Aku dan Benget adalah orang yang senang merencanakan segala sesuatu. Kita bukan orang yang spontan dan senang dengan gaya hidup mengikuti arus sungai. Kami juga bukan pasangan yang suka menyiapkan kejutan. Jika kita tahu bahwa kita akan melintasi sungai, maka kita akan menyiapkan alat perlindungan diri, sampan, dayung, dan segala yang dibutuhkan untuk bisa survive. Kami juga senang memperkirakan waktu. Menyiapkan diri untuk apapun yang akan terjadi di depan lebih baik daripada menghadapi kejutan yang sulit kita hadapi karena kita tidak punya "tools" apapun untuk menghadapinya.
Saat memutuskan untuk punya anak, kami menghitung kalender untuk memperkirakan kapan ia akan lahir, berapa uang yang akam kami butuhkan, fasilitas apa saja yang akan kami usahakan untuknya, dan banyak hal lainnya.
Sejak sebelum kehamilan, kami melengkapi vitamin dan cek kesehatan yang dibutuhkan sebagai syarat untuk punya anak yang sehat. Saat hamil, kami melengkapi kebutuhan cek laboratorium, USG 4D setiap bulannya, dan kebutuhan vitamin yang dibutuhkan. Sebagian besar non BPJS.
Kami punya rencana akan melahirkan di mana sejak usia kandungan 5 bulan. Awalnya, kami berniat melahirkan di bidan viral yang terkenal di Tiktok. Pertimbangan satu dan lain hal, kami putuskan untuk melahirkan di Klinik dekat rumah dengan dibantu bidan yang lokasi kliniknya berseberangan dengan rumah sakit. Pikiran kami saat itu adalah, jika ada situasi kedaruratan dalam persalinan normal yang kami pilih, maka kami dekat dengan fasilitas kesehatan yang bisa memberikan pertolongan kedaruratan.
Suatu hari Benget bilang, "sayang, ini kan anak pertama kita. Kita pilih lahiran paling aman ya di RS aja."
Kami mencoba "survey" dengan menghitung jarak antara rumah ke RS sambil melakukan simulasi apakah kontraksi saat melahirkan itu bearable untuk bisa sampai ke RSnya. Ternyata lumayan jauh. Terbayang ketika mulai kontraksi atau ketuban pecah, kami akan lama di jalan karena harus melintas tol Depok-Antasari dan membelah kemacetan Blok M. Sekalipun banyak yang bilang bahwa pembukaan lahir anak pertama itu akan memakan waktu lama sehingga kami akan sempat sampai ke RS tepat waktu, kami masih ragu karena kami menghitung berapa banyak kepanikan yang terjadi jika aku kontraksi sedangkan Benget yang belum lama bisa menyetir mobil juga ikut panik.
Di usia 38 minggu, Obgyn kami bilang bahwa kepala bayi masih jauh. Bayi kami sehat dan bisa dilahirkan weekend minggu depan. Jika ingin persalinan normal, maka kami bisa pakai teknik induksi buatan agar bayi bisa segera lahir. Benget kepikiran bahwa hari minggu ia ada tanggung jawab profesional yang tidak bisa dia tinggalkan. Sehingga sulit jika aku melahirkan weekend sekitar tanggal 21/22 Mei. Awalnya kami menyimpan kebimbangan kami sendiri
Kami mengutarakan kebimbangan kami ke bidan. Lalu bidan tempat kami periksa menyarankan kami ke rumah sakit seberang klinik untuk mendengar pendapat obgyn lainnya soal induksi buatan. Karena menurut pendapatnya, aku bisa menunggu kontraksi alami kapanpun yang diinginkan bayi.
Kami ke Obgyn yang dimaksud. Obgyn mengecek posisi kepala bayi, katanya masih terlalu jauh untuk bisa dilahirkan segera. Setelah negosiasi soal tanggal, obgyn bilang bahwa bayi kami bisa dilahirkan pada Senin 23 Mei 2022. Kami perlu ke RS pukul 6.30 untuk antigen dan prosedur induksi buatan akan dimulai pukul 07.00. Jika dalam 12 jam tidak ada kemajuan pembukaan, maka prosedur Operasi Caesar akan dilakukan.
Kami berdua sibuk mengabari handai taulan soal waktu melahirkan. Aku mengurus cuti melahirkan yang dimulai Senin 23 Mei 2022. Dengan santai, aku masih ngantor dan membuat janji pijat induksi dengan bidan pada hari Minggu tanggal 22 Mei 2022. Bidan pijat induksi bilang bahwa kebanyakan ibu hamil yang ia pijat induksi bisa mendapatkan kontraksi alami setelah pijat. Semua terencana. Benget senang sekali bahwa tak disangka kami akan melahirkan di RS dekat rumah sekalipun hanya sekali periksa di sana. "Tuhan baik ya sama kita," katanya. Alih-alih jadi tempat alternatif saat kedaruratan, RS itu justru jadi tempat aku melahirkan.
Jumat tanggal 20, aku datang ke kantor pukul 6.00. Karena masih banyak waktu, aku dan Benget jalan kaki pagi sebentar di sekitar kantor untuk cari sarapan nasi uduk. Aku sudah merasa mulas. Aku pikir itu mulas ingin BAB biasa. Benget pamit berangkat ke Telkom pukul 6.30. Aku merasakan mulas dan memilih untuk "menikmati" mulas itu sambil rebahan di sofa. Aku masih bingung apakah yang aku rasakan adalah kontraksi palsu, kontraksi asli, atau mulas biasa. Pukul 8.45, aku BAB. Anehnya, setelah BAB, mulas itu tidak tuntas. Aku masih menghitung waktu mulas dan 80% yakin bahwa yang aku alami adalah kontraksi.
Kebetulan, staf keuangan KontraS saat itu sudah datang. Aku mendatangi ruangannya untuk bertanya soal yang aku rasakan. Ia menyarankan aku untuk pergi ke Puskesmas untuk mengecek, jangan-jangan aku mulai pembukaan.
Jam 11.51, aku kirim pesan telegram ke Dimas untuk minta diantar ke Puskesmas Kwitang. Di Google Map, Puskesmas itu adalah faskes terdekat di kantor. Jaraknya hanya sekitar 200 meter. Akhirnya Pretty dan Dimas mengantar aku ke Puskesmas naik mobil. Pengecekan bukaan oleh bidan menghasilkan kesimpulan: Aku sudah pembukaan 2, tapi kepala bayi masih jauh sekali. Baiknya aku cek ulang pembukaan ke Puskesmas Senen yang lokasinya di Kramat 7, kurang dari 2km dari kantor. Aku bertanya, apakah aku bisa ke RS besar saja? Bidan bilang, "biasanya kalau masih pembukaan 2 sih suruh pulang dulu. Nanti kalau pembukaannya lebih maju, baru diterima ke RS."
Aku langsung kontak Benget. Ia izin atasan untuk kembali ke kantor. Perjalanan dari Telkom ke KontraS memakan waktu sekitar 1 jam. Aku menunggu Benget di sofa kantor sambil menikmati kontraksi yang masih berlangsung. Begitu sampai, Benget memintaku order makanan online sebelum kita ke Puskesmas Senen.
Sampai di Puskesmas Senen, kami masuk ke ruang isolasi COVID-19 khusus ibu melahirkan. Bidan mengecek ternyata masih pembukaan satu. "Mungkin beda tangan aja sama bidan di Puskesmas Kwitang," kata bidannya. Bidan meminta kami untuk tinggal di sana minimal 4 jam untuk diobservasi. Kalau tidak ada kemajuan pembukaan, ia mempersilakan kami untuk pindah ke RS lainnya.
Pukul 7, tepat 4 jam waktu observasi, bidan bilang aku sudah pembukaan 2. Aku diminta untuk berjalan-jalan, bergerak, goyang kanan kiri, jongkok-berdiri, agar kepala bayi turun. Aku hanya sanggup melakukannya sebentar karena kontraksinya lumayan sakit. Benget sangat cemas. Ia komplain ini itu yang intinya mengajak aku pindah ke RS. Aku yang kesakitan minta dia tenang. Jam 7 malam adalah waktu orang Jakarta pulang kerja, kita akan terjebak macet. Kalau pindahnya naik ambulan ke RS lain, aku bersedia. Tapi kalau hanya naik mobil kami, aku ga sanggup karena aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi di jalan. Bagaimana jika jalanan macet dan pembukaan jalan lahir terus berjalan? Aku berusaha untuk meyakinkan Benget bahwa kita bisa melahirkan di sini. Benget kecewa, tapi ia menuruti permintaanku untuk tenang dan menerima jika anak kita lahir di Puskesmas Senen.
Bidan menyarankan jika aku stay sampai pagi, mungkin aku perlu tes PCR agar bisa pindah ke kamar. Sebelumnya, aku hanya ditest antigen saja. Aku dan Benget mencari lokasi PCR, semuanya bilang hasil PCR baru keluar jam 7 pagi.
Bidan sempat bilang bahwa jika sampai jam 7 pagi tidak ada kemajuan pembukaan, sebaiknya kami pulang. Karena anak pertama memang butuh waktu lama karena masih mencari jalan lahir. karena ada rencana pindah rs jam 7 pagi, maka kami putuskan tak jadi pcr.
Benget kelelahan. Ia ketiduran sambil duduk di pinggir ranjang. Aku menggenggam tangannya sambil merasakan kontraksi. Jam 10, mulasku mulai tak tertahankan. Aku membangunkan dia dan bilang kalau aku kebelet BAB, "aku ga peduli kalau harus BAB di celana, pokoknya aku pengen BAB sekarang juga."
Aku turun dari ranjang. Tiba-tiba pipisku tumpah. Benget memanggil bidan. Bidan ke kamarku dan bertanya ada apa?
"Saya pengen pup bu bidan. Saya ga tahan. Saya malah pipis di celana."
"Yaaah, malah pipis di lantai ya bu. Pembukaannya kan masih lama."
Belakangan kami tahu bahwa ternyata itu bukan pipis. Tapi ketuban pecah.
Benget langsung membentak bidan, memaksanya untuk mengecek kondisiku. Akhirnya, bidan memintaku buka celana. Benget bilang, "sayang, aku lihat kepalanya."
Bidan bilang, "aduuuh, ini pasti tadi ngeden yaaa... Harusnya jangan ngeden. Bengkak kan vaginanya... Ini pasti ibu angkat pantat ya, jangan angkat pantat bu, nanti robeknya banyak..."
"YA AJARIN DONK BU! ISTRI SAYA KAN GA TAU CARANYA SUPAYA GA ANGKAT PANTAT DAN GA NGEDEN!"
Benget mulai ngegas. Aku merasa ga angkat pantat sama sekali, cuma otot pantatku memang menegang sehingga sekalipun kulit pantat ga terangkat, otot pantat sudah bergerak melawan gravitasi. Sekitar 3 bidan memberikan instruksi tarik nafas, pegang kaki, dan hal-hal lainnya. Ga lama, Yovela Ailsie Hutabarat lahir pukul 10.54. Setelah dilap sebentar, Yovela ditidurkan di dadaku untuk inisiasi menyusui dini (IMD). Benget menciumi Yovela dan aku, ia bilang kami berdua hebat dan keren. Sembari IMD, bidan mulai menjahit vaginaku. Ia bilang selama hamil aku pasti jarang makan sayur karena jaringan kulitku rapuh dan sulit dijahit. Ia bilang, "ini bukan jahit ya bu, ini obras. Akan ada sakit, tahan ya. Karena ga semua bagian bisa dibius."
Aku menikmati proses jahitan itu. Menurutku tidak begitu sakit. Justru lebih sakit ketika sampai rumah bekas jahitan membengkak dan vaginaku lecet. Sakit luar biasa karena berdiri, duduk, dan rebahan pun tak nyaman. Kakiku yang membengkak saat hamil masih bengkak paska melahirkan. Kata bidan itu kondisi normal hingga 1 bulan setelah bayi lahir.
Semua rencana lahiran kami sebelumnya hancur. Aku yang belajar pernafasan sebelum lahir, pentingnya tidak angkat pantat, pentingnya mengikuti instruksi bidan juga buyar. Aku duga ilmu yang aku peroleh selama proses kehamilan soal melahirkan itu buyar ketika aku salah mengira pembukaan 9 sebagai keinginan BAB.
Kebetulan sekali, aku juga anak yang lahir di Puskesmas. Ibuku bilang, aku lahir hari Jumat pagi tanggal 1 Juni 1990 sekitar pukul 11 siang. Saat melihat foto bayi Yovela, ibu dan kakak perempuanku bilang, Yovela wajahnya persis wajahku saat baru dilahirkan.
Dengan segala keterbatasan fasilitasnya, Puskesmas Senen punya makanan yang enak, keberpihakan pada ibu ASI yang tinggi, dan memberikan pendidikan cara mengurus bayi yang sangat dibutuhkan oleh aku dan Benget. Kak Ari mencandai kita, "waaah... Anaknya Banu jadi anak Jakarta, bukan anak Depok nih karena lahir di Jakarta."
Kami bersyukur dan banyak belajar bahwa sedetail apapun rencana kami, rencana Tuhan itu yang terbaik. Waktu yang kami rencanakan ternyata bukan waktu yang Tuhan rencanakan untuk kami.
Selamat datang di dunia, Yovela!!