Senin, 14 Maret 2011

Potret Pendidikan Kita


Seseorang membutuhkan institusi pendidikan adalah untuk belajar. Sedangkan salah satu tujuan belajar yang aku ketahui adalah agar seseorang mengalami proses dari tidak bisa menjadi bisa. Namun hal itu menjadi rancu karena sistem pendidikan kita yang kacau. Pasalnya, banyak lembaga pendidikan sekarang menerapkan sistem seleksi pada calon siswanya. Padahal, siswa memasuki gerbang pendidikan untuk tahu bagaimana manisnya pengetahuan. Belum apa-apa mereka dihadang sederet materi pelajaran yang menjadi standar kepintaran bagi berjuta orang di indonesia.


Misalnya saja, saat memasuki SD seorang anak di test membaca dan berhitung. Ini aneh. Karena tidak semua anak saat akan memasuki jenjang SD pasti paham dengan baca dan hitung. Barangkali orangtua memasukkan anaknya di SD tersebut karena anak tersebut belum bisa baca dan hitung sehingga orangtua berharap gurunya akan mengajari si anak agar bisa. Sebagimana maksud belajar. Dari tidak bisa menjadi bisa.



Bagaimana nasib anak yang tidak bisa baca namun dia bisa melukis sehebat picasso? Apakah dia akan gagal dalam test dan tidak berhak bersekolah di tempat itu? Apakah anak yang baik hati dan memiliki jiwa sosial tinggi namun tidak pintar berhitung akan tersisihkan dari anak yang pintar membaca dan berhitung namun egois di lingkungannya? Jadi kenapa lembaga 'intelektual' kita tidak berpihak pada semua anak? Kenapa harus ada penjaringnya?


Memasuki tahap awal sekolah saja anak sudah terkotakkan dalam pendidikannya. Apalagi saat dia masuk di dalam kurikulum nantinya. Dia akan disodori berbagai macam mata pelajaran yang tidak dia sukai. Dipaksa untuk mau belajar hal-hal yang tidak sesuai dengan bakatnya. Lalu dinilai secara kognitif dengan peringkat angka-angka tertentu yang akan memberikan label pada seorang anak apakah dia bodoh atau pintar. Apabila dalam hal seni misalnya, dia memiliki prestasi gemilang, itu hanya akan diberi ucapan selamat dari seluruh sekolah. Tapi jangan harap itu akan membawanya meraih angka tertentu yang membawanya pada peringkat 1 sampai sekian. Karena hanya melalui jalan bahasa indonesia, matematika, bahasa inggris dan lainnya lah seorang anak dapat meraih peringkat. Tidak dengan hal lain.


Membaca berbagai hal itu, bagi orang yang memiliki rasa idealisme dan pemikiran beradab akan berfikir untuk membentuk sebuah lembaga yang tidak mengerangkeng kreativitas dan pemikiran siswa. Sayangnya, lembaga pendidikan macam ini selain sedikit juga hanya dapat dinikmati kalangan tertentu yang mau membayar mahal untuk anaknya. Kalaupun ada instansi yang berisi volunteer untuk program pendidikan tertentu yang biayanya minim atau gratis sekalipun, jangan kecewa bila hasilnya tak sebanyak jemari kita. Akhirnya bagi yang minim akses ke kota atau tak dapat merogoh kocek dalam akan tinggal gigit jari.


Siksaan terhadap intelektual tidak hanya terjadi di taraf pendidikan dasar, menengah dan atas. Samapai bergelar mahasiswapun kita semua harus rela dikerangkeng dalam hal pemikiran, misal sistem paket dalam satu semester. Tengok saja, untuk memenuhi syarat ke jenjang sarjana, kita harus melewati akumulasi jumlah SKS. Akhirnya mata kuliah yang memuat SKS tersebut harus diambil dengan'terpaksa' oleh mahasiswa karena tidak ada pilihan lain. Dalam 1 semester, mahasiswa maksimal mengambil 24 SKS. Mata kuliah yang tersedia untuk diambil adalah sejumlah SKS yang mesti ditempuh selama satu semester. Tidak ada pilihan lain. Dan jujur, aku pribadi selalu mengalami kesulitan di mata kuliah tertentu yang memang bukan bidang ku.


Mungkin utopis bila aku membayangkan, ada 35 SKS yang disodorkan pada para mahasiswa. Mahasiswa berhak memilih maksimal 24 SKS. Sehingga setidaknya mahasiswa memiliki kebebasan memilih untuk pendidikannya tersebut. Bukan terpaksa mengambil mata kuliah itu untuk kelengkapan jumlah SKS seperti yang selama ini terjadi. Betul telah ada penjurusan dalam program Studi masing-masing, namun selama ini, pasti ada satu dua mata kuliah yang bagi orang-orang tertentu sangat sulit terpahami karena bukan bakat dan keinginannya. Sehingga tidak ada rasa senang saat belajar.


Namun akan timbul pertanyaan dari mahasiswa yang dapat memperoleh IPK tinggi di setiap semester, “Lho? Bukannya kekuatan sugesti akan membuat semuanya menjadi lebih mudah? Saat kamu yakin kamu bisa, kamu akan dapat melakukan yang kamu mau”. Kelihatannya oke, namun pertanyaan dari akademisi seperti ini agaknya mengherankan dengan adanya penelitian bahwa manusia pada dasarnya memiliki kecerdasan majemuk atau biasa disebut Multiple Intelligent. Kita lihat saja, apakah mahasiswa IPK tinggi tersebut mau mengajari dan berbagi pengetahuan dengan rekannya, apakah mahasiswa tersebut bisa memiliki kemampuan olahraga yang baik? Apakah mahasiswa itu dapat berorganisasi dengan baik?


Bila IPK tinggi tersebut ditunjang dengan prestasi non akademis yang bagus juga, tentunya kita patut gembira dengan anak-anak yang hidupnya terbekati ini. Tapi bagaimana dengan yang tidak? Bukankah tidak semua anak dari awal hidupnya terbekahi dengan beragam akses untuk pengembangan dirinya? Bukankah ada banyak bakat terpendam yang bahkan sampai seorang anak dalam tataran usia dewasa tidak dapat menemukan bakatnya? Untuk itulah kita belajar di institusi pendidikan, agar lebih mengaktual dari segi pendidikan, agar kita membuka cakrawala dalam bidang pemikiran.


Aku rasa, membiarkan siswa maupun mahasiswa memilih sendiri mata pelajaran atau mata kuliahnya dapat membuat kaum pembelajar lebih bertanggung jawab dan senang terhadap pilihannya. Seperti misal, mahasiswa komunikasi tak harus mengambil mata kuliah statistika. Namun bila mata kuliah lainnya akan menggunakan metode-metode seperti yang terdapat di mata kuliah statistika, mahasiswa akan menyadari sendiri bahwa untuk dapat memperoleh hasil maksimal dari mata kuliah yang dipilihya tersebut kita harus belajar statistik, maka dengan kesadaran penuh karena kebutuhan mahasiswa akan belajar statistik. Mencintai sebuah pelajaran karena ada unsur keterkaitan. Dan sekali lagi bukan karena dipaksa.


Begitulah yang aku bayangkan dengan pendidikan agar benar-benar menjadi sahabat bagi peradaban kita.


Salam Peradaban!!

Senin, 07 Maret 2011

Curhatan Editor In Chief

Saat aku menyadari, bahwa sebagai pemimpin redaksi sebuah pers mahasiswa, aku belum punya karya yang memenuhi Kriteria sebagai seorang yang ekspert di dunia tulis. Ah…menyakitkan kau tahu??? Saat partner organisasi mu mempertanyakan kemampuanmu. Dengan jabatan yang diraih karena faktor “emergency”. Jujur saja, Sudah lelah membela diri. Memang sebenarnya bukan sebuah perkelahian yang salah satu harus dibela. Repotnya, dalam otakku selalu ada pengacara apabila ada kata membela.
Akhirnya lebih baik mengakui bahwa aku payah. Puas?? Aku sendiri sudah otokritik. Justru aku sadar bahwa aku payah dan aku sulit mengejar itu maka sesuatu itu jadi lebih dalam rasanya. Maksudku, sesulit perahu yang melintasi sungai penuh sampah. Bikin otak macet bung. Begitulah…


Aku akan menceritakan padamu, bagaimana seorang Pemred bekerja. Hanya kilasan. Sedikit saja. Yang jelas, Mengkoordinatori liputan bukan hal mudah bung…
Kau harus menajamkan telinga dan rela berteman gigil malam untuk sekedar tahu tentang apa yang terjadi di kampus. Apa yang terjadi di republik ini. berdiskusi sampai perutmu keroncongan di akhir bulan untuk tetap menajamkan kekritisan pikir. Menganalisa kasus bawah tanah dan kasus yang di menara gading itu. Kalau tidak begitu, orang akan menertawakan mu dengan berkata “Masak Pemred nggak tahu ini….???”. Belum lagi sulitnya menagih liputan dari rekan-rekan reporter yang memang sulit untuk dipegang deadlinenya. Siapa sih yang bisa meminta dengan keras reporter yang belum selesai masa pendidikannya, tak digaji, kemudian membuat mereka total menulis liputan dengan seabrek tugas kuliah? Belum lagi, Meminta reporter sudut pandang ideal yang kita kehendaki, merangkum berita apapun yang sexy untuk diangkat, dan hal teknis lainnya yang menambah panjang keluhan ku atas keterbatasan media digital yang aku punya. Tapi sudahlah. Memang dari luar, orang melihat bahwa pemimpin redaksi harus yang paling bagus tulisannya. Dan kalau menuntut itu kawan, sama saja telah men-skakmat diriku. Dies!!!


Hidup harus menulis. Iya…aku tahu. Aku pikir itu hanya soal terbiasa. Aku tidak terbiasa menulis. Tapi hadapkan aku pada laptop 1 minggu, akan aku ciptakan karya. Tampak sedang mengkampanyekan diri sendiri nggak?? Tapi, aku punya dalih hasil kutipan rector kita nan tampan dan pintar itu, Seperti biasa, aku adalah pemuda yang menjanjikan masa depan. Bukan yang menengok kejayaan masa lampau. Menyadari bahwa keterbatasan fasilitas harus dilawan. Meniscayakan segalanya tidak perlu mengeluh. Tapi memang, tidak bisa disamakan keadaan orang satu dan lainnya. Semua pasti berbeda dengan anugrah yang tergenggam dan segala keunikan dalam hidup.


Kau tahu, tidak banyak karya yang aku hasilkan. Tapi aku tetap berfikir bahwa hidup adalah torehan kata-kata. Dengan kata-kata yang diprasastikan seseorang bisa panjang umur seperti Plato. Dengan kata-kata yang tertorehkan seorang bisa sehebat Soekarno yang kata-katanya dikutip sana-sini. Dan aku, tidak terlalu bodoh untuk menyadari bahwa menulis itu sangat penting.


Saat Dia-orang yang kucintai-mengkritikku tajam dengan segala kelemahan yang memang aku akui, karena aku tak pandai mengolah kata dalam kayu olahan bernama kertas itu, aku hanya ingin membalasnya dengan tulisan. Aku ingin marah balik dan meninjunya dengan tulisan. Tapi apa yang aku punya?? Lelah menulis dengan pena. Lelah sekali. Otakku berfikir lebih cepat daripada tanganku dalam membatik kata. Saat aku mulai jenuh dengan keruwetan kata-kata dalam kanvas ku yang makin buram, aku mulai lelah menulis. Terulang begitu. Dan mengetahui bahwa materi membatasi gerakmu itu sama menyebalkannya saat kau tahu bahwa balon yang meledak tepat di depan hidungmu itu sangat tidak nyaman.


Ah, berterimakasih dengan plato yang mengungkapkan bahwa Alam materi mambatasi hidup kita. Alam Idea lah yang bebas. Idea ku berjalan terus secapat kilasan dalam roda F1 saat berkompetisi namun tidak ada media yang dapat melampiaskan itu. Tidak ada yang bisa menyeretmu ke sirkuit balap dan Berjaya.


Eranya digital kawan, bukan seperti jaman Marah Rusli yang cuklup berbahagia dengan pena. Bukan seperti jaman Taufik ismail yang berbekal tinta ia berkarya. Saat ini teknologi adalah sebuah keniscayaan. Aku sering mendengar temanku mengeluh saat kotak ajaib mereka bernama laptop rusak, mereka terbengkelai mengerjakan tugas, mereka terhambat belajar, mereka mengeluh kesana kemari karena laptop adalah senjata mereka dalam mengolah otak di dunia perkuliahan.tapi mereka tidak memahami bahwa mungkin aku mengalami hal yang lebih sulit dari itu. Aku harus terbirit-birit ke warnet yang dipenuhi keributan game online dan teriakan anak-anak kecil yang tak kenal lagi layang-layang karena tidak ada lahan bermain lagi di Jakarta.


Aku tidak memintamu pasti memahamiku kawan, tapi setidaknya kau tahu, bahwa aku juga membenci ketidakmampuanku dalam membuktikan diri dalam karya. Tapi aku masih punya mimpi. Menjadi penulis yang karyanya seindah pulau komodo. Aduh, seindah apa ya pulau komodo? Tak tahu lah. Yang jelas sekarang aku sedang menyelesaikan proyek yang berghubungan dengan pulau komodo. Jadi itu saja yang terlintas. Pokoknya aku pengen menjadi penulis dan aku akan belajar meraih itu kawan. Tidak selamanya aku akan begini terus. Aku punya gaya dan gengsi. Idealisme ku tak mati.



Kapan??


Bantulah aku meraihnya. Aku tak dapat berjanji dalam hal ini. bukan berarti aku tak muda lagi. Tapi ini bukan kepastian. Bantu dengan doamu. Sekali lagi, Bantu saja dulu dengan doa. Semoga masa pembuktian nanti, kita masih saling mengenal dan bersapa ramah sambil menertawakan masa kini yang telah jadi masa lalu.


Terimakasih telah menjadi partnerku yang selalu memotivasi ku dengan tekanan kata-kata dan cukup membuatku terbakar 'panas'.


Salah satu hal bahagia dalam hidupku adalah saat aku berpartner denganmu. Walau setiap hari rasanya ingin memakimu. Tapi akhirnya menyadari, bahwa akan jadi tak bagus rasanya punya partner selain dirimu.


Laptop pinjeman, di ruang senyawa kampus 7 Maret 2011.


@11.30pm

Dedicate to Chief Operating Officer


Parmagz Pers Mahasiswa Paramadina 2010/2011



Dondik Robini