"Kau beruntung punya keluarga," katanya lirih, sore itu.
Aku mendengarnya mengambil nafas dalam-dalam. Tidak apa-apa jika ia ingin menangis. Tangisan bukanlah tanda kelemahan bagi laki-laki maupun perempuan. Bukankah kita tercipta dengan kelenjar air mata yang memang punya fungsi yang sama? Bukankah hati kita secara tak kasat mata juga bisa begitu tertekan dan terluka? Tapi, aku tak melihat ada tetes di sudut matanya.
"Aku ingat betul. Di hari kematian Ibuku, orang-orang berusaha mengelus kepalaku hanya karena aku anak yatim piatu. Katanya Rasul senang mengelus kepala yatim piatu. Jika umatnya melakukan hal yang sama, maka akan ada banyak pahala yang didapatkan. Mereka melihatku dengan wajah penuh belas kasihan. Padahal, orang-orang itu juga yang akhirnya memperebutkan warisan dari ayah ibuku. Dengan alasan, aku masih terlalu kecil untuk mengelola harta warisannya. Mereka pikir aku tak pernah tahu bahwa aku punya hak atas warisan itu. Mereka tak peduli jika aku membutuhkan warisan itu untuk hidup, sekolah, melanjutkan cita-cita."
Ada keheningan menyakitkan di sini. Suaranya bergetar.
Mereka adalah penyumbang terbesar dalam kesakitan-kesakitan yang masih aku rasakan sampai saat ini. Apa karena aku anak angkat? Bagaimanapun, mereka seperti orangtuaku sendiri. Mereka hanya punya aku sebagai anaknya. Bahkan sebelumnya, aku tidak tahu bahwa aku bukan anak kandung mereka. Aku merasai pengkhianatan, perasaan sendirian, terbuang, terlunta-lunta dari orang-orang yang tampak selalu baik di depan orangtuaku. Tanah di pemakaman ibuku belum juga kering saat perebutan warisan terjadi. Bukannya menjagaku yang masih kecil dan sendirian, mereka justru menorehkan luka batin dalam kepada anak tersayangnya. Jika mengingatnya, rasanya luka ini masih berdarah."
Ia diam. Aku menahan diri untuk berkomentar. Tepatnya, aku tak tahu harus merespon apa. Aku ingin berkata padanya bahwa ia tak sendirian, ada aku. Tapi, di mana aku saat ia sedang lalui masa lalunya? Aku takut tak ada di dekatnya saat ia membutuhkanku di saat ini atau di masa depan. Jika aku bilang aku tahu perasaannya, maka itu kebohongan. Siapa yang tahu persis kesedihan orang lain di masa-masa tergelapnya? Bahkan dua orang yang mengalami peristiwa yang sama pun akan meresapi kesedihannya dengan kadar yang berbeda. Jelas aku tak ingin melontarkan kata-kata motivasi seolah aku tahu caranya menghadapi apa yang pernah dia hadapi. Aku saja berdarah-darah menghadapi "perang" ku sendiri yang sampai saat ini belum juga aku menangkan.
"Kau tahu, aku sempat mencari orangtua asliku. Bapak kandungku sudah lama meninggal. Aku tidak tahu bagaimana rupanya. Aku diangkat sejak masih orok. Ibu kandungku sendiri sudah menikah lagi. Adik tiri begitu membenciku hanya karena aku anak kampung dari pesantren. Aku tak mungkin bersama mereka. Aku tak mungkin hidup di warung ibu kandung yang terasa sangat asing bagiku itu. Aku merindukan almarhum ibu angkatku setiap hari. Setiap kali aku alami kekecewaan-kekecewaan dengan ibu kandungku. Sekarang ia pun sudah meninggal. Aku mengerti posisiku. Aku tak akan mendapatkan apa-apa lagi bahkan dari ibu kandungku sendiri. Aku benar-benar mengerti makna menjadi terasing dan sendirian. Kau beruntung punya keluarga. Aku tak punya rumah lagi. Aku tak tahu makna pulang."
Entahlah,
Barangkali memang iya. Barangkali juga, aku terlalu lama menganggapnya biasa-biasa saja. Kadang ada rasa bangga dengan prestasi saudaraku. Seringkali malah terbebani dengan banyak hal. Aku menghitung berapa banyak yang harusnya aku berikan dan betapa sedikit yang ternyata bisa aku penuhi. Akan lebih melegakan jika aku menutup telinga tak peduli. Tapi jika aku tak-bisa-untuk-tak-peduli pada orang yang tak punya ikatan darah denganku,bagaimana mungkin aku bisa tak peduli pada keluargaku sendiri?
Aku ingin berkata padanya, barangkali saat ia sedang punya uang berlebih, ia akan dengan mudah menyenangkan dirinya sendiri untuk makan di resto mahal seperti yang sering ia tampakkan di sosial medianya. Tapi, aku mana bisa begitu. Aku akan membagi berapa uang yang aku butuhkan dan berapa kewajiban untuk adikku yang harus aku transfer. Aku tak akan bisa menabung karena setiap kali ada beberapa rupiah di rekening, selalu saja ada persoalan hidup-mati yang perlu aku tambal.
Setiap kali aku mulai lelah dengan hidupku sendiri, aku tetap mendengarkan perkelahian ini itu yang melulu berisi keluhan bapak, kekecewaan ibu, dan menyerap setiap tetes sari pati ketidakbahagiaan yang mereka jalani. Aku terlibat di tengah mereka.
Barangkali aku satu-satunya anak yang bisa diajak bicara oleh bapak sehingga ia menambah lapis demi lapis keluhan-keluhannya di atas kepalaku. Barangkali aku satu-satunya anak yang sifat-sifatnya paling mirip dengan ibu sehingga ibu selalu membanjiri hatiku dengan kekecewaan-kekecewaannya yang muram tentang segala sesuatu. Ibu yang masih mempercayai agama sebagai satu-satunya penyelamat hidup kita merasa begitu takut jika kelak aku tersesat karena ternyata kita punya banyak pandangan hidup yang sangat berbeda. Ibu pernah takut aku mengikuti kelompok keagamaan yang aneh, padahal ibulah yang pernah ikut kelompok agama seperti itu. Ibu takut aku terjebak dalam pergaulan yang salah karena lingkupku teralalu luas. Oh, jelas pergaulanku baik-baik saja. Aku hanya tak ingin seperti ibu saja yang hampir tak punya teman. Aku takut jika kelak aku tumbuh menjadi orang seperti ibuku. Di sisi lain menyadari kemiripan-kemiripan sifat kita berdua. Kau tahu betapa sulitnya mengelola hal kontradiktif semacam itu?
Aku belum pernah mengatakan pergulatan ini kepada temanku. Ia tak akan mengerti rasanya, seperti halnya aku juga tak akan pernah tahu persis apa yang ia rasakan. Aku tidak ingin menjadi seorang bedebah yang merasa bahwa deritaku lebih dalam daripada deritanya. Aku tak mau jadi orang brengsek yang begitu mendengar penderitaaan orang lain langsung merasa lega karena ternyata ada yang jauh lebih menderita. Orang macam apa yang senang karena mendengar orang lain lebih menderita?
"Aku rasa..." kataku, di sela keheningan, "Keluarga ada dua. Keluarga yang terikat darah dan keluarga yang akhirnya kita pilih sendiri."
Sebenarnya itu adalah kutipan dari sosial media yang pernah aku baca. Barangkali dia juga pernah membacanya di suatu tempat. Tapi aku lupa di mana dan siapa yang mengatakannya.
Ia mengangguk. "Selalu ada orang baik yang menolongku di saat aku terjepit. Kebanyakan memang benar-benar orang yang tidak terduga."
"Sama. Pun aku."
Kita tersenyum. Bersamaan.
"Apa kau pernah berpikir untuk bunuh diri saat benar-benar merasa sengsara?"
"Tidak." Kataku terkekeh. "Aku sering merasa tidak sehat. Jika sedang sedih, aku akan merasa semakin tidak sehat. Cepat atau lambat, toh aku akan mati sendiri. Aku bahkan sudah merencanakan apa yang terjadi dengan tubuhku setelah mati."
"Aku pernah mengalami masa-masa ingin bunuh diri setiap hari. Sartre memang sialan."
"Gara-gara Sartre?"
"Iya."
"Hahaha,,, Dasar bodoh."
"Aku menulis kesedihan-kesedihanku di tembok kamar setiap kali mulai mengantuk dan nelangsa. Entah bagaimana kabarnya coretanku itu sekarang. Ada di kamarku yang dulu."
"Aku hanya pernah menulis empat huruf dari nama orang yang aku sukai. Saat aku benar-benar sangat merindukannya tapi aku tahu diri bahwa aku tak punya hak lagi untuk menghubunginya. Ia orang yang menemaniku di masa-masa aku jatuh terhempas sampai palung hidup yang paling dalam. Hampir mati rasanya dulu itu. Gila kalau dipikir-pikir. Aku kok bisa mengalami hal itu."
"Mengalami apa?"
"Suatu hari aku ceritakan. Bukan sekarang. Mentang-mentang kau sudah berbagi selimut gelapmu, apa aku harus membagi punyaku saat ini juga? Siapa yang akan bawa penerangnya dong?"
Dia tersenyum.
Kami menghabiskan minuman kami. Ia menuju wastafel. Sepertinya Mall ini hampir tutup. Beberapa gerai sudah mematikan lampunya.
"Anyway, ini kau yang traktir ya." Ujarnya sambil nyengir jail sekembalinya dari wastafel.
Aku menarik nafas. Pertemuan kita yang lalu, dia yang membayar makanan. Memang saat ini seharusnya aku yang membayar. Wajah adikku terlintas. Aku minta maaf pada bayangannya, barangkali aku harus mentraktir yatim piatu ini lebih dahulu dan menunda transferanku padanya lima hari lagi. Semoga dia bisa bertahan dengan uangnya yang tersisa saat ini.
"Iya." Jawabku singkat.
Kami berjalan menuju tempat tinggal kami masing-masing.
Ah, kau tahu, sebenarnya aku juga tak punya rumah. Aku juga sepertimu. Tak tahu makna pulang. Aku berdoa diam-diam, semoga kacau balaunya hidup kita ini segera berakhir.
Barangkali sebenarnya masing-masing dari kita sudah punya rumah yang kelak akan kita temukan. Hanya saja, kita harus terluka dulu sebelum akhirnya beristirahat di bawah lindngan atapnya. Atau jangan-jangan, luka ini karena paku, gergaji, kayu, bebatuan, dan beton yang kita gunakan untuk mengokohkan rumah yang sedang kita bangun sendiri. Hanya saja kita tak menyadarinya.
Siapa tahu kan? Siapa sih yang tahu? Tak seorang pun tahu. Tak ada, yang tahu.