Tampilkan postingan dengan label #diambukanpilihan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #diambukanpilihan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Januari 2020

Soal Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di Film Frozen 2

Ini adalah sebuah tulisan yang sangat terlambat untuk sebuah review film. Tapi, sebagai sebuah sikap politik, tak ada yang terlambat dari penyelesaian sebuah kasus.

Belakangan ini, Menkopolhukam lagi cari formula yang tepat untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Makanya, ujug-ujug Mahfud mulai ngomongin soal menghidupkan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk kasus pelanggaran HAM masa lalu. Sayangnya, Mahfud nggak menjelaskan KKR seperti apa yang ia maksud. Apakah seperti Undang-Undang KKR tahun 2004 yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi tahun 2006 itu? Emang sih, RUU KKR masuk dalam Prolegnas DPR tahun 2020 nanti, tapi konsepnya kayak apa, belum ada kejelasan. Bahkan bentuk RUUnya kayak apa juga belum keliatan barangnya.

Sebenarnya, buat gambaran penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu ini, kita bisa jadiin film Frozen 2 sebagai inspirasi.

Di film, ratu Elsa dan Putri Anna dari kerajaan Arendelle menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang dilakukan kakeknya ke suku ingenious Northuldra lewat proses non yudisial. Kalau di Indonesia sih, UU no 26/2000 pasal 43 bilang kalau kasus pelanggaran HAM masa lalu mestinya diselesaikan lewat pengadilan HAM Ad Hoc. Ada alternatif penyelesaian kasus lewat jalur ekstrayudisial dengan pengungkapan kebenaran dan pemenuhan hak asasi korban berupa hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan.

Buat yang jadi mengernyit kenapa film Frozen malah soal pelanggaran HAM masa lalu, baiknya kalian memperhatikan detail saat Anna dan Elsa melakukan penyelidikan masa lalu deh.

Kakek Runeard dan pasukannya bersenjata lengkap saat memerangi suku Northuldra. Pihak yang mengawali pembantaian dan pembangunan infrastruktur bendungan yang tak sesuai amdal itu adalah kerajaan Arendelle. Pembangunan itu merusak alam, hubungan antar suku dan kerajaan, dan seperti yang dibilang anak muda Northuldra, “sudah 34 tahun kami tidak bisa lihat langit yang cerah.” Suku Northuldra sebagai korban pelanggaran HAM ini terlihat masih trauma dalam banyak hal karena kondisi hutan mereka yang indah belum pulih seperti dulu. Karena peristiwa 34 tahun lalu, anak cucu yang tak mengalami kejadiannya ikut kena getahnya.

Kondisi hutan Enchanted itu mirip sama kasus pelanggaran HAM masa lalu Indonesia, berkabut, gelap, dan tak ada yang tahu kebenarannya. Seolah tak ada harapan bagaimana cara untuk memperbaikinya sebelum ada inisiatif (political will) dari Ratu Arendelle untuk memperbaiki kerusakan yang dilakukan oleh pendahulunya.

Elsa yang gelisah mendengar suara-suara aneh mengorbankan dirinya sendiri demi terjadinya peristiwa pengungkapan kebenaran. Ia harus menerjang laut, terperosok ke dalam ruang gelap dan bahkan sang ratu es pun sempat membeku. Anna juga nggak tinggal diam. Setelah tahu fakta sejarah bahwa yang salah adalah kakeknya, ia menyadari bahwa harus ada yang bertindak. Tidak mungkin menunggu Elsa dulu. Anna berusaha menghancurkan bendungan dan meyakinkan militer kerajaan untuk lebih loyal pada kemanusiaan dibanding legacy kakeknya.

Setelah proses pengungkapan kebenaran dilakukan, Elsa melakukan rehabilitasi ke suku Northulda sesuai dengan permintaan mereka, yaitu tinggal di hutan tempat asal ibunya itu. Seolah Elsa sedang melakukan tanggung jawabnya bahwa proses pemenuhan hak korban harus sesuai dengan keinginan dan memenuhi kepuasan korban pelanggaran HAM.

Di Arendelle, Anna juga bikin patung memorialisasi bapak dan ibunya sebagai pengingat bahwa peristiwa antara Arendelle dan Northuldra pernah terjadi.

Cara penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang dipraktekkan oleh Elsa dan Anna ini sesuai juga dengan rekomendasi PBB soal perlunya membentuk Komisi Kebenaran setelah sebuah negara mengalami konflik. Selain itu, pengungkapan kebenaran juga harus memberikan hak asasi korban berupa pelurusan sejarah, pemulihan secara personal, psikososial, dan kolektif, jaminan ketidakberulangan peristiwa, serta membangun ulang hubungan tanpa kekerasan antar-individu.

Survey Komnas HAM dan Litbang Kompas bilang, kalau sebagian besar rakyat Indonesia (99,5%) pengen pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan. Survey yang dirilis Rabu (4/12/2019) lalu ini bikin ingatan publik kembali ke komitmen awal Jokowi tahun 2014 lalu soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Saking pentingnya isu itu, Jokowi sampai mengukuhkannya dalam agenda Nawacita. Walau ya… Nggak ada progres sama sekali.

Banyak orang yang menunggu presiden untuk ngomongin penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu di periode 2 kepresidenan ini. Rasanya, periode kedua ini beda banget dari yang pertama karena penyelesai an kasus pelanggaran HAM masa lalu nggak disebut-sebut lagi dalam rencana program kerja capres, debat presiden, bahkan nggak ada di dalam pidato kepresidenan Jokowi laiknya Nawacita dulu. Abstainnya Pak Jokowi dari topik pelanggaran HAM masa lalu ini bikin kita semua bertanya-tanya. Jadi, masalah pelanggaran HAM masa lalu ini cuma jadi bahan kampanye aja?

Jangan sampai, bentuk KKR itu kaya Deklarasi Damai kasus Talangsari yang kata Ombudsman maladministrasi karena nggak sesuai UU no 26 tahun 2000 soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Mana mungkin ada deklarasi damai kalau tidak melibatkan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM itu sendiri?

Karena Indonesia nggak punya Elsa dan Anna, maka Indonesia perlu Komnas HAM yang lebih aktif cari alternatif gimana caranya berkas penyelidikan kasus pelanggaran HAM masa lalu ini bisa ditindaklanjuti sama eksekutif dan yudikatif. Kalau kejaksaan menolak berkasnya karena alasan yang nggak jelas, maka menkopolhukam dan presiden mesti bertindak tegas. Butuh banyak pengorbanan, keberanian, dan lebih dari sekedar political will untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang menumpuk di Indonesia ini.

Ayo Pak Jokowi dan Mahfud, berani nggak?

Selasa, 31 Oktober 2017

Negara yang Melukai, Negara lah yang harus Bertanggung Jawab

Ibuku, Aminatun Najariyah (59) adalah satu-satunya wanita korban pelanggaran HAM berat Tanjung Priok 1984. Ia pernah merasakan dingin dan mencekamnya sel penjara yang terpaksa ia tempati tanpa proses pengadilan. Pakdhe ku Abdul Bashir (69) juga jadi korbannya. Berbeda dengan ibu yang banyak mengalami siksaan psikis, Pakdhe mengalami siksaan psikis dan fisik. Padahal, saat ditangkap itu ibu dan Pakdhe tak mengikuti organisasi tertentu. Ibu hanya sering shalat dan pengajian di Musholla Saidah, tempat awal bermula kejadian Tanjung Priok 1984.

Saat itu, usia ibuku masih 26 tahun, sedangkan Pakdhe 36 tahun. Mereka sedang berada di usia produktif dalam menggerakkan ekonomi keluarga. Penjara dan siksaan sempat "melumpuhkan" keduanya.

Mendengar suara siksaan tahanan lelaki lain dan teror dari sipir penjara membuat mental ibu sangat hancur. Sipir penjara selalu berkata pada ibu bahwa Pakdhe sudah meninggal setelah habis disiksa. Belum lagi siulan dan pelecehan seksual verbal yang harus ibu terima setiap harinya dari petugas sekalipun saat itu ibu sudah memakai berjilbab besar.

Setelah 3 bulan dipenjara, ibu dilarikan ke poli jiwa karena sudah mulai sulit diajak berkomunikasi. Orang sekitarnya mendengar ibu terus mengigau. Karena itulah ibu perlu dirawat di rumah sakit dalam beberapa waktu.

Ibu bilang, ia merasa baik-baik saja setelahnya. Ia berkata bahwa selama ibu berpegang teguh pada agama, maka tak akan ada yang bisa "menggoda" ibu.

Ibu bercerita bahwa selama di penjara sampai di rumah sakit jiwa, ia sering "diganggu" oleh makhluk halus yang membujuknya agar mau jadi istri simpanan seorang atasan militer yang saat itu berkuasa. Ibu menolak bisikan-bisikan itu dengan ayat-ayat Al Qur'an hafalannya. Namun, ayat-ayat yang ibu baca bagi orang lain hanyalah gumaman yang tak ada artinya apa-apa. Ibu melawan semua yang ia rasakan sendirian karena orang di sekitarnya hanya akan berkata, "Amin sudah gila."

Keadaan sebagai mantan tahanan politik yang dianggap menolak asas tunggal Pancasila di jaman Orba memang membuat hidup tak pernah baik-baik saja setelahnya. Alat-alat pembuat kuenya sudah disita tentara sebagai barang bukti makar pada negara, ibu harus memulai segalanya dari awal. Rumah yang ditempati olehnya pun seringkali digeledah tentara. Dari penggeledahan itu, ibu kehilangan sertifikat salon, ijazah, dan beberapa surat berharga lainnya. Pakdhe juga terpaksa menjual rumahnya di Cempaka Putih dan membeli sebuah rumah di sebuah kampung di daerah Bekasi Selatan. 

Belum selesai dengan itu semua, bertahun-tahun setelahnya pun duka terus berdatangan. Ibu yang sebenanrnya adalah anak pejuang kemerdekaan RI dicap sebagai musuh pemerintah. Tetangga sekitar dan orang-orang kampung halaman ibu di Boyolali memberikan label buruk pada ibu. Apalagi ibu sama sekali bukan orang Golkar.

Almarhum Cak Munir ikut memperjuangkan agar korban Tanjung Priok mendapat keadilan. Persidangan demi persidangan yang dijalani ibu menemui jalan buntu. Mahkamah Agung menganulir putusan pengadilan HAM tentang kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi yang seharusnya menjadi hak korban. 

Terlepas dari proses persidangan yang panjang dan tanpa hasil hingga kini, mimpi buruk ibu tak pernah berakhir. Bisa dibilang, aku adalah anak yang dibesarkan oleh ibu yang seringkali berteriak-teriak di dalam mimpinya soal dikejar tentara, diinjak oleh sepatu lars, maupun ditembak oleh polisi. 

Saat aku tanya apakah ibu membutuhkan dukungan psikologis untuk membuat mimpi buruknya tak datang lagi, ibu bilang, "tidak perlu. Ibu baik-baik saja. Asal kita mencintai Allah, maka hidup kita akan damai."

Ibu memang pernah "mencicipi" proses terapi psikologi. Tetapi ibu tak merasakan adanya perubahan signifikan dalam hidupnya. Ia lebih memilih untuk tetap konsisten memegang teguh agama sebagai solusi atas rasa traumanya. Sekalipun, mimpi buruknya memang tak pernah benar-benar berakhir.

***

Ibu adalah seorang wanita yang tangguh. Sekalipun putusan sidang tak menghasilkan apa-apa, ia bertekad melanjutkan hidup sehormat-hormatnya. Apalagi, paska kerusuhan Mei 1998, bapak adalah salah satu pengusaha kecil pengemas makanan yang kena dampak hancurnya perekonomian negara. Banyak toko langganannya yang merugi tanpa bisa membayar tagihan makanan kemasan yang dipasok dari usaha bapak.

Di saat bapak jatuh, ibu yang jadi tulang punggung suami dan 7 orang anaknya. Usaha ibu macam-macam. Mulai dari jualan nasi uduk, jualan nastar, onde-onde, ayam goreng, kerajinan tangan manik-manik, membuat tas payet, hingga membuat berbagai macam kerajinan tangan dari kain flanel. Ia meminta semua anaknya, dari yang paling besar sampai yang terkecil untuk ikut berkontribusi membantu. Ada yang ikut produksi, ada yang ikut jualan. Ibu bilang tanpa bantuan anak-anak sebagai pegawai, kami tak akan bisa makan. Dengan pegawai anak-anaknya sendiri inilah, ibu membiayai kontrakan selama di Solo, transport untuk anak-anak sekolah, dan makan sehari-hari.

Dengan motornya, ibu sanggup berkendara hingga lintas kabupaten dengan beban dagangan yang tak sedikit. Dulunya kami menggunakan terpal kain sehingga yang ikut menemani ibu jualan harus rela kakinya pegal karena posisi mengkangkang sepanjang jalan. Kemudian sekitar tahun 2005, kami mulai memiliki sebuah gerobak seng dua roda yang ditarik oleh motor Suzuki GX yang bermesin dua tak.

Ibu sering jadi supir gerobak, bergantian dengan kakak kedua, Mbak Himma. Kegiatan jualan pernak pernik berbahan flanel kami berjalan setiap hari dari satu pasar malam ke pasar malam lainnya di sekitar Solo, Sukoharjo, dan Sragen secara kaki lima. Khusus hari minggu, lapak jualan kaki lima kami digelar di Stadion Manahan Solo.

Sebagai pedagang kaki lima, kami memang sering diusir oleh satpol PP, terutama di Stadion Manahan Solo. Kami sampai kehilangan beberapa pelanggan setia karena harus pindah lapak. Lucunya adalah, seringkali, adu argumen ibu dengan satpol PP berujung pada pengungkitan ibu atas kasus yang pernah menimpanya.

Ibu bilang di depan para Satpol PP, "sampai kapan saya jadi korban HAM terus. Dulu saya didzolimi negara dengan kasus Priok! Sekarang ekonomi saya diganggu negara lagi. Kalian ini orang-orang berseragam yang menindas sesama warga sendiri!!"

Tentu saja omelan ibu hanya membuat Satpol PP melongo. Mereka tak tahu kasusnya. Mereka merasa tak ikut bertanggung jawab. Satpol PP juga tak ikut andil dalam Tanjung Priok. Tapi dalam perspektif ibu, semua petugas berseragam pada dasarnya adalah orang-orang yang ditugaskan negara untuk menyakiti rakyatnya sendiri.

Di usianya yang menginjak 50an tahun, ibu masih gagah mengendarai motornya. Sampai pada suatu hari, saat berboncengan motor dengan bapak dalam perjalanan Jepara-Solo, mereka kecelakaan di Salatiga. Truk gandeng yang dikendarai oleh supir mengantuk membuat sepeda motor yang disupiri bapak oleng. Kaki ibu tersangkut ban truk dan tergiling saat truk terus melaju berusaha kabur. Daging betis kanannya nyaris habis di dalam ban belakang truk.
Ibu sekarang, tetap semangat walau kemana-mana harus pakai kursi roda
Ibu menjalani prosedur operasi hingga lebih dari 20 kaki untuk kakinya. Ia dirawat di Rumah Sakit Ortopedhi Solo dan dr. Muwardhi Solo. Bantuan dari para aktivis HAM dan Jamkesmas tak dapat menutupi sebagian besar dananya. Apalagi pengobatan yang harus ibu tempuh sifatnya jangka pan

IKAPRI (Ikatan Keluarga Tanjung Priok) dengan IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) menginformasikan bahwa ibu bisa mendapatkan jaminan kesehatan BPJS tingkat 1 dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) sekalipun kecelakaan yang ibu alami bukan dari peristiwa dari kekerasan Tanjung Priok itu. 

Sebagai anak korban, bapak, aku dan saudaraku yang lain juga bisa mendapat layanan pemulihan psikologis jika diperlukan. Namun, hingga kini belum ada anggota keluarga kami yang memanfaatkan fasilitas tersebut.

Sebenarnya, semua korban HAM di Indonesia bisa mendapatkan layanan jaminan kesehatan dari LPSK ini. Hanya saja, belum banyak yang tahu. Bawalah surat pengantar berupa keterangan sebagai korban HAM dari KOMNAS HAM, maka Anda dan keluarga yang jadi korban HAM bisa mendapatkan BPJS dari LPSK. Hingga kini, BPJS ibu terpisah dari BPJS milik bapak dan anak-anaknya. Karena LPSK lah yang akan menanggung biaya bulanannya.

Sekalipun negara belum benar-benar menuntaskan kasus pelanggaran HAMnya, setidaknya lewat LPSK ini, negara sudah bisa sedikit bertanggung jawab dalam menanggung ongkos medis korban HAMnya.

Sebagai anak dari korban HAM berat Tanjung Priok, saya merasa bahwa #DiamBukanPilihan. Saya akan terus bersuara untuk membuat banyak orang ingat peristiwa memilukan tersebut dan menyadari bahwa pelanggaran HAM berat dari negara kepada warganya bisa berdampak sedemikian panjang untuk korbannya. Jika ibu saya tidak pernah semena-mena dipenjara, bisa jadi ekonomi kami lebih baik karena ibu bisa mengejar impiannya untuk kuliah atau minimal memanfaatkan ijazahnya.

Namun bagaimanapun caranya, negara harus bertanggung jawab menuntaskan semua kasus pelanggaran HAM Beratnya, mulai dari peristiwa 1965, Tanjung Priok 1984, Talang Sari 1989, Mei 1998, hingga operasi militer Aceh. Lembaga seperti LPSK dan Komnas HAM harus terus ada untuk jadi teman bagi korban. Agar korban tahu bahwa setidaknya ada lembaga negara yang berpihak pada mereka tanpa diskriminasi apapun,


Catatan:
1. Suara korban tragedi Tanjung Priok pernah dibukukan dalam sebuah buku berjudul "Mereka bilang di sini Tidak Ada Tuhan." Unduh bukunya di sini.
2. Aku pernah membuat catatan soal ibu yang lebih lengkap di dalam tulisan berikut Ibu Aminah, Saksi Hidup Potret Suram Tragedi Tanjung Priok ‘84 (Bagian 1)Ibu Aminah, Saksi Hidup Potret Suram Tragedi Tanjung Priok '84 (Bagian 2).
3. Besarnya kompensasi negara yang harus dibayarkan kepada korban Tanjung Priok dapat dilihat dalam surat berikut ini.