Tadi sore, aku memprotes seorang dosen yang tidak membalas emailku. Aku benar-benar penasaran, apa susahnya sih membalas emailku di saat wifi tersedia gratis di kampus. Dia bukan dosen yang mengajar di jurusanku sih. Tapi aku benar-benar menunggu responnya terhadap project pribadi yang aku bicarakan beberapa waktu lalu dengannya. Dia sudah setuju dan hanya perlu mengubah beberapa hal yang jadi keahliannya. Aku mendengarkan baik-baik alasannya dan mengerti.
Tidak membalas email bukan berarti tidak setuju, sengaja tidak ingin menanggapi atau hal-hal buruk lainnya. Semuanya berjalan dengan baik dan terkendali.
Pembicaraan kami beralih dari email ke topik yang sering kami bicarakan. Mengenai persoalan-persoalan dasar yang biasanya dianggap mapan oleh orang lain.
Kali ini soal konsep pertemanan.
"Teman," katanya, "adalah orang yang tidak ada ketika kita perlukan."
"Kok bisa? Harusnya sebaliknya."
"Ya bukan, pertemanan itu terjadi ketika seseorang mengalami kesamaan nasib. Kalau nasib kita lagi buruk, siapa yang mau senasib sama kita?"
Aku tertawa. Ya bayangkan saja aku sedang tertawa sinis seperti biasa.
"Lha kok, malah ketawa. Aku serius lho Nu. Teman adalah mereka yang tidak ada ketika kita sedang susah. Karena tahu betul kalau kita lagi susah itulah, dia tak mau dekat-dekat."
"Harusnya, karena tau susah itulah seorang teman harus menemani. Mungkin yang harus mengerti kita adalah sahabat? Bukan teman."
"Halah! Pemikiranmu normatif. Teman, sahabat, pacar, istri itu sama aja. Siapa sih yang mau dekat-dekat sama orang susah? Kalau ada kesusahan-kesusahan, orang cenderung akan menjauh. Sederhana saja. Orang kan lebih suka sesuatu yang happy. Suatu keadaan yang bahagia."
Dia balik menertawakanku.
Aku meresponnya dengan senyuman sinis dan menunggu sarkasmenya soal hidup berlanjut.
Sepertinya dia teringat dengan sesuatu yang harus dia lakukan dan membalikkan badannya, menghampiri sepedanya yang terparkir di dekat undakan kantin. Pergi begitu saja. Tanpa pamit, tanpa menjanjikan kapan akan membalas email, dan kapan mulai mengerjakan project kami.
Aku melihatnya dari tempat dudukku. Sama sepertinya, aku juga tak mengucapkan apapun padanya. Sibuk memikirkan ulang ucapannya, mencocokkan dengan das sein yang ada.
Ya.
Aku pikir, dia benar.
mbak jgn jd truk sampah....mbak jd taxi atau angkot aja biar banyak dpt penumpang
BalasHapusWaduh, Nggak menerima tumpangan :)
Hapus