Minggu, 24 Mei 2015

Sebuah PAUD Tak Biasa yang Aku Lupa Ada di mana...

Tahun 2008, selepas SMA, aku pernah mengajar di sebuah PAUD gratisan, khusus orang miskin di daerah Sukoharjo. Lupa nama pasti desanya apa. Apakah Gatak, Baki, atau Gawok. Aku tak familiar dengan pelosok desa di daerah satelit Solo. Apalagi, lokasinya lumayan jauh dari pusat Kota Solo, mesti lewati pinggiran sawah-sawah dulu. Jalur yang dilewati untuk bisa sampai sekolah lebih mirip sungai kering daripada jalanan biasa.

Setiap kali berangkat ke sekolah, aku naik motor bermesin 2 tak milik Ibu. Padahal, saat itu, sudah ada anjuran dari kepolisian untuk mulai mengganti mesin motor 2 tak dengan mesin 4 tak. Gasnya berat, suaranya berisik, guncangan yang ditimbulkan saat jalanan tak rata ampun-ampunan.

Di pelataran PAUD, ada arena permainan mandi bola. Entah sumbangan donatur, atau memang dibeli oleh pemilik sekolah. Sayangnya, anak-anak hampir tak pernah bisa main di "kandang" mandi bola itu karena tempat itu sering dihuni oleh Ular sawah. Entah dipakai si Ular untuk ganti kulit, kawin, pipis, tidur, dan lainnya. Segala macam trik sudah dicoba untuk mencegah ular masuk. Tapi sia-sia. Anak-anak jadi tak bisa main mandi bola yang jadi kemewahan bagi mereka. Apalagi saat itu memang ada video klip lagu anak-anak yang salah satu adegannya si penyanyi dan kawan-kawannya sedang asik mandi bola, lupa judulnya. Anak-anak suka curhat ingin sekali bisa main seperti itu. Ingin bisa seperti anak-anak yang lain.

Mindset 'ingin seperti anak-anak yang lain' inilah yang sering kita lawan. Pembina sekolah mewanti-wanti kami -para guru yang jumlahnya hanya 3 orang- untuk tidak menanamkan rasa 'ingin seperti orang lainnya' itu ke anak-anak. Mereka tak perlu diajari sebuah standar "normal" seperti yang ada pada umumnya. Menjadi beda karena pilihan atau karena keadaan itu mestinya adalah hal yang biasa.

Kita menerapkan konsep itu mulai dari hal yang terkecil.

Misalnya, tak perlu pakai seragam, tak perlu pakai sepatu jika memang tak punya. Boleh pakai baju apa saja yang dipunyai. Tak harus bagus. Kami sudah bersyukur jika para orangtua yang rata-rata dari kalangan tidak mampu itu sudah mau peduli pendidikan anak. Rasanya sangat bahagia jika melihat para orangtua rela antar anaknya sebelum berangkat ke sawah atau tunggui anaknya sampai selesai. Sekolah memang tak ingin merepotkan orangtua lebih banyak.

Sekalipun judulnya adalah PAUD, tetap saja ada anak usia 7 dan 8 tahun yang bergabung bersama kami. Mereka belum bisa baca buku dan orangtuanya terlalu minder untuk masukkan anaknya ke SD. Takut disuruh bayar seragam dan pungutan macam-macam. Guru utama mengajari 2 orang siswa yang lebih dewasa dari teman-temannya itu agar siap masuk SD, nanti PAUD akan bertanggung jawab memasukkan siswa tersebut ke SD yang mau menampung mereka dengan gratis.

Guru yang mengajari anak membaca dengan metode Desa Huruf itu menjamin bahwa anak ini bisa tetap ikuti sekolah seperti biasa sesuai umurnya. Bahkan sudah bisa membaca. Metode Desa Huruf memang berbeda dengan metode belajar membaca pada umumnya. Yang aku sesalkan, aku belum sempat belajar detail-detail metodenya. Yang jelas, anak bisa lebih cepat bisa membaca berbagai macam kosa kata tanpa perlu repot menghafal banyak nama-nama huruf. Sehingga belajar jadi sangat menyenangkan.

Selain soal kebebasan memakai pakaian apapun, pemilik dan pendiri sekolah, Bu Dewi Kuhnle, mewanti-wanti kepada kami untuk tidak mengajarkan hal-hal seperti 4 Sehat 5 Sempurna karena tak mau anak-anak jadi menuntut orangtuanya makanan sesuai standar pemerintah yang tak beri solusi konkrit soal kelaparan dan gizi buruk tertentu. Orang tua belum tentu mampu beli susu dan daging. Paling pol, gurulah yang minta ke orang tua langsung untuk memberi makan anak sayur-sayuran sederhana dari kebun sendiri, seadanya. Bisa Daun Singkong, Bayam, Daun Katu', Kangkung, dan sebagainya. Syukur-syukur kalau ada telur, daging atau ikan. Walau jika tak ada makanan itu, tentu saja tak apa-apa.

Tapi sekolah sediakan Susu gratis untuk semua anak setiap hari Jumat. Merk apa saja. Yang penting susu.

Yang membagikan susu itu adalah Michelle, anaknya Bu Dewi. Katanya, biar Michelle belajar sejak dini untuk memberi dan tak kikuk berhadapan dengan anak-anak yang kurang mampu. Michelle suka sekali menyanyi, modeling, mendalang, dan kini beberapa kali tampil di TV.  Dia juga sekolah di PAUD tersebut. Sekalipun sekolah itu gratis dengan berbagai keterbatasannya, Bu Dewi sangat percaya diri bahwa apa yang diajarkan di sekolahnya adalah pendidikan yang berkualitas. Buktinya, anaknya sendiri sekolah di sana. Bukan sekolah di PAUD mahal yang saat itu sedang menjamur di Solo, dengan berbagai merk berbahasa Inggris maupun dengan embel-embel terpadu.

Soal tak diajarkannya 4 Sehat 5 Sempurna itu, aku pikir, benar juga sih. Gara-gara konsep 4 Sehat 5 Sempurna ini, aku pernah menyalahkan orang tua, kenapa tidak selalu ada daging? Kenapa tidak selalu ada susu? Kenapa makanan kita begini dan begitu? Kenapa di meja makan tidak ada makanan yang telah diajarkan oleh guru di sekolah?

Sebagai guru art and craft, aku mengajari anak-anak untuk mewarnai dengan warna apapun yang sesuai dengan imaginasi mereka. Seorang ibu yang sedang tunggui anaknya pernah melarang si anak untuk mewarnai buah pisang dengan warna merah. Dia bilang, seharusnya pisang itu warna kuning. Aku bilang, tak masalah jika pisang warna kuning, hijau, merah, ungu, coklat atau apapun. Anak juga dibebas mau menggunakan sarana spidol, crayon, pensil warna ataupun cat air. Apa saja dibolehkan sesuai dengan kenyamanan mereka.

Ibu itu tetap merasa aneh, dia melihat di TK Komersil lainnya, guru menginstruksikan warna dan sarana mewarnai supaya anak tahu apa yang harusnya diketahui siswa soal warna pada buah-buahan. Karena, bagaimana pun, di dunia ini tak ada wortel berwarna biru. Aku katakan padanya lagi, suatu hari dunia akan makin maju. Akan ada orang-orang -yang disebut peneliti- yang akan berhasil membuat Pisang berwarna Merah, Anggur berwarna Pink, Semangka berwana orange, dan sebagainya. Bahkan mungkin, anak-anak sendirilah yang mewujudkan imaginasi mereka yang saat ini tampaknya belum pernah ada. Ibu itu mengerti bahwa warna, seperti halnya pikiran, tak perlu seragam, tak perlu harus sesuai dengan ketentuan yang biasa diyakini masyarakat pada umumnya.

Selain soal mewarnai, yang aku ajarkan adalah craft, menyadur barang bekas. Kadang membuat wayang-wayangan dari tusuk lidi, membuat hiasan rumah dari gelas air mineral, origami dari kertas koran, membuat boneka dari kulit telur, dan sebagainya. Karena masih sangat kecil, sebagian alami gagal gunting, gagal tempel dan gagal hias. Tapi mereka tetap gembira karena bisa membuat mainannya sendiri. Dengan bahan-bahan yang ada di sekitar mereka.

PAUD ini sempat terhambat karena dituduh lakukan Kristenisasi. Pendiri dan Guru utama memang beragama Kristiani. Tapi kan ada aku dan satu pengajar berjilbab lain yang ikut berkontribusi. Jelas kami muslim, bahkan ada pelajaran mengaji di PAUD. Tapi yang namanya prasangka buruk itu ya ada saja. Warga desa sampai adakan rapat yang undang pengurus sekolah untuk berdialog dan klarifikasi tuduhan yang ada.

Aku tak sempat mengikuti perkembangan kasusnya karena mesti pindah ke Jakarta, mempersiapkan hal-hal terkait kuliah.

Aku tidak tahu apakah PAUD Mutiara Hati saat ini masih berjalan atau tidak. Sekalipun berteman di Facebook dengan Bu Dewi dan Michelle, aku tak pernah bersapa dengan mereka. Hanya saja, postingan Michelle -yang kini sudah tampak lebih dewasa dan sudah jadi artis- sering muncul di lini kala Facebookku.

Tadi siang, aku bersama seorang kawan mengobrol di sebuah taman sekitar Kalibata. Ada banyak anak-anak dan arena bermain di sana. Tiba-tiba aku teringat PAUD kecil itu dan jadi rindu. Rindu sekali mengajar dan temani anak-anak bermain.

Rindu tiba-tiba dipeluk dari belakang atau dilendoti oleh anak-anak, dan dengan kemanjaan yang menggemaskan, mereka bilang, "Aku sayaaaaang... sama Bu Guru."

Rasa rindu itu bercampur geli. Mengingat, betapa kikuknya aku yang baru saja lulus SMA dipanggil Bu Guru oleh para orang tua dan anak-anak. Merasa tua. Padahal, sama sekali belum tua. Masih 18 tahun saat itu. Merasa kurang pengalaman juga. Pun, segala aktivitas di sana segalanya bisa dilalui dengan sangat menyenangkan. Walau pastinya, tetap ada kekurangan di sana sini. Misal, aku pernah terlambat datang karena alasan konyol.

Aku nyasar. Padahal, berulang berhasil sampai lokasi tepat waktu, tepat lokasi.

Karena itulah, aku tak mau lagi mencoba jalur alternatif lainnya menuju PAUD. Aku pikir, mungkin ada alternatif jalan yang lebih beraspal yang barangkali bisa aku lewati. Aku jelas-jelas salah kalkulasi, baik arah, jarak, maupun waktu.

Aih... Suatu hari, aku ingin punya kesempatan untuk mengajar anak-anak PAUD lagi. 

Sabtu, 23 Mei 2015

Indah Koen

Setiap kali berkomunikasi dengannya baik secara langsung maupun lewat chatting, aku selalu lupa bertanya kenapa dia menyingkat namanya dengan nama Indah Koen. Padahal, dari nama panjangnya, dia bisa memilih beberapa nama nyentrik, seperti Indah Koes (tanpa Plus), Indah Kust, Indah Kusut, Indah Kunty dan sebagainya.

Dia menulis besar-benar nama penanya itu di rak buku kamar yang sebagian besarnya berisi novel, buku kuliah maupun filsafat. Saat itu dia hanya bercerita padaku, kalau hampir setiap sastrawan punya nama pena. Untuk melindungi diri, maupun sebagai jati diri. Misal, Motinggo Busye  -tokoh yang karyanya ia jadikan skripsi- bilang bahwa sesungguhnya hanya Malaikat dan Tuhanlah yang berhak tahu nama aslinya. Ada juga Remy Sylado, Marga T, dan lainnya.

Selain menulis nama penanya, dia juga menulis sebuah sajak pendek di rak buku itu.
Aku ingin jadi Zulaikha,
yang mencintai Yusuf
tanpa harus terluka
Menurutku yang masih SD, sajak itu sangat keren. Tapi di akhir masa SD, setelah membaca Novel Roman Alegoris Yusuf dan Zulaikha karya Abdurrahman Jami', aku jadi kurang sepakat dengan sajak itu. Dari yang aku baca, Zulaikha mengalami berkali-kali masa patah hati dan penderitaan karena cinta sebelum bisa bersatu dengan Yusuf. Setelah Yusuf meninggal, Zulaikha bahkan lebih menderita lagi. Jadi, aku setengah mati ingin mengganti nama Yusuf dan Zulaikha dalam sajak itu.

Ternyata aku kesulitan mencari tokoh yang sesuai. Aku rasa, tokoh Zulaikha dan Yusuf di sajak itu tidak perlu diganti. Karena pembacaan Mbak Indah terhadap tokoh tersebut dan makna yang dimaksudnya pasti berbeda dengan pembacaan dan makna yang aku tangkap. Kenyataannya, kami memang tak pernah membahas sajak itu lebih lanjut.

Di mataku, dia adalah gambaran ideal seorang mahasiswa. Dia pintar, banyak baca buku, bergelut di dunia sastra, pengurus organisasi pecinta alam di kampus yang hobi naik gunung dengan ospek yang sangar, ikut organisasi yang isinya orang-orang pinter, jadi gebetan banyak orang, jago Silat pula.

Dulu, begitu membuka sepatu, jempol kakinya akan mengeluarkan bau busuk karena kebiasaan naik gunung dan menapak di berbagai medan menghancurkan struktur jarinya, Dia juga sering melakukan ritual ngutak atik jempolnya itu dengan gunting kecil yang runcing di ujungnya. Seram. Mukanya juga gosong berbintik-bintik kehitaman karena terlalu lama terbakar matahari. Alas bedak tak bisa menutupi bintik-bintik itu. Kulit tangan dan wajahnya juga belang-belang. Betisnya juga sebesar tiang listrik. Dia sering ngotot bilang kalau dia itu tidak gendut, tapi bertulang besar. Sekalipun begitu, dia cantik, pintar, pemberani, dan mandiri. Dia itu cewek intimidating.

Dia pernah pingsan karena kena gas air mata dari aparat saat demo Reformasi. Solo membara saat itu. Aku masih 7 atau 8 tahun saat mendengar kabar dia masuk rumah sakit karena keracunan. Hingga kini, aku tak tahu detail ceritanya. Saat itu aku tak begitu khawatir dengan kondisinya. Sederhana sih, aku tak paham gas air mata itu apa. Yang jelas gas itu cukup membuat kakakku yang tangguh pingsan. Lagipula, jika aku khawatir, aku harus berbuat apa? Boyolali-Solo cukup jauh dan tak ada tempat aman. Aku juga lupa detail kejadiannya. Sampai sekarang aku tak dapat cerita lengkapnya bagaimana. Saat itu, hampir semua mahasiswa yang demo dihadiahi gas air mata. Untunglah dia tak ditembak ataupun diculik tentara.

Saat membaca komik politik soal Reformasi yang tokoh utamanya Amien Rais, aku sering membayangkan mbak Indah adalah salah satu mahasiswa yang di ilustrasikan dalam barisan mahasiswa yang ikut berdemo itu. Ada beberapa scene dalam komik tersebut yang menggambarkan betapa rusuhnya demonstrasi mahasiswa di Solo.

Setelah lulus kuliah, mbak Indah cerita kalau IPKnya tidak tinggi. Hanya rata-rata. Aku maklum, dia sibuk beraktivitas di luar urusan kelas dan bekerja. Bagiku, itu lebih bermanfaat dari pada mahasiswa yang rajin ikut kelas dan meraih nilai tinggi tapi cuma ikuti sistem perkuliahan yang gitu-gitu aja.

Aku sangat menikmati suara mesin ketik pada tengah malam saat dia harus mengerjakan tugas kuliah dan saat dia mesti menulis puisi atau cerpennya. Karya yang ia buat biasanya dikirim ke koran lewat pos. Tentu saja, email belum populer saat itu.

Kami -aku dan mbakku yang lain- sering menanti datangnya koran Suara Merdeka Minggu sampai ke rumah kami. Siapa tahu ada karya mbak Indah yang dimuat. Karya mbak Indah tak pernah dimuat. Aku membaca judul cerpennya ada dalam daftar cerpen yang tidak dimuat redaksi.

Aku tetap menjadi fans kecilnya walau dia tampak tidak suka padaku. Terutama ketika aku suka nimbrung ngobrol bersama teman-teman kampusnya yang main ke rumah atau saat aku bercerita sesuatu yang dilebih-lebihkan. Maklum, aku kecil adalah bagian dari generasi korban sinetron.

Belakangan, aku bertanya padanya kenapa saat aku masih SD, dia tampak tidak terlalu suka padaku? Dia jawab, “Habis kamu masih kecil banget sih pas itu, dadi yo angger ra tak gagas wae omongane.

Ngok!

Pernah, suatu hari, sepulangnya kuliah, dia duduk di bale-bale rotan di pelataran rumah kami. Dia memanggilku. Aku menghampirinya lewat jendela kaca depan rumah yang ditopang besi, tepat di atas bale-bale, siap menerima perintah apapun darinya. Biasanya disuruh beli kwaci, disuruh ambilkan minum, atau ke pasar buat belanja.

Karena bagiku, dia adalah seorang bos karismatik dalam keluarga kami yang harus dipatuhi seluruh perintahnya.

Dia tidak menyuruhku beli sesuatu. Dia bilang, ada oleh-oleh untukku.

Aku merasa sangat bahagia!

Kalau kata anak twitter jaman sekarang, akhirnya aku dinotice senpai!

Dia senyum-senyum melihat ekspresi bahagiaku. Hampir cekikikan malah.

Apa yang dia bawa? Permen kah? Siomay kah? Batagor kah? Fried Chicken? Jajanan kampus selalu enak-enak.

Mbak indah membuka ritsleting tasnya perlahan-lahan. Aku makin menjulurkan kepala ke jendela.

Makin penasaran.

Dia membuka lebar-lebar tasnya, yang ternyata berisi…

Ular!

Hitam. Hidup. Menggeliat diantara bukunya. Tanpa toples. Tanpa kandang. Berbaur dengan semua isi tasnya.

"Aaaaaaakkkk....!!!!"

Aku panik. Menjerit-jerit.

Kepalaku kejedot jendela dalam usahaku melarikan diri. Sakit. Aku benar-benar shock. Dia tertawa karena berhasil mengerjaiku.

Dia menaruh ular itu di tangannya tanpa takut sedikit pun sambil mencari toples kosong. Aku begitu shock hingga lupa adegan apa yang terjadi selanjutnya. Yang jelas, beberapa saat kemudian, aku melihat ular itu sudah ada di dalam toples bening.

Aku jadi tak nafsu makan ketika mengingatnya tubuh lentur ular yang meliuk-liuk. Geli. Seolah ular itu berpindah ke perutku dan bermain-main di sana.

Apalagi mbak Umu -kakak ketigaku- selalu  bilang kalau perutku cacingan sebesar ular. Karena makanku sangat banyak sedangkan aku tak juga cepat besar. Semua yang aku makan dihabiskan oleh ular cacing dalam perutku, makanya aku pendek, kurus dan jelek. Kalau sudah besar, rambutku juga akan berganti dengan ular seperti dalam film horror Suzanna. Jika tidak, sewaktu-waktu ular-ular itu akan keluar dari lubang kupingku atau membuat lubang di leberku seperti dalam film horror Indonesia yang kita tonton malam-malam soal Nyi Blorong atau semacamnya. Aku selalu marah dan pura-pura tak percaya. Tapi diam-diam, aku percaya apa katanya. Aku sering melotot sambil membuka mulut lebar-lebar di depan kaca lemari kamar Ibu, berharap ular dalam tubuhku bisa keluar. Aku merahasiakan perasaan takut ini karena khawatir malah makin diejek mbak Umu. Selain itu, takut juga jika ular yang menghuni perutku ini membahayakan keluarga dan juga warga sekitar.

Makin lama, setelah sadar bahwa aku mulai berhenti diminumi combantrin oleh Ibu dan belajar biologi, aku baru tahu bahwa tak mungkin ada ular di dalam perut. Mustahil juga ketika dewasa nanti aku jadi titisan Medusa atau Nyi Blorong. Setiap kali mbak Umu mencoba trik menakut-nakutiku lewat tokoh yang dia tonton di TV, leluconnya jadi tak lucu lagi. Dia harus tahu bahwa adik kecilnya ini perlahan tumbuh. Aku mulai merasa bahwa kebohongan mbak Umu terlalu tidak masuk akal.

Ular yang dibawa oleh mbak Indah ada di rumah kami selama berhari-hari. Aku cuma berani meliriknya tanpa berani untuk dekat-dekat.

Dulu, saat mbak Indah masih SMA, di rumah kami yang Bekasi sering didatangi berbagai jenis ular. Mulai yang senjatanya lilitan, bisa, sampai gigitan. Mbak Indah sering membunuh ular-ular yang datang ke rumah kami dengan linggis dan menguburnya dalam-dalam tanpa rasa takut. Cuma mbak Indah dan tetangga yang berani. Karena bapak pun gagal menghadapi ular-ular itu.

Ada banyak anak kecil di sana, terlalu bahaya kalau ular berkeliaran di sana.

Dia memang punya keberanian mengagumkan, yang tidak pernah aku punyai.

Sekalipun tomboy, mbak Indah pintar sekali memasak. Dia juga suka mencoba berbagai resep kue. Biskuit kopi buatannya gosong, pait, dan ampas kopinya pun nyangkut di tenggorokan. Bagaimanapun, aku tetap suka sampai ke remah-remahnya. Aku adalah orang yang mau menghabiskan segala macam kue percobaannya yang gagal. Maklum, dalam masa pertumbuhan, makanku banyak. Lapar terus.
Karena itulah, saat mbak Indah di rumah, moodku jadi baik karena selalu ada makanan.

Bahkan, saat kami berempat -Aku, Mbak Indah, Mbak Ima dan Mbak Umu- mesti berlebaran tanpa bapak, ibu dan adik-adik kami, mbak Indah membelikan Indomie, telur dan Saus yang boleh kami masak sendiri-sendiri. Dia mengizinkan adik-adiknya memasukkan sebanyak apapun telur dan saus dalam masakan. Bagiku, memasak Mie, Telur dengan saus yang dimasak dan dimakan sendiri adalah sebuah kemewahan. Biasanya, kami hanya memasak mie saja atau telur saja. Salah satu. Kalaupun dicampur Mie dan telur, perbandingannya adalah 2 bungkus mie plus 1 butir telur untuk bertiga. Mesti tambah nasi banyak-banyak supaya kenyang. Mbak Ima biasanya menambahkan macam-macam sayuran supaya porsi Mie nya bertambah. Karena ada Mie itu tadi, aku tak peduli jika tetangga memasak berbagai lauk istimewa untuk lebaran. Karena berlama-lama di rumah tetangga dan keluarga besar itu sangat tidak nyaman. Biasanya mereka akan mengasihani kami karena berlebaran tanpa orangtua dan menyebut kalau orangtua kami tidak bertanggung jawab karena malah enak-enakan di Jakarta. Kami paham, di Jakarta situasinya juga sulit. Jakarta kan tak seindah bayangan orang kampung yang referensinya dari sinetron. Kami paham, Ibu dan kawan-kawan, ditemani aktivis HAM yang belakangan aku ketahui bernama Munir, masih sibuk bersidang di pengadilan untuk keadilan kasus Tanjung Priok saat itu. Sehingga tidak maksimal dalam bekerja. Tiket mudik tak terbeli.

Bahkan saat aku sakit, ibu tak bisa pulang menemaniku. Mbak Indah yang mesti repot mengantarkanku periksa ke Rumah Sakit. Untunglah tak perlu sampai dirawat inap karena pasti mahal sekali.

Lagipula, kehadiran mbak Indah bersama kami di segala suasana sudah sangat membahagiakan.

Mbak Indah suka masak keripik Bayam. Itu juga jadi camilan favorit kami, adik-adiknya. Hari itu, dia terlihat sibuk di dapur, di depan wajan besar, di depan sebaskom adonan dan daun-daun bayam berdaun lebar.
Aku masuk ke rumah dengan wajah berseri-seri. Dari ruang tengah aku bertanya, "Mbaaaak, masak apa sih? Keripik Bayem kan? Baunya kok enak banget sih?"
Aroma yang aku cium saat itu adalah Daging yang dimasak ala Barbeque. Aku tak tahu kalau hari itu kami akan makan daging. Aku masih berseri-seri ketika mbak Ima dan Mbak Umu mengerumuni mbak Indah sambil mengipasi dan meneteskan kecap serta mentega. Setelah mendekatkan tubuh ke mereka, aku baru tahu kalau ternyata kecap dan mentega yang dikipasi itu diteteskan ke...
...betisnya.
Iya. Ke betisnya mbak Indah. Tepatnya, ke betis kiri mbak Indah yang melepuh. Tersiram minyak panas saat masak keripik Bayam.
Aku melihat ada cairan putih di sana yang ternyata... pasta gigi.
Betisnya benar-benar mirip dengan daging Barbeque baik bentuk dan aromanya. Kalau di restoran steak, kematangannya setara dengan level Well done.
Sejak awal, penanganan lukanya sudah salah. Saat itu tak ada yang tahu bagaimana cara menangani luka bakar dari siraman minyak panas. Yang ditahu saat itu adalah, bagaimana caranya supaya luka tersebut bisa adem. Tak panas lagi.

Berbulan-bulan, mbak Indah berjalan dipapah pacarnya ke kampus untuk ujian dan periksa ke dokter. Kegiatan sehari-harinya bukan lagi ngutak atik jempol kaki, tapi mengoleskan salep luka bakar dan bersakit-sakit. Aku terlalu kecil untuk membantunya. Tapi aku sangat sedih. Dia jadi tak bisa naik gunung lagi dalam waktu yang lama. 
Beberapa waktu setelah luka bakarnya mengering dan dia tak perlu dipapah lagi untuk jalan, kami berpisah dengan alasan yang terlalu rumit dijelaskan. Tak pernah bertemu lagi. Entah siapa yang pergi dari siapa.

Aku jadi benci padanya, Ketidaksukaanku bukan karena mbak Indah jahat padaku atau apapun. Tapi karena orang-orang mulai tak suka pada pilihan-pilihan hidupnya. Sebagai anak kecil yang bisanya hanya ikut-ikutan, aku mengikuti arus tanpa tahu bagaimana duduk persoalan sebenarnya. Mbak Indah tak pernah lagi terlihat di rumah. Aku sering merindukannya diam-diam dengan tiduran di kamarnya yang penuh buku, membaca cerpen dan puisinya, memeluk mesin ketiknya yang tak lagi difungsikan, dan duduk di jendela kamarnya yang menghadap ke kebun jati sambil melamun. Aku kangen sekali, tapi tak bisa bertemu.

Aku benci mengenang, betapa aku juga turut mengiyakan semua penyebab kebencian orang-orang padanya tanpa aku tahu permasalahannya. 
Di masa dewasa, aku minta maaf padanya dan mengerti bahwa dia telah lakukan hal yang menurutnya benar. Hal yang tak bisa diganggu gugat keputusannya. Jika aku jadi dia, aku akan melakukan hal yang sama dengannya. Mbak Indah memaafkan aku dan tahu bahwa aku hanya anak SD yang cuma ikut-ikutan orang dewasa di sekitarku. Dia bercerita hal-hal sulit yang harus dia lalui sendirian.
Ada sesak yang terasa saat perpisahan, ada sesak yang terasa juga saat dia akhirnya kembali. Aku ingin menyambutnya, tapi ada sesuatu yang harus aku jaga. Aku perlu beradaptasi lagi dengannya. Butuh waktu yang lama. Lama sekali. Begitupun keputusanku untuk bersikap seperti apa padanya. Ada segan yang hinggap sekalipun mbak Indah telah berusaha melakukan segalanya untuk bisa dekat dengan adik-adiknya lagi.

Dia sudah tidak bersastra lagi. Tidak bercita-cita jadi wartawan lagi. Bukan pendaki gunung seperti dulu. Sekarang dia adalah seorang istri, crafter dengan sekitar 25 pegawai, dan dua anak yang cerdas-cerdas.

Dia masih menggunakan nama pena Indah Koen sebagai identitasnya.

Aku dan 5 adiknya yang lain masih sering merepotkan dia sampai sekarang. Sekalipun kami sudah bukan adik kecilnya yang bisa disuruh-suruh lagi.

Aku mulai menemukan apa yang tidak aku suka darinya, dan apa yang aku suka darinya. Tapi aku tak menemukan alasan untuk tidak mencintainya. Ia tetap seorang Indah Koen yang aku idolakan dan jadi panutan dari aku kecil, sampai sekarang.

Di setiap perdebatan kami mengenai pilihan-pilihan hidup, dia seringkali mengalah berargumentasi denganku karena sudah terlalu lelah bekerja. Pada akhirnya, dia hanya akan berkata, "Ya udah, terserah kamu aja. Mbak akan tetap dukung kamu apapun yang terjadi."

Sama mbak. Aku juga ingin selalu berada di pihak mbak. 

Selamat ulang ya tahun mbak...