Tanggal 28 Mei kemarin, untuk pertama kalinya untukku dan untuk teman-teman Yayasan PANTAU yang lain vakansi ke Pulau Pari, salah satu pulau dari banyaknya pulau kecil di gugusan Kepulauan Seribu.
Saat perjalanan menuju Muara Angke, di taksi, Mas Imam bertanya padaku, "Banu pernah ke kepulauan Seribu nggak?"
Aku jawab belum.
Dia tertawa dan bertanya sudah berapa lama aku di Jakarta sampai-sampai aku belum pernah ke sana "Ya, sekitar 4-5 tahunan gitu deh." Jawabku sambil cemberut, aku sadar kalau mau diejek mas Imam.
"Masih mending aku dong kalau gitu. Kamu kemana aja selama ini?." Kata Mas Imam dengan nada suaranya yang di buat setengil mungkin, "Aku lho, 10 tahun di Jakarta malah belum pernah ke kepulauan Seribu, Della juga belum pernah. Bahkan, Eva aja yang sejak lahir di Jakarta juga belum pernah ke sana."
Aku tersenyum, Ternyata toh aku bukan satu-satunya yang belum pernah ke sana. Jadi ini akan jadi pengalaman pertama yang sangat menyenangkan.
Pulau Pari itu kecil dan indah, hanya terdiri dari 4 RT yang bisa dikelilingi seluruhnya dengan bersepeda di jalan setapak yang di semen. Jika kita Kita bisa memilih jalur, mau bersepeda sambil menikmati pemandangan laut yang warnanya bergradasi dari hijau ke biru atau bersepeda di sela-sela rumah penduduk yang rapat.
Warga sekitar banyak yang menyewakan rumahnya sebagai homestay. Aku senang bahwa tidak terlihat ada hotel di sana. Beberapa paket wisata sudah menyewakan paket komplit dengan wisata air, homestay, sepeda dan makan sekaligus. Makanan yang disediakan juga khas masakan rumah, tidak ada menu khusus. Selain itu, ada banyak warung kopi dan mie instan di sana. Kira-kira setiap 2 rumah pasti ada warung, tempat penyewaan sepeda atau penyewaan alat snorkling di sana. Sebagian besar warga di Pulau Pari memang bekerja sebagai guide, penyedia katering untuk penghuni penginapan, warung dan nelayan.
Menyenangkan sekali mengetahui bahwa warga masih saling tolong menolong di sana sekalipun persaingan bisnis sangat ketat. Penjual martabak terang bulan mini yang berjualan keliling dengan sepeda bilang harus membeli semua bahan baku martabak di Jakarta untuk dipersediaan selama 2 minggu. Dia tidak khawatir dengan ongkos kapal yang meledak dari Pari ke Muara Angke karena tak perlu membayar tiket kapal. Walau pun berstatus orang rantau dari Banten, ia sudah berteman baik dengan ABK (Anak Buah Kapal) yang akan memberinya tumpangan gratis tiap ke Jakarta. Guide kami juga membawa kamera waterproof yang bisa digunakan untuk memotret di dalam air saat snorkling. Kamera itu ternyata milik bersama yang digunakan secara bergantian dengan guide lain juga. Sedangkan untuk memindahkan data dari kamera itu ke flashdisk turis, guide meminjam laptop teman yang digunakan secara bersama-sama. Guide yang mau memindahkan data cukup mengetuk pintu rumah pemilik laptop, maka pemilik laptop akan membantu guide itu untuk memindahkan data. Atmosfer kekeluargaan antar warga terasa sekali di sana. Bukti lain solidaritas warga adalah, bakso harga warga lokal itu hanya Rp 13.000, sedangkan harga turis Rp 15.000. Mungkin kalau Fahira Idris yang beli bakso di sana harganya juga Rp 13.000 karena dia memang menang pemilu legislatif di Kepulauan Seribu. Barangkali dia bisa dianggap warga lokal juga.
Angin yang berhembus di Pulau Pari tidak terlalu kuat bahkan di malam hari sekalipun. Ombaknya juga tidak besar sehingga kita tidak bisa berselancar. Di Pantai Perawan yang berpasir putih, ketinggian air maksimal hanya setinggi betis dan airnya pun hangat. Bahkan aku yang tidak bisa renang ini bisa tertidur lelap dan mengambang di tengah pantai tanpa takut hanyut atau tenggelam. Yang tidak ingin main air juga bisa duduk berteduh di bawah pohon yang rimbun dengan kursi dan meja berbentuk kayu. Aku sangat menikmati saat-saat di pantai Perawan, sampai-sampai, aku tidak pernah membawa handphone karena ingin main air sepanjang waktu daripada foto-foto. Makanya, aku tidak punya banyak foto yang berisi pemandangan Pantai Perawan.
Sayang sekali, di Pulau seindah ini banyak sampah yang hanyut dari Jakarta. Paling menonjol, sampah itu justru "parkir" di sekitar Pusat Studi Oceanografi. Jalan setapak yang ada di Pusat Studi itu pun sudah rusak. Sampah juga terlihat di tengah laut maupun di pulau Tikus tempat kami mampir sebentar setelah snorkling. Sulit dipercaya bahwa pulau sekecil itu menampung berton-ton sampah yang semuanya berasal dari Jakarta. Bayangkan berapa jauh perjalanan sampah itu dari Jakarta ke Kepulauan Seribu.
Keluarga Yayasan PANTAU (kami biasanya menyebut dengan isitilah "anak-anak JS, singkatan dari Jurnalisme Sastrawi") tidak semuanya bisa berenang. Termasuk aku. Tapi kita tetap bisa menikmati berbagai olahraga laut seperti snorkling, sofa boat, banana boat, dan permainan random lain. Permainan paling berkesan ada di sofa boat. Kapal karet kami ditarik boat dengan kecepatan tinggi sampai kami terpental, teriak histeris dan harus berpegangan pada tali yang berada bak kemudi kudamilik Prabowo. Kalau tidak berpegang kuat pada "kemudi" itu, kita akan benar-benar jatuh ke tengah laut. Tapi tidak perlu khawatir tenggelam jika jatuh ke laut, kita sudah memakai rompi yang membuat kita mengambang di laut sekalipun tidak bisa berenang. Banana Boat juga epic. Karena kita memang sengaja dijatuhkan di tengah laut saat kecepatan tinggi. Ada guide yang duduk di bagian belakang dan ikut menggulingkan Banana itu agar banana nuya jadi terbalik sehingga kita semua akan jatuh di tengah laut, lalu si guide membantu kita menaikinya kembali.
Guide dengan senang hati mengajari yang tidak bisa berenang. Yang diajari itu termasuk aku. Kata guide itu kepadaku, "Jangan takut nahan nafas mbak, gimana bisa berjuang kalau berenang aja nggak bisa." Sekalipun diberi semangat begitu, aku tetap saja gagal berenang.
Aku menguasai prinsip-prinsip berenang, gerakan maupun teorinya. Aku hanya tidak bisa mengatur nafas dan terlalu takut membuka mata saat berada di bawah air. Karena aku memang tidak melepas softlens ku. Jika aku renang dengan melepas softlensku, maka aku akan gagal melihat apapun. Padahal kan keindahan laut dan sekitarnya terlalu sayang jika dilewatkan. Aku tidak punya kacamata minus soalnya. Lagian, siapa yang mau berkacamata minus saat berenang? Aku sempat tidak sengaja menelan beberapa teguk air laut saat belajar renang. Tidak apa-apa. Hanya saja, mulutku jadi terasa sangat asin dan kebas seperti habis makan kuaci.
Sebelum menuju Pulau Pari, kami harus naik kapal di Muara Angke. Heran juga, kenapa daerah yang menjadi akses utama pariwisata menuju Kepulauan Seribu begitu kumuh dan kacau seperti sebuah daerah tanpa pemerintahan. Bau busuk sampah bercampur ikan, genangan rob yang super keruh, semrawut kendaraan, jalanan rusak dan becek seolah jadi sebuah tugu peringatan bahwa kita terpaksa melewati "neraka" dulu sebelum menikmati "surga" di pulau seberang. Padahal ada bangunan pemerintah berarsitektur modern yang mirisnya bersebelahan dengan pasar yang kotor.
Di dermaga Muara Angke, kapal-kapal diparkir sangat rapat satu sama lain. Aku awalnya heran bangaimana kapal yang berdempetan ini bergerak nantinya. Tapi ternyata tambang-tambang yang mengikat dan melintang di sekitar kapal punya peranan penting dalam memposisikan kapal agar muat berjejalan di dermaga yang tidak terlalu luas. Kapal nelayan maupun pengangkut turis sejajar seolah tidak ada kasta antara angkutan untuk manusia dan angkutan untuk ikan. Air di dermaga keruh dan banyak sampah dibuang sembarangan. Aku tidak tahu apa saja upaya yang dilakukan untuk membuat laut bisa bersih.
Ada sebuah penelitian yang aku baca waktu SMP. Aku lupa penelitian itu dikeluarkan lembaga apa. Penelitian itu bilang kalau Ibu hamil tidak baik terlalu banyak makan seafood karena bisa membuat anak jadi autis. Karena seafood yang berasal dari perairan yang kotor akan membuat ikan-ikan itu jadi tidak sehat dan membuat perkembangan anak dalam kandungan terganggu. Jelas saja begitu penelitian yang keluar, air lautnya sekotor ini. Pasti ikan-ikan itu makan banyak limbah karena sampah ini memang minta ampun banyaknya. Aku perhatikan sepanjang perjalanan, ada banyak ikan-ikan yang mengambang di laut dalam keadaan mati. Aku sih hanya berharap ikan yang mengambang itu tidak mati sia-sia dikarenakan bunuh diri sebab cinta yang tidak terbalas. Aku berharap ikan itu hanya gagal dijaring nelayan.
Hal lain yang disayangkan, tidak semua keluarga JS bisa ikut bersama. Bang Andreas Harsono, Kak Sapariah Saturi terpaksa tidak bisa ikut karena si kecil Diana tidak enak badan. Bang Andreas khawatir Diana akan semakin sakit karena kecapekan.
Kak Ari (Panggilan Sarariah Saturi) bilang, "Wah, paket wisata kalian dikurangi tuh. Harusnya ada bagian tanam Mangrove nya. Sudah kita pesan itu. Mereka kok nggak kasih." Sangat disayangkan ya. Pasti seru kalau pihak guide memenuhi janji mereka untuk ajak kita tanam Mangrove.
Selama di sana, kartu selulerku gagal menangkap signal sehingga aku tidak banyak membuka social media. Setelah merapat ke Muara Angke, notification jejaring sosialku penuh sekali. Dari twitter, facebook, email, whatsapp, Line, dll. Aku juga mendapat kabar buruk tentang penyerangan Paskah di Sleman dan peristiwa-peristiwa lainnya seputar keberagaman.
Aku jadi sadar, ternyata kita memang bisa memilih untuk cari aman dengan mematikan saluran informasi untuk membuat hidup kita lebih tenang dari urusan-urusan yang bukan menyangkut hidup kita secara langsung. Ignorance itu bisa dilatih kok, begitupun tentang kepedulian. Hidup yang berisi kesenangan-kesenagan terus ternyata tidak nyaman untukku. Kalau aku terus menerus berlibur dan tidak tahu apa yang terjadi di luar sana, barangkali aku akan jadi bagian dari silent majority yang terbiasa tak peduli selain tentang keselamatan dan kesenangan diri sendiri. Aku tidak mau menjadi kelas menengah ngehek yang menabung untuk berlibur agar bisa "lari" dari hiruk pikuk kota.
Saat masih di pulau Pari, aku mendengar mas Imam dan kak Della yang handphonenya masih bisa menjangkau internet membicarakan tentang wartawan kompas TV yang dikeroyok. Iya sih, aku nguping pas mau ke kamar mandi dan mereka sedang berada di depan TV. Di TV juga sudah menayangkan peristiwa itu, tapi aku bukan orang yang senang menonton TV sekalipun tidak ada alternatif informasi lainnya. Traveling bersama dengan orang-orang yang tidak hanya sibuk dengan dirinya sendiri itu membawa manfaat positif. Terutama tentang memelihara kepedulian. Di taksi saat perjalanan pulang, mas Imam dan kak Della menjelaskan juga tentang keterlibatan Bakrie di lumpur Lapindo ke supir Taksi. Pengetahuanku tentang kasus itu juga jadi bertambah. Jadi, saat bepergian, yang penting tidak hanya tempat tujuan kita, tapi dengan siapa kita pergi.
Jujur saja, aku suka traveling, tapi aku tidak suka menabung untuk traveling karena ada banyak anak-anak lain yang membutuhkan uang berlibur kita untuk sekolah. Ada banyak kok program orangtua asuh yang hanya butuh sumbangan Rp 50.000/bulan untuk membiayai 1 orang anak asuh. Lagipula, cara hidup senang-senang seperti itu sepertinya bukan tujuan penciptaanku. Aku akan tetap menikmati kesenangan sekali-kali, tapi bukan dengan perencanaan. Aku suka hal yang spontan. Seperti perjalanan ini yang tiba-tiba berangkat vakansi, gratis pula.
Pada akhirnya, aku mau mengucapkan terimakasih kepada Mas Imam, Mbak Della, Norman, Kukuk, Keluarga mas Udin, Mbak Eva, Kak Ruth yang membuatku merasa nyaman seperti berada di keluarga sendiri. Makasih juga buat Mas Andreas yang tiba-tiba ngajakin piknik bersama PANTAU. Januari lalu aku hanya "nyelonong" sebagai siswa JS biasa seperti yang lainnya. Tiba-tiba aku bisa diajak ikut piknik bersama seperti ini seolah aku juga bagian dari pengurus Yayasan PANTAU. Padahal kan bukan. Kalau begitu, kapan-kapan main bareng lagi ya.
Saat perjalanan menuju Muara Angke, di taksi, Mas Imam bertanya padaku, "Banu pernah ke kepulauan Seribu nggak?"
Aku jawab belum.
Dia tertawa dan bertanya sudah berapa lama aku di Jakarta sampai-sampai aku belum pernah ke sana "Ya, sekitar 4-5 tahunan gitu deh." Jawabku sambil cemberut, aku sadar kalau mau diejek mas Imam.
"Masih mending aku dong kalau gitu. Kamu kemana aja selama ini?." Kata Mas Imam dengan nada suaranya yang di buat setengil mungkin, "Aku lho, 10 tahun di Jakarta malah belum pernah ke kepulauan Seribu, Della juga belum pernah. Bahkan, Eva aja yang sejak lahir di Jakarta juga belum pernah ke sana."
Aku tersenyum, Ternyata toh aku bukan satu-satunya yang belum pernah ke sana. Jadi ini akan jadi pengalaman pertama yang sangat menyenangkan.
Pulau Pari itu kecil dan indah, hanya terdiri dari 4 RT yang bisa dikelilingi seluruhnya dengan bersepeda di jalan setapak yang di semen. Jika kita Kita bisa memilih jalur, mau bersepeda sambil menikmati pemandangan laut yang warnanya bergradasi dari hijau ke biru atau bersepeda di sela-sela rumah penduduk yang rapat.
Lihat sampah yang ada di sebelah kanan jalan setapak |
Menyenangkan sekali mengetahui bahwa warga masih saling tolong menolong di sana sekalipun persaingan bisnis sangat ketat. Penjual martabak terang bulan mini yang berjualan keliling dengan sepeda bilang harus membeli semua bahan baku martabak di Jakarta untuk dipersediaan selama 2 minggu. Dia tidak khawatir dengan ongkos kapal yang meledak dari Pari ke Muara Angke karena tak perlu membayar tiket kapal. Walau pun berstatus orang rantau dari Banten, ia sudah berteman baik dengan ABK (Anak Buah Kapal) yang akan memberinya tumpangan gratis tiap ke Jakarta. Guide kami juga membawa kamera waterproof yang bisa digunakan untuk memotret di dalam air saat snorkling. Kamera itu ternyata milik bersama yang digunakan secara bergantian dengan guide lain juga. Sedangkan untuk memindahkan data dari kamera itu ke flashdisk turis, guide meminjam laptop teman yang digunakan secara bersama-sama. Guide yang mau memindahkan data cukup mengetuk pintu rumah pemilik laptop, maka pemilik laptop akan membantu guide itu untuk memindahkan data. Atmosfer kekeluargaan antar warga terasa sekali di sana. Bukti lain solidaritas warga adalah, bakso harga warga lokal itu hanya Rp 13.000, sedangkan harga turis Rp 15.000. Mungkin kalau Fahira Idris yang beli bakso di sana harganya juga Rp 13.000 karena dia memang menang pemilu legislatif di Kepulauan Seribu. Barangkali dia bisa dianggap warga lokal juga.
Gradasi warna air laut Pulau Pari |
Sayang sekali, di Pulau seindah ini banyak sampah yang hanyut dari Jakarta. Paling menonjol, sampah itu justru "parkir" di sekitar Pusat Studi Oceanografi. Jalan setapak yang ada di Pusat Studi itu pun sudah rusak. Sampah juga terlihat di tengah laut maupun di pulau Tikus tempat kami mampir sebentar setelah snorkling. Sulit dipercaya bahwa pulau sekecil itu menampung berton-ton sampah yang semuanya berasal dari Jakarta. Bayangkan berapa jauh perjalanan sampah itu dari Jakarta ke Kepulauan Seribu.
Keluarga Yayasan PANTAU (kami biasanya menyebut dengan isitilah "anak-anak JS, singkatan dari Jurnalisme Sastrawi") tidak semuanya bisa berenang. Termasuk aku. Tapi kita tetap bisa menikmati berbagai olahraga laut seperti snorkling, sofa boat, banana boat, dan permainan random lain. Permainan paling berkesan ada di sofa boat. Kapal karet kami ditarik boat dengan kecepatan tinggi sampai kami terpental, teriak histeris dan harus berpegangan pada tali yang berada bak kemudi kuda
Norman, berpose hampir jatuh di jalan setapak Pusat Studi Oceanografi Pulau Pari yang rusak. |
Aku menguasai prinsip-prinsip berenang, gerakan maupun teorinya. Aku hanya tidak bisa mengatur nafas dan terlalu takut membuka mata saat berada di bawah air. Karena aku memang tidak melepas softlens ku. Jika aku renang dengan melepas softlensku, maka aku akan gagal melihat apapun. Padahal kan keindahan laut dan sekitarnya terlalu sayang jika dilewatkan. Aku tidak punya kacamata minus soalnya. Lagian, siapa yang mau berkacamata minus saat berenang? Aku sempat tidak sengaja menelan beberapa teguk air laut saat belajar renang. Tidak apa-apa. Hanya saja, mulutku jadi terasa sangat asin dan kebas seperti habis makan kuaci.
Sebelum menuju Pulau Pari, kami harus naik kapal di Muara Angke. Heran juga, kenapa daerah yang menjadi akses utama pariwisata menuju Kepulauan Seribu begitu kumuh dan kacau seperti sebuah daerah tanpa pemerintahan. Bau busuk sampah bercampur ikan, genangan rob yang super keruh, semrawut kendaraan, jalanan rusak dan becek seolah jadi sebuah tugu peringatan bahwa kita terpaksa melewati "neraka" dulu sebelum menikmati "surga" di pulau seberang. Padahal ada bangunan pemerintah berarsitektur modern yang mirisnya bersebelahan dengan pasar yang kotor.
Muara Angke |
Hal lain yang disayangkan, tidak semua keluarga JS bisa ikut bersama. Bang Andreas Harsono, Kak Sapariah Saturi terpaksa tidak bisa ikut karena si kecil Diana tidak enak badan. Bang Andreas khawatir Diana akan semakin sakit karena kecapekan.
Kak Ari (Panggilan Sarariah Saturi) bilang, "Wah, paket wisata kalian dikurangi tuh. Harusnya ada bagian tanam Mangrove nya. Sudah kita pesan itu. Mereka kok nggak kasih." Sangat disayangkan ya. Pasti seru kalau pihak guide memenuhi janji mereka untuk ajak kita tanam Mangrove.
Selama di sana, kartu selulerku gagal menangkap signal sehingga aku tidak banyak membuka social media. Setelah merapat ke Muara Angke, notification jejaring sosialku penuh sekali. Dari twitter, facebook, email, whatsapp, Line, dll. Aku juga mendapat kabar buruk tentang penyerangan Paskah di Sleman dan peristiwa-peristiwa lainnya seputar keberagaman.
Aku jadi sadar, ternyata kita memang bisa memilih untuk cari aman dengan mematikan saluran informasi untuk membuat hidup kita lebih tenang dari urusan-urusan yang bukan menyangkut hidup kita secara langsung. Ignorance itu bisa dilatih kok, begitupun tentang kepedulian. Hidup yang berisi kesenangan-kesenagan terus ternyata tidak nyaman untukku. Kalau aku terus menerus berlibur dan tidak tahu apa yang terjadi di luar sana, barangkali aku akan jadi bagian dari silent majority yang terbiasa tak peduli selain tentang keselamatan dan kesenangan diri sendiri. Aku tidak mau menjadi kelas menengah ngehek yang menabung untuk berlibur agar bisa "lari" dari hiruk pikuk kota.
Saat masih di pulau Pari, aku mendengar mas Imam dan kak Della yang handphonenya masih bisa menjangkau internet membicarakan tentang wartawan kompas TV yang dikeroyok. Iya sih, aku nguping pas mau ke kamar mandi dan mereka sedang berada di depan TV. Di TV juga sudah menayangkan peristiwa itu, tapi aku bukan orang yang senang menonton TV sekalipun tidak ada alternatif informasi lainnya. Traveling bersama dengan orang-orang yang tidak hanya sibuk dengan dirinya sendiri itu membawa manfaat positif. Terutama tentang memelihara kepedulian. Di taksi saat perjalanan pulang, mas Imam dan kak Della menjelaskan juga tentang keterlibatan Bakrie di lumpur Lapindo ke supir Taksi. Pengetahuanku tentang kasus itu juga jadi bertambah. Jadi, saat bepergian, yang penting tidak hanya tempat tujuan kita, tapi dengan siapa kita pergi.
Jujur saja, aku suka traveling, tapi aku tidak suka menabung untuk traveling karena ada banyak anak-anak lain yang membutuhkan uang berlibur kita untuk sekolah. Ada banyak kok program orangtua asuh yang hanya butuh sumbangan Rp 50.000/bulan untuk membiayai 1 orang anak asuh. Lagipula, cara hidup senang-senang seperti itu sepertinya bukan tujuan penciptaanku. Aku akan tetap menikmati kesenangan sekali-kali, tapi bukan dengan perencanaan. Aku suka hal yang spontan. Seperti perjalanan ini yang tiba-tiba berangkat vakansi, gratis pula.
Pasukan JS berpose di depan homestay sebelum snorkling |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Kamu?