Mata itu masih sama. Magnetnya membuatku masuk ke dalam jiwanya dan menelusuri alam keheningan yang mesti aku renungi dari subuh sampai dini hari. Aku mulai mengeja kata dari tatapan yang tersisa. Merangkai kata dari tatapan mata kemarin beserta teks yang beberapa kali terbaris dalam huruf digital.
Aku menyapa malam yang senantiasa aku sapa dengan mata benderang. mencoba mempertanyakan, bagaimanakah kabar kekasih? Aku tak lelah menyapanya karna namanya telah aku daras menjadi doa yang aku harap menelusup dalam dedaunan segar pagi hari, menguap menuju ketinggian oleh hangat mentari, dan beberapa saat kemudian kembali merindukan bumi dalam tetes hujan rakhmat. Tetes itu menyapa ujung rambutnya dan menjadi kawan dalam keluh kesahnya.
Perlahan... Seikat bunga menyeruak dari sanubariku. Apakah ini berkat dari sang Maha Cinta? Harumnya jadi kedamaian di jalan-jalan sempit para musafir cinta. Aku mencoba menapaki bekas kaki para pecinta dalam sunyi sambil tersenyum pada kekasih ku yang berada di singgasana maha mutiara kalbu. Aku bertanya-tanya, apakah keindahan para kekasih telah membuat banyak orang rela menjadi pelayannya walau hanya berurai doa-doa sepanjang hari pada sang Rahim? Aku menoleh kebelakang dan melihat uraian air mata para pecinta telah membawa mereka dalam samudera pengkhidmatan. Ketika darah jadi air mata dan air mata semerah darah membeberkan kesaksiannya atas kedahsyatan Cinta. Ketika Ketajaman pedang adalah muara cahaya. Maka sayatannya jadi permadani yang terhampar jadi tangga menuju langit.
Aku mendaraskan namanya lagi di altar cahaya agar ia mengerlingkan mata cahayanya pada ku, namun urung... Menatapnya telah membakar habis segala tuntutan ku padanya. Tiada sesuatu yang aku inginkan darinya. Ternyata hanya dengan melihatnya dari kerumunan sudah cukup. Aku merindukan penyatuan, Tetapi, aku lebih menginginkan kekasih datang dengan keindahan jiwa yang kelak menuntunnya pada pertemuan jiwa pecinta. Layaknya 2 tetes air tersebut melebur jadi butiran rintik air mata para pecinta yang mendamba kasihnya.
Aku tak hendak menempatkannya sebagai Tuhan, tak pula sebagai berhala. Biarlah Ia hidup sebagai Manusia, menyempurna dengan kemanusiaannya. Ia memang Tak bersayap, tak juga berlari secepat cahaya. Tapi keindahan jiwanya adalah kerlipan gemintang yang dirindukan langit setiap malam. Lalu aku dengar Orang bijak membisik padaku, Bila Ia menjadi manusia seutuhnya di alam akal ku, maka kepalanya dapat meninggi melebihi malaikat.
Garis kehidupan telah memanjang di hadapan para pecinta, bahwa Tiada hal lain yang diinginkan pecinta kepada kekasihnya selain penyatuan. Namun, Aku tak hendak mengaitkan paksa benang sari kasih ini padanya. Aku memilih untuk memulai langkahku menuju jalan cahaya dan berharap kekasih ku menapak jalan cahaya yang sama sampai pertemuan kita di altar Cahaya. Bila langkah cahaya kita berbeda, biarkan sinar mata kita yang pernah bertemu jadi meninggi dan menjadi kerlip kecil dalam kalbu para pendamba cinta.