Senin, 20 Mei 2013

Keadilan Intelektual

Beberapa waktu lalu, aku membaca surat menyurat Romo Magnis Suseno dengan Alm Nurcholish Madjid, inti suratnya adalah keberatan Romo Magnis terhadap salah satu isi kajian ilmiah Cak Nur yang disampaikan di UI, di depan para akademisi. Saat itu sebenarnya Romo Magnis tidak hadir, tapi isi kajian Cak Nur yang disebarluaskan kemana-mana cukup menyinggung hati sang Romo karena menyangkut tentang keimaman orang Katolik dan Kristiani tentang sosok Yesus Kristus. Akhirnya Romo Magnis menyurati Cak Nur dan menyatakan ketersinggungannya, surat tersebut juga di teruskan ke beberapa pihak sentral di pemerintahan. Surat Romo Magnis yang serius itu, dijawab dengan serius juga oleh Cak Nur disertai dengan argumen2 ilmiah yang sangat baik dan akhirnya menghasilkan dialog ilmiah yang berbobot. Surat menyurat keduanya menjadi sebuah warisan intelektual yang sangat berharga tentang bagaimana dua orang intelektual menyelesaikan perbedaan pendapat karena keyakinannya terhadap sebuah gagasan. Karena hubungan keduanya secara pribadi tidak pernah terganggu karena adanya surat tersebut. Segala pertentangan kedua benar-benar diselesaikan ala akademisi. 

Jadi ingat, dulu, hubunganku dengan seorang teman menjadi sangat terganggu hanya karena debat kita di facebook dan di warung kopi tentang politik Iran dan Turki. Tentu saja, aku ngotot meluruskan pendapat dia yang menurutku salah tentang politik Iran yang saat itu dibandingkan dengan politik pragmatis ala Turki. Masing-masing kita, tentu saja merasa benar. Dia yang merasa lebih otoritatif karena merupakan mahasiswa Hubungan Internasional. Dan aku juga merasa otoritatif karena aku merasa telah menguasai epistomologi islam  serta sejarah politik mendetail Revolusi Iran dibalik terbentuknya sistem wilayatul faqih yang menjadi perdebatan kita berdua. 

Sayangnya, debat yang panjang itu tidak menghasilkan kesimpulan apa-apa dalam diskusi kita kecuali perang sinisme satu sama lain. Sekarang hubungan kita berdua menjadi baik kembali. Bukan karena perdebatan sudah selesai. Kita hanya memilih untuk berhenti berdebat lagi. Tidak ada kebenaran yang tercipta. Kita sedang melakukan toleransi alias pembiaran terhadap ide masing-masing. Tentu saja, toleransi itu beda dengan respect. Toleransi cenderung melakukan pembiaran (ignoring), respect adalah sikap saling menghormati paham masing-masing karena satu sama lain memiliki standing point tersendiri.

Belajar dari dua kasus beda generasi dan strata intelektual diatas, aku memikirkan banyak hal tentang keadilan intelektual masa kini. Di Era informasi yang sangat padat ini, orang-orang bisa menghakimi ide orang lainnya hanya lewat status facebook dan twitter. Padahal yang dihakimi itu sudah susah-susah menulis sebuah artikel panjang di media atau sudah menulis buku. Bahkan, sebuah buku bisa jadi hanya dikutip-kutip seketip lewat facebook dan twitter saja sudah membuat orang lain yang sangat awam bisa terpengaruh ikut membenci si penulis buku tanpa pernah benar-benar membaca bukunya. Sehingga, orang yang tidak membaca ide-ide yang dihakimi secara utuh menjadi berbuat tidak adil dengan ikut menghakimi sesuatu yang tidak Ia ketahui ide sepenuhnya. 

Kenapa seseorang sangat mudah terpengaruh dengan ide orang lain dalam sosial media? Karena tidak adanya budaya membaca buku yang kuat turut membentuk pikiran seseorang menjadi tidak sistematis. Berfikir sistematis melatih kita untuk memiliki pisau analisa dan memiliki standing point yang kuat tentang apa yang kita yakini. Untuk itu, secanggih apapun para ahli mengatakan tentang keunggulan media sosial, tempat ini hanyalah berupa potongan ide, bukan ide utuh dari seseorang. Jangan sampai kita meyakini sebuah kebenaran hanya lewat potongan ide yang tercecer dimana-mana tanpa bukti yang kuat. Ada banyak Hoax di internet kan? Belum lagi, ada banyak propaganda dari media mainstream yang membuat kita merasa perlu lebih mempertajam akal kita daripada sekedar melihat apa adanya apa yang kita baca.

Maka, jika tidak setuju dengan isi sebuah artikel, balaslah artikel tersebut dengan artikel tandingan beserta argumen ilmiahnya, bukan sentimen penuh kalimat sinis yang tidak menjunjung nilai-nilai akademis di sosial media. Jika tidak setuju dengan sebuah isi buku, maka tulislah sebuah buku tandingan juga yang mematahkan argumen-argumen pamungkas di buku yang kita debat. Buktikan bahwa kita telah mengkritik sebuah ide dengan cara-cara yang bermartabat.

Adillah secara intelektual, akan ada banyak orang yang akan menghormati kita karena tradisi ilmiah kita. Karena sifat adil adalah salah satu sifat untuk menjadi layak untuk dicintai.

2 komentar:

  1. Langsung tertegun, sepertinya sudah tidak sedikit teman yang menjadi renggang gara-gara perbedaan pendapat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, makanya itu. Kalau perdebatannya itu ilmiah dan sangat penting buat khasanah intelektual, jangan sampai menyeret ke ranah ketersinggungan pribadi.

      Hapus

Komentar Kamu?