Senin, 19 November 2018

Tentang Hal yang tak Sesuai Kenyataan

Suatu hari, dalam salah satu sesi konseling psikologi, terapis ku bilang bahwa aku adalah seorang yang perfeksionis. Ekspektasiku terhadap diri sendiri kelewat tinggi sehingga aku tak berani melangkah ke tempat yang belum pasti. Aku tak ingin menjalin hubungan yang tak pasti. Aku tak ingin ikut undian dan enggan dengan segala macam hal yang punya risiko gagal.

Aku memang tak selalu berada di zona nyaman. Namun, aku selalu menolak jika harus berkompetisi dalam segala macam persoalan. Aku tak tertekan jika ternyata bukan jadi yang pertama dan terbaik dalam satu bidang karena aku menyadari betul kemampuanku yang serba pas-pasan dengan "survival mode" maksimal yang biasa saja. Tapi aku jelas akan sangat kecewa jika kalah dalam sebuah kompetisi tertentu atau berada dalam situasi gagal.

Itu yang membuatku punya prinsip, "lebih baik tak mencoba/tak mengerjakan jika hasilnya tak akan memuaskan.

Aku adalah orang yang nyaris tak pernah melamar kerja. Semua pekerjaan yang pernah datang padaku adalah hasil dari berbagai koneksi yang aku punya. Tawaran selalu datang tanpa tes yang rumit, tanpa surat lamaran kerja, dan jaminan diterima. Setiap orang yang merekrutku menganggap aku punya potensi lebih sehingga mereka mempercayakan pekerjaan ini dan itu padaku. Aku menerimanya karena aku tak harus terlalu keras berusaha. Bukan berarti aku tak mau bekerja keras. Namun rutinitas pekerjaan sering membuatku lelah jiwa dan raga.

Aku terlalu lelah hingga ada hari-hari di mana aku tak bisa bangun dari tempat tidur tanpa ada alasan yang jelas. Bukan malas, tapi seluruh energiku menguap entah kemana begitu aku membukan mata.

Beberapa orang menyemangatiku dengan bilang bahwa karyaku bagus. Dalam beberapa kesempatan, aku memang melaksanakan tugas dengan baik. Penilaian orang lain membawa dampak positif bagiku. Ada bara api yang menyala di dadaku yang kering. Aku bisa sangat semangat setelahnya. Tapi tak mampu mempertahankan nyala itu. Bisa saja, setelah rentetan peristiwa menyenangkan, kondisiku turun lagi dan membuatku mimpi buruk setelahnya. Saat terbangun, aku tak bisa menghentikan air mata mengalir.

Aku harus mengakui bahwa aku kepayahan menghadapi dementor-dementor yang terus menghantuiku. Harus ada tangan-tangan yang membantuku bangun dari tempat tidur. Harus ada obat yang serupa patronous agar dementor-dementor itu terusir. Hingga kini, dunia ideal di mana aku harus rajin berobat dan dunia kenyataan di mana aku terlalu lelah untuk melakukan apapun terus menerus hadir. Aku lelah mendamaikan mereka. Jadi, ekspektasi-ekspektasi pribadiku makin lama makin menggerus habis kenyataan yang mesti dihadapi.

Bayangkan jika kamu tahu bagaimana cara mengerjakan sesuatu dengan baik tapi tubuhmu tak dapat bergerak?

Mentalku memang tak sekuat kisah-kisah inspiratif yang viral. Aku sudah terlalu lelah. Bukan soal punya masalah atau tidak, penyakit ini adalah masalah terbesarku yang mengundang berbagai masalah lain. Bertumpuk. Makin tinggi... Makin tinggi... Sedangkan kemampuanku dalam menyelesaikan satu persatu hal yang perlu diselesaikan makin hari makin berkurang. Segalanya serba tak karuan.

Aku gagal mengenal diriku sendiri. Segala macam deskripsi yang dulunya milikku kini terkubur dalam kepayahan-kepayahan yang makin mencekikku. Masa muda penuh kerja keras, perlahan mengabur dalam sepotong kenangan. Potensi-potensiku yang dulunya sempat kugenggam lepas satu persatu.

Setiap hari, mataku memandang bayangan di cermin dan bertanya-tanya siapa perempuan berwajah sedih yang di dalam kepalanya penuh rekayasa tentang kematian ini? Harapannya begitu pendek, keluhannya begitu panjang. Kemana gadis muda yang dulu begitu ceria dan semangat? Mana penulis ambisius yang karyanya kini jadi debu?

Dalam dunia yang ideal, seseorang harus mampu menyembuhkan lukanya sendiri, berdiri di kaki sendiri, dan memegang prinsip-prinsip tertentu untuk bertahan hidup. Namun, jika keinginan untuk bertahan hidup itu kandas, luka yang timbul makin membusuk, kaki yang menobang tubuh sudah terlalu pincang, dan beberapa prinsip tak mampu dijalankan, kemanakah larinya jiwa dan raga yang malang ini nantinya?

Jika keputusasaan ini kelak tempatnya ada di neraka, bukankah keputusasaan itu sudah terasa seperti neraka?

PS:
Tulisan ini terbit tanpa dibaca ulang penulisnya semata-mata agar penulis tak mengurungkan niatnya untuk tak menulis apa-apa di blog menyedihkannya ini.

Senin, 16 Juli 2018

Setelah Gaduh

Dunia kita mendadak gaduh. Telinga kita penuh oleh tanya dan tuduhan-tuduhan. Sementara kepala juga terlalu sesak dengan suara-suara kebencian. Kau yang sengaja begitu, atau aku yang memang membuatmu begitu. Kita berdua saling tikam, lalu menimbang-nimbang darah yang tercecer dari luka itu.

Kita mungkin jadi dua orang yang saling menyesalkan hal yang sudah-sudah. Kau bilang urat malumu hampir putus, aku bilang urat nadiku yang putus. Kita sudah berusaha untuk saling membalut luka. Menghangatkan gigil dalam dekap ibu, menguatkan kepala dalam belaian lembut ayah. Kita berdua kalah oleh keadaan. Aku yang bertahan hidup dengan obat, kau yang mencoba selamat dengan infus di tangan. Kita berdua pesakitan yang sama sekali tidak baik-baik saja.

Aku pikir, babak belur kali ini adalah sebuah tanda babak selanjutnya. Tapi ternyata itu hanya berlaku padamu. Kau selalu kuat dan indah dengan semua daya hidup yang selalu membuatku mencintaimu dengan sangat, berkali-kali. Sedangkan aku terus tersengal-sengal di jurang kematian. Aku masih takut untuk terjun, tapi terlalu enggan terus berada di puncak keputus-asaan.

Hidupmu berjalan. Kau tak kehabisan aksara untuk digadaikan. Dari dulu, aku sudah tahu bahwa kau lebih kokoh dariku. Tapi kita bermain peran sebagai dua orang yang saling menyembuhkan. Kau akan berbicara dengan dokterku sementara di hari lain, aku akan memasakkan sup krim atau kare ayam Jepang favoritmu saat kau demam.

Kita tak pernah benar-benar saling menguatkan sayang...

Aku membutuhkanmu karena aku begitu rapuh. Kau mempertahankanku berkali-kali karena kau gamang. Kita berdua adalah infeksi dari dua luka.

Suatu hari... Jika masih ada hari... Aku ingin bicara padamu sambil duduk di rumput, memakan bekal makanan yang telah kusiapkan untukmu dan tanpa tangis. Aku pernah bahagia dan memang salah mengira bahwa itu selamanya. Tapi bukan berarti aku tak berterimakasih atas segalanya.

Selama ini, aku adalah seorang nyinyir dan pembangkang di depanmu. Kau juga harus akui bahwa kau melakukan pembangkangan-pembangkangan di balik punggungku. Kita bukan dua orang yang saling menggenggam. Kau bersembunyi dalam diam, aku berteriak dalam keputus asaan.

Sementara, kita saling mengawasi dari kejauhan. Kita perlu sembunyi di ketiak ibu masing-masing yang luar biasa baik bagi kita berdua. Ibuku dan ibumu memang bidadari jatuh ke bumi yang jadi peneduh kita.

Jelang tidurmu, ingat-ingatlah aku yang setiap malam diam-diam memintamu untuk sikat gigi dan membersihkan wajah dengan sabun. Jangan lupa mengganti pakaian rutin dan sering-seringlah makan sayur. Aku tak masalah dengan siapapun teman makanmu. Aku juga tak mengapa jika kamu mengajak orang lain makan ke warung tenda sup kaki kambing, sate taichan, maupun sop konro kesukaan kita. Ajaklah seseorang ke festival musik yang kau sukai. Kita pernah sangat bahagia di tempat-tempat seperti itu. Jika rindu, dengarkan lagu klasik dan musik elektro pop kesukaanku (kau tahu betul soal itu dan menjadikan salah satu musik favoritku sebagai rujukan tulisanmu. Untuk ini, terimakasih!).

Bukan berarti, aku benar-benar tak ingin lagi kita bersama. Atau aku lupa cara bahagia denganmu. Tapi mungkin kita tak bisa bertemu lagi. Mungkin baik bagiku jika berpindah ke dunia yang lain. Dunia yang asing dan barangkali lebih menyeramkan. Tidak sepertiku, kau selalu punya mimpi, wujudkanlah.

Aku akan mengecup keningmu diam-diam seperti biasa jika memungkinkan. Jadi, baik-baik ya. Kau harus tahu, setiap tetes darah yang berasal tebasan pedang darimu selalu berdesir ngilu seolah berkata, "aku menyayangimu."