TINGGAL satu kota dengan
bapak tidak menjamin bahwa akan bertemu dengannya setiap hari. Jika bapak ada
di wilayah Jakarta Selatan, bapak akan menyempatkan mampir ke kost ku untuk
sekedar mengajak makan malam lalu kembali lagi ke tempat kerjanya di daerah
Jakarta Barat. Kadang juga ke Cikarang.
Karena disekitarku sedang ada
banyak sekali cerita mengenai perceraian atau putusnya hubungan cinta yang
masih dalam tahap pacaran ataupun bertunangan, akhirnya aku mencoba berbincang
dengan bapak mengenai itu. Aku tahu, pernikahan bapak dan ibu itu tidak selalu
berjalan mulus. Banyak bertengkar, walau tidak dengan gaya saling teriak. Bertengkar
lucu ala Tom and Jerry minus adegan kejar-kejaran begitulah.
“Bapak pernah berpikir untuk cerai
sama ibu nggak?”
Bapak menggeleng sambil mengunyah
makan malamnya.
“Kenapa? Ibu kan pernah minta
cerai. Ibu juga sering komplain maupun marahan sama bapak. Bapak juga sering
merasa Ibu salah. Aku sering dengar Ibu curhat tentang bapak yang nggak peka
dan nggak pengertian. Bapak juga begitu, nggak beda jauh.”
“Kebaikan itu sifatnya abadi.
Sedangkan kesalahan itu sifatnya hanya kasuistik, tidak perlu diperhitungkan.”
Bapak meminum teh hangatnya dan
menyeka mulutnya dengan tissue. Ayam kremesnya sudah habis. Sedang aku, seperti
biasa, menyelesaikan makanku dengan sangat lambat.
“Kalau tentang hidup susah
sebagai suami istri, siapa sih di dunia ini yang kehidupan rumah tangganya
nggak susah? Kalau cerai juga belum tentu bahagia. Malah akan lebih nggrantes
karena sendiri itu sepi dan nelongso. Kalau setiap cek cok berujung cerai,
akhirnya nanti akan berusaha ketemu orang lain lagi. Kalau ternyata ribut lagi,
apa mau cerai lagi buat cari bahagia? Kalau bapak sih, biar lah, yang salah
dilupakan, yang senang ya dikenang terus.”
Aku diam dan berpikir tentang
konsep pesimisme Arthur Schopenhauer yang menyarankan manusia untuk tidak
memiliki kehendak yang muluk-muluk supaya tidak terpuruk nantinya. Karena
manusia merdeka adalah manusia yang meniadakan nafsu maupun tuntutan-tuntutan
duniawi lainnya. Bapak seperti hendak berkata padaku bahwa sebenarnya hidup itu
adalah tentang memilih untuk masuk ke penjara satu ke penjara lainnya. Apapun
yang jadi pilihan kita, pasti ada sisi yang membuat kita tidak nyaman dengan
itu, termasuk saat memilih pasangan.
Sepertinya bapak memiliki konsep kebahagiaan yang
ditemukannya sendiri. Aku tahu ia tidak membaca berbagai model kebahagiaan
untuk menemukan konsep yang cocok untuk diterapkan dalam hidupnya. Dari Plato
maupun Aristoteles misalnya.
Aku tahu bagaimana hidup
bapak dan ibuku. Menjadi mereka tidak mudah. Kalau harus memilih, aku tidak
ingin menjadi wanita seperti ibu dan tidak mau juga mempunyai suami seperti
bapak. Mereka bukan hanya tidak menjalani hidup yang ideal. tapi malah serba
sulit. Segala yang terjadi dihidup mereka tidak ada yang biasa dan sederhana. Itu
yang menjadikan bapak dan ibu jadi pribadi yang menurutku, agak rumit dipahami.
Pakdhe-pakdheku dari pihak ibu
sering bilang, sebagai anak bontot ibu adalah perpaduan watak keras, mandiri
dan disisi lainnya adalah manja. Ibu juga seorang pendebat dan katanya paling
mirip aku dalam hal sikap maupun wajah.
Ibu sendiri sering berusaha keras meyakinkan
aku maupun orang-orang lainnya bahwa kita sama sekali tidak mirip karena dia
lebih cantik dari aku. Aku mewarisi beberapa bagian fisik bapak yang tidak
begitu bagus –hidung yang tidak mancung misalnya- sedangkan ibu mewarisi semua
bibit yang baik dari kakek dan nenekku yang memang terkenal sebagai pasangan
priyayi ganteng dan cantik sempurna. Ini jadi agak lucu karena aku lihat bahwa
orangtua lainnya justru sering berkata pada semua orang bahwa anaknya cantik
sehingga pantas dipamerkan. Ibuku malah berbuat sebaliknya.
Bapak sendiri dulu sering berkata
di depanku, bahwa di matanya, yang cantik itu ibu, baru setelahnya mbak Umu dan
mbak Ima. Di depan mbak Umu, bilang yang cantik itu ibu, barulah aku dan mbak
Ima. Di depan mbak Ima, bapak bilang yang cantik adalah ibu, dan mbak Indah
adalah anak yang paling mirip ibu secara fisik. Sehingga sebagai anak akhirnya
kita bosan membandingkan, siapa yang lebih cantik dari lainnya.
Baik bapak maupun ibu sering “berebut”
simpati anak-anaknya.
Ibu selalu berkata pada anak
perempuannya, “Bapakmu nggak pernah mencintaiku.”
Bapak juga bilang ke aku maupun
anak lelakinya, “Ibu selalu saja merasa kurang. Slalu saja mengungkit kesalahan…”
Bagiku, sebagai lelaki, bapak
memang kurang peka. Kurang bisa mengekspresikan kasih sayangnya. Ibu juga
mengidamkan banyak hal yang tidak dimiliki bapak, terutama tentang sikap-sikap
ideal yang diimpikan ibu selama ini. Di mataku, pernikahan Ibu dan Bapak
sungguh epik. Aku sering menjadi penonton saat mereka ngambek dan pada akhirnya
akan berkata, “Cerai aja sih, daripada ribut.”
Entah harus bersyukur atau
bagaimana, yang jelas, saranku tidak pernah terjadi. Sampai sekarang.
IBUKU sakit-sakitan saat
usia 35 tahunan. Asam urat melemahkan tubuhnya, tidak dengan semangatnya.
Krisis moneter 98 melemahkan perekonomian kami. Siapa sih yang tidak sulit saat
itu? Aku saja yang saat itu masih berusia 8 tahun merasakan sendiri imbas
krisis moneter yang menghancurkan perekonomian kami. Mesti berpisah dengan
orangtua, punya 6 saudara yang semuanya sekolah, bapak yang pengangguran sampai
sesekali ngojek, Ibu banting tulang cari uang sana sini, Mbak Indah yang juga mati-matian
di masa semester akhir kuliahnya. Jika mengenang itu, aku agak tidak percaya
sekarang ini ternyata semuanya baik-baik saja.
Menjadi Ibu pasti susah. Harus
bercerai di usia muda dengan satu anak –Mbak Indah-. Setelahnya malah jadi
korban pelanggaran HAM berat Tanjung Priok ’84. Satu-satunya wanita pula. Aku
sudah pernah bercerita tentang latar belakang Ibu di sini kan?
Menjadi bapak juga pasti susah.
Seperti melihat opera sabun jaman dulu dimana keluarga petani hanya
menginginkan anak-anaknya mengurus sawah saja. Namun ada satu anak dari 6
bersaudara yang ngotot ingin sekolah daripada jadi petani karena ia ingin
mengubah nasibnya sendiri dengan pergi ke kota. Setelah sampai di kota ternyata
hanya bisa sekolah sampai SMA, tidak bisa kuliah dan dalam keadaan tidak punya
apa-apa sedangkan saudara kandungnya yang tidak sekolah justru punya uang, ternak
dan sawah. Mau buat apa ijazah? Mau buat apa jadi santri? Nggak bikin kaya.
Kata mereka.
KEINGINAN bapak untuk
belajar agama dengan baik malah membuatnya ada dalam komunitas OTB (Organisasi
Tanpa Bentuk) yang diisi oleh para jamaah Dalalip (sebutan untuk yang bergabung
di gerakan negara Islam Indonesia saat itu) di tahun ‘84. Bapak diajak
bergabung oleh temannya, diberi ajaran tentang sejarah Islam dan Indonesia,
diberitahu tentang konsep negara Islam ala Kartosuwiryo, diindoktrinasi
habis-habisan dan sampai pada tahap terakhir. Yaitu di bai'at.
Di OTB ini, bapak bertemu dengan
Abu Bakar Baasyir, Abdullah Sungkar dan Abu Jibril. Lama-lama bapak menyadari
bahwa ternyata ini adalah gerakan NII sekalipun trainer maupun para
jamaahnya tidak pernah mengatakan secara terang-terangan kalau mereka ini NII.
Abu Bakar Baasyir dan Abdullah
Sungkar sempat pindah ke Malaysia karena rezim Soeharto memang sedang mengejar
para penggugat asas tunggal Pancasila. Saat itu memang marak penculikan dan
petrus (penembakan misterius). Bapak bersama 15 ikhwan lainnya, termasuk
Abdullah Hehamahua yang sekarang ini menjadi penasehat KPK ikut mengantar ke
sana. Hanya untuk memastikan bahwa pemimpinnya aman.
Bapak sempat ditawari untuk ikut
berlatih jadi serdadu di Afghanistan. Tapi karena kondisi fisik bapak kurang
bagus untuk hal-hal yang bersifat kemiliteran, akhirnya bapak batal menjadi jihadis
fisik dan diminta menjadi kontributor majalah Al Irsyad dan Arrisalah. Media
resmi NII yang dewan redaksinya adalah adiknya Abu Jibril.
BERKAT jaringan para
ikhwan ini, bapak dijodohkan dengan ibu. Saat itu ibu baru saja keluar dari penjara karena tragedi
Tanjung Priok. Perjodohannya sederhana. Hanya lewat foto. Umurnya saat itu 24
tahun. Umur Ibu 27 tahun.
|
Bapak dan Ibu di Sebuah Acara |
Bapak bilang, sekalipun janda
anak satu, bapak melihat ibu adalah kandidat wanita paling cantik diantara
semua kandidat perempuan siap menikah yang ada di foto. Bapak merasa bahwa ia
adalah seorang lelaki dari desa terpencil di Pati, kulitnya hitam dan hidungnya
pesek. Jika menikah dengan wanita keturunan priyayi yang cantik, berkulit putih
dan berhidung mancung, barangkali akan memperbaiki keturunannya. Untuk apa
sekolah di kota, bergaul di kota, tapi gagal memperistri wanita cantik untuk membanggakan
orangtua di kampung? Kenyataannya, orangtua bapak memang senang dengan istri
pilihan bapak Mereka memang tidak hadir di pernikahan karena ijab kabul hanya
dilakukan di internal Dalalip. Tanpa resepsi.
Mereka menikah pada bulan
Desember ’84. Nama bapak sebenarnya Muhsin Sukandar, tapi teman-teman
Dalalipnya memanggilnya Ahsin atau Sakir. Nama Ibu sebenarnya adalah Aminatun
Najariyah, demi keamanan pasca Tanjung Priok, Ibu mengubah namanya menjadi
Mawaddah. Mereka tinggal di Cempaka Putih. Intel terus mengawasinya.
Saking militannya bapakku, anak
pertama dari pernikahan Bapak dan Ibuku diberi nama Himmati Mulkiyah Islamiyah.
Artinya cita-citaku mendirikan negara Islam.
Di surat kelahiran mbak Himma,
nama ibu ditulis dengan nama Mawaddah. Terntu saja itu berbeda dengan nama ibu di
akta kelahiranku. Karena inilah, mbak Himma sempat ingin kabur dari rumah pada
usia 13 tahun karena mengira dia adalah anak pungut dari pernikahan bapak
dengan wanita lainnya. Ia mengira Aminatun Najariyah sebenarnya adalah ibu
tirinya. Atau nama Mawaddah adalah nama wanita yang menitipkan bayinya dulu ke
bapak untuk dipungut. Karena tidak tahu siapa nama bapaknya, maka di surat
kelahiran ditulis nama bapak. Dia sampai menduga-duga banyak versi tentang
darimana dia berasal dan siapa orangtuanya yang sebenarnya dengan sangat
dramatis.
Dia bilang, “Pantes aja aku jadi
anak yang paling disuruh kerja keras di rumah ini!”
Aku terlalu kecil untuk
mengerjakan banyak pekerjaan rumah. Lagipula aku sibuk dengan bermain catur dan
membaca buku-buku. Adik-adikku tinggal di Jakarta sedangkan aku dan
kakak-kakakku tinggalnya di Boyolali. Otomatis seolah aku menjadi anak paling
bontot di rumah. Mbak Umu malah merasa seumuran denganku. Padahal selisih umur
kami 3 tahun. Sedang selisih umurnya dengan mbak Himma adalah satu tahun. Mbak
Indah sibuk kuliah dan ngekost di dekat kampusnya, jauh dari rumah. Jadi mbak
Ima lah yang menjalani peran sebagai anak sulung yang bekerja dan bertanggung
jawab paling banyak dibandingkan lainnya. Ia memasak, mencuci, membersihkan
rumah sedangkan adik-adiknya merasa masih berhak bermanja.
Saat menemukan surat kelahiran
itu, aku dan mbak Umu sempat mencegah mbak Ima kabur dari rumah. Kami bilang,
walaupun bukan saudara, kami tetap menyayanginya seperti saudara sendiri. Aku
berjanji akan belajar masak supaya bisa membantu pekerjaannya. Janji yang
akhirnya tidak aku penuhi karena setelah mendengar penjelasan ibu, kami lega
karena mbak Himma ternyata tetap saudara kandung kami. Jadi aku tetap membiarkannya
mengerjakan pekerjaan rumah paling banyak.
KALAU ibu pernah dipenjara
karena tragedi Tanjung Priok, bapak dipenjara karena kesetiaannya pada Abu
Jibril.
Awalnya bapak ingin menyusul Abu
Jibril mencari visa di kedutaan besar Iran. Ada sekitar 5 orang anggota NII
yang akan pergi ke Iran saat itu. Semangat revolusi Islam Iran ingin sekali
mereka tiru. Belum ada sinisme anti Iran sebagai negara dengan mayoritas
penduduk bermazhab Syiah saat itu. Abu Jibril yang shalat Isya di masjid Sunda
Kelapa yang lokasinya tak jauh dari Kedubes Iran dari awal sudah dibuntuti oleh
intel. Kemudian dia ditangkap, koper yang berisi buku-buku dan perlengkapan
lainnya disita.
Bapak merasa bahwa Abu Jibril
yang datang dari Yogyakarta itu adalah tamu yang harus dikawalnya. Maka sebagai
tuan rumah, ia berusaha mencarinya ke polsek Menteng. Ikatan persaudaraan antar
ikhwan memang kuat sekalipun mesti bertaruh nyawa.
Dari awal, anggota OTD sudah
diajari untuk tidak memberikan informasi apa-apa jika ada penangkapan.
Sekalipun diintrogasi dengan siksaan fisik. Bapak juga begitu. Karena dianggap ada
hubunganya dengan gerakan Abu Jibril, bapak ikut ditangkap dan mengalami
siksaan fisik. Seperti ditendang, disetrum, dipukuli, kedua lubang telinganya
juga dimasuki oleh pensil sampai berdarah. Karena itulah, sekarang ini kualitas
pendengaran bapak berkurang walau tidak sampai tuli.
Dipenjara itu, bapak berada satu
sel dengan NT Siregar. Ketua gerakan Petisi 50 yang membeberkan pelangggaran
konstitusi oleh Soeharto. Yang ikut ditahan di sana adalah HR Dharsono mantan Pangdam Siliwangi. Sedangkan Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta tidak ditahan, tapi diboikot kegiatan ekonomi dan politiknya.
Kata bapak, "Orang-orang sudah banyak yang lupa kalau ada peristiwa petisi 50 itu."
Kemana vespanya saat Ia ditahan?
Ternyata dipakai oleh salah satu petugas penjara Salemba bernama Rosyad.
Penjara Salemba atau biasa disebut dengan Penjara Laksus (Pelaksana Khusus)
adalah sebuah tahanan berisi para aktivis politik yang dianggap ekstrim kanan
maupun ekstrim kiri. Penjara itu juga
biasa disebut dengan penjara Laksusda Jaya Kramat. Dipimpin oleh seorang
Panglima bernama Soedomo.
Setelah 1,5 bulan menahan bapak
dan tanpa bukti yang jelas dan tidak memperoleh informasi apa-apa, bapak
dibebaskan. Tentu saja bapak mengaku hanya mengenal Abu Jibril sebagai rekan
bisnis semata. Tidak ada hubungannya dengan paham keagamaan tertentu apalagi
gerakan Negara Islam Indonesia. Bapak sudah terlatih untuk menyimpan rahasia
gerakan walau nyawanya terancam.
Untunglah, setelah keluar dari
penjara, bapak masih bisa mengambil vespanya yang dipinjam Rosyad ke penjara
Salemba tapi gagal mendapatkan kembali isi dompetnya yang juga ditahan. Padahal
di dompetnya masih ada sejumlah uang.
Selama berkumpul dengan jamaah
dalalip itu, ibu sering ditinggal-tinggal tanpa uang di rumah. Sekalipun sering
dikunjungi anggota jamaah lainnya yang memberi uang karena menganggap bapak
memang sedang berjihad, jadi sebagai perempuan Ibu harus bersabar, ikhlas dan
bersyukur memiliki suami yang berkontribusi untuk agama Allah. Bahkan saat Ibu
mengandung mbak Himma. Bapak seringkali tidak di rumah.
BAPAK memang senang
membaca buku. Ia sempat membaca buku Madzhab Syiah : Rasionalisme dalam Islam
karya Abu Bakar Atjeh terbitan Tiga Serangkai setelah keluar dari penjara. Dari
buku itu bapak baru tahu bahwa ternyata ada banyak alternatif dalam beragama.
Untuk dapat menjalani agama tidak hanya melalui jalur Dalalip yang selama ini
dijalaninya. Ia juga membaca buku-buku terbitan Mizan seperti buku tentang
ikhwanul Muslimin, Hassan Al Bana, Yusuf Qardawi dan lain-lain. Mulai dari situ,
bapak sering mengajak diskusi ikhwan Dalalip lainnya tentang alternatif
beragama. Karena itulah, bapak dianggap mengingkari baiatnya pada Imam karena
mulai membangkang dan mempertanyakan seolah-olah tidak lagi mempercayai doktrin
NII. Jabatan bapak sebagai logistik dan keuangan di NII juga dicopot dan juga
mendapat pengawasan ketat sampai pada tahap dikuntit. Saat mengalami masa-masa
itulah, maka bapak dianggap keluar dari jamaah. Tidak lagi menjadi bagian dari
pejuang berdirinya negara Islam Indonesia bersama dengan beberapa orang yang
juga merasa mendapatkan alternatif lain dalam beragama.
Bapak dan ibu mulai berpindah
haluan dan komunitas mengaji. Mereka tertarik dengan tawaran Islam Rasional
yang ditulis oleh Abu Bakar Atjeh itu. Karena tertarik dengan ajaran Ahlulbayt,
maka mereka menamakan anak ketiga dengan nama Umu Salamah. Salah satu Istri
Rasul yang ikut hadir saat keluarnya hadist al Kisa. Memang, penamaan nama anak
itu adalah salah satu ciri ideologi orang tua. Jika saat masih Dalalip nama anak
yang dipilih adalah nama berbahasa Arab yang dapat diterjemahkan sesuai harapan
orangtua yang saat itu mengidamkan Negara Islam Indonesia. Berbeda dengan nama
khas pecinta Ahlulbayt biasanya disandarkan pada para tokoh-tokoh dalam sejarah
Ahlulbayt agar dapat bertabaruk dan meneladani kehidupan tokoh yang dimaksud.
Seperti namaku juga, Syahar Banu, putri Persia yang jadi istri Imam Husain yang
syahid di Karbala, ibunda dari Imam Ali Zainal Abidin yang memiliki doa-doa
indah yang termasyhur bernama Sahifah Sajjadiyah. Adik lelakiku juga diberi nama-nama
yang ada unsur Ahlulbaytnya. Kecuali anak ketujuh, karena bapak dan ibu
mengalami perpindahan keyakinan dalam beragama lagi. Nabi yang bapak dan ibu
yakini saat itu adalah nabi yang sempat menjadi sampul cerita majalah Gatra
berjudul Nabi Baru dari Bekasi. Aku akan menceritakannya lain kali tentang ini
karena aku, mbak Ima dan mbak Umu sempat putus sekolah karena ini. Baru
kemudian, di anak terakhir, bapak dan ibu kembali ke jalur keagamaan Ahlulbayt,
sehingga adik terakhirku juga mendapatkan nama tokoh Ahlulbayt lagi.
Karena mengalami perpindahan
mazhab keagamaan inilah, bapak dan ibu juga memberi kebebasan pada anaknya
untuk berpindah dan memilih mana saja keyakinan yang dianggap rasional. Karena
indoktrinasi dan ekstrimisme sama sekali bukan hal yang bijak dalam beragama.
Sampai sekarang, aku senang bapak
terus menerus belajar. Dia sedang banyak belajar tentang Hermeneutika secara
otodidak, padahal itu adalah salah satu ilmu yang menjadi mata kuliahku di
kampus. Sedangkan ibu, lebih senang menghabiskan waktunya untuk membaca doa
tawassul, kumayl dan lainnya untuk ketenangan hati. Ia juga tidak pernah
melewatkan diri untuk menonton sinetron Kian Santang tiap malam untuk menghibur
diri.
Aku membayangkan jika bapak
membatasi diri dengan tidak membaca buku diluar keyakinannya, maka bapak akan
terus di NII, menjadi loyalis Abu Bakar Baasyir atau setia pada Abu Jibril.
Jika bapak memilih Abu Jibril, maka tentu saja aku juga akan berteman dengan
anaknya Abu Jibril dan ikut menjadi kontributor atau reporter di situs Arrahmah
dot com yang termasyhur itu. Atau barangkali, di usia segini aku sudah menikah
dengan lelaki bercelana cingkrang dan berjenggot lewat perjodohan foto antar
jamaah seperti jaman bapak dulu.
Membayangkannya saja sudah
membuatku geli.
--
Disclaimer : Jika ada kesalahan
nama dalam sejarah, akan di revisi dikemudian hari. Cerita ini hanya
mengandalkan ingatan bapak sebagai sumbernya. Mohon maklum kalau salah ya ^^,
Update :
Sebelumnya ditulis bahwa Ali Sadikin dipenjara dalam kasus Petisi 50. Bang Andreas Harsono mengingatkan lewat twitter bahwa Ali Sadikin tidak pernah dipenjara. Hanya dimatikan hak perdatanya, Beberapa menit kemudian aku menelepon bapak untuk bertanya tentang itu. Bapak bilang dia memang tidak bilang Ali Sadikin dipenjara. Bapak hanya bilang Ali Sadikin dibatasi kegiatan-kegiatannya, misalnya, dia tidak boleh berhutang di bank dan hal administratif lainnya. Yang dipenjara adalah Dharsono, bukan Ali Sadikin. Aku salah data (maaf ya ^^). Nama lain yang bapak sebut adalah AM Fatwa yang dulu menjadi sekretaris Petisi 50. Tapi AM Fatwa dipenjaranya lebih ke kasus tentang pidato-pidatonya di mimbar yang menentang rezim Soeharto. Saat itu AM Fatwa juga menjadi salah satu pejabat MUI. Bapak menyuruhku menulis tentang Petisi 50 yang dilupakan orang-orang, bahkan bersedia mengantar ke rumah AM Fatwa untuk wawancara atau sekedar melihat-lihat dokumennya. Aku bilang, "Iya, kapan-kapan ya pak." :D
Kalau ada kesalahan sejarah atau apapun, silakan mengingatkan. Dengan senang hati akan verifikasi ulang.