Tahun 2006. Bulan dan hari ke sekian.
Sekitar pukul 11 siang.
Udara panas di luar tak terasa sama
sekali di dalam ruang yang berpendingin ruangan ini.
Beberapa orang yang namanya dipanggil menuju ke teller untuk menerima
uang atau menyetorkan uang. Bukan uang siapa-siapa. Uang mereka
sendiri yang disimpan melalui mekanisme perbankan. Bank Lippo tepatnya.
Ibu itu berusia jelang 50 tahunan. Ada uang Rp 100.000
di genggamannya yang hendak ia setorkan ke bank. Uang yang ia
sisihkan baik-baik di antara penghasilannya yang sedikit. 100.000 yang
hendak ia simpan sangat berarti. Karena dalam keadaan yang serba
minim, semua uang di kantongnya akan habis. Entah untuk makan, entah
untuk biaya transportasi sekolah anak, atau hal lain. Tidak ada
cadangan biaya yang bisa dipakai jika ada salah satu anggota keluarga
yang sakit atau ada kebutuhan lainnya. Sedangkan, orang sepertinya tak mungkin mendaftar asuransi.
Ia menyerahkan buku tabungannya ke
teller. Terakhir kali ke bank, di buku tabungannya tercetak saldo Rp 300.000. tak ada transaksi apapun yang ia lakukan di luar itu.
Tapi teller bank berkata lain, “Saldo
Ibu Rp 50.000 ya. Ibu menabung Rp 100.000. Jadi total saldo Ibu di sini
adalah Rp 150.000.”
“Tapi saldo saya yang terakhir adalah
300.000 mbak.”
“Sudah dipotong pajak administrasi bu. Sehingga yang tersisa di sini adalah Rp 50.000.”
“Jadi saya bayar pajak untuk 3 bulan
tanpa transaksi apapun sebanyak Rp 250.000?”
“Benar Ibu. Karena, semakin sedikit
uang Ibu yang ada di bank kami, maka akan semakin besar administrasi
yang Ibu bayarkan.”
Ibu itu terdiam. Rp 250.000 adalah uang
yang sangat banyak baginya. Uang yang akhirnya termakan begitu saja
oleh sistem perbankan.
Ia paham bahwa uang yang dipotong pajak
adalah konsekuensi dari menabung di bank. Tapi ia tak menyangka akan
berkurang sebanyak itu. Ia tak paham regulasi soal semakin sedikit
uang, maka pajak yang diambil semakin banyak. Berarti orang miskin
sepertinya yang punya sedikit uang di bank akan makin dihisap.
Sedangkan orang kaya yang punya banyak uang di bank justru akan
semakin diuntungkan dengan pajak yang sedikit dan bunga yang banyak.
Ia menyadari bahwa ia sedang berurusan
dengan sistem yang tak sehat. Sistem yang makin menginjak mereka yang tak punya banyak uang di bank.
“Kalau begitu, saya nggak jadi nabung
aja mbak. Bisakah saya tutup rekeningnya dan meminta sisa uang 50.000
di saldo saya dikembalikan?”
“Rekeningnya bisa ditutup Ibu. Tapi
saldo Rp 50.000 ibu tak bisa ditarik.”
“Jadi saya, orang miskin, menyumbang
bank sebanyak Rp 300.000 begitu saja?”
“Bukan menyumbang. Tapi itu sudah regulasi kami bu.”
Saya punya 6 orang anak yang mesti saya
tanggung. Saya masih harus
bayar kontrakan dan kebutuhan lainnya. Uang berapapun akan sangat
berarti bagi saya. Biarlah saya relakan uang 250.000 saya dimakan
oleh sistem perbankan. Tapi tolong kembalikan sisa uang 50.000nya.“
“Tidak bisa Ibu. Rekening juga
otomatis akan tertutup jika uang Rp 50.000 itu tidak bertambah saldonya.
Karena sisa uang akan menjadi biaya administrasi bulanan.”
“Sebentar mbak, saya duduk dulu.
Tahan dulu transaksinya. Biar antrian yang lain dulu. Saya masih akan di
sini. Kepala saya pusing.”
Ia duduk di deret kursi terdepan.
Tubuhnya terasa lemas. Ada darah rendah yang dipadu asam urat di
tubuhnya. Selain itu, teringat juga dengan anaknya yang masih SMA,
kemarin dipanggil oleh administrasi sekolah karena belum bayar
SPP sekolah. Ada beasiswa dari negara, tapi besarnya beasiswa tak
pernah cukup untuk membayar 12 bulan SPP. Hanya bisa 4 bulan pertama.
Sehingga anaknya hanya membayar administrasi sekolah sesuai dengan
jumlah beasiswa. Sebagai orangtua, bukan tak mau membayar, tapi
memang tak ada uang. Sementara ada banyak orangtua menyerah begitu
saja dengan kemiskinan hingga tak sekolahkan anaknya, ia memilih
untuk tetap menyekolahkan anaknya.
Tentu saja sekolah yang ia pilih adalah
sekolah negeri. Sekolah milik pemerintah. Yang dipahaminya,
pemerintah wajib menanggung pendidikan warganya. Benar, wajib belajar
hanya sampai SMP. Tapi apa berarti orang miskin artinya tak boleh
sekolah SMA? Apakah artinya orang miskin harus mengubur dalam-dalam
keinginannya untuk berpendidikan tinggi? Bagaimana jika anak-anaknya
adalah orang yang kelak mampu mengubah sistem negara ini dengan baik?
Bukankah pendidikan adalah salah satu jalan untuk menuju jalan ke
sana? Karena jika anaknya tak berpendidikan, ia hanya akan habis
dilindas sistem negara seperti dirinya sekarang. Ia tak bisa
bayangkan jika anaknya akan jadi korban dari negara yang tak berpihak
pada rakyatnya.
Jadi, tiap kali dipanggil oleh pihak
sekolah soal biaya SPP dan uang bangunan, ia berkata pada anaknya,
“Bilang ke kepala sekolah dan guru. Kalau orangtua kamu nggak punya
uang untuk biaya sekolah. Kalau gara-gara biaya itu kamu nggak
dibolehin ujian dan nggak dapet kartu ujian sementara kayak semester
lalu, minta sama mereka buat bikin surat keterangan bahwa anak ini
nggak boleh ikut ujian dan nggak bisa lanjut sekolah karena miskin.
Bilang sama mereka, surat itu nanti ditujukannya ke Wakil Ketua MPR,
A.M Fatwa. Ditembuskan ke Presiden dan Menteri Pendidikan. Kepala sekolahmu yang
tandatangan. Nanti suratnya biar Ibu yang kirim ke Jakarta.”
Itu bukan gertak sambal. Ia memang
mengenal pejabat itu. Rekannya dulu yang sama-sama pernah ditindas negara. Bedanya, rekannya itu dari awal memang tokoh karena
keterlibatannya di beberapa organisasi dan berpendidikan hingga bisa
berkiprah di politik, sedangkan ia tak pernah sempat mengenyam
pendidikan tinggi dan sibuk bersusah payah membangun dirinya sendiri
dari trauma berkepanjangan setelah kejadian itu.
Biasanya sekolah akan memperbolehkan
anaknya ujian. Tapi tak boleh menerima rapor. Tak apa. Bukan hasil
nilai yang ia pentingkan. Berapapun nilai yang diraih anak, asal dia
bisa tetap sekolah sudah sangat melegakan. Ada 2 anaknya yang masih
SMA, keduanya bersekolah di tempat yang berbeda. Semua sedang alami masalah
yang sama.
Ia juga ingat anaknya yang masih kuliah
D3. Biaya kuliah di Desain Komunikasi Visual sangat tinggi dan mesti
dibayar. Tidak bisa menggunakan surat apapun selain minta keringanan
ke rektor. Itu pun hanya bisa dilakukan sesekali. Bukan keringanan
biaya, tapi hanya penundaan pembiayaan. Jika tak kuat bayar, maka
berhenti kuliah. Sedangkan biaya yang dibutuhkan untuk mengerjakan
tugas yang sebagian besar harus berurusan dengan percetakan,
komputer, kamera dan sebagainya juga tak sedikit. Bagaimana pun,
harus tetap diperjuangkan.
Anaknya yang SD belum mengerti apa-apa.
Biaya sekolahnya masih sedikit. Jadi bisa dibayar, apalagi sesekali
anaknya yang pertama dan sudah menikah juga membantu.
Kontrakan yang dibayar tahunan sebentar
lagi akan mulai habis. Ia tak boleh patah semangat. Ada anak-anak yang bergantung padanya sekarang. Ia tak diizinkan untuk
lemah. Ia berpikir, bukankah dibalik kekokohan bangunan bank dengan
sistem perbankan yang menggurita ini ada manusia-manusia yang punya
hati nurani? Yang bisa melakukan pengecualian di hal-hal tertentu.
Teller ini hanya pegawai, tapi ada atasannya yang barangkali bisa
mendengar. Lagipula, tak masalah jika bank mengambil 250.000 nya.
Yang penting uang 50.000 yang masih ada bisa dikembalikan.
Ia menghampiri teller lagi ketika
seorang nasabah menyelesaikan transaksinya, sebelum teller memanggil
nama nasabah lain, ia buru-buru mengonfirmasi ulang, “Jadi, apa tetap tidak bisa diambil uang Rp 50.000
saya?”
“Mohon maaf Ibu, tidak bisa. Sudah
peraturannya begitu.”
“Bisakah bicara dengan manager, direksi atau pejabat bank yang lainnya? Boleh siapa saja, yang penting atasan mbak.”
Teller memanggil atasannya. Ibu itu
menceritakan keadaan yang sekarang ini dialaminya. Jawaban sama dengan teller. Tanpa solusi.
Ibu itu mengerti.
Semua yang di sini adalah robot. Tak
berperasaan.
Atas nama peraturan, keuntungan dengan sistem ekonomi sedemikian rupa, orang lebih patuh pada hal administratif yang kaku. Mereka bergeming. Tak mau kembalikan yang sedikit dari harta orang miskin sepertinya. Hati mereka tak bisa disentuh sama sekali.
Tapi, siapakah yang bisa mengerti kesusahan orang miskin daripada orang miskin itu sendiri? Bagi orang kaya, Rp 50.000 hanyalah uang kecil sekali makan yang pantas dilupakan. Bagi kelas menengah, Rp 50.000 adalah uang yang bisa dimaklumi jika hilang begitu saja. Apalagi, ia juga sudah "mengikhlaskan" Rp 250.000 pada korporasi itu.
Itu benar-benar jumlah yang tak sedikit baginya.
Atas nama peraturan, keuntungan dengan sistem ekonomi sedemikian rupa, orang lebih patuh pada hal administratif yang kaku. Mereka bergeming. Tak mau kembalikan yang sedikit dari harta orang miskin sepertinya. Hati mereka tak bisa disentuh sama sekali.
Tapi, siapakah yang bisa mengerti kesusahan orang miskin daripada orang miskin itu sendiri? Bagi orang kaya, Rp 50.000 hanyalah uang kecil sekali makan yang pantas dilupakan. Bagi kelas menengah, Rp 50.000 adalah uang yang bisa dimaklumi jika hilang begitu saja. Apalagi, ia juga sudah "mengikhlaskan" Rp 250.000 pada korporasi itu.
Itu benar-benar jumlah yang tak sedikit baginya.
Ia menarik nafas panjang, mundur
beberapa langkah. Kemudian mengambil pot yang terdekat dari jangkauan tangannya.
Ia angkat pot itu tinggi-tinggi. Dan,
Ia angkat pot itu tinggi-tinggi. Dan,
PYAAAR!!!
Salah satu monitor komputer bank hancur
dihantam pot keramik besar.
Semua orang di ruangan itu kaget.
Satpam dan Polisi yang ada di bank
segera mendekati perempuan berkerudung itu. Satpam mengarahkan pentungannya ke
kepala Ibu itu sambil memegang tangannya ke belakang.
“Jangan dipukul! Jangan dipukul!!”
Bentak Polisi itu pada Satpam sambil berlari.
“Hayo! Bawa saja saya ke kantor
Polisi! Penjarakan saya! Penjarakan orang miskin!” Teriak Ibu itu.
Menantang.
“Tidak, saya tahu duduk persoalannya.
Saya melihatnya.” Kata Polisi itu, menjauhkan Ibu dari ancaman
Satpam. “Sekarang Ibu pulang, tenangkan diri. Biar kami di sini
yang urus.”
Polisi melepaskan pegangannya. Manager,
Teller, Satpam dan orang-orang lainnya hanya terdiam. Ada kebekuan
mencekam, tak ada siapapun yang berani bicara.
Ibu itu menegakkan diri. Matanya berkaca-kaca, namun tanpa isak dan air mata. Ia pergi
dari bank itu. Begitu saja.
Ia lupakan uang Rp 300.000 nya. Biarlah.
Ia selalu benci polisi dan hal-hal berbau militer. Ada trauma tersendiri soal itu. Dan kini, yang berpihak padanya justru seorang polisi. Ia berdoa dalam hati semoga polisi ini, kelak, tidak ditugaskan atasannya untuk membunuh, menculik, menyiksa, menembak, memeras, atau memenjarakan sipil yang tak bersalah. Karena, sebaik-baiknya polisi yang ada, mereka hanya akan dilindas komando atasannya.
Ia lupakan uang Rp 300.000 nya. Biarlah.
Ia selalu benci polisi dan hal-hal berbau militer. Ada trauma tersendiri soal itu. Dan kini, yang berpihak padanya justru seorang polisi. Ia berdoa dalam hati semoga polisi ini, kelak, tidak ditugaskan atasannya untuk membunuh, menculik, menyiksa, menembak, memeras, atau memenjarakan sipil yang tak bersalah. Karena, sebaik-baiknya polisi yang ada, mereka hanya akan dilindas komando atasannya.
Perempuan yang sepanjang cerita ini
bernama “Ibu” ini, adalah Ibuku.
---
Catatan :
Bank Lippo telah lama dinyatakan tutup dan digantikan Bank CIMB Niaga. Kasus penutupan Bank Lippo bisa dibaca di sini.
Bank Lippo telah lama dinyatakan tutup dan digantikan Bank CIMB Niaga. Kasus penutupan Bank Lippo bisa dibaca di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Kamu?