Kemarin, aku dan Fatimah Zahrah makan malam di sekitar kampus Sanata Dharma Jogja. Dekat dengan homestay kami. Kami mencari makanan yang sederhana tapi bukan yang edisi masakan Padang. Fatimah ngotot ingin makan sayuran karena dia ingin mempraktekkan Food Combaining, Aku juga ngotot tidak ingin makan di chiness food. Sejak dia di Jogja, dia memang berusaha untuk mempraktekkan food combaining supaya cacing dalam perutnya jadi lebih bahagia. Jadilah, kami makan di warung masakan Jawa.
Warung itu sama sekali tidak menarik. Etalasenya tidak menghadap sisi jalan, agak temaram, dengan televisi di pojok atas. Warung itu menjual bensin, minuman dingin dengan kulkas Coca Cola, dan pulsa. Saat kami datang, mereka sedang menonton TV One.
Aku agak ragu makan di situ. Selain tidak menarik, aku bukan penggemar masakan Jawa maupun warteg. Aku lebih suka makanan Sulawesi, Aceh, maupun Sunda. Sedangkan Fatimah adalah fangirl warteg, masakan Jawa dan warung Burjo. Tapi kami sudah berjalan lebih jauh dari yang biasanya. Akhirnya, kami memutuskan untuk makan di warung itu.
Ternyata pemilik warung itu adalah orang Flores. Menariknya, bapak dan ibu yang ada di warung tersebut menggunakan pin bergambar Prabowo-Hatta di bagian dada kanan bajunya. Dengan wajah sumringah, mereka bilang kalau mereka adalah tim sukses pasangan calon presiden No.1.
Kepada Fatimah, ibu itu bilang, "Sekalipun saya tim sukses capres nomer 1, saya sih tetap ingin mencoblos berdasarkan hati nurani. Jokowi itu orang baik. Dia sudah berbuat banyak dan dicintai rakyat. Terserah orang mau jadi tim sukses siapa. Yang tahu siapa pilihan sesuai hati nurani kita di kotak suara hanya kita dan Tuhan."
Fatimah menyambut pernyataan ibu itu dengan tertawa keras. Dia senang sekali ada orang yang bilang begitu kepada Jokowi. Aku hanya senyum-senyum mendengarnya. Karena tersenyum itu nomer satu. Presidennya nomer 2.
Fatimah dan ibu itu mengobrol seru tentang copras capres, pendidikan, pemberdayaan perempuan, anak, asal tempat tinggal, dan lain-lain.
Aku hanya ikut mengobrol bersama mereka sedikit-sedikit. Bukan karena tidak tertarik dengan tema obrolan. Tapi karena bapak pemilik warung juga mengajakku untuk mengobrol. Sehingga ada 2 forum yang berbeda di satu tempat. Kami sangat berisik. Beruntung tidak ada orang lain di sekitar kami yang ikut bicara maupun sekedar mendengarkan.
Topik yang dibicarakan oleh si bapak tidak jauh beda. Menariknya, bapak ini tetap akan memilih Prabowo dengan alasan, "Prabowo itu hebat, Sehebat Soeharto. Nanti jika Prabowo menang, akan ada kemandirian pangan seperti jaman Soeharto dulu. Indonesia akan berdaulat kembali."
Aku tersenyum, mengangguk-angguk, dan ber, "Oh ya? hmmm... Oh ya..." karena bapak itu berbicara dengan semangat tanpa bisa di interupsi.
Si bapak bilang, bahwa di jaman Soeharto, ada bayak lahan yang diganti dengan sawah sehingga lebih bermanfaat. Karena itulah, warga di luar pulau Jawa tidak perlu membeli nasi lagi dari Jawa. Dia bercerita bahwa ia termasuk yang kena dampak positif di masa Soeharto lewat program Repelita.
Program Repelita Soeharto diabadikan lewat perangko-perangko yang dikoleksi oleh 2 kakak ku yang memang punya hobi filateli. Saat aku SD, aku lebih tertarik dengan buku dan kertas surat yang lucu-lucu daripada filateli. Penyebutan Repelita membawa ingatanku kembali ke masa lalu. Kalau tidak melihat koleksi perangko kakakku, barangkali aku tidak akan pernah tertarik dengan tema Repelita. Perangko itu bergambar macam-macam pembangunan Indonesia yang menjadi target peningkatan kualitas di berbagai sektor. Aku jadi tahu apa yang dimaksud oleh bapak dari Flores ini.
Setelah memuji-muji Soeharto, ia tampak sangat senang. Sesekali ia tertawa mengenang kejayaan Orde Baru dan kenyamanan hidupnya di masa lalu.
Aku bilang ke bapak itu, "Saya sih nggak suka sama Soeharto. Soalnya Ibu dan Bapak saya jadi tahanan politik tanpa proses pengadilan. Di jaman Orde Baru, semua yang tampak kritis dan berbahaya akan langsung dipenjara sekalipun tapa bukti yang kuat. Jangankan bapak ibu saya, Iwan Fals yang cuma nyanyi-nyanyi aja juga dipenjara."
Bapak itu memelankan tawanya, dengan agak kikuk, dia berkata, "Oh gitu ya, jadi saya salah sasaran ngomong ya. Hehehe, maaf..."
Kemudian aku bercerita tentang bapak dan ibu. Sudah pernah aku tulis kisahnya di blog. Aku tidak ingin menuliskan detail pembicaraan tentang bapak di postingan ini. Karena aku ingin membahas hal selain soal pemenjaraan.
"Soeharto sama sekali bukan Pahlawan. Dengan program Repelita, Indonesia yang awalnya memiliki makanan pokok bermacam-macam jadi disuruh makan beras semua. Pembukaan lahan itu untuk ditanami padi kan? Itu juga terjadi lho di Indonesia bagian Timur yang masyarakatnya makan sagu. Padahal Sagu itu lebih sehat daripada beras. Sagu punya karbohidrat seperti nasi, tapi dengan kadar gula yang rendah sehingga penderita diabetes aman mengonsumsinya. Dampak politik beras terasa sekali sekarang, kita semua jadi terbiasa makan nasi. Padahal pupuk sangat mahal. Lahan banyak yang sudah rusak karena musim tidak menentu. Gagal panen di mana-mana. Kita terpaksa ambil beras dari Thailand. Coba kalau dulu tidak menjalankan politik beras, ketergantungan kita terhadap nasi tidak akan separah ini."
"Oh iya?"
Si bapak kemudian bercerita bahwa dia lebih suka beras dari pada sagu. Di Flores, hanya orang yang sangat miskin yang mengonsumsi sagu. Sagu di Flores biasanya hanya untuk makanan ternak. Mereka baru tahu kalau sagu bisa dioleh menjadi makanan dari orang Irian Jaya (sekarang Papua dan Papua Barat) dan Maluku. Jika tidak ada nasi, maka mereka akan makan umbi. Jika tidak ada umbi, barulah mereka makan sagu. Sagu sudah ada di hutan-hutan. Tak perlu menunggu panen ataupun menanamnya. Tanaman sagu sudah tumbuh liar sehingga masyarakat Flores dulu mengiranya sagu itu hanya makanan babi.
"Di masa Soeharto juga, ada sebuah bendungan yang sangat besar bernama Kedung Ombo. Kedung Ombo ini ada di wilayah Boyolali, Sragen, Semarang dan banyak kabupaten lain. Saya ini numpang lahir di Boyolali pak, salah satu Kabupaten yang kena dampak Kedung Ombo juga. Saya pernah ke Kedung Ombo dan waduk itu seperti lautan. Sangat luas."
"Wah, ada kayak gitu ya? Sampai kayak Danau?"
"Benar. Sampai kayak Danau. Sampai detik ini, warga yang dulunya tinggal di wilayah Kedung Ombo banyak yang tidak dibayar tanahnya. Kalaupun dibayar, harga tanahnya juga terlalu murah. Tidak akan bisa membeli luas tanah yang sama di daerah lain berikut bangunannya. Orang-orang banyak yang mendadak miskin dan tidak punya apapun. Mereka tidak punya pilihan lain. Waduk akan tetap di bangun sekalipun mereka tidak mau pindah. Seperti Lapindo itu lho pak, saat sudah terbenam, warga bisa apa? Aliran air yang berasal dari sungai-sungai itu akan tetap membanjiri. Sudah puluhan tahun pak, belum dapat ganti rugi. Kalau lihat peta Jawa tengah, akan sangat jelas terlihat ada waduk besar bernama Kedung Ombo."
"Saya tidak pernah tahu ada Kedung Ombo sebelumnya. Jasa Soeharto banyak di Flores. Saya tidak tahu bahwa di daerah lain dan orang lain mengalami hal yang sebaliknya."
"Yang terkena dampak baik hanya segelintir orang pak. Banyak orang yang terkena dampak buruknya sampai sekarang. Kepemimpinan ala militer seperti yang dilakukan oleh Orde Baru dampak buruknya terasa sampai sekarang. Misal tentang apa yang menimpa bapak dan ibu saya. Apa yang menimpa warga yang dulu tinggal di Kedung Ombo. Dan ada banyak hal lain lagi yang bertentangan dengan akal sehat dan kemanusiaan kita."
Setelahnya, aku dan Fatimah berbicara kepada mereka bahayanya jika era Soeharto kembali berjaya. Termasuk gerakan, "Piye Kabare? Penak Jamanku To?"
Sudah pukul 20.30 saat itu. Sudah lebih dari satu jam kami mengobrol. Agak sulit menghentikan pembicaraan soal ini karena bapak dan ibu yang sejak tahun 91 sudah tinggal di Jawa ini begitu antusias dengan tema obrolan kita.
Aku dan Fatimah pamit. Kami membayar makanan yang harganya murah sekali, lalu bersalaman dengan mereka. Mereka bilang mereka senang berbicara dengan kami. Kami mengatakan hal yang serupa sambil berkata bahwa lain waktu, kami ingin makan di sana lagi.
Kemudian kami berpisah.
Dalam perjalanan menuju homestay, Fatimah bilang, "Si ibu itu pinter banget ya orangnya. Dia itu berpendidikan gitu lho. Open minded banget."
Aku mengiyakan. Ibu itu memang bercerita bahwa dia pernah menempuh pendidikan sekretaris. Tapi aku rasa ibu itu memiliki pengetahuan luas bukan karena pendidikan tingginya. Tapi karena ibu itu memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap keadaan sosial dan politik. Aku banyak menemui orang-orang yang berpendidikan tinggi tapi tak tahu apa-apa selain kenyamanan hidupnya sendiri. Bapak itu juga teman diskusi yang sangat baik. Lebih baik daripada orang-orang yang biasanya berdebat di twitter maupun facebook. Jauh lebih baik juga daripada anak-anak kuliahan yang sering berdebat dengan kata, "Pokoknya blablabla..." dengan sederetan ad hominem yang menjengkelkan.
Pulang makan malam itu, kami sangat bahagia. Tidak hanya soal harga makanan yang sangat murah. Tapi pembicaraan dengan ibu dan bapak pemilik warung memang benar-benar menyenangkan.
Kami benar-benar ingin kembali ke warung itu. Lain waktu.
Warung itu sama sekali tidak menarik. Etalasenya tidak menghadap sisi jalan, agak temaram, dengan televisi di pojok atas. Warung itu menjual bensin, minuman dingin dengan kulkas Coca Cola, dan pulsa. Saat kami datang, mereka sedang menonton TV One.
Aku agak ragu makan di situ. Selain tidak menarik, aku bukan penggemar masakan Jawa maupun warteg. Aku lebih suka makanan Sulawesi, Aceh, maupun Sunda. Sedangkan Fatimah adalah fangirl warteg, masakan Jawa dan warung Burjo. Tapi kami sudah berjalan lebih jauh dari yang biasanya. Akhirnya, kami memutuskan untuk makan di warung itu.
Ternyata pemilik warung itu adalah orang Flores. Menariknya, bapak dan ibu yang ada di warung tersebut menggunakan pin bergambar Prabowo-Hatta di bagian dada kanan bajunya. Dengan wajah sumringah, mereka bilang kalau mereka adalah tim sukses pasangan calon presiden No.1.
Kepada Fatimah, ibu itu bilang, "Sekalipun saya tim sukses capres nomer 1, saya sih tetap ingin mencoblos berdasarkan hati nurani. Jokowi itu orang baik. Dia sudah berbuat banyak dan dicintai rakyat. Terserah orang mau jadi tim sukses siapa. Yang tahu siapa pilihan sesuai hati nurani kita di kotak suara hanya kita dan Tuhan."
Fatimah menyambut pernyataan ibu itu dengan tertawa keras. Dia senang sekali ada orang yang bilang begitu kepada Jokowi. Aku hanya senyum-senyum mendengarnya. Karena tersenyum itu nomer satu. Presidennya nomer 2.
Fatimah dan ibu itu mengobrol seru tentang copras capres, pendidikan, pemberdayaan perempuan, anak, asal tempat tinggal, dan lain-lain.
Aku hanya ikut mengobrol bersama mereka sedikit-sedikit. Bukan karena tidak tertarik dengan tema obrolan. Tapi karena bapak pemilik warung juga mengajakku untuk mengobrol. Sehingga ada 2 forum yang berbeda di satu tempat. Kami sangat berisik. Beruntung tidak ada orang lain di sekitar kami yang ikut bicara maupun sekedar mendengarkan.
Topik yang dibicarakan oleh si bapak tidak jauh beda. Menariknya, bapak ini tetap akan memilih Prabowo dengan alasan, "Prabowo itu hebat, Sehebat Soeharto. Nanti jika Prabowo menang, akan ada kemandirian pangan seperti jaman Soeharto dulu. Indonesia akan berdaulat kembali."
Aku tersenyum, mengangguk-angguk, dan ber, "Oh ya? hmmm... Oh ya..." karena bapak itu berbicara dengan semangat tanpa bisa di interupsi.
Si bapak bilang, bahwa di jaman Soeharto, ada bayak lahan yang diganti dengan sawah sehingga lebih bermanfaat. Karena itulah, warga di luar pulau Jawa tidak perlu membeli nasi lagi dari Jawa. Dia bercerita bahwa ia termasuk yang kena dampak positif di masa Soeharto lewat program Repelita.
Program Repelita Soeharto diabadikan lewat perangko-perangko yang dikoleksi oleh 2 kakak ku yang memang punya hobi filateli. Saat aku SD, aku lebih tertarik dengan buku dan kertas surat yang lucu-lucu daripada filateli. Penyebutan Repelita membawa ingatanku kembali ke masa lalu. Kalau tidak melihat koleksi perangko kakakku, barangkali aku tidak akan pernah tertarik dengan tema Repelita. Perangko itu bergambar macam-macam pembangunan Indonesia yang menjadi target peningkatan kualitas di berbagai sektor. Aku jadi tahu apa yang dimaksud oleh bapak dari Flores ini.
Berbagai macam gambar perangko Repelita. (Sumber foto : http://kolektorperangko.blogspot.com/) |
Aku bilang ke bapak itu, "Saya sih nggak suka sama Soeharto. Soalnya Ibu dan Bapak saya jadi tahanan politik tanpa proses pengadilan. Di jaman Orde Baru, semua yang tampak kritis dan berbahaya akan langsung dipenjara sekalipun tapa bukti yang kuat. Jangankan bapak ibu saya, Iwan Fals yang cuma nyanyi-nyanyi aja juga dipenjara."
Bapak itu memelankan tawanya, dengan agak kikuk, dia berkata, "Oh gitu ya, jadi saya salah sasaran ngomong ya. Hehehe, maaf..."
Kemudian aku bercerita tentang bapak dan ibu. Sudah pernah aku tulis kisahnya di blog. Aku tidak ingin menuliskan detail pembicaraan tentang bapak di postingan ini. Karena aku ingin membahas hal selain soal pemenjaraan.
"Soeharto sama sekali bukan Pahlawan. Dengan program Repelita, Indonesia yang awalnya memiliki makanan pokok bermacam-macam jadi disuruh makan beras semua. Pembukaan lahan itu untuk ditanami padi kan? Itu juga terjadi lho di Indonesia bagian Timur yang masyarakatnya makan sagu. Padahal Sagu itu lebih sehat daripada beras. Sagu punya karbohidrat seperti nasi, tapi dengan kadar gula yang rendah sehingga penderita diabetes aman mengonsumsinya. Dampak politik beras terasa sekali sekarang, kita semua jadi terbiasa makan nasi. Padahal pupuk sangat mahal. Lahan banyak yang sudah rusak karena musim tidak menentu. Gagal panen di mana-mana. Kita terpaksa ambil beras dari Thailand. Coba kalau dulu tidak menjalankan politik beras, ketergantungan kita terhadap nasi tidak akan separah ini."
"Oh iya?"
Si bapak kemudian bercerita bahwa dia lebih suka beras dari pada sagu. Di Flores, hanya orang yang sangat miskin yang mengonsumsi sagu. Sagu di Flores biasanya hanya untuk makanan ternak. Mereka baru tahu kalau sagu bisa dioleh menjadi makanan dari orang Irian Jaya (sekarang Papua dan Papua Barat) dan Maluku. Jika tidak ada nasi, maka mereka akan makan umbi. Jika tidak ada umbi, barulah mereka makan sagu. Sagu sudah ada di hutan-hutan. Tak perlu menunggu panen ataupun menanamnya. Tanaman sagu sudah tumbuh liar sehingga masyarakat Flores dulu mengiranya sagu itu hanya makanan babi.
"Di masa Soeharto juga, ada sebuah bendungan yang sangat besar bernama Kedung Ombo. Kedung Ombo ini ada di wilayah Boyolali, Sragen, Semarang dan banyak kabupaten lain. Saya ini numpang lahir di Boyolali pak, salah satu Kabupaten yang kena dampak Kedung Ombo juga. Saya pernah ke Kedung Ombo dan waduk itu seperti lautan. Sangat luas."
"Wah, ada kayak gitu ya? Sampai kayak Danau?"
"Benar. Sampai kayak Danau. Sampai detik ini, warga yang dulunya tinggal di wilayah Kedung Ombo banyak yang tidak dibayar tanahnya. Kalaupun dibayar, harga tanahnya juga terlalu murah. Tidak akan bisa membeli luas tanah yang sama di daerah lain berikut bangunannya. Orang-orang banyak yang mendadak miskin dan tidak punya apapun. Mereka tidak punya pilihan lain. Waduk akan tetap di bangun sekalipun mereka tidak mau pindah. Seperti Lapindo itu lho pak, saat sudah terbenam, warga bisa apa? Aliran air yang berasal dari sungai-sungai itu akan tetap membanjiri. Sudah puluhan tahun pak, belum dapat ganti rugi. Kalau lihat peta Jawa tengah, akan sangat jelas terlihat ada waduk besar bernama Kedung Ombo."
"Saya tidak pernah tahu ada Kedung Ombo sebelumnya. Jasa Soeharto banyak di Flores. Saya tidak tahu bahwa di daerah lain dan orang lain mengalami hal yang sebaliknya."
"Yang terkena dampak baik hanya segelintir orang pak. Banyak orang yang terkena dampak buruknya sampai sekarang. Kepemimpinan ala militer seperti yang dilakukan oleh Orde Baru dampak buruknya terasa sampai sekarang. Misal tentang apa yang menimpa bapak dan ibu saya. Apa yang menimpa warga yang dulu tinggal di Kedung Ombo. Dan ada banyak hal lain lagi yang bertentangan dengan akal sehat dan kemanusiaan kita."
Setelahnya, aku dan Fatimah berbicara kepada mereka bahayanya jika era Soeharto kembali berjaya. Termasuk gerakan, "Piye Kabare? Penak Jamanku To?"
Sudah pukul 20.30 saat itu. Sudah lebih dari satu jam kami mengobrol. Agak sulit menghentikan pembicaraan soal ini karena bapak dan ibu yang sejak tahun 91 sudah tinggal di Jawa ini begitu antusias dengan tema obrolan kita.
Aku dan Fatimah pamit. Kami membayar makanan yang harganya murah sekali, lalu bersalaman dengan mereka. Mereka bilang mereka senang berbicara dengan kami. Kami mengatakan hal yang serupa sambil berkata bahwa lain waktu, kami ingin makan di sana lagi.
Kemudian kami berpisah.
Dalam perjalanan menuju homestay, Fatimah bilang, "Si ibu itu pinter banget ya orangnya. Dia itu berpendidikan gitu lho. Open minded banget."
Aku mengiyakan. Ibu itu memang bercerita bahwa dia pernah menempuh pendidikan sekretaris. Tapi aku rasa ibu itu memiliki pengetahuan luas bukan karena pendidikan tingginya. Tapi karena ibu itu memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap keadaan sosial dan politik. Aku banyak menemui orang-orang yang berpendidikan tinggi tapi tak tahu apa-apa selain kenyamanan hidupnya sendiri. Bapak itu juga teman diskusi yang sangat baik. Lebih baik daripada orang-orang yang biasanya berdebat di twitter maupun facebook. Jauh lebih baik juga daripada anak-anak kuliahan yang sering berdebat dengan kata, "Pokoknya blablabla..." dengan sederetan ad hominem yang menjengkelkan.
Pulang makan malam itu, kami sangat bahagia. Tidak hanya soal harga makanan yang sangat murah. Tapi pembicaraan dengan ibu dan bapak pemilik warung memang benar-benar menyenangkan.
Kami benar-benar ingin kembali ke warung itu. Lain waktu.
***
Note :