Selasa, 03 Juli 2012

Jejak Cinta Di Antara Salju, Konferensi, dan Ziarah di Iran



(Dimuat di Majalah ITRAH edisi Juli 2012)

Rasanya seperti baru kemarin saat teringat masa-masa menginjakkan kaki pertama kali di negeri para Mullah Januari lalu. Masih jelas terbayang poster-poster selamat datang untuk para delegasi peserta konferensi Islamic Awakening, di lokasi-lokasi strategis bandara. Saat itu, adanya poster tersebut sangat melegakan hatiku karena bepergian sendiri ke luar negeri cukup membuahkan kekhawatiran-kekhawatiran seperti takut  tidak ada seorangpun yang menjemputku di bandara, gagal mendapatkan visa yang tidak sempat aku urus di Indonesia, dan yang lainnya.

Pemandangan Salju di Tehran
Kekhawatiranku semakin sirna ketika menyadari ada delegasi dari Malaysia yang berada satu pesawat denganku, yang juga belum memperoleh visa. Di bandara, panitia meminta dokumenku untuk pengurusan visa. Setelah urusan visa beres, aku pun keluar dari bandara. Aku menggigil karena dinginnya udara dini hari musim dingin bersalju di Teheran. Sejak awal, aku tidak mengharapkan fasilitas yang mewah selain penggantian tiket pesawat seperti yang dijanjikan panitia. Tapi melihat fasilitas awal yang aku dapatkan membuatku berfikir ulang tentang Iran karena ini diluar prediksiku. Aku pikir Iran adalah negara miskin yang sedang prihatin sehingga mungkin saja aku hanya akan menginap di asrama sederhana. Ternyata, aku malah dijamu dengan fasilitas kelas 1 di Hotel Internasional Azadi bintang 5 dengan kamar yang besar dan sangat hangat. Dari jendela kamarku yang terletak di lantai 5, aku bisa melihat gedung-gedung bergaya klasik, sisa-sisa salju, dan bukit yang tampak tandus dari jauh. 

Di Rumah Rahbar Sayyid Ali Khamenei
Rasanya seperti mimpi menjadi satu dari 20 Delegasi Indonesia dalam Acara The Islamic Awakening and Youth Conference yang dihelat di Milad Tower Tehran selama 3 hari. Aku juga akan bergabung dengan  sekitar 1200 orang delegasi lain dari sekitar 80 negara dari seluruh dunia. Konferensi hari pertama berlangsung dengan pengamanan ketat karena konferensi akan dihadiri oleh Presiden Republik Islam Iran, Mahmoud Ahmadinejad dan Sekretaris Jenderal konferensi Pemuda dan Kebangkitan Islam, Ali Akbar Velayati. Aula konferensi begitu besar dan penuh dengan teriakan bersemangat dalam berbagai bahasa membuncah dimana-mana. Teriakan takbir, seruan anti Amerika dan Israel membahana di setiap sudut ruangan. Bahkan terkadang ada orasi ditengah-tengah konferensi oleh para delegasi yang juga disambut dengan teriakan bersemangat yang lainnya.

Panitia menyediakan fasilitas penerjemahan, berupa headphone dengan pilihan bahasa Parsi, Inggris dan Arab. Setelah aku memasang headphone dan memilih bahasa Inggris sebagai terjemahan, segalanya menjadi jelas. Aku bisa mengerti apa yang dibicarakan di podium. Selain itu, konferensi ini juga kental suasana demonstrasi ala jalanan dengan banyaknya orator ulung yang menyampaikan pidatonya bahkan sebelum mereka dipersilahkan. Mereka berbicara dengan bahasa negaranya masing-masing tanpa mimbar. Aku membayangkan, apabila hal itu terjadi di Indonesia pasti orang itu akan ‘diamankan’ demi berlangsungnya konferensi yang tertib. Tapi ternyata pihak panitia membiarkannya seolah-olah sudah mengalaminya setiap hari.

Asalouyeh
Konferensi selanjutnya tidak lagi dihadiri oleh presiden dan pengamanannya pun tidak seketat konferensi awal. Kali ini, para delegasi dibagi menjadi beberapa kelompok dan memasuki ruang konferensi yang lebih kecil untuk berdiskusi. Di sana kami membicarakan tentang kemerdekaan negara-negara Islam, khususnya Palestina dan negara-negara Teluk yang sedang bergejolak. Juga dibahas tentang pendidikan, wanita dan anak-anak, teknologi, media dan lain-lain. Sebagian peserta ada yang diminta bicara untuk menceritakan kondisi di negaranya.

Selain berkonferensi, para peserta juga diajak untuk melihat berbagai obyek wisata  Iran, seperti Asalouyeh, Isfahan, dan Qom. Sayangnya tidak semua bisa aku kunjungi. Aku dan semua delegasi Indonesia saat itu tidak dapat pergi ke Isfahan karena namaku ada di daftar kunjungan ke Asalouyeh yang merupakan pusat industri perminyakan Iran. 

Bila Tehran sedang mengalami musim dingin bersalju, Asalouyeh sebaliknya. Di sana matahari sangat terik dengan banyak sinar matahari dikelilingi bukit yang tandus. Dengan bus, para delegasi diajak mengelilingi wilayah luas dengan pemandangan penuh pipa-pipa dan mengamati kegiatan para pekerja di Industri minyak. Asap hitam mengepul di bukit-bukit menandai adanya proses pembakaran.
Marja Ayatullah Hossein Noori Hamedani

Kunjungan berikutnya adalah ke rumah salah satu marja’ Ayatullah Hossein Noori Hamedani yang terletak di kota suci Qom. Kesederhanaan rumah Ayatullah Nouri Hamedani terlihat dari struktur bangunan yang tua dan dan bergaya tradisional Persia. Di sana beliau berpidato dalam bahasa Parsi yang sayang sekali,  saat itu tidak ada penerjemahnya. Aku tetap mengambil berkah dari kunjungan tersebut dengan shalat di belakang beliau, berdesak-desakan dengan delegasi yang lain karena sempitnya aula sang marja. 

Kunjungan lain yang ditunggu-tunggu adalah ziarah ke Haram Sayyidah Fatimah Ma’sumah sa di Qom. Tempat itu begitu penuh sesak orang seolah-olah ada hari raya terjadi setiap hari di sini. Di dekat makam, masih terlihat tradisi lama bangsa Persia yang mengikatkan kain hijau di pagar makam agar hajat yang diminta segera terkabul. Untuk dapat memasuki makam, para wanita harus mengenakan cadur. Untunglah, aku yang tidak menggunakan cadur bisa meminjam cadur yang disediakan khusus untuk peziarah yang belum memakainya sehingga penampilanku di haram tampak sama dengan peziarah lain. Di sana aku turut berdesak-desakan untuk menyentuh zarih dan mengintip pusara adik Imam Ali Ar Ridho ini. Walau hanya sebentar di haram Sayyidah Ma’sumah, aku masih sempat shalat disana untuk bertabaruk kepada beliau.
Foto bersama Delegasi Lain di Dalam Masjid Jamkaran

Kami juga diajak mengunjungi masjid Imam Mahdi atau masjid Jamkaran yang sangat luas. Selain shalat, kami juga disuguhi kisah tentang proses berdirinya masjid yang disebut juga masjid Imam Zaman ini. Masjid ini dibangun berdasarkan mimpi seorang alim yang diperintah Imam Zaman afs untuk mendirikan masjid di wilayah itu. Setelah mimpi tersebut di ceritakan dan diverifikasi kebenarannya ke ulama lainnya, maka pembangunan masjid ini dimulai sampai seluas yang sekarang. Masjid Jamkaran menyisakan kenangan yang  membuatku tidak dapat melupakan rasanya berlari dalam udara musim dingin di pelataran masjid sang Imam. Karena aku harus berlari cukup jauh untuk dapat memperoleh air wudhu dan berusaha agar tidak ketinggalan rakaat shalat yang dipimpin Imam Masjid. 


Pelataran Masjid Jamkaran
Berkunjung ke rumah Rahbar, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei juga merupakan salah satu agenda penting dalam rangkaian Islamic awakening. Rahbar memberikan pidatonya tentang pentingya kebangkitan Islam. Ia juga berkata bahwa anak muda harus dapat menyesuaikan cara-cara kebangkitan Islam lewat politik sesuai dengan situasi negaranya masing-masing. Selain berkhutbah, para delegasi juga shalat Dzuhur berjamaah dengan Rahbar. 

Kompleks Makam Syuhada Revolusi Iran
DI hari terakhir aku di Iran, aku dan delegasi lainnya mengunjungi makam para syuhada Revolusi Iran dan makam Imam Khomeini. Pemandu tur kami mengajak berkeliling ke makam para syuhada, mendoakan mereka dan menceritakan riwayat kesyahidan mereka yang menggetarkan jiwa. Ada beberapa makam yang mengeluarkan wewangian seharum kasturi walau tidak ada bunga dan parfum di sekitar makam. Semoga Allah menyambut dengan penuh cinta para syuhada.

Tempat terakhir yang aku kunjungi adalah Haram (kompleks makam) pemimpin utama revolusi Iran, Imam Khomeini. Haram Imam Khomeini sangat luas dengan kubah-kubah tinggi seperti Haram pada umumnya di Iran. Di sini, aku kembali mengingat nama-nama berbalut doa penuh cinta yang mungkin belum sempat aku sebutkan, aku kembali teringat harapan-harapan yang mungkin belum sempat terucap. \

Di Depan Haram Imam Khomeini
Malam terakhirku di Iran pada 1 Febuari 2012 dihiasi dengan hujan salju indah yang baru pertama kali kulihat. Butiran salju yang jatuh dari langit seperti penghitung mundur jam-jam kepulanganku ke tanah air. Semoga Allah memberikan berkah dalam perjalanan ini. Aku meninggalkan Teheran dengan hati pilu.  Rasanya, waktu berlalu terlalu cepat. Masih banyak yang ingin aku reguk dari negeri para pejuang dan syuhada ini. Harapan untuk kembali, selalu terpatri dalam sanubariku.

8 komentar:

  1. kerennnnn.... tmnQ dah sampai mana2.
    siiippp

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wew... Temen SMA ku mampir.
      Thx ya Dhinar :)

      Hapus
  2. Balasan
    1. makasih ya ^^, Semoga kamu bisa bagi cerita juga :)

      Hapus
    2. Trims Ya tuk harapannya...! ^_^
      Mohon izin share ya Ukhti di FB-ku : Haidar Dzulfiqar
      Dan di Twitter-ku : Fajar Sucahyo
      Boleh kan...?

      Hapus
    3. Oh, kamu haidar Dzulfiqar to. :D Baru ngeh. Oke, silahkan...
      Twitter ku @syahbanu. Tapi jarang update lagi. Aku follow ya nanti pas twitteran.

      Hapus
  3. bagus tulisannya...

    ntar tunggu ya punyaku hehehehe....

    BalasHapus

Komentar Kamu?