Jumat, 27 Desember 2013

Tujuh Kematian

Kematian Pertama

Pada suatu hari kekasih berjingkat-jingkat dekat pelupuk mataku. Diam-diam, tanpa suara. Bahkan ia tidak memakai sepatunya. Aku memergokinya sedang memunguti kembali gula-gula yang pernah ia taburkan di helai-helai rambutku. Ia juga menggulung karpet merah yang pernah ia gelar dan membakar helai bunga yang bersisian diatasnya. Ia meniupi lilin yang menerangi ruang dansa kami semalam. Lalu ia menyeberangi ruangan untuk mematikan musik. Temaran, mencekam. Segala sesuatu jadi dingin.

Ia menjelma jadi sosok yang menjulang begitu tinggi sampai leherku yang terlalu lama memandangnya terasa sakit. Ia sedang berkemas, tampak bergegas.

"Mengapa?" Aku bertanya, membiarkan ia berkemas sendirian.

"Kau akan membiarkan aku pergi?" Ia menjawabnya dengan pertanyaan. Seperti yang sudah-sudah.

Aku mengangguk, "Kenapa tidak?" Aku menegakkan tubuhku. "Kau adalah kekasihku, kau boleh tinggal sampai kau bosan. Tugasmu adalah berbahagia. Aku akan terus merawatmu selama kau ada di rumah."

"Aku akan bosan."

"Aku menemukanmu sebagai pengelana. Mungkin rumah memang tidak cocok untukmu. Tapi kau harus tahu bahwa aku tidak pernah menyuruhmu pergi."

"Seharusnya kau mencegahku."

"Kau pernah bilang tidak akan pergi kalau aku tidak menyuruhmu pergi."

"Situasinya jadi berbeda." Kau tampak gelisah.

"Kau hanya tidak perlu berjanji apapun sedari awal."

Tenggorokanku tercekat. Kesunyian menyergap kami.

Ia juga memilih diam, keheningan seperti ini membuat jantungku mencelos sampai perut. Kupu-kupu yang ada di perutku mengepak dengan gelisah.

Aku menggeleng, "Kau boleh melakukan apapun yang kau suka, Kau sudah tau prinsipnya, jika tidak mencintai, setidaknya jangan menyakiti. Jika mencintai, semestinya juga memerdekakan."

"Naif." Dia bergumam, dan terus berkemas sampai memungut remah-remah terakhir. Kita namakan itu kenangan dan masa lalu.

Kematian Kedua

Aku sedang merawat derita dengan membalutnya pelan-pelan. Hingga segala yang luka tertutupi. Aku sempat memandangi mimpi-mimpi yang pelan-pelan runtuh secara dramatis, satu demi satu.

Sejak awal aku menyerahkan hatiku, aku telah mengizinkanmu untuk berbuat apapun. Memelihara, atau menghancurkannya.

Kau memilih untuk menghancurkannya.

Kematian Ketiga

Pada suatu pagi yang biasa, aku telah lupa caranya menulis puisi untuk mengisi sunyi. Penaku mati dan tanganku menolak berkompromi dengan otakku. Seperti hatiku yang menolak berdamai dengan isi kepalaku.

Kau memang tidak pernah bilang akan datang. Kau hanya mengetuk pintu dan aku hanya membukanya. Keterkejutanku hanya mencipta gumam kalimat, "Kenapa tak bilang kalau mau datang?"

Kau menjawabnya dengan senyum. Seharusnya itu bukan jawaban.

Aku memandangmu sebagai prajurit pengelana yang ada di dalam sebuah buku. Buku tersebut berisi selusin kisah peperangan dan banyak hal tentang kegetiran. Luka-luka yang ada di tubuhmu adalah tanda ketangguhan sekaligus memunculkan berbagai kengerian yang aku abaikan.

Jika kau adalah seorang yang telah menjalani berbagai perang, apakah keselamatanmu saat ini adalah hasil dari membunuh orang lain?

Aku tidak ingin kau memandang rumah ini sebagai sebuah medan laga. Kau perlu istirahat tanpa desing peluru. Simpanlah belatimu karena itu membuatku takut.

Kepalaku berkata bahwa mencintai adalah refleksi sebuah keberanian. Lalu, kali ini, aku mematuhi suara dalam kepalaku karena mengabaikannya, hanya akan menghasilkan bising.

Aku melihatmu memainkan belati sambil tersenyum bangga. Menunjukkan padaku kelihaian yang kau gunakan untuk memenangkan satu perang ke perang yang lainnya.

Padahal, tanpa belati dan kelihaian itu, kau sudah demikian indah.

Belati itu begitu cantik dan bermata dua. Kilaunya memendarkan cahaya yang masuk ke mataku namun sayangnya, bukan sebagai cahaya mata. Aku memperingatkanmu untuk berhati-hati dengan belati itu, salah satu dari kita barangkali akan tumbang jika kau lalai melihat sekitarnya.

Terjadilah.

Aku terseok, merapatkan diri di dinding sambil terpejam. Sakitnya memang hanya sebentar saat belati itu mengenaiku. Tapi lukanya menganga. Tepat di dadaku.

Darah yang belum mengering itu menjadi saksi sebuah keberanian dan kepercayaan yang aku sebut dengan cinta. Dan yang kau sebut naif.

Kematian Keempat

Ia mengukir 3 baris kelimat dalam-dalam. Tentang pamit, maaf dan terimakasih. Apakah ini adalah pertarungannya yang lain? Padahal, kita telah jauh melangkah dan hampir lupa jalan pulang.

Lagi pula, seperti pembicaraan kita yang lalu, seharusnya senja yang merangkak masuk tidak lagi memberikan waktu bagi kita untuk sekedar menguji kilat pedang dan bermain-main dengan perjalanan.

Jika kita memilih untuk beradu pedang, siapa yang akan tertebas?

Sudah jelas. Aku.

Kematian Kelima

Aku tidak akan mengatakan apapun. Aku juga tidak punya energi untuk melakukan apapun selain memandangi punggungmu yang pelan-pelan menghilang dari penglihatanku.

Yang aku tahu, aku mulai memucat.

Kematian Keenam

Seseorang melihatku berlari gembira. Lalu ia bertanya, "Bukankah kau adalah orang yang kemarin rubuh dan memucat?"

Aku tersenyum, aku tahu bahwa suatu hari akan mati. Aku telah menanam masa lalu dan membiarkan masa depan tumbuh diatasnya. Yang kau lihat ini adalah masa depan yang berhasil dirancang. Agar tidak begitu saja habis setelah datangnya kematian demi kematian.

"Seseorang perlu kematian-kematian dan kehilangan yang menyakitkan. Agar kelak, kematian dan kehilangan tidak jadi sesuatu yang menyakitkan lagi." Kata sebuah suara yang menguatkanku.

Kematian Ketujuh

Selamat datang, kematian, Aku sudah bersiap untuk hidup lagi. Ini bukanlah perang yang harus dipuaskan dengan kemenangan. Biar bekas luka jadi saksi sebuah kebangkitan dan perjuangan.

Kepada masa lalu, sekali dua kali, aku akan mampir. Hanya untuk melihat bahwa aku telah tuntas dengan urusan seputar rindu dan dendam. Hingga ia akan menghilang atau teralihkan dengan sendirinya. Seperti yang sudah-sudah.

Ada kemestian yang sulit dipungkiri. Tentang harapan, kenangan, persinggahan, luka, cinta dan rindu. Kemestian itu menanamkan sebuah keyakinan bahwa suara itu benar. Suatu hari akan datang saat-saat dimana kehilangan dan kematian bukanlah perkara yang menyakitkan lagi.


Mampang Prapatan, 27 Desember 2013

Senin, 23 Desember 2013

Citra dan Teman-Temannya

Dulu, pas SMA di jurusan bahasa, aku sempat belajar tentang citraan dalam karya sastra. Citraan itu intinya membedah panca indra mana yang bisa dihubungkan dengan sebuah karya sastra. Sekalipun nilaiku bagus di bagian ini (makasih Pak Soekarno :p) sebenarnya aku nggak banyak tahu. Aku selalu menebak di kelas dengan feeling dan untung-untungan. Lalu aku akan heran kalau jawabannya benar. Selalu seperti itu. Ada banyak kebingungan dalam citraan karya sastra ini. Bagiku, jika kita menemukan kata "melihat" dalam sebuah puisi, maka kata tersebut tidak berarti identik dengan mata. Tapi di citraan dalam mata pelajaran itu, seolah melihat hanyalah hal yang bisa dikerjakan oleh mata. Pas udah kuliah di filsafat, aku baru tahu kalau daridulu ternyata aku ada bakat-bakat filsafat aliran metafisika. >,<

Citraan itu, misal nih ya, dalam puisi karya Amir Hamzah berjudul Padamu Jua. Kaulah kandil kemerlap | pelita jendela di malam gelap |melambai pulang perlahan | sabar, setia selalu. Kata yang digaris bawah adalah citraan mata karena membutuhkan indra mata untuk dapat melihat pelita. Nah... Sebenarnya aku tidak tahu apakah ini benar atau tidak. Tahu-tahu nilai ku secara misterius bisa bagus. Teman-teman suka tanya dan aku terpaksa kasih tahu hal yang kurang aku kuasai karena kalau aku nolak, mereka akan bilang aku sombong. Di mata pelajaran sastra ini, aku merasa tergopoh-gopoh untuk tahu makna kata citra. 

Rasanya, citra memang sudah terlalu identik dengan merk hand body lotion. Sampai pada suatu hari munculah icon baru remaja gaul Indonesia : Bunga Citra Lestari. Citra tidak lagi menghadapi ancaman privatisasi kebahasaan. Setidaknya saat ada orang berkata "citra", pikiranku tidak hanya tertuju pada merk hand body, tapi juga tertuju ke suara "sunny... sunny... Apa kabarmu baik-baik saja...". Jangan harap (dan untungnya sampai sejauh ini tidak ada yang berharap juga) aku akan ingat kata "citra" itu sebagai bagian dari mata pelaran sastra. Karena aku memang tidak suka mengingat bab dalam sebuah mata pelajaran yang kurang memberikan fungsi praktis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan pancasila. Kira-kira begitu. 

8 tahun lamanya, media menyuguhkan sebuah kata yang dulunya tidak pernah aku akrabi, yaitu kata Pencitraan. Sekarang ini pencitraan memiliki arti yang sangat buruk. Tidak seindah yang ada dalam karya sastra. Untuk hal ini, mari kita berterimakasih pada SBY and the gank yang telah membuat kata pencitraan jadi sedemikian rupa.

Di yahoo answer, aku menemukan definisi pencitraan. Jadi definisi pencitraan adalah "membuat suatu hal agar citra kita menjadi baik dimata publik, mungkin para pejabat di negara kita sudah sangan fasih melakukan hal tersebut contoh : update status dan ngetweet di twitter agar dibaca orang banyak (publik)." Tentu saja ini definisi yang keliru. Di kelas logika semester awal dulu, aku belajar bahwa jika kita mendefinisikan sesuatu, kata yang akan kita definisikan tidak boleh ada dalam definisi yang kita jabarkan. Di kalimat itu ada kata citra, padahal kan yang sedang didefinisikan adalah kata pencitraan. Nah, herannya, jawaban itu di vote oleh 9 orang. Oke, selamat kepada 10 orang (9 vote + 1 orang penjawab) yang secara terang-terangan melakukan kesalahan logika. 

Kalau kita cari di kamus besar bahasa Indonesia online, kata pencitraan itu nggak ada. Nggak ada karena memang kata itu udah tercemar sama imbuhan. Tapi arti dari citra menurut KBBI adalah :

cit.ra [kl n] (1) rupa; gambar; gambaran; (2) Man gambaran yg dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk; (3) Sas kesan mental atau bayangan visual yg ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yg khas dl karya prosa dan puisi; (4) Hut data atau informasi dr potret udara untuk bahan evaluasi; -- perbankan gambaran mengenai dunia perbankan: kejadian spt itu jelas tidak menguntungkan dl upaya meningkatkan -- perbankan kita di mata internasional

Yang paling dekat dengan pembahasan kita adalah definisi no 2. Man gambaran yg dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk. Pencitraan sendiri adalah sebuah cara yang digunakan untuk menggambarkan seseorang. Meskipun di dunia perpolitikan kita, pencitraan itu seperti selendang sutra tipis yang menutupi bangkai beruang besar yang sudah mati berhari-hari. Pencitraan juga memuat tentang kebaikan-kebaikan, yang sebenarnya tidak ada. Segalanya serba palsu, dan seolah ada isinya.

Padahal sejatinya, pencitraan adalah hal biasa di dunia politik dan dunia marketing. Tidak ada yang buruk dari situ. Namun, saat pencitraan politisi sudah sampai pada tahap menjijikkan, pencitraan mulai mendapat stigma negatif. Sama-sama diberitakan sedang melakukan kebaikan di media, respon masyarakat pada aksi Abu Rizal Bakrie akan berbeda dengan respon masyarakat pada apa yang dilakukan oleh Jokowi. Keduanya sama-sama bisa disebut pencitraan. Tapi karena kata pencitraan sudah demikian tercemar, akhirnya orang mulai mencari kosa kata yang layak untuk Jokowi. Karena ARB jelas narsis di medianya sendiri dan Jokowi tampak tulus bekerja. Orang melabelkan ARB sebagai pencitraan sekaligus juga mencari-cari kosa kata yang belum tercemar maknanya untuk Jokowi. Kata apa yang tepat? Belum ada yang pakem. 

Aku tidak ingin berbicara mengenai pencitraan politisi lagi. Aku hanya ingin menulis tentang kita, individu-individu yang berada di tengah masyarakat. 

Kita bisa kompak mencaci politisi yang sedang melakukan pencitraan. Tapi kita sendiri sebenarnya sedang melakukan pencitraan. Kita seolah sudah bekerja, padahal tidak. Kita seolah bergaya kaya saat musim mudik tiba, padahal di kota tidak punya apa-apa. Kita seolah memikirkan orang miskin, padahal kita hanya ingin tampak dianggap peduli kemanusiaan. 

Aku belajar bahwa seiring dengan waktu, orang tidak akan bisa membedakan antara pencitraan dengan menjaga nama baik. Okelah, pencitraan itu juga sebuah usaha untuk memperlihatkan nama baik. Perbedaannya, dalam pencitraan sangat dimungkinkan adanya kebohongan-kebohongan yang dibuat bertolak belakang antara fakta dan pencitraannya. Sedangkan menjaga nama baik adalah, menutupi aib dan kesalahan kita dengan tidak mengumumkannya kepada orang-orang. Apalagi yang kita lakukan bukan dosa sosial yang merugikan banyak orang. Sehingga menjaga nama baik tidak dapat disebut dengan munafik.

Misalnya, ada seorang lelaki tampan yang diam-diam senang memakan upilnya sendiri. Jika dia tidak mengatakan pada siapapun hobinya itu, maka itu tidak bisa disebut sedang pencitraan dalam konotasi yang buruk. Tapi ia sedang menjaga nama baik dirinya. Karena ia tahu bahwa hobinya itu bukanlah sesuatu yang umum di masyarakat. Ia bisa habis di bully karena itu. Bayangkan jika hobinya itu dia tulis di sosial media dengan tulisan : "Dingin-dingin memang paling enak makan upil sendiri" disertai foto selfie yang memperagakan gerakan itu. Niscaya orang itu akan mempermalukan dirinya sendiri, pacarnya (kalau ada), dan keluarganya. Kecuali memang dia dari awal berniat untuk mencitrakan diri sebagai seorang yang menjijikkan dan mengira bahwa aksi tersebut adalah hal keren sejagad raya.

Pencitraan itu, sekali lagi, sangat berbeda dengan menjaga nama baik. 

Misalnya begini juga. Kita pernah mendengar kabar tentang pernikahan SBY sebelum bersama Ani. Dari pernikahan itu SBY punya 2 putri. SBY melakukan pencitraan dengan tidak mengakui bahwa peristiwa itu tidak pernah terjadi padahal nyatanya terjadi dengan bukti-bukti yang kuat. Nah, di sini kita mencium bau busuk pencitraan. Karena ada fakta yang keliru dan bertentangan dalam hal ini. 

Jika aku tidak mengatakan tentang aib diriku sendiri, itu bukan karena aku sedang melakukan pencitraan. Karena hal-hal yang ada kaitannya dengan aib yang aku tutupi itu tidak aku kemukakan di publik dengan versi yang berbeda. Bahkan tidak memunculkan isu tersebut di publik. Maka itu bukan pencitraan. Itu sedang menjaga nama baik. Karena aku tahu bahwa hidupku tidak serta merta tentang diriku sendiri. Ada keluarga, sahabat, dan nama organisasi yang barangkali terkena imbas dari buruknya namaku. Justru karena tidak memikirkan diri sendiri, aku menjaga namaku. Meminjam kalimat Anies Baswedan, "supaya ibu kita tidak malu telah melahirkan kita". 

Apa sedang melakukan kemunafikan? Oh jelas tidak. Karena, sekali lagi, menjaga nama baik adalah mengatakan atau memilih untuk tidak mengatakan apa-apa yang tidak bertentangan faktanya. Apalagi jika itu bukan sebuah dosa sosial yang kebenarannya diperlukan untuk kepentingan orang banyak. 

Pada akhirnya, aku ingin berbicara langsung pada orang yang mengaku tidak peduli dengan citra diri (mungkin maksudnya nama baik diri sendiri), jika kamu tidak peduli sama sekali tentang omongan buruk orang disekitarmu, tidak peduli pada stigma buruk masyarakat padamu karena aib pribadi yang tersebar, tidak peduli perasaan orang-orang terdekatmu yang mendengar kabar itu, mungkin seharusnya kamu memilih karir sebagai intelegen. Karena salah satu hal yang sangat dipertimbang kan dalam dunia intelegen adalah tidak memiliki keterikatan kuat dengan orang-orang lainnya. Jangan pilih pekerjaan lain. 

Bisa jadi kamu berkata bahwa kamu tidak peduli pada citramu sendiri. Atau kamu berkata peduli setan orang mau berkata apa tentangmu, justru kamu sedang menerapkan prinsip=prinsip self sentris. Karena ternyata kamu adalah orang yang memikirkan diri sendiri. Jika barangkali kamu memang tidak memiliki keluarga, orang kesayangan, organisasi, komunitas, dan sebagainya yang perlu dijaga dan sangat terikat pada mu. Bukan berarti orang lain juga harus sama. Jika kamu bisa tenang memikirkan diri sendiri atau Self sentris, jangan minta orang lain juga sama sepertimu. Nggak perlu mencela yang memilih untuk menjaga nama baiknya. Respect.

Bagiku, menjaga nama baik diri sendiri itu bukan hanya berbicara tentang kinclongnya nama kita pribadi. Tapi juga bentuk respect pada lingkaran sekitar kita yang telah berusaha keras membentuk pribadi kita menjadi sedemikian rupa. Jika kita malah mengkhianati kepercayaan orang sekitar kita yang menyayangi kita, atau melukai hati mereka karena desas-desus buruk di sekitar kita, jangan harap kita bisa menjaga nama baik hal-hal yang lebih besar. Nama baik agama, negara, bangsa, dsb. 

Jalaluddin Rakhmat dalam salah satu ceramahnya berkata bahwa di dunia ini, ada orang-orang yang memiliki kepercayaan diri tinggi dalam mengungkapkan aib dirinya sendiri. Bukankah akan lebih baik jika kepercayaan diri itu seharusnya digunakan saat melakukan hal-hal baik, bukan saat melakukan hal-hal buruk? []