Minggu ini adalah minggu ketujuh Ibuku di rumah sakit. Seperti yang pernah aku ceritakan di Facebook, Ibu dan Bapakku kecelakaan motor di daerah Ungaran. Motor yang disetir bapak di dahului oleh truk gandeng kosong yang melintas cepat dan akhirnya terjadilah kecelakaan itu. Bapak lecet dan jatuh bersama motor. Ibuku jatuh dan berpegangan di belakang truk sampai kakinya terseret sejauh 10 meter. Betis kanan terluka parah karena bergesekan langsung dengan aspal sampai hampir tergilas ban. Tulang pinggul juga bergeser.
Ibuku di bawa ke Rumah sakit K*n S*ras. Di operasi, pasang pen dan tindakan medis lain yang aku tidak paham. Yang aku tahu, betis kanan ibu sudah penuh darah dengan perban yang sangat tebal sampai darah merembes ke kasurnya. Terlihat jelas wajah pucat dan ekspresi kesakitan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Aku yang dini hari baru sampai di RS tidak tega melihatnya sepucat itu. Wajah Ibu selama ini selalu segar dengan berbagai perawatan rutin yang semua dilakukannya secara telaten di rumah. Setidaknya, Ibu tidak pernah melewatkan hari tanpa merawat diri. Akhirnya, aku mendandaninya dengan eye shadow, bedak, lipstik dan blush on agar wajahnya segar kembali. Sayang, dokter melarang itu. Karena dokter jadi tidak tahu apakah wajah ibuku pucat atau tidak. Ibuku banyak kehilangan darah. Karena, kalau Ibu pucat berarti Ibuku butuh transfusi darah lagi. Aku terpaksa harus menghapus make up nya.
Setelah 4 hari di K*n S*ras dengan biaya fantastis itu, Ibu dirujuk ke RS Orthope*i Solo. Tindakan medis dari RS sebelumnya di revisi oleh dokter di RS ini. Ekspresi kesakitan ibupun semakin bervariasi. Mulai dari meringis, menggigit bibir, menangis lirih, menangis keras, menjerit, berteriak, mengerutkan dahi, bertawassul pada Ahlulbayt sambil tersengal-sengal dan banyak hal lain yang tidak berhasil aku rumuskan. Ibuku yang tangguh telah dikeroyok begitu saja oleh keterbatasan gerak, rasa sakit, infus, oksigen, transfusi darah dan selang aliran darah kotor di betis. Teringat ucapan beberapa orang di RS saat melihat Ibu, "Mbak, padahal Ibunya cantik, tapi bisa kecelakaan gitu ya." Bingung, bagaimana menanggapinya. Aku hanya menjawab, "Iya" tanpa sadar aku mengiyakan premis yang mana.
Kali ini, saat Ia lemah secara fisik dan psikologis, aku tidak dapat memeluknya lagi seperti dahulu. Semoga kesakitannya adalah jalan-jalan kesabaran yang muaranya menuju altar cintaNya.
Aku bahkan lupa, berapa kali Ibu harus dioperasi. Masih terngiang jelas saat dokter bilang, "Kemungkinan terburuk Ibu Aminah harus di amputasi, bila infeksinya semakin parah!" Saat itu juga, aku berlari dan menangis di depan rumah sakit, sendirian di sudut gelap yang tidak ingin dilihat siapapun. Sambil mencoba untuk memberitahu kakakku yang lainnya bahwa kemungkinan terburuk itu mungkin akan terjadi. Seorang Ustad yang sangat baik hatinya menelponku untuk bertanya tentang kabar ibuku. Pembicaraan singkat dengannya membuatku jadi lebih kuat. Bagaimanapun, hal-hal spiritual ampuh mematahkan keputusasaan kita tentang sesuatu yang kita cemaskan.
Masa ketakutan tentang amputasi kini sudah lewat. Ibuku, berkat doa kawan-kawan, berhasil melewatinya. Operasi pembersihan Infeksi sukses. Infeksi telah hilang seluruhnya. Alhamdulillah!
Kini Ibu berpindah ke RS lain untuk penanganan selanjutnya, yaitu pencangkokan kulit. Aku tidak ada di sampingnya kali ini. Harapan Ibu dari dulu adalah aku harus menyelesaikan kuliahku sesegera mungkin. Aku tidak bisa menggunakan alasan-alasan heroik untuk meninggalkan kelas perkuliahan demi ibuku. Aku ada di samping Ibuku atau aku ada di Jakarta dengan perkuliahanku, semua karena Ibu, demi Ibu. Tapi aku lebih memilih hal yang menyenangkan Ibu lebih banyak. Yaitu, kuliah dan tetap
survive dengan segala keadaannya.
Selalu terdengar, rintih kesakitannya lewat telepon sambil menanyakan, apakah aku sudah makan atau belum, apakah aku punya uang atau tidak, apakah ada masalah atau tidak. Bahkan Ibu sempat meminta maaf karena Ibu berpikir, Ia tidak dapat membantu apapun untukku. Padahal, aku masih bertahan disini dengan segala kondisi yang ada karena doa-doa Ibu yang telah jadi kekuatan tersendiri sehingga bisa melancarkan segalanya.
Ada masa ketika aku sangat berputus asa, tapi bangkit lagi karena menyadari Orang yang aku cintai, Sahabatku, Ustadku, dan teman-teman di Facebook mengirimkan dukungan dan doanya padaku dan pada Ibu untuk kesembuhannya. Ada masa ketika aku begitu gamang dengan apa yang harus aku lakukan bila kondisi terus begini. Bagaimana kalau adik-adikku juga
down menghadapi ini? Ada kondisi dimana aku tahu bahwa aku tidak boleh berkutat pada kesedihan, tapi aku tidak tahu caranya untuk "hidup" lagi.
"Kamu itu cewek kuat yu... Sebenarnya kamu tidak perlu siapapun buat bisa maju terus. Kamu cuma perlu keyakinan pada dirimu sendiri kalau kamu bisa menghadapi masalahmu." Kata orang spesial dalam hidupku. Mendengar itu, aku tidak jadi menceritakan apapun padanya, tidak jadi mengatakan jutaan keluhan tentang hidupku lagi. Aku hanya perlu membangkitkan kesadaran bahwa aku tidak tercipta untuk berkutat terus menerus dalam kesedihan sampai air mata memburamkan langkahku dan aku jadi tidak melihat apapun. Aku rasa, aku tidak punya alasan lagi untuk tidak membenarkan kata-katanya dan mewujudkan itu sebagai diriku yang sebenarnya. Mendadak, aku jadi malu pada diriku sendiri untuk mengeluh pada orang lain. Aku malu pernah sempat putus asa. Aku tahu kesedihan ku tidak sebesar kesedihan keluarga suci Nabi SAW, tapi aku tetap saja bersedih atas kesusahanku. Aku tidak ingin kesadaran atas potensi kekuatan diri menguap begitu saja di hantam duka.
Ibuku, mungkin masih akan melalui operasi lagi dan masih dirawat. Kakakku Himma menjaganya selama Ibu di RS. Bapakku kini bisa mengunjungi Ibuku setiap hari. Adikku Mahdi dan Tarel juga di sana. Kakak Pertamaku, mbak Indah dan kakak Iparku Mas Kist melakukan apapun untuk menstabilkan segalanya lagi. Mbak Umu yang baru saja menghadirkan malaikat kecil dalam keluarga besar kami tak henti memberikan dukungan jarak jauh lewat doa-doanya. Ruhi adikku yang terkecil dan 2 Keponakanku yang lainnya selalu menghibur kami dengan kepolosan mereka merespon kabar-kabar kecil dari Ibu lewat telepon.
Segala hal sederhana yang terjadi jadi tampak indah walau Kami semua secara fisik belum dapat memeluk Ibu lagi. Tuhan telah menyayangi Ibuku hingga hanya DIA yang dapat mendekapnya dalam lautan kasih sayangNya di tengah kami. Orang bilang, kerlip indah bintang-bintang hanya akan terlihat jika segalanya gelap. Aku rasa, kami semua disini, sedang melewati masa-masa menjadi kerlip kecil di gelapnya semesta. Setidaknya, aku dan saudaraku yang lain harus terus berpijar hingga jutaan tahun cahaya. Ibu, kami semua berdoa untuk kesembuhanmu. Ukirlah senyummu hingga rasa sakit malu padamu. Kami Mencintaimu.
Jakarta, 28 November 2012
Pukul 6.29 menjelang kuliah pagi.