Senin, 04 Mei 2015

Perempuan "Pembajak" Pajak

Tahun 2006. Bulan dan hari ke sekian. Sekitar pukul 11 siang.

Udara panas di luar tak terasa sama sekali di dalam ruang yang berpendingin ruangan ini. Beberapa orang yang namanya dipanggil menuju ke teller untuk menerima uang atau menyetorkan uang. Bukan uang siapa-siapa. Uang mereka sendiri yang disimpan melalui mekanisme perbankan. Bank Lippo tepatnya.

Ibu itu berusia jelang 50 tahunan. Ada uang Rp 100.000 di genggamannya yang hendak ia setorkan ke bank. Uang yang ia sisihkan baik-baik di antara penghasilannya yang sedikit. 100.000 yang hendak ia simpan sangat berarti. Karena dalam keadaan yang serba minim, semua uang di kantongnya akan habis. Entah untuk makan, entah untuk biaya transportasi sekolah anak, atau hal lain. Tidak ada cadangan biaya yang bisa dipakai jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit atau ada kebutuhan lainnya. Sedangkan, orang sepertinya tak mungkin mendaftar asuransi.

Ia menyerahkan buku tabungannya ke teller. Terakhir kali ke bank, di buku tabungannya tercetak saldo Rp 300.000. tak ada transaksi apapun yang ia lakukan di luar itu.

Tapi teller bank berkata lain, “Saldo Ibu Rp 50.000 ya. Ibu menabung Rp 100.000. Jadi total saldo Ibu di sini adalah Rp 150.000.”

“Tapi saldo saya yang terakhir adalah 300.000 mbak.”

“Sudah dipotong pajak administrasi bu. Sehingga yang tersisa di sini adalah Rp 50.000.”

“Jadi saya bayar pajak untuk 3 bulan tanpa transaksi apapun sebanyak Rp 250.000?”

“Benar Ibu. Karena, semakin sedikit uang Ibu yang ada di bank kami, maka akan semakin besar administrasi yang Ibu bayarkan.”

Ibu itu terdiam. Rp 250.000 adalah uang yang sangat banyak baginya. Uang yang akhirnya termakan begitu saja oleh sistem perbankan.

Ia paham bahwa uang yang dipotong pajak adalah konsekuensi dari menabung di bank. Tapi ia tak menyangka akan berkurang sebanyak itu. Ia tak paham regulasi soal semakin sedikit uang, maka pajak yang diambil semakin banyak. Berarti orang miskin sepertinya yang punya sedikit uang di bank akan makin dihisap. Sedangkan orang kaya yang punya banyak uang di bank justru akan semakin diuntungkan dengan pajak yang sedikit dan bunga yang banyak.

Ia menyadari bahwa ia sedang berurusan dengan sistem yang tak sehat. Sistem yang makin menginjak mereka yang tak punya banyak uang di bank.

“Kalau begitu, saya nggak jadi nabung aja mbak. Bisakah saya tutup rekeningnya dan meminta sisa uang 50.000 di saldo saya dikembalikan?”

“Rekeningnya bisa ditutup Ibu. Tapi saldo Rp 50.000 ibu tak bisa ditarik.”

“Jadi saya, orang miskin, menyumbang bank sebanyak Rp 300.000 begitu saja?”

“Bukan menyumbang. Tapi itu sudah regulasi kami bu.”

Saya punya 6 orang anak yang mesti saya tanggung. Saya masih harus bayar kontrakan dan kebutuhan lainnya. Uang berapapun akan sangat berarti bagi saya. Biarlah saya relakan uang 250.000 saya dimakan oleh sistem perbankan. Tapi tolong kembalikan sisa uang 50.000nya.“

“Tidak bisa Ibu. Rekening juga otomatis akan tertutup jika uang Rp 50.000 itu tidak bertambah saldonya. Karena sisa uang akan menjadi biaya administrasi bulanan.”

Ibu itu menghela nafas. Uang yang setengah mati ia sisihkan di antara kebutuhan hidupnya yang tinggi dimakan begitu saja oleh sistem.

“Sebentar mbak, saya duduk dulu. Tahan dulu transaksinya. Biar antrian yang lain dulu. Saya masih akan di sini. Kepala saya pusing.”

Ia duduk di deret kursi terdepan. Tubuhnya terasa lemas. Ada darah rendah yang dipadu asam urat di tubuhnya. Selain itu, teringat juga dengan anaknya yang masih SMA, kemarin dipanggil oleh administrasi sekolah karena belum bayar SPP sekolah. Ada beasiswa dari negara, tapi besarnya beasiswa tak pernah cukup untuk membayar 12 bulan SPP. Hanya bisa 4 bulan pertama. Sehingga anaknya hanya membayar administrasi sekolah sesuai dengan jumlah beasiswa. Sebagai orangtua, bukan tak mau membayar, tapi memang tak ada uang. Sementara ada banyak orangtua menyerah begitu saja dengan kemiskinan hingga tak sekolahkan anaknya, ia memilih untuk tetap menyekolahkan anaknya.

Tentu saja sekolah yang ia pilih adalah sekolah negeri. Sekolah milik pemerintah. Yang dipahaminya, pemerintah wajib menanggung pendidikan warganya. Benar, wajib belajar hanya sampai SMP. Tapi apa berarti orang miskin artinya tak boleh sekolah SMA? Apakah artinya orang miskin harus mengubur dalam-dalam keinginannya untuk berpendidikan tinggi? Bagaimana jika anak-anaknya adalah orang yang kelak mampu mengubah sistem negara ini dengan baik? Bukankah pendidikan adalah salah satu jalan untuk menuju jalan ke sana? Karena jika anaknya tak berpendidikan, ia hanya akan habis dilindas sistem negara seperti dirinya sekarang. Ia tak bisa bayangkan jika anaknya akan jadi korban dari negara yang tak berpihak pada rakyatnya.

Jadi, tiap kali dipanggil oleh pihak sekolah soal biaya SPP dan uang bangunan, ia berkata pada anaknya, “Bilang ke kepala sekolah dan guru. Kalau orangtua kamu nggak punya uang untuk biaya sekolah. Kalau gara-gara biaya itu kamu nggak dibolehin ujian dan nggak dapet kartu ujian sementara kayak semester lalu, minta sama mereka buat bikin surat keterangan bahwa anak ini nggak boleh ikut ujian dan nggak bisa lanjut sekolah karena miskin. Bilang sama mereka, surat itu nanti ditujukannya ke Wakil Ketua MPR, A.M Fatwa. Ditembuskan ke Presiden dan Menteri Pendidikan. Kepala sekolahmu yang tandatangan. Nanti suratnya biar Ibu yang kirim ke Jakarta.”

Itu bukan gertak sambal. Ia memang mengenal pejabat itu. Rekannya dulu yang sama-sama pernah ditindas negara. Bedanya, rekannya itu dari awal memang tokoh karena keterlibatannya di beberapa organisasi dan berpendidikan hingga bisa berkiprah di politik, sedangkan ia tak pernah sempat mengenyam pendidikan tinggi dan sibuk bersusah payah membangun dirinya sendiri dari trauma berkepanjangan setelah kejadian itu.

Biasanya sekolah akan memperbolehkan anaknya ujian. Tapi tak boleh menerima rapor. Tak apa. Bukan hasil nilai yang ia pentingkan. Berapapun nilai yang diraih anak, asal dia bisa tetap sekolah sudah sangat melegakan. Ada 2 anaknya yang masih SMA, keduanya bersekolah di tempat yang berbeda. Semua sedang alami masalah yang sama.

Ia juga ingat anaknya yang masih kuliah D3. Biaya kuliah di Desain Komunikasi Visual sangat tinggi dan mesti dibayar. Tidak bisa menggunakan surat apapun selain minta keringanan ke rektor. Itu pun hanya bisa dilakukan sesekali. Bukan keringanan biaya, tapi hanya penundaan pembiayaan. Jika tak kuat bayar, maka berhenti kuliah. Sedangkan biaya yang dibutuhkan untuk mengerjakan tugas yang sebagian besar harus berurusan dengan percetakan, komputer, kamera dan sebagainya juga tak sedikit. Bagaimana pun, harus tetap diperjuangkan.

Anaknya yang SD belum mengerti apa-apa. Biaya sekolahnya masih sedikit. Jadi bisa dibayar, apalagi sesekali anaknya yang pertama dan sudah menikah juga membantu.

Kontrakan yang dibayar tahunan sebentar lagi akan mulai habis. Ia tak boleh patah semangat. Ada anak-anak yang bergantung padanya sekarang. Ia tak diizinkan untuk lemah. Ia berpikir, bukankah dibalik kekokohan bangunan bank dengan sistem perbankan yang menggurita ini ada manusia-manusia yang punya hati nurani? Yang bisa melakukan pengecualian di hal-hal tertentu. Teller ini hanya pegawai, tapi ada atasannya yang barangkali bisa mendengar. Lagipula, tak masalah jika bank mengambil 250.000 nya. Yang penting uang 50.000 yang masih ada bisa dikembalikan.

Ia menghampiri teller lagi ketika seorang nasabah menyelesaikan transaksinya, sebelum teller memanggil nama nasabah lain, ia buru-buru mengonfirmasi ulang, “Jadi, apa tetap tidak bisa diambil uang Rp 50.000 saya?”

“Mohon maaf Ibu, tidak bisa. Sudah peraturannya begitu.”

“Bisakah bicara dengan manager, direksi atau pejabat bank yang lainnya? Boleh siapa saja, yang penting atasan mbak.”

Teller memanggil atasannya. Ibu itu menceritakan keadaan yang sekarang ini dialaminya. Jawaban sama dengan teller. Tanpa solusi.

Ibu itu mengerti.

Semua yang di sini adalah robot. Tak berperasaan.

Atas nama peraturan, keuntungan dengan sistem ekonomi sedemikian rupa, orang lebih patuh pada hal administratif yang kaku. Mereka bergeming. Tak mau kembalikan yang sedikit dari harta orang miskin sepertinya. Hati mereka tak bisa disentuh sama sekali.

Tapi, siapakah yang bisa mengerti kesusahan orang miskin daripada orang miskin itu sendiri? Bagi orang kaya, Rp 50.000 hanyalah uang kecil sekali makan yang pantas dilupakan. Bagi kelas menengah, Rp 50.000 adalah uang yang bisa dimaklumi jika hilang begitu saja. Apalagi, ia juga sudah "mengikhlaskan" Rp 250.000 pada korporasi itu.

Itu benar-benar jumlah yang tak sedikit baginya.

Ia menarik nafas panjang, mundur beberapa langkah. Kemudian mengambil pot yang terdekat dari jangkauan tangannya.

Ia angkat pot itu tinggi-tinggi. Dan,

PYAAAR!!!

Salah satu monitor komputer bank hancur dihantam pot keramik besar.

Semua orang di ruangan itu kaget.

Satpam dan Polisi yang ada di bank segera mendekati perempuan berkerudung itu. Satpam mengarahkan pentungannya ke kepala Ibu itu sambil memegang tangannya ke belakang.

“Jangan dipukul! Jangan dipukul!!” Bentak Polisi itu pada Satpam sambil berlari.

“Hayo! Bawa saja saya ke kantor Polisi! Penjarakan saya! Penjarakan orang miskin!” Teriak Ibu itu. Menantang.

“Tidak, saya tahu duduk persoalannya. Saya melihatnya.” Kata Polisi itu, menjauhkan Ibu dari ancaman Satpam. “Sekarang Ibu pulang, tenangkan diri. Biar kami di sini yang urus.”

Polisi melepaskan pegangannya. Manager, Teller, Satpam dan orang-orang lainnya hanya terdiam. Ada kebekuan mencekam, tak ada siapapun yang berani bicara.

Ibu itu menegakkan diri. Matanya berkaca-kaca, namun tanpa isak dan air mata. Ia pergi dari bank itu. Begitu saja.

Ia lupakan uang Rp 300.000 nya. Biarlah.

Ia selalu benci polisi dan hal-hal berbau militer. Ada trauma tersendiri soal itu. Dan kini, yang berpihak padanya justru seorang polisi. Ia berdoa dalam hati semoga polisi ini, kelak, tidak ditugaskan atasannya untuk membunuh, menculik, menyiksa, menembak, memeras, atau memenjarakan sipil yang tak bersalah. Karena, sebaik-baiknya polisi yang ada, mereka hanya akan dilindas komando atasannya.

Perempuan yang sepanjang cerita ini bernama “Ibu” ini, adalah Ibuku.
---

Catatan :
Bank Lippo telah lama dinyatakan tutup dan digantikan Bank CIMB Niaga. Kasus penutupan Bank Lippo bisa dibaca di sini.

Kamis, 30 April 2015

Catatan Aksi Kamisan #394

Belum pukul 4 sore. Payung-payung hitam bersablon kasus pelanggaran HAM itu belum terkembang. Bapak-bapak dan Ibu-ibu peserta aksi masih duduk di rerumput di depan gerbang Monas. Berteduh. Sore itu memang agak terik. Aku sampai perlu menyipitkan mata saat memandang bendera merah putih di seberang jalan, tepatnya di halaman Istana Negara. Aku menyalami yang sudah datang satu-satu sekalipun tak semua saling kenal. Ada banyak orang yang datang dan pergi di sini. Asal menyimpan kepedulian yang sama dan mau bersuara, setiap orang bisa bergabung dalam Aksi Kamisan.

Aku bertanya pada Ibu Sunu, salah satu Ibu korban '98, "Apa Bu Sumarsih sudah datang?"

Dia jawab, "Itu bu Sumarsih ada di pos polisi. Nggak tau gimana. Katanya sih tadi kita nggak boleh Kamisan. Auk tuh, ada KAA (Konferensi Asia-Afrika) katanya."

Hah!

"Itu lho dek, di pos itu. Sana aja." Kata Ibu yang lainnya.

Aku mengangguk kepada mereka dan menuju pos Polisi Monas yang dihias dengan 2 ondel-ondel berbaju polisi dan polwan.

Aku mendadak tersenyum di saat yang tidak tepat. Di pikiranku ada pertanyaan iseng, 'Ondel-ondel ini yang mirip polisi ataukah polisi yang mirip ondel-ondel?'

Dari kejauhan, baju hitam dan rambut keperakan Bu Sumarsih terlihat. Dia duduk di depan seorang polisi, dan polisi lain yang mengelilinginya. Ada juga beberapa anak muda yang tidak aku kenali, entah wartawan entah mahasiswa memegang kamera. Memotret dan merekam dengan videonya. Ada seorang lelaki aktivis LBH Jakarta.

"Kami akan tetap Kamisan hari ini seperti biasa. Tidak ada yang bisa melarang-larang kami."

Tubuh Bu Sumarsih tampak bergetar menahan emosi ketika aku menghampirinya di tenda kepolisian Monumen Nasional seberang Istana Negara sebelum Aksi Kamisan ke 394 lalu.

Aksi Kamisan memang belum dimulai, tapi aku jadi merasa datang terlambat karena tak bisa menemani Bu Sumarsih dari awal saat berhadapan dengan para polisi di sana.

Awalnya aku duduk di kursi kosong, selisih satu kursi dengan tempat duduk Bu Sumarsih. Salah satu Presidium JSKK (Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan) ini belum menyadari kedatanganku. Aku bangkit dari tempat duduk untuk menyentuh bahunya, menguatkan dan memberi isyarat bahwa aku akan menemaninya sampai pembicaraan dengan polisi itu selesai.

Ini tidak biasa, Sejak rutin mengikuti Aksi Kamisan, baru kali ini kami sampai diajak bicara di tenda kepolisian itu. Ada apa?

Aku masih berusaha membaca situasi ketika seorang peutgas berseragam polisi dengan name tag P. Siregar mengulang terus-menerus kalimat, "Kami minta tolong lah sama Ibu kerjasamanya. Hanya hari ini saja bu... Ada banyak tamu negara. Kita kan harus saling membantu. Kan selama ini kami juga melakukan pengamanan."

"Ya nggak bisa. Kami akan tetap Kamisan." Kata bu Sumarsih. Suaranya masih bergetar.

"Masalahnya apa sih kalau kami tetap Kamisan hari ini?" Tanyaku, masih kurang paham apa yang diinginkan oleh polisi ini. 

"Dia larang kita untuk Kamisan. Nggak bisalah kita dilarang-larang. Kita akan Kamisan terus sampai negara menuntaskan kasus HAM yang ada." Jawab Bu Sumarsih.

"Bukan dilarang bu," Polisi itu tampak gusar, "kami cuma minta supaya spanduknya tidak digelar di jalan. Kan kita sudah kendurkan negosiasi. Ibu tetap bisa aksi seperti biasa. Hanya, mundurkan setengah meterlah dari jalanan. Kan ada banyak tamu dari luar negeri. Sekali ini saja lah."

"Nggak bisa, kami tetap mau Kamisan seperti biasa."

"Kalau demonya dilihat sama tamu dari luar negeri emangnya kenapa? Bikin malu? Bikin citra negara nggak bagus?" tanyaku.

"Minggu lalu adek ini hadir di Kamisan apa nggak sih?"

"Hadir dong"

"Nah, minggu lalu kan cuma satu negara yang lihat, bayangkan, ini ada ratusan negara yang melihat lho dek..." Kata Polisi itu padaku.

"Kami akan tetap Kamisan." Potong Bu Sumarsih. "Kami janji, jam 5 sudah selesai."

"Kamisan minggu lalu lebih dari jam 5 lho."

"Kali ini akan tepat jam 5 selesai."

Ia beranjak dari kursinya. Ada raut kesal di wajahnya. Aku mempertimbangkan langkah, mau mengikuti Bu Sumarsih atau tetap di tenda. Karena sepertinya pembicaraan belum selesai.

Aku putuskan tetap di tenda saat polisi itu mulai merepet, menyebut-nyebut soal anggotanya. Aku melihat salah satu sisi taman monas yang dipakai apel banyak polisi. Maksudnya 'anggota' itu mereka?

Aku duduk di kursi yang ditinggalkan presidium JSKK (Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan) itu, "Lalu kenapa kalau dilihat negara lain?" Tanyaku, menyambung dengan wajah seinnocent mungkin.

"Adek ini gimana sih? Kok nggak paham-paham. Sedang ada banyak tamu. Ini pun saya cuma minta sekali ini saja. Pas KAA aja. Biar situasi kondusif."

"Bukannya bagus kalau negara lain lihat? Kan tujuan KAA itu salah satunya untuk hapuskan penjajahan. Aksi Kamisan ini pun juga tujuannya hapus penindasan. Apanya yang nggak sesuai sama event KAA ini? Siapa tahu kalau negara lain lihat aksi ini, mereka bisa bantu tekan Indonesia biar selesaikan pelanggaran HAMnya. Kalau memang negara malu sama aksi kami, mestinya kan diselesaikan kasusnya. Bukan malah larang aksinya. "

"Kami nggak larang dek. Kami cuma minta mundur dari jalan dan tak usah pasang spanduk. Silakan berdiri pakai payungnya. Mundurnya cuma setengah meter pun nggak apa-apa."

"Siapa yang ngeliat kalau tempat kita biasa berdiri mesti dimundurin?"

"Kan masih bisa dilihat dari sudut lain dek." Dia menunjuk sketsa format Aksi Kamisan kami yang biasanya. "Bisa dilihat dari sini. Dari sini juga bisa. Keliatan lah." 

"Kami ingin tetap seperti biasanya seperti kata bu Sumarsih tadi. Tidak kompromi."

"Gini aja lah, Kami kasih 2 pilihan ya. Kalian milih tetap berdiri di tempat biasa tapi ditutupi sama anggota kami atau milih mundur setengah meter? Mundur kan tetap bisa keliatan dari sini."

'Sini' yang dia maksud adalah arah gedung MK. Tak akan kelihatan dari jalan utama yang tepat di depan Istana Negara.

"Ya kalau mau naruh anggota bapak di mana, silakan aja. Malah makin menonjol Aksi kami kalau dikawal banyak polisi. Kami berdiri di tempat biasa aja. Kami duluan yang selama 8 tahun Aksi di sini kan... Jadi kalian lah yang sesuaikan situasi. Kami ya akan tetap gini selama negara nggak tuntaskan pelanggaran HAM."

"Urusan kalian itu dek..." katanya mulai kelihatan kesal, "...sama negara. Bukan sama kami. Ini kan kami minta baik-baik. Ini juga cuma sekali ini saja."

"Ya udah, urusan bapak nanti juga sama negara. Bukan sama kami. Kami ini sudah ditindas negara, masak iya mau ditekan sama polisi juga?"

"Spanduk kalian jangan digelar di jalan ya. Jangan makan jalan kayak biasa."

"Ya liat nanti aja ya pak..."

"Terserah kalian lah. Saya nggak tanggung jawab sama apa yang terjadi sama kalian nanti."

"Memang kapan sih instansi negara mau tanggung jawab?" Aku bertanya balik. Retoris. "Udah ya pak, makasih."

Aku meninggalkan tenda bersama dengan mahasiswa dari Universitas Sahid bernama Euis Haryati yang merekam kejadian itu lewat kamera DSLR untuk tugas akhir film dokumenternya. Dia bilang hasil akhir film belum tentu dipublikasikan karena target dia saat ini hanya ingin lulus.

"Dia orang Provos." kata aktivis LBH itu  padaku, setelah kami berbaris bersama dengan payung hitam dan spanduk yang tetap kami bentangkan. Tentu saja, "dia" yang dimaksud adalah P. Siregar tadi, "Kami sudah sering urusan sama dia."

Aneh. Kenapa Provos urusi warga sipil? Bukankah harusnya mereka urus Polisi nakal?

"Ada edaran sih di NGO, Organisasi Buruh, dan BEM kampus. Selama KAA, dihimbau untuk nggak demo gitu. Kemaren aja ada aksi buruh di depan Kedubes Amerika ditangkepin Polisi. Padahal belum mulai nih. Baru mau aksi. Ini baru aja abis dibebasin para aktivisnya."

Aku menghela nafas. Teringat pelajaran sejarah waktu SMP soal Politik Mercusuar ala Soekarno. Tampak sekali masih diterapkan sampai sekarang. Menampilkan yang baik-baik di luar sekalipun aslinya tak karuan.

Kemarinnya, kawan-kawanku bercerita soal orang-orang yang mesti jalan sangat jauh di daerah Sudirman saat jam kepulangan peserta KAA ke hotel masing-masing. Banyak jalan ditutup. Banyak orang tua, Ibu yang menggendong anaknya, dan bahkan pekerja kantoran yang terengah-engah kepayahan di jalanan karena mesti berjalan jauh untuk keluar dari jalan yang ditutup ke jalan yang ada akses transportasi publiknya. Yang punya uang masih bisa naik ojek yang tarifnya saat itu lebih mahal dari taksi. Sniper dan polisi juga ada di mana-mana.

Belakangan juga, aku tahu setelah googling, kalau P Siregar adalah Kanit Provos Polsek Metro Gambir.

Makin tak paham apa urusannya Polisi Provos dengan kami.

Biasanya, foto korban dan beberapa atribut lain digelar di sisi jalan, tapi kali ini mesti dibentangkan. Angin bertiup sangat kencang. Sekalipun sudah dipegang erat, spanduk itu berkibar kencang. Beberapa orang terlihat kerepotan "menjinakkan" spanduk di tangan satu sekaligus memegang payung di sisi tangan yang lainnya.

Hanya ada satu dua anggota kepolisian yang menjaga kami di sisi jalan. Ancaman Polisi Provos tadi rupanya hanya gertakan, atau mungkin ada pertimbangan lainnya. Tampaknya polisi yang menjaga kami dari depan jumlahnya wajar seperti biasanya. Tapi yang ada di belakang dan sisi lainnya, ada lagi. Dengan seragam yang berbeda. Polisi yang tadinya apel di sisi Kebun Monas mulai membubarkan diri. Mungkin mereka bersiap mengamankan jalan untuk KAA. Atau justru... Mengamankan kami?

Sumber foto : Twitter @AksiKamisan (Ayash)

"Baru kali ini lho Banu, Kamisan dijaga sama Polisi, Danramil dan Satpol PP. Biasanya sih cuma intel dan polisi. Baru kali ini juga kita diajak ngomong kayak tadi." Kata Bu Sumarsih padaku setelah kami menyeberang ke Pos Security Istana untuk kirimkan surat Kamisan pada Presiden. Surat itu berisi soal RUU KKR yang mestinya dibatalkan. 

Aku menyampaikan informasi dari aktivis LBH tadi ke Bu Sumarsih, bahwa yang bicara dengan kita di tenda tadi dari Provos. Dia mengangguk pelan, "Tadi mereka mintanya kita mundur 2 meter dari tempat biasanya."

Aku mengangkat bahu, "Tadi pas udah di depanku, dia mintanya mundur setengah meter."

"Wah, berarti dia berharap bisa nego kita."

"Ya nggak papa sih bu kalau diminta mundur setengah meter. Kita ngalah sekali." Pak Franky, salah satu korban '65 ikut nimbrung dalam obrolan kami.

"Wah, nggak bisa dong!" Kata bu Sumarsih tegas, "Anakku mati ketembak, Pak Franky juga pernah disiksa. Mana bisa kita ngalah lagi. Lha pelanggar HAM aja nggak pernah tuh ngalah-ngalah."

Aku sepakat dengan bu Sumarsih. Jika Ibuku ada di sini pun, dia pasti juga akan memilih bertahan daripada memenuhi permintaan polisi.

Di Aksi Kamisan ini, juga ada Pak Suratno, Wakil Danramil yang juga ikut mengawasi kami. Seorang petugas juga tampak sibuk memfoto Aksi kami dari awal sampai akhir. Ini benar-benar Aksi Kamisan yang tak biasa.

Ayash, seorang aktivis KontraS yang biasa mengawal Aksi Kamisan mengumumkan pada kami untuk membentuk lingkaran besar. Bersiap melakukan refleksi. Biasanya, setelah kita berdiri diam, beberapa dari peserta aksi akan berbagi pandangannya soal isu yang diangkat atau soal pelanggaran HAM secara umum. Diutamakan yang bicara adalah mereka yang baru pertama kali bergabung di aksi.

Seorang aktivis yang belum aku tahu namanya memegang toa, siap memimpin aksi.

Yel-yel Kamisan mengudara. Orator dan Massa berbalas Yel.

"HIDUP KORBAN!"

"Jangan diam!!"

"JANGAN DIAM!!"

"Lawan!!"

"JOKOWIII!!"

"Hapus Impunitas!!"

Sudah hampir Kamis ke 400. Kami akan terus begini. Lelah. Tapi tak bosan. Belum akan bosan. Belum boleh.

Berharap, bahwa negara, lewat entitas yang dimilikinya bisa adili pelaku.

Berharap, akhirnya ada keadilan dalam pengadilan HAM.

Berharap...

Terus...

Entah sampai kapan.

Hari itu, sepertinya memang tak terjadi apa-apa pada kami semua walau ada banyak petugas. Tapi, bagaimana dengan hari lainnya?