Seorang dokter bagian gizi mengunjungiku. Bertanya kenapa aku tak menghabiskan sarapanku dalam dua hari berturut-turut. Aku mengeluh padanya bahwa sarapan yang terhidang terlalu berat untukku. Nasi, daging, dan sayur di pagi hari membuat perutku sesak. Aku ingin sarapan yang lebih ringan seperti roti, susu, dan buah.
Tentu saja aku bisa mendapatkan jenis sarapan yang aku inginkan. Di rumah sakit ini, selera pasien dan nafsu makannya memang diperhatikan. Aku pernah berkata bahwa aku bosan makan nasi dan memilih kentang rebus sebagai pengganti karbohidrat. Esoknya aku mendapat yang aku mau. Tapi aku agak menyesal meminta ganti kentang rebus karena lauk pauk yang tersedia di menu makanan pasien hanya cocok dipadukan dengan nasi.
Untuk bisa mengubah menu makanan, terlebih dulu dilakukan wawancara pada pasien. Dokter gizi juga akan bertanya pada suster tentang pola makanku sehari-hari. Apakah aku menghabiskan makananku atau tidak. Kemudian, berat badanku diukur beserta tingginya. Dia tampak terkejut karena berat badanku masuk kategori sangat ideal. Tensi darahku juga cukup baik.
Keesokan harinya, aku mendapatkan roti tebal berselai strawberry yang enak. Beserta buah jeruk dan telur rebus. Aku juga diberi susu yang rasanya kurang enak, namun toh aku tandaskan semuanya karena aku sangat menghargai perhatian ahli gizi padaku.
Aku tak pernah menjalani diet khusus untuk mendapatkan berat badan ideal. Terjadi begitu saja. Aku tak pernah benar-benar menghitung kalori yang masuk ke tubuh maupun lainnya. Hanya saja, kadang aku agak terganggu dengan perut berlemak sehingga terpaksa menjalani sit up setiap hari untuk mengempiskannya ke bentuk ideal.
Di sini, aku termasuk pasien yang jarang sekali dijenguk. Para penjenguk pasien biasanya bertanya-tanya sakit apakah orang-orang di sini. Hampir setiap hari, aku mendapatkan tatapan bertanya sekaligus kagum. Pembezoek pasien lain biasanya akan mencoba bicara padaku sambil berkata betapa cantiknya aku. Mereka bertanya dari mana asalku, apa penyakitku hingga dirawat di sini, dan beberapanya bertanya apakah aku punya keturunan kulit putih dari luar negeri karena rambut merahku tampak cocok sekali denganku. Aku menjawab seperlunya. Dalam hati, mereka pasti kasihan padaku karena harus mengalami sakit dan bertanya-tanya "gila" jenis apa yang aku idap sehingga aku sampai ke sini.
Aku begitu tidak percaya diri sampai-sampai ucapan-ucapan memuji tak pernah benar-benar aku percayai. Dari dulu aku memang tak percaya diri hingga aku bosan mendengar basa-basi orang lain tentang betapa pintar, langsing, dan cantiknya aku. Seseorang yang selalu berkata betapa cantiknya aku rupanya mencari ciuman dari perempuan lain. Sehingga ketidakpercayaan diriku bertambah-tambah.
Setiap hari suster dan dokter bertanya tentang keadaan diriku. Apakah tidurku nyenyak, mimpi apa yang menghampiri tidurku, apakah aku cukup minum, apakah kognitifku sudah pulih (jawabannya, sama sekali belum), apa yang aku khawatirkan.
Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan jujur. Tentang mimpi yang ganjil yang menghadirkan sosok lelaki yang aku rindukan. Mimpi soal monster-monster yang mengejarku. Mimpi soal betapa putus asanya aku menjalani hidup. Tadi malam, aku bermimpi bertemu artis dalam sebuah perayaan dan mimpi berlanjut dengan kesialan bahwa aku harus bertemu dengan teman-teman SMP yang pernah memusuhiku. Kemudian, secara aneh mimpiku berubah menjadi pertemuan dengan lelaki yang aku rindukan. Ia bersikap sangat manis dan di dalam mimpiku ia sangat kuat menggendongku di punggungnya. Padahal di kehidupan nyata, dia tak pernah kuat menggendongku di punggungnya sehingga membuatku merasa gemuk. Padahal berat badanku tak pernah berlebihan. Tubuhnya saja yang terlalu kurus dan kurang olahraga.
Tentu saja aku punya kekhawatiran. Kekhawatiran-kekhawatiran soal dunia luar ini membuatku makin lama dirawat di sini. Sebenarnya, bisa saja aku berbohong bahwa kondisiku jauh lebih baik dari sebelumnya. Tapi aku akan menyusahkan diri sendiri nantinya karena bohong dalam pemeriksaan akan membuatku makin sulit sembuh. Aku harus mengakui bahwa aku sedang sakit dan butuh pertolongan. Mengingkari sakitku hanya akan membuat aku jauh dari kesembuhan.
Ada juga kekhawatiran sepele tentang dengan siapa nantinya aku berbagi musik yang bermutu dan film-film di bioskop. Kepada siapa aku nanti minta tolong saat dirajam kesepian dalam menjalani hidupku yang tidak produktif. Belum lagi hal-hal seputar finansial yang mencekikku tiap hari.
Sakit ini membuatku benar-benar bingung. Kata dokter, itu bagian dari gejalaku dan apa yang aku rasakan memang sedang dalam kondisi yang seperti itu. Di sini, tak ada yang memintaku mengingkari apa yang aku rasakan. Tak ada yang mengatakan bahwa apa yang aku rasakan hanyalah drama. Semua orang sangat pengertian dan itu membuatku merasa aman. Tapi aku makin ngeri bagaimana caranya menghadapi dunia luar nantinya.
Aku merasa seperti Naomi dalam Norwegian Woods karya Murakami yang putus asa. Bedanya, aku tak ingin mengakhiri hidup sepertinya. Membaca novel itu membuatku berpikir bahwa orang yang aku cintai bukan seperti tokoh Watanabe, melainkan lebih seperti Nagasawa yang sangat egois dengan kegemaran mencari banyak perempuan dan berencana pergi meninggalkan kekasihnya ke luar negeri tanpa memikirkan perasaannya.
Aku sudah lelah menjalani sakit ini. Aku ingin sembuh. Aku makan, tidur, dan menelan obatku secara teratur. Aku bangun tidur, menghabiskan sarapanku, mandi, dan pada pukul 11-12 siang, aku akan memegang ponselku yang dititip pada suster. Kemudian aku akan tidur siang maupun membaca buku. Biasanya aku akan terbangun pukul 4 atau 5 sore. Sembari bertanya-tanya adakah seseorang yang akan menjengukku. Aku akan memegang handphoneku pada pukul 6-9 malam. Bermain game, membalas pesan whatsapp, dan melihat-lihat instagram. Mbak Umu adalah pembezoek rutinku. Ia akan membawakan baju bersih dan membawa pulang baju kotorku. Aku sangat merasa bersalah merepotkan dia. Tapi aku tak punya pilihan lain saat ini. Ia adalah orang paling masuk akal yang bisa aku repotkan saat ini.
Aku benar-benar lupa bagaimana menjalani hari yang normal di luar sana. Aku masih merasa buntu di sana sini. Tapi aku rasa, aku sudah berusaha sembuh. Kelak, aku juga pasti sembuh dan membayar semua hutang budi yang menumpuk selama aku sakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Kamu?