dia tak perlu pakai sweeter tambahan karena modelnya udah unik.

Capture gambar dari website Zalora 

Kemeja di bawah ini cocok jika dia ingin tampil kasual. Beberapa event kantor emang nggak mengharuskan karyawan berpakaian yang resmi-resmi amat. Jadi, ini cukup necis untuknya. Seingatku, dia belum punya model yang seperti ini. Ini akan oke kalau dipadukan dengan koleksi sweeternya. Apalagi pas AC kantornya lagi dingin banget.

Capture gambar dari website : Zalora 

Seperti biasa, setelah belanja, aku akan melihat muka bahagianya yang seperti ini. Lucu. Tampang-tampang polos yang minta dijitak setelah ketahuan betapa tengilnya dia.


Tentu saja baju yang aku pilihkan belum final. Zalora juga perlu menambah koleksi baju lelaki yang cerah untuk lelaki kreatif macam Rasyid seperti ini. Menurutku sih lelaki yang pakai baju gelap terus menerus itu sangat membosankan. Warna itu merdeka, bisa melekat di tubuh manapun yang memang menghargai keberagaman dan netralitas.

Tapi ya, terserah aja sih. Karena, soal pakaian itu, yang penting nyaman. percaya diri dan simpel sesuai sikonnya. Gitu...

Musimnya Bisnis Muslim Musliman

Saat masih riset di Yayasan LKiS​, sempat diajak Mas Hairus Salim​ ke forum yang dihadiri guru-guru agama SMA se-Jogja. Salah satu materi yang disampaikan Mas Salim di depan guru-guru itu adalah munculnya kost khusus Muslim dan Muslimah di Jogja dalam 10 tahun terakhir ini. Dulu, kost macam itu tak ada, Muslim dan Non Muslim bisa berbaur dalam kost yang sama.

Selain munculnya kost muslim, ada pula kost yang menolak mahasiswa dari Indonesia Timur. Berkat sikap eksklusif orang Islam dan Jawa, Non Muslim dan Orang Timur sulit mencari kostan.

Fenomena itu ada juga di Solo, dan aku yakin ada di banyak kota lainnya. Kost khusus Muslim dan Muslimah bermunculan dengan berbagai aturan yang sangat ketat soal lelaki dan perempuan, jam malam, dan sebagainya.

Buat apa?
Jika yang dimaksud Muslim dan Muslimah adalah yang berKTP Islam, maka agama ini benar-benar hanya berupa hal sepele macam label. Untuk apa membuat peraturan soal kost muslim seperti ini jika ternyata kost tersebut kotor, kecurian dari orang dalam, pelayanannya payah, dan pemilik kostannya tidak ramah? Wajah Islam macam apa yang ingin ditampilkan oleh pemilik kostan?

Bayangkan jika di sebuah kota mulai bermunculan Kost khusus Islam, Kost khusus Katolik, Kost Khusus Kristen, Kost khusus Budha, Kost khusus Hindu, dsb. Kapan umat beragama bisa berdampingan dalam satu rumah nantinya? Tanpa berhubungan baik dengan yang beda pandangan agama, susah untuk berprasangka baik kepada hal yang berbeda. Intoleran jadinya.

Hitung saja dirimu sendiri, berapa teman beda agama yang kamu kenal? Berapa yang bisa benar-benar akrab?

Jika konon agama yang dianut adalah agama sempurna, dan umatnya jadi mayoritas, kenapa mentalnya begitu insecure? Gampang amat merasa terganggu sama umat agama lain. Kalau emang sempurna dan jumlahnya banyak, mestinya lebih tangguh, bisa jadi pelindung yang lemah, bisa membuktikan bahwa agamanya adalah agama yang membawa kabar gembira.

Kalau mau bawa nama Islam, mestinya diwujudkan dengan keberpihakan kepada orang miskin, penolong mereka yang tak punya rumah, penghormatan kepada perempuan, perlindungan kepada Non Muslim, dan hormati Hak Asasi Manusia yang telah ada di Piagam Madinah jaman Rasul. Mau sampai kapan sih agama ini dijadikan alat kekuasaan, ngurusi privasi orang, nyerewetin persoalan kelamin, dan hal printilan yang mestinya jadi urusannya individu sama Tuhannya?

Ini yang dibahas baru soal kost berlabel khusus Muslim. Masih ada lagi komoditas bisnis lain yang jualan agama sebagai daya tarik. Bank, Hotel, Perumahan, Bimbel, Fitnes, Laundry, dsb. Seolah mengemban label Islam itu gampang. Justru karena mengklaim jadi agama sempurna, maka beban yang ditanggung umat Islam jadi lebih berat. Malu kalau bawa nama Islam tapi bikin sistem yang merugikan orang lain.

Hypatia -filsuf perempuan yang akhirnya dibakar oleh orang-orang Kristen Alexandria- berkata pada  para pejabat yang sedang ingin mengkristenkan semua penduduk, "Jika agama baru ini (Kristen, atau yang saat ini dikenal dengan Katolik) memang sebuah kebenaran, apakah perang agama ini adalah bukti bahwa agama ini akan menjadi lebih baik dari Agama sebelumnya (Yahudi dan Penyembah Dewa Yunani)?"

Mestinya bisa belajar dari agama sebelumnya. Tapi ya gitu, sibuk urusi masalah printilan yang sebenernya otomatis bisa harmonis kalau sistem yang dibangunnya bener.

Kita sudahi saja sesi curcol dini hari ini.

Sekian.