Sekitar tahun 2013, seorang teman chatting mengirimiku paket buku. Dia bilang, penulis buku itu adalah temannya. Ia ingin aku baca buku itu agar jadi orang yang lebih semangat dalam menjalani hidup. Judul bukunya, "Berteman dengan Kematian." Foto di buku itu memperlihatkan seorang perempuan berambut panjang yang tampak berjalan di sebuah hutan. Buku itu aku baca dan selesai dalam sehari. Aku berterima kasih pada teman chattingku itu dan janji padanya untuk cari pertolongan ke psikolog agar hidupku bisa lebih terasa hidup. Beberapa trauma membuatku menjalani hari-hari seperti zombie. Bahkan aku sempat cek darah juga untuk mencari tahu apakah aku menderita auto imun atau tidak karena aku lemas sepanjang hari. Hasilnya, negatif auto imun. Belakangan, aku tahu bahwa rasa lemas itu disebabkan oleh PTSD dan depresi.
Beberapa waktu berselang, aku ikut sebuah organisasi Kiri yang mengelola website. Rupanya, penulis buku "Berteman dengan Kematian" ini juga bergabung di dalamnya. Lama-lama, aku dan dia mulai dekat dan bercerita macam-macam soal hidup yang pernah kita jalani. Kita jarang berkomunikasi, tapi saat ada badai, kita akan saling mengingat satu sama lain. Kita sama-sama ekstrovert yang baru lega setelah bercerita dan mendengar.
Saat aku mulai terasa sesak dan tidak stabil, aku selalu mengingat namanya. Sering juga bertanya-tanya, bagaimana kabarnya? Bagaimana ia menghadapi penyakitnya kini? Bagaimana caranya coping dari satu masalah ke masalah lainnya? Apakah hari ini dia bahagia? Berapa batang rokok yang dihisapnya hari ini?
Aku sering penasaran, tapi tak selalu bertanya langsung padanya. Terutama saat aku sedang tidak stabil. ku takut ketidak stabilanku akan berdampak buruk padanya. Jadi aku mengingat dalam diam dan mendoakan segala yang baik untuknya. Kadang, aku hanya melihatnya lewat instagram lalu bangga bahwa perempuan kuat ini temanku!
Selamat atas penayangan film Hidup Harus Hidup yang diangkat dari buku "Berteman dengan Kematian" karya Sinta Ridwan! Bangga sama kamu, mbak!