“Bagaimana bentuk hujan sebenarnya? Apakah bentuknya berupa rintik, atau lurus seperti benang?"
Itu adalah dialog dalam sebuah film Korea, aku lupa judulnya. Dialog itu terjadi antara seorang nenek yang buta kepada anak laki-laki kecil di teras rumah. Saat itu hujan sedang sangat lebat. Anak itu terdiam, berpikir, tapi ia gagal menemukan jawabannya. Ia memikirkan ini hingga dewasa. Sampai sang nenek meninggal, ia tidak pernah bisa menjawab, hujan yang deras itu berupa rintik-rintik atau serupa benang yang tak terputus.
Bagaimana meyakinkan seorang yang buta, kapan hujan berupa rintik dan kapan hujan berupa benang tanpa putus? Bagaimana bisa sesuatu yang tampaknya jelas tiba-tiba menjadi sebuah pertanyaan yang sulit dijawab? Yang ada di sekitar kita sehari-hari dan cenderung tak berjarak seringkali luput dari perhatian kita.
Kita juga seringkali abai mengenali sesuatu yang menjadi bagian dari diri kita sendiri. Karena ia tak berjarak, terlalu dekat, maka kita tak melihat atau menyadarinya. Periksalah peglihatan kita, sedekat apa mata kita bisa mengidentifikasikan sesuatu dengan benar? Apakah kita bisa membaca sebuah kertas bertuliskan huruf yang terletak di depan mata kita dengan jarak hanya sepanjang bulu mata kita?
Orang sering meminta afirmasi tentang keadaan dirinya sendiri kepada orang lain. Dia seharusnya tahu apa yang terjadi dengannya tanpa perlu bertanya pada orang lain. Diri dan perasaan maupun pikiran kita adalah sebuah kesatuan yang tak berjarak. Mestinya kita mengenal semuanya. Tapi seringkali, kita abai mengenalnya. Sehingga kita perlu bertanya pada orang lain apa yang terjadi pada diri kita.
Pun kita.
Kita tahu bahwa kita saling peduli. Pertimbangan setelahnya yang jadi serba sulit. Awalnya berupa 'cita saja tak cukup.' Lalu 'Peduli bukan berarti apa-apa. Kadang kita hanya ingin berbuat baik satu sama lain' lalu 'Aku takut jika suatu hari bosan dan tak tahu bagaimana caranya menghadapi ego kita' atau 'bagaimana kalau kamu dan aku ternyata bukan final,waktu masih berjalan dan barangkali kita hanya belum bertemu orang yang lebih tepat. Apa jaminannya bahwa di masa depan tidak akan muncul orang yang lebih cocok dan nyaman?' Lalu segala sesuatu seputarnya hanya jadi wacana. Kita saling menghindar untuk membahasnya lagi.
Bagiku, perasaan yang hadir diantara kita yang kikuk ini adalah sebuah swabukti. Seperti halnya kamu tahu kapan kamu lapar, kapan kamu merasa sakit, kapan kamu merasa sangat lelah. Hanya kamu sendiri yang tahu hal sebenarnya. Kamu tidak memerlukan perantara sesuatu yang lain untuk mengetahui kebenarannya. Kamu tahu. Kamu hanya perlu mengakui lalu berkata padaku.
Tapi toh kita sering bertanya tentang diri kita sendiri pada orang lain.
Barangkali karena pernah salah menilai sesuatu sehingga kepercayaan diri untuk meyakini apa yang kita anggap benar jadi begitu sulit. Akhirnya kita sering mempercayakan apa yang terjadi di hati dan pikiran kita pada oranglain. Barangkali kita sering terjebak dengan pendapat-pendapat orang yang menurut kita lebih pakar, malahnya, bagaimana jika dua orang pakar mengomentari satu hal dan hasil yang mereka rekomendasikan berbeda? Bagaimana akhirnya kamu melangkah setelahnya sedang kamu sedang tidak bisa berdiri tegak di tempat yang kamu yakini kekokohannya?
Kita hilang dalam pencarian terhadap diri sendiri. Di depan kita begitu buram, dibelakang kita ada jejak luka, kamu ingin melangkah ke mana? Kamu berdiam diri, berusaha menantang waktu, tapi kamu tahu kalau kamu harus melangkah, Sebelum es yang kamu pijak itu melelah atau retak.
Beri tahu aku setelah selesai bicara pada dirimu sendiri ya.
Intinya kita harus meyakini apa yang akan kita jalani dan mengikhlaskan apa saja yang sudah kita lalui. Thats true? :) mampir balik ya mbak :)
BalasHapus