Kematian Pertama
Pada suatu hari kekasih berjingkat-jingkat dekat pelupuk mataku. Diam-diam, tanpa suara. Bahkan ia tidak memakai sepatunya. Aku memergokinya sedang memunguti kembali gula-gula yang pernah ia taburkan di helai-helai rambutku. Ia juga menggulung karpet merah yang pernah ia gelar dan membakar helai bunga yang bersisian diatasnya. Ia meniupi lilin yang menerangi ruang dansa kami semalam. Lalu ia menyeberangi ruangan untuk mematikan musik. Temaran, mencekam. Segala sesuatu jadi dingin.
Ia menjelma jadi sosok yang menjulang begitu tinggi sampai leherku yang terlalu lama memandangnya terasa sakit. Ia sedang berkemas, tampak bergegas.
"Mengapa?" Aku bertanya, membiarkan ia berkemas sendirian.
"Kau akan membiarkan aku pergi?" Ia menjawabnya dengan pertanyaan. Seperti yang sudah-sudah.
Aku mengangguk, "Kenapa tidak?" Aku menegakkan tubuhku. "Kau adalah kekasihku, kau boleh tinggal sampai kau bosan. Tugasmu adalah berbahagia. Aku akan terus merawatmu selama kau ada di rumah."
"Aku akan bosan."
"Aku menemukanmu sebagai pengelana. Mungkin rumah memang tidak cocok untukmu. Tapi kau harus tahu bahwa aku tidak pernah menyuruhmu pergi."
"Seharusnya kau mencegahku."
"Kau pernah bilang tidak akan pergi kalau aku tidak menyuruhmu pergi."
"Situasinya jadi berbeda." Kau tampak gelisah.
"Kau hanya tidak perlu berjanji apapun sedari awal."
Tenggorokanku tercekat. Kesunyian menyergap kami.
Ia juga memilih diam, keheningan seperti ini membuat jantungku mencelos sampai perut. Kupu-kupu yang ada di perutku mengepak dengan gelisah.
Aku menggeleng, "Kau boleh melakukan apapun yang kau suka, Kau sudah tau prinsipnya, jika tidak mencintai, setidaknya jangan menyakiti. Jika mencintai, semestinya juga memerdekakan."
"Naif." Dia bergumam, dan terus berkemas sampai memungut remah-remah terakhir. Kita namakan itu kenangan dan masa lalu.
Kematian Kedua
Aku sedang merawat derita dengan membalutnya pelan-pelan. Hingga segala yang luka tertutupi. Aku sempat memandangi mimpi-mimpi yang pelan-pelan runtuh secara dramatis, satu demi satu.
Sejak awal aku menyerahkan hatiku, aku telah mengizinkanmu untuk berbuat apapun. Memelihara, atau menghancurkannya.
Kau memilih untuk menghancurkannya.
Kematian Ketiga
Pada suatu pagi yang biasa, aku telah lupa caranya menulis puisi untuk mengisi sunyi. Penaku mati dan tanganku menolak berkompromi dengan otakku. Seperti hatiku yang menolak berdamai dengan isi kepalaku.
Kau memang tidak pernah bilang akan datang. Kau hanya mengetuk pintu dan aku hanya membukanya. Keterkejutanku hanya mencipta gumam kalimat, "Kenapa tak bilang kalau mau datang?"
Kau menjawabnya dengan senyum. Seharusnya itu bukan jawaban.
Aku memandangmu sebagai prajurit pengelana yang ada di dalam sebuah buku. Buku tersebut berisi selusin kisah peperangan dan banyak hal tentang kegetiran. Luka-luka yang ada di tubuhmu adalah tanda ketangguhan sekaligus memunculkan berbagai kengerian yang aku abaikan.
Jika kau adalah seorang yang telah menjalani berbagai perang, apakah keselamatanmu saat ini adalah hasil dari membunuh orang lain?
Aku tidak ingin kau memandang rumah ini sebagai sebuah medan laga. Kau perlu istirahat tanpa desing peluru. Simpanlah belatimu karena itu membuatku takut.
Kepalaku berkata bahwa mencintai adalah refleksi sebuah keberanian. Lalu, kali ini, aku mematuhi suara dalam kepalaku karena mengabaikannya, hanya akan menghasilkan bising.
Aku melihatmu memainkan belati sambil tersenyum bangga. Menunjukkan padaku kelihaian yang kau gunakan untuk memenangkan satu perang ke perang yang lainnya.
Padahal, tanpa belati dan kelihaian itu, kau sudah demikian indah.
Belati itu begitu cantik dan bermata dua. Kilaunya memendarkan cahaya yang masuk ke mataku namun sayangnya, bukan sebagai cahaya mata. Aku memperingatkanmu untuk berhati-hati dengan belati itu, salah satu dari kita barangkali akan tumbang jika kau lalai melihat sekitarnya.
Terjadilah.
Aku terseok, merapatkan diri di dinding sambil terpejam. Sakitnya memang hanya sebentar saat belati itu mengenaiku. Tapi lukanya menganga. Tepat di dadaku.
Darah yang belum mengering itu menjadi saksi sebuah keberanian dan kepercayaan yang aku sebut dengan cinta. Dan yang kau sebut naif.
Kematian Keempat
Ia mengukir 3 baris kelimat dalam-dalam. Tentang pamit, maaf dan terimakasih. Apakah ini adalah pertarungannya yang lain? Padahal, kita telah jauh melangkah dan hampir lupa jalan pulang.
Lagi pula, seperti pembicaraan kita yang lalu, seharusnya senja yang merangkak masuk tidak lagi memberikan waktu bagi kita untuk sekedar menguji kilat pedang dan bermain-main dengan perjalanan.
Jika kita memilih untuk beradu pedang, siapa yang akan tertebas?
Sudah jelas. Aku.
Kematian Kelima
Aku tidak akan mengatakan apapun. Aku juga tidak punya energi untuk melakukan apapun selain memandangi punggungmu yang pelan-pelan menghilang dari penglihatanku.
Yang aku tahu, aku mulai memucat.
Kematian Keenam
Seseorang melihatku berlari gembira. Lalu ia bertanya, "Bukankah kau adalah orang yang kemarin rubuh dan memucat?"
Aku tersenyum, aku tahu bahwa suatu hari akan mati. Aku telah menanam masa lalu dan membiarkan masa depan tumbuh diatasnya. Yang kau lihat ini adalah masa depan yang berhasil dirancang. Agar tidak begitu saja habis setelah datangnya kematian demi kematian.
"Seseorang perlu kematian-kematian dan kehilangan yang menyakitkan. Agar kelak, kematian dan kehilangan tidak jadi sesuatu yang menyakitkan lagi." Kata sebuah suara yang menguatkanku.
Kematian Ketujuh
Selamat datang, kematian, Aku sudah bersiap untuk hidup lagi. Ini bukanlah perang yang harus dipuaskan dengan kemenangan. Biar bekas luka jadi saksi sebuah kebangkitan dan perjuangan.
Kepada masa lalu, sekali dua kali, aku akan mampir. Hanya untuk melihat bahwa aku telah tuntas dengan urusan seputar rindu dan dendam. Hingga ia akan menghilang atau teralihkan dengan sendirinya. Seperti yang sudah-sudah.
Ada kemestian yang sulit dipungkiri. Tentang harapan, kenangan, persinggahan, luka, cinta dan rindu. Kemestian itu menanamkan sebuah keyakinan bahwa suara itu benar. Suatu hari akan datang saat-saat dimana kehilangan dan kematian bukanlah perkara yang menyakitkan lagi.
Mampang Prapatan, 27 Desember 2013
Pada suatu hari kekasih berjingkat-jingkat dekat pelupuk mataku. Diam-diam, tanpa suara. Bahkan ia tidak memakai sepatunya. Aku memergokinya sedang memunguti kembali gula-gula yang pernah ia taburkan di helai-helai rambutku. Ia juga menggulung karpet merah yang pernah ia gelar dan membakar helai bunga yang bersisian diatasnya. Ia meniupi lilin yang menerangi ruang dansa kami semalam. Lalu ia menyeberangi ruangan untuk mematikan musik. Temaran, mencekam. Segala sesuatu jadi dingin.
Ia menjelma jadi sosok yang menjulang begitu tinggi sampai leherku yang terlalu lama memandangnya terasa sakit. Ia sedang berkemas, tampak bergegas.
"Mengapa?" Aku bertanya, membiarkan ia berkemas sendirian.
"Kau akan membiarkan aku pergi?" Ia menjawabnya dengan pertanyaan. Seperti yang sudah-sudah.
Aku mengangguk, "Kenapa tidak?" Aku menegakkan tubuhku. "Kau adalah kekasihku, kau boleh tinggal sampai kau bosan. Tugasmu adalah berbahagia. Aku akan terus merawatmu selama kau ada di rumah."
"Aku akan bosan."
"Aku menemukanmu sebagai pengelana. Mungkin rumah memang tidak cocok untukmu. Tapi kau harus tahu bahwa aku tidak pernah menyuruhmu pergi."
"Seharusnya kau mencegahku."
"Kau pernah bilang tidak akan pergi kalau aku tidak menyuruhmu pergi."
"Situasinya jadi berbeda." Kau tampak gelisah.
"Kau hanya tidak perlu berjanji apapun sedari awal."
Tenggorokanku tercekat. Kesunyian menyergap kami.
Ia juga memilih diam, keheningan seperti ini membuat jantungku mencelos sampai perut. Kupu-kupu yang ada di perutku mengepak dengan gelisah.
Aku menggeleng, "Kau boleh melakukan apapun yang kau suka, Kau sudah tau prinsipnya, jika tidak mencintai, setidaknya jangan menyakiti. Jika mencintai, semestinya juga memerdekakan."
"Naif." Dia bergumam, dan terus berkemas sampai memungut remah-remah terakhir. Kita namakan itu kenangan dan masa lalu.
Kematian Kedua
Aku sedang merawat derita dengan membalutnya pelan-pelan. Hingga segala yang luka tertutupi. Aku sempat memandangi mimpi-mimpi yang pelan-pelan runtuh secara dramatis, satu demi satu.
Sejak awal aku menyerahkan hatiku, aku telah mengizinkanmu untuk berbuat apapun. Memelihara, atau menghancurkannya.
Kau memilih untuk menghancurkannya.
Kematian Ketiga
Pada suatu pagi yang biasa, aku telah lupa caranya menulis puisi untuk mengisi sunyi. Penaku mati dan tanganku menolak berkompromi dengan otakku. Seperti hatiku yang menolak berdamai dengan isi kepalaku.
Kau memang tidak pernah bilang akan datang. Kau hanya mengetuk pintu dan aku hanya membukanya. Keterkejutanku hanya mencipta gumam kalimat, "Kenapa tak bilang kalau mau datang?"
Kau menjawabnya dengan senyum. Seharusnya itu bukan jawaban.
Aku memandangmu sebagai prajurit pengelana yang ada di dalam sebuah buku. Buku tersebut berisi selusin kisah peperangan dan banyak hal tentang kegetiran. Luka-luka yang ada di tubuhmu adalah tanda ketangguhan sekaligus memunculkan berbagai kengerian yang aku abaikan.
Jika kau adalah seorang yang telah menjalani berbagai perang, apakah keselamatanmu saat ini adalah hasil dari membunuh orang lain?
Aku tidak ingin kau memandang rumah ini sebagai sebuah medan laga. Kau perlu istirahat tanpa desing peluru. Simpanlah belatimu karena itu membuatku takut.
Kepalaku berkata bahwa mencintai adalah refleksi sebuah keberanian. Lalu, kali ini, aku mematuhi suara dalam kepalaku karena mengabaikannya, hanya akan menghasilkan bising.
Aku melihatmu memainkan belati sambil tersenyum bangga. Menunjukkan padaku kelihaian yang kau gunakan untuk memenangkan satu perang ke perang yang lainnya.
Padahal, tanpa belati dan kelihaian itu, kau sudah demikian indah.
Belati itu begitu cantik dan bermata dua. Kilaunya memendarkan cahaya yang masuk ke mataku namun sayangnya, bukan sebagai cahaya mata. Aku memperingatkanmu untuk berhati-hati dengan belati itu, salah satu dari kita barangkali akan tumbang jika kau lalai melihat sekitarnya.
Terjadilah.
Aku terseok, merapatkan diri di dinding sambil terpejam. Sakitnya memang hanya sebentar saat belati itu mengenaiku. Tapi lukanya menganga. Tepat di dadaku.
Darah yang belum mengering itu menjadi saksi sebuah keberanian dan kepercayaan yang aku sebut dengan cinta. Dan yang kau sebut naif.
Kematian Keempat
Ia mengukir 3 baris kelimat dalam-dalam. Tentang pamit, maaf dan terimakasih. Apakah ini adalah pertarungannya yang lain? Padahal, kita telah jauh melangkah dan hampir lupa jalan pulang.
Lagi pula, seperti pembicaraan kita yang lalu, seharusnya senja yang merangkak masuk tidak lagi memberikan waktu bagi kita untuk sekedar menguji kilat pedang dan bermain-main dengan perjalanan.
Jika kita memilih untuk beradu pedang, siapa yang akan tertebas?
Sudah jelas. Aku.
Kematian Kelima
Aku tidak akan mengatakan apapun. Aku juga tidak punya energi untuk melakukan apapun selain memandangi punggungmu yang pelan-pelan menghilang dari penglihatanku.
Yang aku tahu, aku mulai memucat.
Kematian Keenam
Seseorang melihatku berlari gembira. Lalu ia bertanya, "Bukankah kau adalah orang yang kemarin rubuh dan memucat?"
Aku tersenyum, aku tahu bahwa suatu hari akan mati. Aku telah menanam masa lalu dan membiarkan masa depan tumbuh diatasnya. Yang kau lihat ini adalah masa depan yang berhasil dirancang. Agar tidak begitu saja habis setelah datangnya kematian demi kematian.
"Seseorang perlu kematian-kematian dan kehilangan yang menyakitkan. Agar kelak, kematian dan kehilangan tidak jadi sesuatu yang menyakitkan lagi." Kata sebuah suara yang menguatkanku.
Kematian Ketujuh
Selamat datang, kematian, Aku sudah bersiap untuk hidup lagi. Ini bukanlah perang yang harus dipuaskan dengan kemenangan. Biar bekas luka jadi saksi sebuah kebangkitan dan perjuangan.
Kepada masa lalu, sekali dua kali, aku akan mampir. Hanya untuk melihat bahwa aku telah tuntas dengan urusan seputar rindu dan dendam. Hingga ia akan menghilang atau teralihkan dengan sendirinya. Seperti yang sudah-sudah.
Ada kemestian yang sulit dipungkiri. Tentang harapan, kenangan, persinggahan, luka, cinta dan rindu. Kemestian itu menanamkan sebuah keyakinan bahwa suara itu benar. Suatu hari akan datang saat-saat dimana kehilangan dan kematian bukanlah perkara yang menyakitkan lagi.
Mampang Prapatan, 27 Desember 2013