Rabu, 20 November 2013

Hidup itu, Drama

Jangan malu atau merasa terhina kalau ada yang bilang hidup kita penuh drama. Bisa saja, kehidupan yang penuh drama justru membawa kita pada jalan-jalan intelektual dan spiritual yang lebih bermutu.

Diantara banyak drama yang dicatat sejarah, aku terkesan pada drama 2 orang ini. Drama, telah merubah kehidupannya jadi lebih tercerahkan. 

Orang pertama adalah Soren Aabye Kierkegaard. Filosof Eksisitensialis dari Denmark. Kisah cintanya dengan Regina Olsen yang penuh drama justru jadi inspirasi utama kelahiran pemikiran-pemikiran briliannya. Regina adalah tunangan Kierkegaard yang sangat Ia cintai. Tapi akhirnya Kierkegaard memutuskan pertunangan di tengah jalan walaupun pihak Regina memohon kepadanya supaya jangan membatalkan. Ayah Ragina berkali-kali menemui Kierkegaard untuk mempertanyakan keputusannya.

Kierkegaard sangat terbebani perasaan takut tidak dapat membahagiakan Regina yang sangat ia cintai. Ia juga merasa sudah berkhianat dan tidak dapat berkata jujur tentang banyak hal pada kekasihnya. Regina -gadis muda yang cantik kesayangan Kierkegaard itu- akhirnya menikah dengan orang lain. 

Kierkegaard sering mengirimkan surat permintaan maaf pada Regina. Dia juga sering menulis betapa Ia sangat mencintai Regina Sikap melankolisnya terbawa sampai pada karya-karyanya. Para profesor universitas sampai bingung membaca tesis Kierkegaard. Ini karya ilmiah atau karya sastra? Bahasa Kierkegaard yang terlalu mendayu-dayu dan cenderung curcol membuat tesis ini jadi kelihatan tidak ilmiah. Toh akhirnya tesisnya bisa diterima. Kierkegaard sampai sekarang dikenal orang sebagai "Orang Denmark yang melankolis." Ia jadi bapak eksistensialime dalam dunia filsafat.
"Hidup bukanlah masalah yang harus dipecahkan, tapi kenyataan yang harus dialami."
Kierkegaard
Orang Kedua adalah Jalaludin Rumi. Perpisahan dengan guru yang sangat Ia cintai -Syamsi Tabriz- adalah titik nadir kelahiran sajak-sajak Mastnawi nya. Sebelum pertemuannya dengan Syamsi, Rumi adalah pengajar agama yang terkenal sangat pintar dan disegani. 

Hingga kemudian, Syamsi muncul. Kehadiran Syamsi membuat Rumi berfikir kalau ternyata dia tidak tahu apa-apa tentang hakikat kehidupan ini, sekalipun ia adalah seorang pengajar agama. Murid-murid Rumi tidak suka dengan persahabatan gurunya dengan Syamsi Tabriz sang pengembara. Bagi mereka, Rumi yang mulia tidak pantas bersahabat dengan Tabriz yang  miskin dan tidak punya apa-apa. Apalagi sejak Tabriz datang, Rumi tidak dapat berpisah darinya sehingga ia mulai mengabaikan para pengagumnya.

Untuk merebut kembali perhatian Rumi yang terserap oleh kehadiran Tabriz, ratusan murid Rumi membuat skenario untuk mengusir Tabriz jauh-jauh dari sisi gurunya. Tabriz pun pergi jauh, mengembara dan menjalani kehidupannya yang zuhud. Ia tidak pernah kembali lagi lagi ke Kunya, kota tempat tinggal Rumi.

Sejak kepergian Tabriz, Rumi yang saat itu berumut 37 tahun mulai melahirkan syair-syair indah mastnawi yang bernafaskan cinta dan kerinduan yang mistikal. Rasa cinta dan takzimnya pada sang guru telah berubah menjadi cinta yang transendental (Ilahiah). Cinta itulah yang membawanya pada jalan sufistik dan jadi penyair. Kalau tidak karena drama perpisahan dengan Sang Guru, mungkin kita tidak akan mengenal Rumi. Karena ia hanya akan menjadi guru agama (baca: ustad) biasa saja. 

"Jika kau menggigit orang dengan gigi hingga terluka, sakit gigi akan menyerangmu ~ apa yang akan kaulakukan?"
Rumi
Drama tentang perpisahan, kesedihan, dan kerinduan seharusnya bisa jadi jalan untuk melangkah ke maqam yang lebih tinggi. Seperti Kierkegaard, seperti Rumi. Kita selalu punya drama tersendiri dalam hidup yang bisa jadi kesempatan buat kita untuk "naik kelas" ke tempat yang lebih tinggi lagi. 

Maaf ya teman-teman kalau tulisan ini kesannya kayak tulisan motivasi. Pokoknya hari ini dan seterusnya kita harus semangat! Harus tahu alasan untuk bahagia. Jangan sedih lama-lama. Karena bad day, pasti berlalu. ^^v


Cheers!!!
Salam Drama Queen...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Kamu?