Kamis, 22 Maret 2018

Soal Ribut-Ribut Aktivis dan SJW itu...

Kosa kata "aktivis" sudah akrab di telingaku sejak aku usia 7 atau 8 tahun. Kosa kata itu terlihat sebagai sesuatu yang keren di mataku. Karena mana mungkin ada seseorang yang menyuarakan keadilan tanpa dibayar dengan taruhan nyawa?

Kakak pertamaku adalah seorang aktivis. Suatu hari aku mendengar ia dibawa ke rumah sakit karena keracunan gas air mata saat demonstrasi anti Soeharto bersama mahasiswa UNS lain. Sekalipun ada demo dan bakar-bakaran di mana-mana, ia tak sampai hilang. Kena gas air mata itu sudah puncak risiko dari segala macam aktivismenya selama ini.

Aku tak banyak bertanya soal aktivisme padanya. Menurut mbak Indah, aku adalah anak kecil caper yang punya pertanyaan-pernyataan menyebalkan. Ia terlalu lelah menjawab. Aku jadi takut untuk ingin tahu lebih jauh. Apalagi, belakangan ini, setiap kali ia pulang kuliah, ia menutup pintu kamar untuk membaca buku atau mengetik tugas kuliah dengan mesin tik tua yang suaranya membahana sampai rumah sebelah. 

Walau begitu, aku tetap jadi adik kecil yang sangat mengaguminya.

Komik politik Amien Rais lah yang membuatku mengerti makna aktivis. Di dalam komik itu, ada penjelasan bahwa kondisi Indonesia di era reformasi sangat kacau. Ada gambar tentang demonstrasi mahasiswa dan aksi bakar-bakar gedung di mana-mana. Mahasiswa adalah penggerak reformasi. Buatku, membaca komik yang bercerita tentang bagaimana mahasiswa menduduki atap gedung DPR itu sangat heroik. Bahkan lebih keren dari tokoh jin ifrid dalam komik Siksa Neraka yang dijual di emperan SD ku.

Tentu saja Amien rais zaman dulu sangat keren. Karena ia memang berjasa menggulingkan Soeharto dan menerjemahkan buku Ali Shariati. Jangan bayangkan Amien Rais zaman sekarang yang serba nyinyir ngawur dan delusional.



Aku kecil tak pernah membayangkan bahwa suatu hari akan ikut demo di berbagai aksi dan menyuarakan isu-isu keadilan sosial di saat dewasa. Aku hanya memperhatikan, sejak kecil aku peduli dan bersuara sekalipun hanya berupa obrolan keresahan dengan teman sekolah yang tak tahu mau menanggapi apa. Selebihnya, bingung-bingung-bingung. Kakakku tak pernah ada yang mengajari bagaimana caranya jadi aktivis. Yang jelas, setiap kali ada isu penindasan, aku tak tahan untuk tak peduli.

Ibu kembali berkumpul bersama anak-anaknya di Solo sekitar awal tahun 2005. Kata ibu, tak ada apa-apa lagi di Jakarta. Tak ada sidang Ad Hoc, tak ada demonstrasi lagi yang ingin ia ikuti. Ia bilang, sahabatnya dibunuh intel. Ia bercerita tentang Cak Munir yang wajahnya lebih mirip bule daripada orang Indonesia. Ia bilang, saat Munir meninggal, para aktivis ikut melayat ke Malang. Banyak orang berhutang budi pada Munir. Termasuk ibuku yang banyak dibantu oleh almarhum ketika kasus Tanjung Priok 1984 sedang disidangkan.

Aku kembali mendengar soal aktivis lagi setelahnya. Pikiran kecilku saat itu heran, ternyata, saat Orde Baru sudah pergi, masih harus ada aktivis yang dibunuh. Padahal, aktivis 98 yang di dalam komik Amien Rais itu dinyatakan hilang, belum kembali.

Di Jakarta, kantor yang pertama kali aku injak adalah kantor KontraS di jalan Borobudur. Di sana, aku melihat mural, dokumen, buku, monumen, dan berbagai macam patung soal pelanggaran HAM. Di sana, aku mempelajari kasus ibuku. Aku mulai bisa membedakan bahwa saat mbak Indah demo, ia adalah aktivis. Mbak Indah sendiri tak pernah kelihatan menyuarakan kasus Tanjung Priok saat mahasiswa. Sedangkan saat ibu demo, ibu selalu tampil sebagai korban. 

Perbedaan ini membuatku bingung. Jika aku menyuarakan isu keadilan sosial, aku ini aktivis atau keluarga korban?

Keterlibatanku di pers kampus membuat aku dipanggil banyak orang sebagai aktivis pers mahasiswa. Aku juga bingung saat itu melakukan aktivisme apa. Karena Paramadina adalah kampus yang nyaris tanpa kasus apa-apa di masa Anies Baswedan. Apalagi tak banyak juga yang aku tulis selain kegiatan seremonial belaka. Parmagz bagiku juga bukan pers mahasiswa garang yang mengkritisi kebijakan kampus. Anggota redaksinya adalah para mahasiswa beasiswa yang takut jika kekritisan akan dapat membuat mereka tampak tidak berterimakasih terhadap donornya. 

Saat aku mulai kerap bicara soal kasus pelanggaran HAM dan konflik sosial lain, orang mulai menyebutku aktivis. Sejak awal aku merasa terganggu. Aku tak pernah dapat uang dari kegiatan apapun seputar HAM, tapi kenapa orang-orang melabelkan itu seolah hal tersebut merupakan profesi?

Benar bahwa selanjutnya, aku diajak riset oleh Ph.D candidate dari Kanada dan Amerika soal diskriminasi agama. Aku juga diajak Andreas Harsono untuk ikut sebagai peneliti di HRW. Masih ada riset lainnya. Tapi bukankah itu membuatku jadi seorang peneliti ya, bukan aktivis.

Aku adalah keluarga korban pelanggaran HAM berat yang kasusnya dilupakan oleh negara dan generasi muda. Saat aku bicara soal pelanggaran HAM yang berdampak langsung pada lingkaran terdekatku, apakah aku adalah aktivis?

Aku adalah seorang anak yang lahir di keluarga Syiah. Hal itu membuatku lebih peka terhadap penindasan minoritas agama. Apalagi aku juga melakukan penelitian serius seperti yang aku sebutkan di atas. Saat aku bicara soal diskriminasi agama, apakah aku adalah seorang aktivis?

Aku adalah seorang yang punya brain injury bernama PTSD (Post Trauma Stress Disorder). Sekarang ini disorderku membaik dengan banyak konseling dan terapi. PTSD ini juga membuatku jadi pribadi yang sangat depresif dan insecure. Tak peduli apapun hal yang telah aku lakukan. Aku mendapatkan PTSD dari kasus kekerasan seksual yang kapan-kapan akan aku ceritakan detailnya. Sehingga, isu perempuan dan kesehatan mental adalah hal terdekat yang perlu aku suarakan. Namun, saat aku bersuara soal isu tersebut, orang menyebutku sebagai aktivis.

Aku juga membicarakan penggusuran. Karena aku tahu betul bagaimana sulitnya mengurus perumahan dan pertanahan. Buatku, negara mesti menggunakan cara-cara manusiawi untuk bernegosiasi dengan warga.

Jika rusun disebut sebagai solusi, maka bagaimana caranya meneruskan perekonomian warga yang sebelumnya berjualan di depan rumahnya masing-masing? Karena ongkos sewa kantin di rusun, ditambah dengan biaya sewa rusun. Jadi, sekalipun di dalam gedung terlihat lebih "beradab", aku melihat dengan mata kepala sendiri bahwa warga tak bahagia. kamu boleh tak setuju soal ini, tapi kamu bisa baca suara warga di dalam buku ini. Di dalam isu kota pun, aku bertindak sebagai jurnalis sekalipun orang akan tetap memanggilku dengan sebutan aktivis.



Ada nyinyir-nyinyir tertentu yang bilang bahwa konflik sosial dipelihara oleh para aktivis biar mereka dapat proyek. Proyek yang berasal dari penderitaan orang miskin. Jadi, ketika ada yang ngomong gini dan label aktivis udah terlanjur melekat, aku bisa apa? 

Iya sih, kita tak perlu merasa bahwa twit no mention dari teman itu ditujukan ke kita. Tapi kalau teman yang kamu kenal menyebut satu kasus yang kamu tangani sendiri isunya dan masih menyatakan ciri tertentu yang jadi gaya bahasamu, maka kamu juga akan merasa bahwa ucapannya diajukan padamu. Kalau dia mengelak, ya sudah. Dia berhak mengelak, seperti halnya kamu berhak merasa twit spesifik itu 'kamu banget'.

Seiring dengan perkembangan media sosial, kini orang tak sembarangan lagi memanggil aktivis pada orang yang peduli pada isu sosial. Apalagi orang-orang yang bekerja di LSM mulai menyebut diri mereka sebagai pekerja. Misal: Pekerja KontraS, Paralegal LBH, Pengacara LBH, dan sebutan lain yang bukan aktivis.

Tapi, kalau tidak dipanggil aktivis, maka panggilan apa yang disematkan pada orang yang bicara seputar isu sosial?

Mereka memanggilnya dengan sebutan SJW. Social Justice Warrior atau Pasukan Keadilan Sosial.

Term SJW ini sebenarnya lahir sejak abad 20 sebagai sesuatu yang netral. Namun pada tahun 2011, Twitter membuatnya jadi sesuatu yang buruk. Seolah SJW ini menyuarakan kepentingannya sendiri yang serba egois. Seolah, membicarakan isu feminisme, keadilan pangan, keadilan tanah, keadilan sosial itu adalah sesuatu yang sok dan menyebalkan. 

Di era Trump jadi presiden, segala pengkritik seputar politik disebut SJW. Bahkan, konon Trump menang karena masyarakat lelah dengan political correctness. 

Emang sih, SJW sering mengoreksi pemikiran orang lain karena egonya sendiri. Karena istilah ini memang anak kandung dari Twitter, maka gerakan SJW mirip sekali dengan slacktivist. Yaitu orang yang merasa bahwa ngetwit, petisi online, dan gerakan media sosial bisa mengubah dunia. Kalau diajak aksi nyata di lapangan, slacktivist ini cenderung ogah. Pada dasarnya, mereka memang menyuarakan isu keadilan sosial untuk kepentingannya sendiri. Untuk memoles citra di media sosial misalnya. Ya mirip-mirip dengan para buzzer yang kerap disebut sebagai keyboard warrior.



Sayangnya, di Indonesia, SJW ini akhirnya dipakai rata untuk semua aktivis, jurnalis, peneliti dan lainnya yang berseberangan ide politik. Terutama setekah Pilkada DKI Jakarta. Sejauh yang aku amati, jarang sekali ada pendukung Ahok dan Jokowi yang diberi label SJW. SJW ini, hanya label yang diberikan pada orang yang mengkritisi keduanya sekalipun bukan pendukung lawan Ahok.

Sebut saja, beberapa orang yang dinyinyirin sebagai SJW seperti jurnalis Febriana Firdaus, pengacara LBH Jakarta Veronica Koman dan Alldo, peneliti tata kota Elisa Sutanudjaja, dan... aku. Nama lainnya banyak. Tapi tak enak jika disebut.

Bahkan, seorang selebtwit yang hobi Twitwar pernah bikin vlog khusus yang membahas SJW. Salah satu yang dia permasalahkan adalah para aktivis yang terlalu sensitif jika ada humor seksis. Dia bilang, "kayaknya temen gue yang aktivis beneran nggak segitunya... blah blah."

Padahal, aktivis feminis beneran yang jadi temanku dan tidak punya Twitter juga tak akan tertawa dengan humor seksis. Tanyalah direktur LBH Apik Siti Mazuma, Direktur Komnas Perempuan Mariana Amiruddin, dan Luviana sebagai pengelola konde.co soal humor seksis. Apakah mereka ikut tertawa ataukah mengejek? Mereka selama ini selalu konsisten menolak humor seksis di manapun tempatnya. Jadi, mungkin teman selebtwit yang bersangkutan belum selesai kajian feminismenya. Karena feminist beneran ga segan mengingatkan rekannya untuk berhenti menggunakan jokes seksis.

Jadi, misalnya aku bicara soal isu yang paling dekat denganku seperti HAM, kesehatan mental, feminisme, dan sebagai peneliti/jurnalis mengomentari masalah kota, maka akan ada netizen yang bilang aku adalah SJW. Semua hal yang aku lakukan di lapangan, semua usaha untuk bertahan sebagai survivors, akan jadi receh di mata netizen karena aku dianggap SJW.

Bahkan, saat ada acara di sebuah kota yang menghadirkan aku sebagai pembicara, seorang hadirin bilang, "oh... ini Syahbanu yang jadi SJW itu ya..."



Aku bilang padanya bahwa aku keberatan dengan apa yang ia ucapkan. Ia tertawa. Karena SJW memang hanya akan ditertawakan di Twitter. Sekalipun kamu adalah seorang selebtwit yang hobi mengoreksi pandangan politik orang, asal kamu tak mengkritik Ahok dan Jokowi, maka kamu tak akan disebut sebagai SJW. CMIIW. Lagipula, aku tidak pernah melihat orang yang menyebut SJW itu terlibat pengorganisasian massa atau sekedar memegang peranan penting di dunia nyata. Mereka yang kerap memberi label SJW pada yang lainnya adalah SJW-nya SJW karena mereka juga mudah sekali kena trigger dengan pemikiran yang dianggap salah atau berseberangan.

Mungkin benar kata Evi Mariani, Redaktur the jakarta Post, "Twitter is high school full of bullies..." Kita tak bisa menyenangkan semua pihak. Kita juga tak bisa menganggap bahwa ucapan kita pasti benar. tapi apapun yang kamu twit, bisa saja berpotensi menyerangmu balik.

Sebagai orang yang aktif di media sosial maupun aktivitas di dunia nyata dalam isu-isu keadilan sosial, aku merasa bahwa mengubah perspektif seorang individu sama sulitnya dengan menciptakan revolusi.

Benar juga sih yang pernah dibilang Bilven saat aku tanya kenapa mau berkutat lama di Ultimus. Dia bilang, "karena mencetak revolusi itu sulit, maka kita perlu mencetak buku."

Aku tak berharap, setelah ini orang-orang akan benar-benar berhenti menyebutku sebagai SJW dan aktivis. Aku survivors dan aku perlu menyuarakan kasusku. Setidaknya, saat seorang netizen random mengatakan bahwa aku adalah SJW, aku akan mengirimkan link blog ini. Ia harus tahu bahwa aku tidak suka dipanggil dengan sebutan itu. Kalau ia tetap memanggil orang dengan panggilan yang tidak disukainya, maka kita bisa melihat sampai mana kualitas pribadi orang tersebut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Kamu?